Share

Mengambil Keputusan

Tepat pukul tujuh malam, pihak panita kembali menemui kami bertiga di kamar masing-masing untuk memberi kami setelan baju yang akan dikenakan untuk undangan makan malam kali ini.

“Mbak Sheyki, ayo cepat!” kata Mbak Ariska yang tidak sabar untuk pergi ke acara makan malam itu.

“Iya, sebentar!” kataku sambil memakai sepatu kets milikku.

Ah, tunggu! Bukankah mereka memberi kita sepatu cantik juga, kenapa mbak pakai itu?” tanya Mbak Ariska sedikit protes.

Ah, aku tidak bisa memakainya, terlalu tinggi untukku!” jawabku.

“Mereka memberi kita setelan begini agar kita tampak elegan di acara ini! Masa Mbak Sheyki tidak mau menghargainya?” katanya.

Emm...baiklah!” kataku pasrah kembali mengambil sepatu berhak agak tinggi itu.

Pihak panitia juga menyiapkan mobil untuk kami bertiga pergi ke tempat malam yang sudah disediakan. Setidaknya itu membuatku yang tidak mudah memahami arah ini menuju lokasi tanpa harus takut nyasar. Sekaligus, aku punya kesempatan melihat-lihat kondisi ibu kota di malam hari dari dalam mobil.

Tidak sengaja, aku melihat tempat yang ingin kukunjungi seperti tujuan semula yang tidak jauh dari lokasi gedung agensi sekaligus lokasi makan malam kali ini.

Ah, mungkin kesempatanku untuk bertemu dengannya sudah di depan mata!” gumamku dalam hati.

Sesampainya di tempat itu, aku melihat jarak antara gedung ini tidak jauh dari tempat yang kuliihat itu. Jadi, aku punya pikiran bahwa mungkin aku akan melihatnya jelas jika aku pergi ke rooftoop gedung agensi ini. Kebetulan juga panitia membolehkan kami untuk melihat-lihat isi gedung ini, tetapi tidak boleh masuk ke ruangan sembarangan.

Tentu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk naik ke lantai paling atas untuk melihat ujung gedung yang ingin kukunjungi itu. Aku bahkan rela turun dari lift terakhir demi sampai di lantai paling atas dan berpisah dari teman-teman yang lain. Kemudian, ketika aku sampai di lantai paling atas, aku melihat seorang pria berpakaian gelap, memakai topi hitam, dan memakai masker sedang fokus memainkan gitarnya dan saat itu juga pintu lift-ku terbuka.

Dia benar-benar tidak terganggu olehku dan tetap melanjutkan permainan gitarnya tanpa memerdulikanku yang lewat di depannya. Aku pun tidak ingin mengganggu permainannya, bahkan alunan dari petikan gitarnya mengiringiku yang sedang terharu melihat gedung yang ingin kulihat itu.

Wah, indahnya!” gumamku sendirian sambil menatap gedung itu.

“Apa yang kamu lihat sampai tidak dengar dering ponselmu sendiri?” tanya Mbak Ariska yang menyusulku.

Ah, hanya atap gedung rumah sakit kok!” jawabku.

“Atap gedung rumah sakit? Apanya yang indah? Sebaiknya cepat kita kembali karena acara sudah mau dimulai!” katanya sedikit mengomel dan menarikku.

“Ok, sebentar-sebentar! Jangan cepat-cepat! Aku susah jalan karena sepatu ini!” kataku yang takut terjatuh karena tidak biasa memakai sepatu yang berhak tinggi.

Aku pun berkumpul di ruangan makan malam yang cukup mewah bersama pihak agensi dan juga dua member penyanyi dari band tersebut. Mereka semua yang ada saling memperkenalkan diri kecuali termasuk dua orang member penyanyi itu.

“Sheyka!” jawabku menjabat tanganku dengan salah satu dari mereka penyanyi band itu.

“Kamu sudah kenal aku kan?” tanya pria berparas tampan yang sedang menjabat tanganku ini langsung berbicara informal.

“Mana mungkin saya kenal, kita saja baru pertama kali bertemu!” jawabku dengan sopan karena kulihat dia lebih tua dariku.

Wah, jangan bilang Mbak tidak tahu aku!” jawabnya sambil bercanda.

“Oh, tentu saya tahu! Tapi kan kami memang belum saling mengenal!” kataku membalas candaannya.

“Ah, iya juga! Perkenalkan, aku Keyjo! Member tertua di grup ini dan sekaligus tertampan!” katanya dengan semangat.

“Senang berkenalan dengan anda!” jawabku tetap profesional.

“Perkenalkan saya Yogi!” kata member satunya dengan singkat dan jelas padaku.

“Dia ini penulis lagu di band kami dan jangan kaget kalau sikapnya memang dingin begini!” kata Mas Keyjo padaku.

Setelah perkenalan selesai, mereka memuji karya para pemenang dan memberikan hadiah sekaligus tawaran projek. Tawaran itu mereka tawarkan padaku terlebih dahulu karena aku menjadi pemenang pertama di dalam lomba ini.

“Bolehkah saya diberi waktu untuk berpikir?” tanyaku pada Produser agensi.

Wah, kupikir dengan tawaran bagus seperti ini, Mbak Sheyki akan langsung menerima!” jawabnya.

Ah, memang benar tawaran ini bagus! Tapi, melihat saya harus mengerjakannya di sini, tentu saya harus meminta izin pada orang tua saya dulu, Pak!” jawabku.

“Mungkin bisa diberi waktu, tapi jangan kelamaan mikir ya, Mbak! Aku sudah sangat setuju kalau Mbak Sheyki yang membuatkan naskah drama untuk kami!” kata Mas Keyjoy mendukungku.

“Pikirkanlah matang-matang, Mbak! Dan juga, pastikan mendapatkan restu dari orang tua!” kata Mas Yogi padaku.

Sementara temanku yang lain mendapatkan tawaran juga untuk bekerja di perusahan lain yang sudah mereka siapkan. Jujur saja, dalam kasusku, ini tidak mudah. Selain meminta izin pada orang tuaku, terlebih dulu, aku harus nyaman dengan pekerjaanku. Pikirku, bekerja untuk mereka yang sudah seterkenal ini sungguh tanggung jawab besar buatku.

“Mbak Sheyki, duduk dulu, deh!” kata Mbak Ariska setelah acara makan malam singkat itu selesai.

“Kenapa Mbak?” tanyaku.

“Ini, plaster dulu tumitmu yang lecet itu! Aku tahu sebentar lagi Mbak pasti tidak bisa tidur, tetapi setidaknya luka akibat sepatunya tidak boleh menambah beban pikiranmu!” katanya dengan sangat perhatian.

Ciee...yang baru dapat tawaran kerja di perusahaan, sok romantis! Selamat, ya!” kataku padanya sekaligus pada Mas Tedy.

“Mbak juga harus menerimanya! Ini tawaran yang bagus!” kata Mas Tedy menyemangatiku.

“Iya, aku pikirin lagi, deh!” jawabku sambil lalu masuk mobil dan kembali ke penginapan.

Kenyataannya aku tertidur lelap tanpa ada beban pikiran tentang tawaran projek bersama agensi grup band mereka. Aku justru semangat bangun pagi dan melakukan olahraga rutinku di pagi hari meskipun ini tidak di rumah. Kebetulan juga mumpung sedang berada di ibu kota, setidaknya meskipun mungkin aku tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan seseorang, paling tidak aku tidak melewatkan kesempatanku untuk menikmati setiap udara sejuk selama di sini.

Pagi ini cuaca cukup bersahabat denganku, tidak terlalu panas, tetapi juga tidak hujan. Cuaca yang indah dari ibu kota ini membuatku semangat melangkahkan kakiku dengan cepat menuju gedung rumah sakit yang kulihat semalam. Maksudku mungkin saja aku bisa bertemu dengannya.

Dan, taraaa....

Aku benar-benar melihatnya. Aku benar-benar meliihat seseorang yang ingin kutemui itu sedang masuk berjalan ke dalam gedung agensi yang kudatangi kemarin.

Tentu saja tanpa ragu aku mengikutinya, tanpa peduli meskipun aku sedang berpakaian olahraga. Aku masuk juga ke dalam, tapi sudah kehilangan jejaknya. Kemudian bukannya bertemu dengannya, aku justru bertemu dengan produser agensi yang kutemui semalam bersama Mas Yogi yang nampak baru saja datang.

“Mbak Sheyki?” tanya Ketua agensi yang sekaligus menjadi produse menyapaku.

“Oh, Bapak Produser! Selamat pagi!” sapaku agak malu karena aku datang ke tempat ini dengan pakaianku saat ini.

“Panggil saja Pak Abdul! Oh ya, ada perlu apa ke sini pagi-pagi?” tanyanya.

Emm...saya mau membicarakan tawaran yang semalam!” jawabku yang tiba-tiba mengucapkan hal itu dengan lantang.

“Pagi-pagi dengan pakaian olahraga ke sini untuk membicarakan tawaran?” tanya Mas Yogi.

“Bagus, dong! Artinya dia bersemangat! Ayo mari ke kantor saya!” kata Pak Abdul membawaku untuk membicarakan kelanjutannya.

Seketika itu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan karena aku sudah terlanjur mengucapkannya. Posisiku yang tidak mungkin membatalkan ucapanku dan lagi aku masih sangat ingin bertemu dengan seseorang yang baru saja masuk ke sini, membuatku pasrah ketika Pak Abdul menyodorkan kertas kontraknya padaku.

Dihadapan kertas itu, aku sudah membuka tutup bolpoinku tetapi tidak kunjung menandatangani kontraknya. Entah apa yang kupikirkan, padahal membaca kontraknya juga tidak. Seketika, aku melihat seseorang yang ingin kutemui itu datang masuk ke dalam ruangan yang sama denganku, ketika itu juga aku menggerakkan tanganku tanpa ragu untuk menandatangani kontrakku.

“Mbak tidak baca dulu kontraknya?” tanya Mas Yogi.

“Sudah, kok!” jawabku dengan tersenyum dengan keputusanku yang sedikit gegabah.

“Mulai hari ini Mbak Sheyki bukan lagi pemenang lomba, tetapi termasuk tim kami sekarang! bisa langsung memulai kerja hari ini, atau bisa juga memakai fasilitas gym yang ada di sini!” kata Pak Abdul padaku.

“Bisakah saya pulang lebih dulu ke kota saya? Saya tahu ini tidak ada di kontrak, tapi meskipun tidak diberi dana sekalipun saya ingin pulang satu hari saja!” kataku.

“Boleh, kok! Saya beri waktu dua hari dengan biaya ditanggung perusahaan! Setelah itu Mbak Sheyki akan tinggal di sini selama kurang lebih tiga bulan!”

Aku keluar dari ruangan itu sedikit merasa seperti ada yang aneh. Aku tidak percaya dengan yang kulakukan baru saja. Seolah seperti keadaan berubah sekejap hanya dengan aku membuka mataku dan berlari kemari.

Hah, baiklah! Toh, hanya tiga bulan di sini!” gumamku sambil lalu.

Aku berpikir semoga aku bisa memaafkan diriku sendiri dalam hal membuat keputusan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status