Share

Cloudy

"Cloudy, Kamu cantik," ucap tulus Amira pada Cloudy dengan isyarat tangan menyertai. 

"Terima kasih, Tante. Saya begini karena Tante yang mengajari." Suara parau dan gerak tangannya bersidekap di depan dada. 

"Aah, anak manis," batin Amira bicara kala memandang binar indah di mata Cloudy.

Hari ini adalah hari ke tujuh Cloudy memberanikan diri untuk menatap kembali dunia luar. Walau masih tetap ingin ditemani. Tapi ia sudah  mulai berani pergi ke taman tak jauh dari rumah tempat mereka tinggal.

Sesekali Amira memperhatikan kegiatan Cloudy tanpa sepengetahuannya ketika berada di taman dari kejauhan. Ia suka melukis dan menulis puisi, sambil menikmati udara pagi dan panorama alam. Dua kegiatan yang mampu membantu melupakan nyeri deritanya. 

 "Apa kita akan pergi nyekar ke makam orang tuaku, Tante?" Cloudy menatap Amira sambil menggunakan bahasa isyarat.  

Amira mengangguk sambil tersenyum, Ia tahu Cloudy sedang bertarung dengan batinnya sendiri. Walau kerlip mata indahnya sekilas terlihat bahagia. Sesungguhnya kabut kepedihan hati masih terus menyapa.  

Mereka berjalan beriringan menuju keluar rumah, sebuah mobil sudah menanti untuk membawa mereka menuju pemakaman. 

"Masya Allah, cucu Kakek cantik sekali," ucap Maulana kala melihat Cloudy menggunakan gamis dan kerudung berwarna senada.  

Claudy tersenyum lalu menjawab pujian kakeknya, "Terima kasih, Kakek sudah memberikan pakaian ini untuk Cloudy." Sambil tangannya mengisyratkan ucapannya.

"Cloudy merasa nyaman, pakaian ini menutup semua bagian tubuh," sambungnya sambil tertawa. 

 Amira dan papanya melihat sekilas ada bulir air mata di ujung kerling Cloudy. Mereka berdua juga ikut merasakan nyerinya batin yang bergemuruh di dada. 

Beberapa waktu yang lalu, Kakeknya Maulana dan Amira tantenya membelikan gamis dan kerudung untuk dipakai Cloudy. Beberapa gaun panjang dan jilbab yang menutup dada.

Sejak berusia 13 tahun tubuh Cloudy terlihat tumbuh bagai wanita dewasa. Keindahan tubuhnya yang berbalut pakaian sekolah, menyebabkan niat orang-orang jahat untuk menjamah tubuh indahnya.

 Lima tahun Cloudy mengurung diri di rumah.  Ia hanya mau bertemu dengan Amira, Maulana dan beberapa asisten yang bekerja di rumah mereka. Ia lebih senang berdiam diri dalam kamar. Acap kali, sejak kejadian pemerkosaan dan upaya pembunuhan atas dirinya itu terjadi. Cloudy sering berupaya meyakiti tubuhnya. Dan beberapa kali mencoba bunuh diri. Tapi semuanya selalu berhasil digagalkan.

 Mereka berangkat dengan diantar sopir menuju pemakaman keluarga. Sekitar setengah jam mereka tiba. Cloudy segera turun sambil membawa rangkaian kembang yang dijual orang di sekitar pemakaman. 

 Amira dan papanya menggiring Cloudy dari belakang. 

 "Dia seperti anak kecil jika kita bawa ke sini," celetuk Amira pada Maulana papanya. 

 "Dia rindu, Amira. Anak itu rindu pada Papa dan Mamanya."

"Iya, Pa, tadi Amira lihat Cloudy melukis sebuah sketsa tangan dengan tato seorang wanita. Di sebelahnya ia menulis sebuah puisi tentang perasaannya. Amira curiga, apa itu tangan salah satu pembunuh Kak Vina, ya?"

"Apa Kamu enggak salah lihat, Nak?"

"Ya, enggak lah, Pa. Mata Amira ini belum rabun."

"Sebenarnya ... papa sudah mengikhlaskan kepergian Davina. Bagi papa, Cloudy sekarang lebih penting. Walau dalam hati, masih ada keinginan untuk mengetahui siapa yang dengan tega telah membunuh dan memperkosa Davina." Suara Maulana terdengar sedikit bergetar, emosinya masih terlihat kentara walau kejadian itu telah puluhan tahun berlalu.

"Iya, Pa," sahut Amira menundukkan kepalanya. Ada rasa sakit yang menyusup di balik iga.

"Papa tak ingin melihat Cloudy seperti dulu lagi."

 "Iya, Pa. Amira juga tak ingin kejadian itu terulang lagi. 

 "Cloudy cucu papa satu-satunya. Papa tak mau itu terjadi lagi padanya." Maulana mengulang kalimatnya seolah ia ingin menegaskan pada Amira.

"Iya, Pa, jadi ... apa perlu Amira tanyakan pada Cloudy, Pa?"

"Cari waktu yang tepat."

Perbincangan mereka terhenti karena mereka sudah berada di depan makam Davina dan suaminya. 

Cloudy sedang menabur bunga lalu meletakkan kepalanya pada batu nisan, seolah sedang bersandar di bahu mamanya. 

Maulana, Amira dan Cloudy berdoa bersama. Kesedihan masih terus menggelayut di memori ketiganya. Walau Cloudylah yang paling merasakan kepedihannya. 

Panas cahaya matahari tak mampu menghanggatkan dan melembutkan sekumpulan derita yang masih bertengger di dalam dada Cloudy. 

Samar ingatannya tentang kasih sayang orang tuanya berganti dengan warna-warna kelam. Sepeninggal keduanya, hidup Cloudy berisi warna gelap yang tak kunjung cerah bahkan tak kunjung pudar.

Sekuat tenaga gadis yang bermula menginjak kedewasaan ini, menahan air mata. Baginya, andai saja bisa memilih, ia akan menempuh jalan bersama kedua orang tuanya pergi menghadap Tuhan daripada harus menanggung semua derita dan bayang-bayang kengerian saat kejadian yang menimpanya itu menjelma dalam pikiran. 

Sekitar setengah jam mereka larut dalam doa-doa, tangan-tangan Cloudy yang lentik sigap membersihkan rerumputan di sekitar makam. Lalu setelah rindu sedikit tercurah lewat lantunan doa dan sentuhan jemari, mereka bersepakat pulang.

Dalam mobil Cloudy masih saja terpaku pada rindunya akan kasih orang tuanya di masa lalu. Tak sedikitpun dinikmatinya pemandangan di sekitar jalan. Saat mobil berhenti di persimpangan lampu merah. Entah kenapa ia merasakan seolah suara memintanya melihat keluar jendela. Matanya terpaku pada dua orang pria berboncengan di sepeda motor, mata Cloudy langsung terfokus pada tato di tangan pria yang dibonceng di belakang.

"I-itu ... ituu!" seru Cloudy menunjuk kearah dua pria tersebut yang telah meluncur pergi saat lampu hijau menyala. Cloudy tiba-tiba merasa perutnya mual dan ingin muntah, cepat diambilnya kantong kresek dan memuntahkan semua isi perutnya.

Amira dan Maulana terkejut, melihat perubahan yang tiba-tiba pada Cloudy.

Tangan Amira mengusap punggung Cloudy agar merasa nyaman setelah mengeluarkan isi perutnya.

"Kamu kenapa, sayang? Apa yang kamu lihat?" tanya Amira pelan.

"Aku melihatnya, pria itu ... Ia yang membunuh Mama." Cloudy menjelaskan dengan isyarat tangan dan suaranya yang terbata-bata.

"Di mana?" tanya Amira memperhatikan jalan yang lalu lalang dengan kendaraan.

"Mereka persis di sebelah mobil kita tadi. Aku melihat tatonya dengan sangat jelas," Cloudy menjelaskan dengan suara terisak.

"Cloud, dari tadi tak ada satupun kendaraan di samping mobil kita. Tak akan muat sebuah sepeda motor, karena ini lumayan mepet dinding jalan," timpal Amira kala mendengar penjelasan Cloudy.

"Tapi, aku melihatnya dengan sangat jelas, Tante!" Cloudy ngotot dengan perkataannya.

Amira diam, Maulana memberi isyarat pada Amira untuk tak melanjutkan perbincangannya dengan Cloudy tentang apa yang dilihatnya.

Cloudy sekilas melihat isyarat Kakeknya pada Tantenya. Ia menyadari mereka semua tak ingin memperpanjang perdebatan. Sementara Cloudy sangat yakin apa yang dilihatnya nyata. Semakin dipikirnya, kepalanya makin bertambah pusing. Dan perutnya serasa penuh gelombang.

Sesampai di rumah Cloudy merebahkan tubuhnya, dirabanya buku di bawah bantal, ditulisnya apa yang melintas di kepala agar hatinya merasa lebih tenang.

Pembaringan Terakhir

Kau tak pernah tahu rasanya jadi aku, kutanggung semua cerita tanpa mampu mencurahkan. Kecewa dan bahagia tak mampu menarikku dari pusaran yang berkecamuk dalam dada.

Letihku meraja, andai mampu kulupakan semua, aku rela menjadi bagian yang tak kasad mata, atau berakhir dalam pembaringan terakhir ini saja. 

Kota Intan, 18 Maret 2020

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status