Share

Iveryne ; Mitos Pedang Iblis
Iveryne ; Mitos Pedang Iblis
Penulis: Karalynn

1 — Dua Kantong Koin

Biru cemerlang menyorot fokus pada Sang Rusa di balik semak seberang. Gagang Belati melekat apik di sela jemari lentik. Dengan satu bidikan, anak panah melesat ke arah semak sana. Rusa tadi berlari menjauh, sementara Singa yang menunggu di belakangnya ikut berlari ke arah berlawanan. Dia menurunkan jemarinya, mengerjap lambat.

“Iveryne Lechsinska!” Dia berkedip lambat, mendelik pelan ke arah kaki yang tertutup dress panjang di sebelahnya. Netra biru cemerlang tidak secerah sebelumnya, agak menyipit dengan cengengesan kecilnya.

“Nalaeryn … ” Iveryne merentangkan tangan siap menyambut tubuh sang kakak di kala sang empu penuh pelototan tajam mengerikan. 

“Pulang dari akademi bukannya masuk rumah! Ingin berburu, eh?!”

Tangan Nalaeryn siap mengangkat busur, tatapannya sangat tidak berperikemanusiaan untuk sekarang. “Aku menunggu kamu dua jam! Dan ibu bahkan sudah berangkat sejak tadi!” sungutnya. 

Iveryne menggaruk sisi pipi yang tidak gatal, sambil merenggut masam. Agak menjijikkan—sangat! Sejujurnya ini bukan dirinya, tapi kemarahan Nalaeryn berarti maut! Jadi dia coba memberikan wajah lucu, meski sang kakak mengernyit jijik terang-terangan.

“Nala … apakah kamu tidak merindukanku sama sekali … ”

Nalaeryn memegang perutnya, gejolak ingin muntah tersemat disana. Sebelum seluruh isi perutnya keluar, dia buru-buru mengaitkan panah di bahu, menarik paksa sementara Iveryne bergumam tidak jelas.

“Aku punya banyak waktu untuk mengomelimu nanti, sekarang, kita harus ke ibukota, membantu ibu!” Jika tentang ibunya—wanita paling cantik sepanjang sejarah, Iveryne tak perlu berpikir dua kali untuk menerima apa yang kakaknya berikan saat mereka sampai dalam rumah. Ketika Nalaeryn mendorongnya masuk sambil memberikan lipatan kain.

Nalaeryn melirik jam dinding, harusnya ibu sudah buka sejak dua puluh menit lalu, adiknya benar-benar menguji kesabaran. “Kamu pikir apa yang kamu lakukan, Nona Iveryne Lechsinska!” Dia memekik tajam, baju gadis itu tetap sama, celana panjang dengan puluhan tali dan atasan kulit lengan panjang, jangan lupa belati tersemat di antara pinggangnya. 

“Kamu memberikanku baju dan aku sudah memasukannya dalam lemari.” Nalaeryn menepuk jidatnya, jelas sekali adiknya ini hanya mempermainkan tingkat kesabarannya yang menipis.

“Berhenti pura-pura ... cepat pakai! Kamu membuang waktuku!”

Dia kelewat geram, dan kembali mendorong masuk Iveryne, segera menutup pintunya kasar, sengaja mengacuhkan panggilan gadis itu. 

“Nala … aku terakhir berpakaian seperti itu lima tahun lalu.” 

“Oh, bagus, biasakan mulai sekarang.” 

“Nala … ” Tanpa mempedulikan, dia mendorong Iveryne masuk.

Dengan wajah di tekuk, Iveryne keluar kamar, memakai dress panjang dan satu cepol-an indah tercipta di rambut hitam berkilauan itu, setelah perdebatan panjang. Keduanya naik kereta kuda yang disewa Nalaeryn, dan setengah jam perjalanan, Iveryne habiskan untuk pura-pura tidur, tatapan kakaknya lebih tajam dari bilah pedang Deathraze.

Jalanan Ibukota ramai dan padat, Iveryne bukan introvert, hanya malas. Biasanya pada jam ini dia berlari lima putaran di lapangan dan di akhiri sparring. Tapi kini malah ke ibukota, dia menatap ke bangunan di depannya, toko roti yang cukup besar berdiri di sana.

Dia sempat ragu, tapi mengetahui seberapa berbinarnya manik hijau gelap di sebelahnya, dan bagaimana antusiasnya Nalaeryn menariknya masuk, tidak ada lagi alasan meragukannya. Ibunya, dengan rambut coklat melambai yang berkilauan yang luar biasa mempesona.

Sorot keindahan biru safir itu selalu teduh. Iveryne bisa merasakan desiran darah dam hatinya menghangat. Helaan nafasnya kini penuh syukur akibat melihat sang ibu, masih seperti lima tahun lalu.

“Estelleryn! Kemari dulu!” 

Oh, tidak! Mengapa babi pirang itu disini!

Manik biru cemerlang itu kehilangan binar bahagia, tapi Nalaeryn pura-pura tidak melihatnya, jadi dia menariknya ke hadapan Estelle tanpa memperdulikan wajah tidak santai adiknya.

“Astaga, sayangku, ibu sangat merindukanmu.” Dia menarik putri bungsunya dalam pelukan hangat, mengusap rambut hitam itu lembut dengan penuh sayang. Nalaeryn iri sekali, hei, dia juga ingin!

“Iv—” 

“Bibi Zerca!” potongnya cepat, setelah melepas pelukan dari ibunya, dan segera saja Nalaeryn mengambil kesempatan bergantian memeluk sang ibu. “Senang melihat anda berkunjung disini, Bibi.” 

“Kamu kelihatan makin besar dan tambah cantik.” Dia menepuk kepala Iveryne, lebih seperti memukulnya ke bawah dan persis memalu. 

Lima tahun! Anda kira saya tidak tumbuh!

Iveryne melukis senyum paksa di labium merah mudanya. Malas sekali meladeni babi pirang tidak tahu malu sejenis manusia ini.

“Terimakasih untukmu, Bibi.” Dia menoleh ke kiri, kanan, juga belakang Iveryne, mengedarkan pandangan sekitar gadis itu.

“Kamu tidak membawa calon, eh? Sayang sekali, gadis cantik sepertimu jika menjadi perawan tua, apa gunanya.” 

Lebih mirip pernyataan dari pertanyaan, Estelle menipiskan bibirnya, berharap dua anaknya tetap kalem dan bisa mengatur kondisi. Nalaeryn refleks melotot, sementara Iveryne melayangkan seyum tajam.

“Tidak perlu khawatir untukku, Bi.”  

“Hanya saran. Aku umur enam belas sudah menikah,” sahutnya. 

Baik, kamu sendiri yang memulai, Bibi ...

“Nah ... aku bertanya-tanya.” Iveryne memasang wajah sedih yang palsu. “Apa gunanya jika akhirnya berpisah karena dia selingkuh?” Bibi Zerca kelabakan, Nalaeryn ingin tertawa keras, tapi Estelle memukul lengan kanannya cepat, jadinya gadis manis itu merenggut sebal.

“Sudah, sudah. Nala, bawa adikmu ke bagian perpesanan.”

Dia mendorong dua putrinya menjauh sebelum Zerca mengatakan sesuatu. Iveryne melambaikan tangan disertai pada tatapan menohok.  

Iveryne sibuk memandangi keindahan toko roti ibunya, sekarang siapa sih yang tidak tahu Baerd—toko roti enak dan terkenal milik janda cantik dan baik dengan mata biru berkilauan. Tapi senyumnya pudar kala Nalaeryn menyeretnya untuk ikut serta membantu.

Dia kesal, belum istirahat sejak sampai. Dan Nalaeryn memberikan tumpukan kertas dalam box yang lebih kecil dari telapak tangan, lengkap dengan pena bulu. Yang membuat Iveryne terkesan sendiri adalah, di sana lengkap detail roti berbagai rasa, dan dia hanya tinggal menuliskan banyak pesanan di tepi kanan berdasarkan garis panjang sampai sisi.

“Sebarkan senyum penuh dari tarikmu dan layanilah pelanggan kita dengan sepenuh hati!” Nalaeryn berpesan sebelum kembali membantu Estelle membungkus roti, dan toko roti ibunya ini ternyata sudah punya karyawan lain terkhusus membuat roti.

Duduk anggun di pojok kanan, dengan meja tempat letak tinta. Pengunjung hari itu melegit naik, dan Iveryne membuang tenaganya meladeni omong kosong para pembeli. Tidak jarang ada yang memberi rayuan, dan dia menolak terang-terangan dengan, “Selanjutnya!” 

Terus begitu, fokusnya terletak pada kertas dan tinta. Pelanggan paling bebal adalah, Iveryne mengatakan, “Selanjutnya!” Tapi dia terus saja memesan, sampai semua jenis dipesan masing-masing lima belas.

“Nama anda?” Iveryne mendengus, ini kesekian kali dia bertanya hal yang sama setiap menambah pesanan, dan sejak tadi tidak beranjak.

Dia berdiri dan menatap pria di depannya penuh keterpaksaan.

“Tuan, pesanan anda di atas batas.” Dia menempelkan kertas di dada kiri pria itu, menjinjit gaun dan duduk anggun. “Selanjutnya!” 

“Setidaknya berikan saya inisial.” 

“Hentikan!” Iveryne menepuk dahi, lama-lama dia bisa gila kalau begini. Nalaeryn yang tidak jauh dari sana segera menghampiri, sejenak sebelumnya, Iveryne kira mata hijau itu akan keluar dari rongganya.

Dia menarik adiknya agak menjauh dari sana, dan berbisik minim.

“Ivy … apa yang kamu lakukan? Kamu tahu itu siapa?” Dia menggeleng. Nalaeryn rasanya ingin menenggelamkannya di Sungai Styx. “Heros Camrel, Tuan Muda dari Kediaman Marquess Camrel.” 

“Lalu?” Iveryne mengangkat alisnya, seolah informasi Nalaeryn adalah pernyataan tidak penting. Kesabarannya di ambang batas kewajaran kali ini. Nalaeryn berusaha menekan sampai titik maksimal.

“Tuan muda Camrel, penjaga perbatasan.”

“Selama bukan tuhan, aku tidak peduli.” Nalaeryn tidak mengerti dengan jalan pikir adiknya, apa otaknya tersumbat sekarang! Helaan nafas kasar dan geraman tertahan terasa di atmosfer.

“Kamu baru kembali setelah lima tahun. Jangan buat masalah dengan Tuan Muda manapun. Dan, coba berbuat lebih sopan ke mereka.”

“Nala ... kami di akademi pelatihan hanya menggunakan nama tanpa iming-iming bangsawan di belakangnya. Kami tidak di ajarkan untuk perlakuan berbeda hanya karena pangkat bangsawan lebih tinggi.”  

“Kamu bahkan tidak tersenyum kepada para pelanggan.”

“Aku senyum, kok.” Dia menarik sudut bibir, tapi matanya masih lurus, seperti senyum terpaksa dengan tatapan datar.

“Ada apa tentang senyum dan layani dengan sepenuh hati?” 

Tak mau kalah, dia menekuk sebelah alis bingung, melanjutkan dengan pasti, “Aku melayani dengan sepenuh hati, hanya saja mere—” 

“Kamu melayani dengan setengah hati! Sana, kamu bantu ibu saja,” Nalaeryn segera meraup kertas di tangan Iveryne, mendorongnya masuk dan beralih pada bagian pembungkusan serta pelayanan.

Posisi bagian pembungkusan tidak lebih baik, ketika Iveryne memanggil nomor pelanggan, beberapa orang berusaha berdesakan maju karena para pelanggan lain terus berdiam di depan meja untuk sekedar mengagumi keindahan ciptaan tuhan berwujud manusia.

“Yang tidak berkepentingan, mundur!” sentaknya tajam, tapi sepertinya orang-orang menganggap itu angin lalu. “Pelanggan 281!” 

Seseorang segera maju di depannya sambil meletakkan kertas. Tidak mau ambil pusing dengan itu, Iveryne segera mengambil bungkus yang paling besar dari semuanya, seketika pikirannya ingat, itu pesanan paling banyak hari ini. Entah bagaimana orang itu menghabiskannya, dia tidak peduli. Yang dia pedulikan kini adalah, orang itu masih tidak pergi bahkan setelah dia selesai mengambil bungkusan.

“Nama anda.” Dia berkata, Iveryne tidak bisa mencegah untuk tidak melihat, dan pria itu! Tuan Muda Camrel berdiri dengan senyuman ramah. Dia meletakkan kertas—mungkin minta dari Nalaeryn, tinta, dan pena bulu entah darimana. Berapa banyak orang bepergian dengan tinta dan pena bulu di kantongnya! Iveryne sudah membuka mulutnya, tapi di hentikan bunyi gemericing lemparan kantong penuh koin di atas meja, bahkan ada satu koin emas yang jatuh dari kantongnya.

“Namamu.” Dia memajukan kertas tadi dengan jari telunjuk. Otaknya mulai bercengkerama, apa maksud pria ini, membeli namanya? 

Semacam hak cipta? Jadi tidak boleh ada yang memakai selain dia. Tapi, Iveryne yakin dia lebih dulu lahir, jadi mungkin permasalahan hak cipta tidak berpengaruh padanya, jadi dia mencelup pena bulu itu, dan mengukir nama ‘Ivy’ dengan indah dan penuh kehati-hatian. 

“Hanya?” Alisnya berkerut, menatap Iveryne yang mengangguk yakin dan memajukan kembali alat tulis. “Nama lengkap?” tambahnya.

“Hanya itu, Tuan. Cepatlah, orang-orang di belakang anda sudah menunggu.” Banyak keluhan seketika, tapi ketika dia menoleh dengan tatapan datarnya, lautan manusia di belakangnya langsung senyap.

Iveryne sadar satu hal, pria ini Anak Marquess Camrel yang tersohor akan perbatasannya, pantas tidak ada yang berani padanya. Pria itu demi Dewi Bulan! Sangat boros, kantong koin lain hinggap di meja sedetik setelah Iveryne mengantongi kantong koin emas sebelumnya.

Biru cemerlang itu berbinar, pesona kantong koin memang tak tertandingi! Jadi dia dengan senyum sumringah mengambil kertas itu. Persetan dengan sebutan gila koin, lagipula, hidup butuh itu! Iveryne menulis ‘Iveryne Lechsinska’ penuh minat, menempelkannya di dada pria itu—bukan apa-apa, dia sudah beli, jadi hanya dia yang berhak tahu.

Jika setiap orang memberi kantong penuh koin ketika bertanya namanya, Iveryne dengan senang hati memberikan namanya meski dia harus latihan menulis supaya tulisannya menjadi semakin indah lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status