Pohon yang berjarak beberapa meter di depan rumah adalah targetnya untuk naik. Kali ini dia memanjatnya—benar-benar seperti masa lalu, dengan keranjang penuh buah Rasberi. Dia memanjat dengan hati berbunga-bunga, dua kantong kain tadi masing-masing berisi lima belas koin emas. Ibunya memuji ide brilian sementara kakak tercintanya.
“Benar-benar otak licik!”Yang membuat Iveryne tidak habis pikir dengannya, padahal itu termasuk ide usaha tanpa modal yang menggiurkan.Dahan kayu besar-besar, cukup nyaman berbaring dengan tangan sebagai bantalan, menatap keindahan penuh pesona sang rembulan. Kaki tumpang-tindih, manik biru cemerlang itu bersinar, gemerlapan di antara sinar bulan. Untungnya sore tadi setelah pulang dari ibukota, dia sempat menuangkan ramuan anti-serangga dan mengelilingi pohon. Betapa nyamannya sekarang untuk di tiduri. Labium merah mudanya asik mengunyah Rasberi, menikmati ketenangan malam saat telinganya menangkap gelombang suara grasak-grusuk mencurigakan di semak-semak. Netranya menyorot tajam, dan dua insan berlarian dari sana. Iveryne menyarungkan belati yang siap di tarik dari saku celana. Berlarian di antara kegelapan malam dengan tangan bertautan.Cih, pantas saja dia niat sekali menghidupkan lentera sore tadi. Sambil tersenyum seperti orang gila pula. Iveryne menggeleng, dua insan itu tidak menyadari kehadirannya di antara daun pohon. Mereka duduk di akar pohon tanpa alas, Nalaeryn dengan gaun putih melambai dan pria di sisinya dengan kemeja putih polos. Hanya orang tidak waras yang tidak menganggap mereka berdua hantu yang sedang berkencan. Mata biru cemerlang-nya hampir tertutup, tapi di urungkan saat melihat benda bulat tipis di tangan Nalaeryn.Tunggu, bukankah sesuatu itu mirip seperti—‘Biskuit karamel!’‘He’em.’‘Wah, kakakku yang manis pandai sekali.’‘Tentu, aku membuatnya dengan sepenuh hati.’ Senyum konyol Nalaeryn terbit, dia terbiasa melihat wajah garang tanpa belas kasihan. ‘Biarlah adikmu mencicipi kalau begitu.’‘Tidak! Ini ... untuk seseorang, kamu ambil di panggangan.’ ‘Ini hampir gosong!’‘Masih bisa di makan. Namanya juga belajar,' sahutnya kalem.Samar-samar, ingatannya tentang perdebatan tadi sore bersama Nalaeryn, perkara biskuit karamel, berputar-putar di kepalanya.Pengkhianatan besar!Benar-benar tega.Hanya karena ‘calon tunangan’ dia membiarkan adiknya yang sudah tidak bertemu lima tahun, memakan coklat karamel setengah gosong!Mereka duduk di sana sambil suap-suapan dan cekikikan riang, Iveryne yakin, setiap kali Nalaeryn memalingkan wajah, pasti karena tersipu. Mengunyah Rasberi kasar, dia tidak mengalihkan mata seinci-pun dari kedua manusia yang tengah dilanda banjir asmara itu.Netranya memicing, tunangan kakaknya itu mengikis jarak, mendekatkan wajah. Iveryne tidak sepolos itu untuk tidak memahami yang akan terjadi selanjutnya. Sudah pasti itu postur untuk ...Berciuman?!Hei! Tidak bisa dibiarkan!Kamu tidak boleh mencuri kesempatan, Tuan Muda Lexter!Iveryne mengambil buah Rasberi, dengan tidak tega, tapi ini demi harga diri! Dia membidik, lalu melemparnya dan bingo! Setelah lemparan keempat, itu mengenai kepala pria itu, lalu memantul ke dahi Nalaeryn—ya, sekali tepuk dua nyamuk, sangat menguntungkan!“Sama-sama!” teriaknya santai. Nalaeryn melirik tajam, manik hijau gelapnya yang tertutup kegelapan mulai berapi-api marah. Mereka saling merasakan nafas menderu, menghapus jarak, meyakinkan hatinya, dan adegan romantis itu berakhir hanya karena lemparan buah Rasberi! Hei! Apa-apaan. Persetan dengan tata krama, dia menjinjing ujung gaunnya dan berjalan cepat-cepat menuju Iveryne. Padahal bisa berlari dan menjinjing lebih tinggi, hanya, ada tunangannya.Yang di otaknya adalah datang dan menyeret adiknya itu pulang, lalu mengadu pada ibu terkasih. Iveryne, menyadari keberadaannya tidak aman. Meletakkan satu buah Rasberi untuk di hisap dalam mulutnya, sementara kaki dan tangannya aktif memanjat turun dengan sekeranjang Rasberi yang turunkannya melalui papan persegi yang memiliki tali penghubung, cara yang sama menaikkannya tadi. Kemarahan Nalaeryn itu mengerikan, tapi definisi selanjutnya, adalah menyenangkan.Iveryne berlarian terburu-buru masuk ke dalam, untungnya dia memakai baju atasan lengan panjang dan celana panjang. Dia terbiasa di asrama, memakai dress untuk malam hari terlalu berlebihan.Untung saja mulutnya tidak langsung berteriak, dalam rumah ada si Babi Pirang, dan sepasang suami-istri, tunggu! Bukankah mereka—“Ivy, beri salam kepada Count dan Countess Kediaman Lexter.” Irama indah itu menyapa telinganya, Iveryne tidak bisa menghentikan diri untuk segera menerima dan menunduk sopan dengan senyum tipis. “Iveryne Lechsinska. Salam untuk anda berdua.” Dia memutar tangan, menunduk sembilan puluh derajat setelahnya. Dan sepasang suami-istri tadi menatapnya dalam dengan senyum merekah senang. “Semoga senantiasa dalam lindungan cahaya bulan,” balas Count Lexter, istrinya mengusap pucuk kepala Iveryne. “Betapa sopannya, kalau punya putra lain, kita bisa langsung membicarakannya sekaligus.” Kekehan paksa keluar dari celah bibirnya untuk formalitas. Maaf saja, dia punya cita-cita besar dan luar biasa! Urusan menikah sih bisa kapan-kapan, toh dia juga baru menginjak usia tujuh belas tahun. “Saya berharap juga, Nalaeryn mendapat jodoh pada beberapa minggu setelah kedewasaan, itu karena dia suka menebar senyum dan tahu sopan santun. Sementara dia, bahkan di toko roti sangat tidak—” “Shhh … “ Iveryne memegang telinga bagian kanannya, mereka langsung panik dan ucapan Bibi Zerca terhenti, Iveryne melanjutkan agak santai, “Maaf, telinga saya sedikit sensitif dengan omong kosong.”Estelle menipiskan bibirnya, Bibi Zerca sudah berniat bicara lagi sebelum gadis itu memasang raut memelas. “Maaf untuk anda berdua atas ketidaknyamanannya.” Dia membungkuk dengan wajah tidak enak. Nalaeryn yang berdiri di depan pintu, amarahnya menguap, di ganti dengan tawa tertahan. Dia berhenti menjinjing gaun sejak di depan pintu, tidak mungkin memperlihatkan perilaku tak sopan itu pada Calon Mertua. Mereka berbincang santai, ternyata, kedatangan mereka adalah.Mengenal lebih dekat Iveryne—yang baru pulang dari akademi. “Caelan Lexter.” “Iveryne Lechsinska.” Mereka berkenalan secara formal, Iveryne tersenyum sekenanya, dan Caelan dengan senyum manis—yang membuat Nalaeryn tersipu hingga Iveryne menahan gejolak ingin muntah. Entah hanya perasaannya atau tidak, bahwa calon kakak iparnya ini malah menahan tangannya agak lama, mungkin terpesona seperti pria biasanya. Jadi Iveryne menyentak tangannya kecil hingga tautannya lepas, sembari terkekeh singkat. Sepanjang percakapan adalah, Nalaeryn terus tersenyum, apalagi saat si Lexter itu menyelipkan rambut coklat gelapnya, dia lagi-lagi merona malu, aneh juga melihatnya begitu, selama ini kan ekspresinya tidak lebih dari marah-kesal. Hanya berlaku kepada Iveryne. Hati Iveryne menghangat, kakak pemarahnya dengan kesabaran setipis rambut di belah tujuh rupanya bisa malu-malu. Pancaran kemilau manik hijau gelap itu, semoga tidak akan pernah redup lagi. Harapannya tahun ini, tepat ketika kedewasaannya nanti, yang dia inginkan adalah melihat Nalaeryn menikah, punya anak yang lucu dan dia akan jadi Bibi.Jadi Bibi yang hebat dan berguna. Bukan malah menjadi Bibi aneh yang hanya bisa bertanya tentang kapan menikah, seakan tidak punya pembahasan lain yang lebih berharga jauh—jauh di atas kata itu.“Saya dengar kamu mengikuti akademi pelatihan,” ucap Count Lexter tiba-tiba, istrinya mengangguk. “Apa keinginanmu nanti?”“Menjadi salah satu ksatria Aregorn.”“Ivy! Perhatikan jalan! Jangan terpisah dariku!” Nalaeryn buru-buru menarik sang adik mendekat, matanya terus saja bergulir dari satu tempat ke tempat lain, jualan orang-orang di pasar ibukota luar biasa!Dia baru ke pasar setelah lima tahun terkurung dalam akademi pelatihan. Dan keramaian pasar ibukota adalah hal kesekian yang ingin di kunjunginya. Pagi ini, bahan-bahan roti menipis, jadi Iveryne dan Nalaeryn memakai kereta kuda ke pasar. Satu jam lebih, dan Iveryne belum selesai memandang keramaian dan jajanan di sepanjang jalan.Masing-masing tangannya juga sudah penuh akibat menenteng belanjaan. Dia memang tidak tahu menahu tentang bahan-bahan roti, jadi Nalaeryn yang bertugas membeli, dan dia mengekori. Menyusahkan! Bagi Nalaeryn, adiknya itu tipe kalau tidak di gandeng, bisa tertutup keramaian, matanya itu selalu memandang kesana-kemari penuh tanya.Nalaeryn singgah membeli kacang almond, sesekali melirik gadis yang menjadi tanggung jawabnya. Dia bercengkrama dengan pedagang sam
Sangat terpaksa! Tangannya dengan lihai melempar belati tadi, jaraknya agak meleset, niatnya cuma ingin memberi peringatan agar berhenti, tapi tanpa sadar belati itu menggores sisi tudung jubahnya, oh astaga, apakah ini akan jadi masalah lain?Bertumpu pada kedua lututnya, Iveryne mengatur nafas kemudian melukis senyum bersalah. “Maaf, saya tidak bermaksud merusak jubah anda. Anda bisa meminta ganti rugi ke toko Baerd. Dan … ini.” Dia mengulurkan gulungan perkamen dan juga kantong kain berisi koin. “Anda sempat menjatuhkannya di pasar.” Pria itu malah menatapnya balik.Merasa tak ada respon, Iveryne berinisiatif mengambil tangan pemuda itu, meletakkan barang bawaannya dan mundur. “Terimakasih sudah menolong saya, dengan ini … kita impas.” Dia pergi tanpa berniat memperpanjang percakapan. Lagipula orang itu tidak ada niatan menjawabnya. Iveryne tidak mau ambil pusing, yang penting adalah, dia tidak punya hutang budi. Toh dia sampai kesana karena mengejar sang pemilik koin dan perkam
Wilder Aleander Valdez—teman masa kecilnya yang Iveryne baru ingat ketika Estelle menceritakannya hari itu, ketika pertemuan pertama mereka setelah lima tahun. Ejekan pendek yang dulunya tersemat rapi pada nama tengah Wilder beralih secara tiba-tiba, Iveryne-lah yang menyandangnya sekarang dengan tidak rela.Penyesalan selalu muncul di akhir, dan ini, karma waktu!Pukulan dan hembusan nafas kasar adalah hal lumrah ketika bertemu Wilder. Pria itu rupanya berniat balas dendam. menyapa, dia tidak lupa menambahkan kata, “Ternyata pertumbuhanmu berhenti di situ-situ saja, ya?” Hei! Bukan salahnya tidak bertumbuh tinggi lagi!Setidaknya, dia masih lebih tinggi dari Nalaeryn.Minggu pertama, Iveryne cukup senang bertemu Wilder, pergi ke tempat-tempat yang penuh kenangan masa kecil yang indah. Tapi pada Minggu berikutnya, dia harus menarik kembali kata-katanya! Pria sialan ini selalu mengekorinya, dan setiap Iveryne membawa belanjaan. Saat dari pasar, dia akan berkata, “Kemari, biar aku bawa
Dia memberikan roti mentega dan susu hangat setelah membujuk ibunya makan. Estelle merasa lemas akhir-akhir ini, sudah dari minggu yang lalu sebenarnya. Healer yang Nalaeryn panggil mengatakan bahwa Estelle kelelahan. Tapi Iveryne dan Nalaeryn merasa ini lebih dari itu. “Ivy … Ada yang ingin ibu tunjukkan padamu.” Estelle menahan tangan putrinya yang berniat meletakkan handuk basah guna mengurangi panas tubuhnya. Iveryne menatapnya bimbang, rasa panas di tangan ibunya menjalar, membelai halus permukaan kulitnya.“Tidak bisakah—” “Ini penting, sayang. Lebih penting dari hidup kita berdua.” Dahi Iveryne berkerut dalam, dia kurang suka ketika sang ibu berkata demikian. Akhirnya, dia coba mengiyakan, rasa perasaannya ikut andil kali ini, entah mengapa pikirannya menjadi tidak tenang.Mereka menuju pojok ruangan. Tepat di depan cermin setinggi dua meter. Dengan arahan Estelle, Iveryne memindahkan letak cermin, sementara ibunya menyalakan lentera penerangan. Estelle memutar kenop pintu y
“Ivy, bawakan ini.” “Tambahkan almond.”“Tepungnya kebanyakan.” “Tambahkan mentega satu sendok.” “Aku bilang satu sendok!” Astaga! Iveryne harus menambah tingkat kesabarannya, bahkan di rumah sendiri. Pagi-pagi buta, Bibi tercintanya datang ke rumah, dengan sekantong belanjaan, dan katanya ingin menjenguk ibu. Alih-alih membawa buah tangan, dia membawa banyak belanjaan dan bahan kue, dengan dalih Iveryne membantunya memasak.Nalaeryn pergi ke pasar membeli persediaan Mentega dan—Rasberi untuk Iveryne. Dua jam lebih dan gadis itu belum ada tanda-tanda akan datang. Iveryne menebak dia asik berkencan dengan calon tunangannya itu. Untungnya, pagi-pagi, Wilder membantu Bibi Zerca untuk datang kesana, jadi … dia cukup terbantu dengan pria itu, dan panas telinga secara sukarela oleh sang Bibi. Wilder bersemangat mengacaukan dapur. Sementara Bibi Zerca sibuk menceramahi Iveryne, dan Estelle dengan batuk-batuk kecil kadang terkekeh melihat ekspresi putrinya. Iveryne sudah mau berteriak ma
Iveryne menoleh cepat, dia berjarak tiga puluh meter ketika bunyi ledakan muncul dari arah rumahnya, asap hitam mengepul mengelilingi rumahnya. Tergesa-gesa, kakinya mengantarkannya kembali ke rumah, ledakan dan benda berjatuhan makin jelas ketika dia ada di pekarangan. “Tidak!” Yang membuat kakinya seketika lemas adalah ketika menaiki tangga, ketika kamar Nalaeryn kosong, perabot berserakan, dandelion beterbangan. Samar-samar, teriakan Nalaeryn sebatas ilusi.“Hentikan … “ Kesadarannya di tarik paksa, Iveryne buru-buru bangkit, berlari lagi ke kamar ibunya. Estelle bersandar di dinding, menatap lurus ke arahnya sambil menggeleng, dan sosok hitam berada di depannya. Ibunya itu kelihatan berbeda, rambut perak bercahaya dan mata biru terang yang gemerlapan seindah batu safir.Ketika sosok hitam berbalik ingin menatap sesuatu yang mengalihkan atensi Estelle. Iveryne merasakan sebuah tangan dingin menariknya ke sisi lain ruangan, pinggangnya di peluk erat dan mulutnya dibungkam tangan lai
“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu. Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihka
“Kapan kita kembali ke sini?” “Mustahil. Tidak aman.” Iveryne mendelik tidak percaya, sebelum Reiger mencapai tangannya, dia lebih dulu berlari tergesa-gesa menaiki tangga, menghindari beberapa bagian yang patah dan hancur. Reiger, yang masih tidak mau mereka mati sia-sia dengan sigap menahan Iveryne saat kakinya sampai pada tangga terakhir. Dengan paksa menggendongnya, tapi dia langsung menurunkannya ketika gadis itu memekik keras-keras. Dia meninju wajah Reiger dengan marah. Pinggangnya yang sakit baru saja bertubrukan dengan bahu kokoh yang keras. Sensasinya menusuk. “Sakit, sialan!” hardiknya, tangan kirinya refleks mencengkeram sisi pinggang bagian kiri. “Kita akan dapat yang lebih buruk. Kalau kita masih di sini. Para Dyord akan segera kemari, aku tak bisa melawan semuanya.” “Aku hanya perlu … mengambil pedang.” Mulut Reiger terbuka tanpa sadar, ada beberapa pertanyaan menggenang dalam benaknya. Iveryne menggeser tubuh jangkungnya setelah berkata demikian, bergegas pergi t