Share

Luka yang Kembali Menganga

"Hanin."

Kesadaran menyentak keduanya. Adam mengambil buku yang diulurkan Hanin, berusaha bersikap biasa saja di depan Anggun, meskipun hatinya kini memanas mengingat kembali peristiwa empat tahun lalu.

Hanin pun mencoba bersikap senormal mungkin hingga matanya beradu dengan sepasang netra bening yang kini tersenyum ke arahnya. Bocah kecil yang kini berada dalam pangkuan wanita cantik itu, Hanin jelas tahu siapa dia.

Arsilla Hanindya Pradipta

Putri semata wayang yang kini sudah tumbuh makin besar. Namun sayang, Hanin hanya bisa memandang dari kejauhan, tanpa bisa memberi pelukan pada sang putri.

Tak apa, Hanin bahagia melihat tumbuh kembang sang putri yang begitu pesat. Meskipun terkadang hatinya menjerit karena sesaknya menahan rindu, setidaknya rasa itu selalu terobati saat melihat putri kecilnya tertawa riang.

Setelah mencatat pesanan yang disebutkan Adam, wanita itu bergegas pergi sebelum pertahanannya runtuh. Melihat sorot kebencian dari sang mantan suami, membuat Hanin sadar diri jika ia tidak berhak untuk memberitahu siapa dia sebenarnya pada sang putri. Biarlah ia tetap dianggap orang asing, asalkan Silla bisa bahagia dengan sosok pengganti dirinya yang sudah didapatkan Adam. Wanita yang jauh lebih baik dari segi apa pun jika dibandingkan dengan seorang Hanin.

"Ta, tolong antar pesanan ini ke meja nomor dua belas, ya. Aku mau ke toilet sebentar, udah kebelet." Hanin menyerahkan tugas pada teman kerjanya. Ia tidak kuasa jika harus kembali bertemu pandang dengan Adam.

"Oke, sip. Nanti aku antarkan ke sana."

Hanin berterima kasih. Wanita itu pun bergegas ke toilet. Bukan untuk membuang hajatnya, tetapi untuk menumpahkan tangis yang sejak tadi ia tahan.

Setelah merasa puas, Hanin membasuh muka lalu keluar dari sana. Namun, langkahnya harus terhenti saat suara yang begitu ia hafal terdengar dari arah belakang.

"Miris sekali nasib kamu. Aku pikir setelah cerai dariku, kamu hidup bahagia bersama selingkuhan kamu itu. Ke mana dia? Membuang kamu setelah bosan, sampai kamu harus bekerja menjadi pelayan seperti ini?"

Nada yang terdengar sinis, tetapi Hanin berusaha untuk menanggapinya dengan senyuman. Wanita itu berbalik, mata mereka kembali beradu tatap. Jika Adam menatapnya dengan tajam, maka Hanin memberi tatapan sendu.

"Tentang kehidupanku saat ini, sudah bukan urusanmu lagi, Mas."

Rahang Adam mengeras, tangannya terkepal di kedua sisi tubuh. "Memang buka urusanku. Aku hanya miris saja melihat kehidupanmu setelah memilih pergi dengan pria yang menjadi selingkuhanmu itu. Aku kira kamu akan hidup bergelimang harta, tetapi nyatanya .... "

Adam memindai penampilan sang mantan dari atas sampai bawah. "Kembali seperti saat sebelum aku mengangkat derajatmu."

Hanin jelas tahu apa yang dimaksud Adam. Akan tetapi ia tidak akan terpengaruh oleh tatapan penuh intimidasi dari pria itu.

"Maaf saya permisi dulu. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan."

Tubuh Hanin berbalik memunggungi Adam. Langkah yang baru saja ia ayunkan, kembali terhenti oleh suara sang mantan yang kembali terdengar.

"Bahkan kamu tak acuh pada putrimu sendiri, heh? Benar-benar ibu yang buruk!"

Hanin memejamkan mata sebelum menjawab ucapan Adam. "Bukankah Mas sendiri yang menyuruhku untuk menjauhi Silla? Bahkan aku tidak diperkenankan hanya sekedar untuk menyapanya."

"Karena aku tidak mau dia tahu siapa kamu sebenarnnya."

"Maka dari itu aku bersikap tak acuh padanya," sahut Hanin.

"Oke, aku mengerti. Terima kasih sudah mau menyembunyikan siapa jati dirimu sebenarnya di hadapan Silla. Kamu lihat sendiri, bukan? Tanpamu, dia bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu."

"Ya, aku bisa melihatnya. Dia wanita yang lebih tepat untuk menjadi ibunya Silla."

Setelahnya, Hanin pergi meninggalkan Adam yang tidak berkata apa pun lagi. Pria itu memandangi punggung sang mantan istri hingga menghilang di balik tembok.

Adam mengusap wajahnya dengan kasar. Seharusnya ia tidak mengikuti wanita itu sampai ke sini. Namun entah mengapa, rasa penasaran untuk mengetahui kehidupan sang mantan istri pasca bercerai mengusik ketenangannya.

Tidak, ini salah. Wanita itu sudah menjadi masa lalunya. Wanita yang telah menorehkan luka yang perihnya masih terasa sampai saat ini.

Adam kembali bergerak menuju meja tempat putrinya sedang menikmati hidangan. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas saat melihat keakraban sang putri dengan wanita cantik yang kini tengah menyuapi Arsilla. Mereka lah masa depan Adam. Dua wanita yang menjadi penyemangat hidupnya saat ini.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status