Juwita terduduk di kursi depan salah satu ruangan VIP rumah sakit tempat Hellen bekerja. Di sampingnya ada adik tingkat sekaligus sahabatnya itu. Mereka sama-sama berdoa atas keselamatan orang yang baru saja dibawa masuk ke sana. Ya, tepat seperti apa yang sedang kalian pikirkan, pria penyelamat Juwita dilarikan ke rumah sakit ini. Hellen menemukannya tergeletak pingsan saat akan menyusulnya untuk menanyakan nomor teleponnya tadi.
Astaga, Juwita semakin merasa sangat bersalah dengan pria itu. Kenapa dia bodoh sekali hingga mengabaikan orang yang telah menolongnya dari pada pria berandal tadi?Kedua tangannya tergenggam gelisah.
Bahkan, dia masih menggunakan jas lelaki tersebut. Sungguh dia merasa menjadi orang yang tidak tahu terima kasih sekali sekarang. Belum lagi kata pria itu tadi dia harus pulang untuk menemui anaknya yang mungkin sudah menunggunya di rumah. Pikirannya mulai melanglang ke mana-mana. Hingga dia mengambil satu kesimpulan yang pasti. Dia harus melakukan yang terbaik untuk membalas kebaikan pria yang telah menyelamatkannya.Seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Rupanya pemeriksaan telah selesai."Bagaimana keadaan orang itu, Mas?" tanya Hellen cepat mewakili Juwita. Mas, Hellen memanggil dokter Ari demikian karena mereka sudah dekat sejak bangku sekolah. Juwita juga tahu hal tersebut."Kecapekan. Sepertinya dia juga kekurangan gizi. Aku curiga sesuatu, sih, Len." Ari tampak berpikir sejenak. "Dia juga ada demam, jadi perlu dirawat seenggaknya dua hari di sini.""Ih, yang bener kalau kasih info." Hellen memukul pundak lelaki itu."Bentaran, elah. Enggak sabar banget.""Kasihan Kak Juwita ini, loh, nungguin.""Iya. Iya. Jadi ... tadi perutnya agak keras gitu di bagian kanan bawah. Perlu tindakan lanjutan, sih, biar tahu pasti. Omong-omong keluarganya orang itu mana? Enggak ada yang ngerawat nih?""Aku bakalan rawat dia dan tanggung semua biaya pengobatannya. Jadi, tolong, ya, Dok. Lakukan yang terbaik buat kesembuhan orang itu." Juwita langsung menjawab tanpa ragu dan memohon dengan sungguh-sungguh. Nah, ini baru Juwita yang Hellen kenal."Emangnya Kak Juwita ini siapanya pria itu?" tanya Ari dengan santai. Sepertinya dia tidak peduli dengan pakaian lusuh pria itu dan penampilan Juwita yang jauh dari kata baik-baik saja."Kak Ju habis ditolong sama orang itu tadi. Lihat, kan, wajahnya babak belur gitu." Hellen juga tidak habis pikir dengan temannya tersebut."Ah, mekanya. Tapi tenang aja, Kak. Suster sedang mengobati luka dia kok.""Iya kali, enggak." Geregetan juga Hellen kalau begini. Dia ingin mencubit ginjal pria di depannya ini.Sedangkan Juwita, dia tenggelam dengan pemikirannya sendiri. Bagaimana dia harus menghubungi kepada keluarga lelaki itu. Bagaimana dia harus menjelaskan kepada anak pria itu. Bagaimana dia harus berbuat baik dan memenuhi semua kebutuhan keluarga pria tersebut selama dirawat di rumah sakit."Boleh masuk enggak?" tanya Juwita menyela percakapan yang lebih bisa disebut dengan 'percekcokan' antara Ari dan Hellen. Dia ingin melihat kondisi pria yang telah berjasa bagi kehormatannya itu."Iya, silakan. Bebas, kok. Enggak apa-apa." Ari merentangkan tangannya ke pintu cokelat itu.Juwita pun permisi dan segera memasuki ruangan tersebut.Di atas tempat tidur, pria tersebut terbaring dan masih belum sadarkan diri. Dengan memberanikan diri, Juwita mendekati pria itu dan duduk di kursi yang tersedia di tepi ranjang. Netranya menatap lekat wajah pria asing yang penuh lebam itu. Namanya Jamal. Dia mengetahuinya saat di kantor polisi tadi dan kembali membaca nama itu di papan nama pasien. Nama yang pantas dengan paras dan wajah tampannya meski sekarang wajah tersebut lebam dan sebagian ditutup dengan perban.Terdengar suara ponsel berbunyi. Itu bukan dari milik Juwita. Dia langsung menoleh ke arah nakas seberang dan mendapati ada benda pipih canggih yang tergeletak di sana. Dia pun segera bangkit dan menghampirinya. Tertera nama penelepon di sana, Jevano Anak."Halo." Juwita mengawali percakapan. Tak ada jawaban dari seberang. Dadanya berdetak kencang. Terpikirkan tentang bagaimana keadaan anak pria tersebut yang menunggu ayahnya pulang. Dia pun mengulangi sapaannya lagi dengan nada yang sama lembutnya dengan yang pertama."Halo. Maaf, Anda siapa? Bisakah saya berbicara dengan Ayah saya?" tanya penelepon bernama Jevano itu.Sopan. Juwita tersenyum di tengah suasana hatinya yang bercampur aduk. "Maaf, sebelumnya. Perkenalkan nama saya Juwita. Ayah kamu sedang dirawat di rumah sakit sekarang. Kalau kamu mau ke sini, saya akan mendiktekan tempat rawatnya atau saya akan tunggu kamu di lobi.""Ayah saya kenapa?" Suaranya terdengar tidak setenang tadi."Nanti saja saya akan menceritakan detailnya. Tolong kabari ibu kamu juga, ya. Ada yang perlu saya bicarakan.""Maaf, tapi saya tidak punya ibu."Seketika itu Juwita membeku. Astaga dia telah membuat seorang anak piatu menunggu ayahnya pulang sampai selarut ini. Pikirannya ke mana-mana. Bagaimana keadaan anak itu? Apakah dia sudah makan malam? Apakah dia butuh ayahnya dalam keadaan mendesak?Tanpa dia sadari, satu bulir air matanya menetes. Rasa bersalah menguar di seluruh tubuhnya."Kamu tenang dulu, ya." Juwita mengelap pipinya yang dibasahi oleh air mata. "Kalau kamu ingin mengetahui keadaan ayah kamu, kamu bisa ke rumah sakit sekarang." Dia sengaja menawari begitu. Dia yakin bahwa anak ini bukan anak kecil yang tidak mengerti apa-apa. Dari suaranya saja sudah dapat diperkirakan bahwa dia sudah remaja. Juga dengan cara berbicaranya, terdengar tegas, menunjukkan bahwa dia anak yang pintar dan tanggap."Iya," jawabnya singkat.Juwita pun mulai mendiktekan letak ruang rawat Jamal. Namun, dia dihentikan."Rumah sakit mana?"Juwita pun menyebutkan rumah sakit tempatnya berada sekarang. "Kamu hati-hati, ya, kemari." Dia meremas ujung bajunya dengan tangan yang berkeringat. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tempo cepat."Iya. Saya tahu jalan ke sana.""Kamu ke sini mau pakai apa?""Saya akan mengurusnya sendiri. Anda jangan khawatir."Lalu sambungan telepon antara keduanya terputus setelah anak itu undur diri. Air mata Juwita kembali menetes saat melihat ke arah Jamal. Ternyata pria yang menyelamatkannya ini menanggung kewajiban tunggal atas keluarganya. Dia jadi membayangkan bagaimana perasaan anak pria ini yang bernama Jevano itu saat tahu ayahnya sedang dirawat di rumah sakit. Terlebih lagi, dia sudah tidak mempunyai ibu. Astaga, malang sekali.Lagi-lagi air mata Juwita jatuh. Dia jadi merasa sangat bersalah dengan apa yang terjadi dengan pria ini. Bagaimana tidak, karena menolongnya pria ini malah terbaring di rumah sakit dan itu membuat anaknya khawatir."Maafkan saya, Pak Jamal." Juwita berkata lirih sambil menunduk dalam tangisan yang memenuhi kesunyian ruang rawat tersebut.***Hari ini adalah hari kedua Jamal di rawat di rumah sakit. Juwita hendak pergi untuk menjenguk pria itu setelah menyelesaikan pekerjaannya. Akan tetapi dia harus ditahan oleh video call dari mamanya. Berkali-kaliJuwita harus memilin keningnya dengan ibu jari dan telunjuk. Berkali-kali pulatelinganya memanas karena omelan sang mama. Ada papanya di sebelah sang mama."Mama enggak peduli. Pokoknya kamu harus temui cowok pilihan Mama kali ini. Udah berapa kali Mama bilang, umur kamu udah enggak muda lagi, Juwita. Kamu enggak bisa juga hidup kayak gini terus," ucap Nyonya besar keluarga Anggari itu membuat anak semata wayangnya memutar bola mata."Gak ada yang cocok, Mama. Juwita juga punya standar. Lagian kalau aku nikah sekarang, pekerjaanku gimana? Siapa dulu yang pengin aku jadi designer brand terkenal? Enggak gampang, loh, Ma, dapetin semua itu." Juwita tidak hanya diam. Topik ini sungguh membuatnya amat jengah. Perjodohan, kencan buta, dan pernikahan. Seperti tidak ada topik lain saja yang bisa dibahas.Lain dengan dua wanita yang sedang bersikukuh via layar itu. Sang kepala keluarga, Tuan Anggari, hanya bisa menggeleng pelan, mendengarkan dua wanita yang sangat dia cintai mulai bercek-cok lagi. Bukan sekali atau dua kali ini terjadi. Bahkan dia sudah hafal dengan akhir percakapan mereka berdua. Dia pun memilih diam dan menyesap tehnya di samping sang istri sambil sesekali melirik ke layar untuk melihat wajah anaknya dan menikmati suasana ini dengan santai."Mau nyalahin Mama lagi?" Nyonya Anggari melotot nyalang.Sang Ibu bukannya sedang melampiaskan amarah. Hanya saja anaknya ini terus menentang. Dia jadi kehilangan kesabaran kalau begini."Enggak, Mama. Cuma, please, deh, Mama juga harus ngerti aku. Aku banyak kerjaan, Mama. Kalau sampai terbengkalai, bagaimana para klienku?""Ya, ampun, Juwita. Apa susahnya, sih, nurut sama Mama dan temui calon kamu?" Nyonya Anggari sungguh tak habis pikir dengan anak perempuannya itu."Mama juga udah tahu segalanya tentang dia? Ma, yang terakhir kali itu kelihatan banget kalau posesif. Aku gak mau. Masa mau ke kamar mandi aja dikintili."Tuan Anggari menahan tawanya. Pundaknya dipukul dengan tidak suka oleh sang istri."Kok kamu ketawa, sih, Mas?""Itu bukan posesif lagi, Juwita. Mungkin dia dulunya stalker."Juwita tertawa dan mengacungkan telunjuk dan ibu jarinya yang dibentuk seperti orang menembak kepada sang papa. Papanya memang tidak mengecewakan. "Ya, kan, Pa? Gak suka aku, tuh, sama pilihan Mama. Mama lihatnya cuma dari luar doang. Enggak tahu merek
"Astaga, Hellen. Gue lupa. Oke, gue ke sana. Lo udah makan malam apa belum? Gue bawain makan malam sekalian gitu, ya, buat lo sama anaknya Pak Jamal. Pasti dia juga belum makan." Juwita menepuk pipinya sendiri. Telepon dari mamanya tadi membuat pikirannya semakin penuh. Dia sampai lupa kalau akan menjenguk pria tersebut.Juwita segera bangkit dan merapikan penampilannya. Ingat, diahabis kayal-kayal tadi. Dia pun segera mengambil kunci mobil dan segera menujuke rumah sakit, tempat pria itu dirawat.***Juwita membawa tas kertas berisikan makan malam yang dia beli saat hendak menuju ke rumah sakit. Dia sekarang sedang berdiri di lift dan menunggu gilirannya untuk keluar. Rasa capek yang ada di pikiran dan badan yang dia rasakan seharian seperti langsung hilang ketika Hellen mengabarinya tentang keadaan pria yang menolongnya itu. Berkali-kali dia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya. Astaga, dia ini niat mau balas budi atau tidak, sih. Dia bahkan meragukan dirinya."Gimana keada
Hari ini Juwita kedatangan klien dari luar Jawa yang minta dibuatkan gaun untuk acara lomba fashion show yang akan diikuti oleh klien itu. Dia melayani bersama beberapa pekerjanya dengan cekatan dari memilih bahan di gudang kain yang dia miliki hingga memberikan beberapa saran model baju sesuai keinginan. Dia juga sudah terbiasa untuk memadukan warna bahan agar pas di kulit klien.Hampir setengah hari dia berkutat dengan kliennya itu dan baru beristirahat setelah jam tiga sore. Begitu pula dengan beberapa pekerjanya yang membantu dirinya untuk melayani klien tadi. Belum lagi dia juga harus memantau perkembangan produksi kolaborasi yang akan dirilis satu minggu lagi. Dia benar-benar hampir kewalahan dengan pekerjaannya sendiri."Kalian makan siang dulu, deh. Makasih banyak udah bantu seharian." Juwita menyodorkan beberapa lembar uang merah kepada asistennya, Erika. Tentu saja untuk mengapresiasi kerja sama yang baik antar pekerjanya tadi. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan Juwita
Jamal termenung sambil menatap pemandangan malam kota Sidoarjo dari dinding kaca lebar ruang rawatnya. Kondisinya sudah membaik dan luka operasinya sudah pulih. Pun dia juga sudah merasakan badannya telah kembali sehat seperti semula. Bahkan lebih sehat dari pada yang sebelumnya. Helaan napasnya berembus dengan sangat berat. Seberat beban segan dan terima kasih yang harus dia tanggung sekarang.Pikiran Jamal melayang, menelusuri awal kejadian pada sekitar tiga minggu yang lalu. Awal mula dia pertemuannya dengan Juwita. Sejenak, dia merutuki dirinya. Kenapa juga waktu itu dia sok menjadi pahlawan dan membantu wanita tersebut dari para lelaki jalanan. Padahal dia sendiri juga tahu kondisinya saat itu sedang tidak terlalu sehat dan dalam keadaan kecapekan habis pulang kerja. Dia malah tanpa berpikir panjang melawan tiga orang tersebut dan berakhir seperti ini di rumah sakit. Ah, yang memalukan sekali adalah dia sempat ditemukan pingsan terlebih dahulu sebelum dibawa ke sini.Lalu, dia ha
Masih pagi dan Juwita sudah menelepon Hellen untuk mengajaknya keluar. Hellen yang sedang mengambil libur pun mengiyakan dengan cepat. Tanpa banyak bicara, Juwita langsung berdandan dan pergi dari rumah. Dia menjemput Hellen. "Lo kayak orang kabur, Kak." Hellen masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah bangku kemudi. "Emang gue lagi kabur." Hellen memasang sabuk pengaman. Kepalanya miring, menoleh ke sahabatnya. "Enggak usah lihat gue kayak gitu. Lo mau gue kasih tahu sesuatu apa enggak?" Juwita berusaha menghindari tatapan mata Hellen. Jantungnya berdebar meskipun tidak minum kopi. "Kita ke kafe atau ke apartemen gue aja. Ah, enggak. Mendingan kita ke butik gue." "Tenang, woi. Lo lagi nyetir ini." Juwita menghela napas panjang. Ternyata susah juga untuk menyembunyikan pikiran yang menumpuk dari sahabatnya ini. Dia ingin los tanpa hambatan, bercerita tentang kemarin. Percakapan antara dirinya dan Jamal di rumah sakit itu terus saja membayang-bayangi dirinya semalaman. Dia jadi tida
Satu lagi yang sampai sekarang membuat Juwita masih gelisah selain restu dari kedua orang tuanya. Bagaimana dia mendapatkan hati dari anak Pak Jamal?"Jevano belum tahu kalau gue sama Pak Jamal membuat keputusan ini. Gue juga takut kalau Jevano enggak bisa terima gue."Perkataan Juwita barusan membuat Hellen lemas sekaligus. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Kenapa malah mempersulit kehidupan, coba? Akan tetapi, dia tidak akan sefrontal itu untuk berbicara masalah sensitif ini kepada Juwita. Dia juga tidak mau temannya ini malah terbebani dengan omongannya. Dia harus menemukan cara agar bisa membuat hati Juwita lebih tenang."Kak, masalah Jevano bisa lo rundingin sama Pak Jamal, gimana bujuk dia. Yang terpenting sekarang adalah restu orang tua lo dulu. Lo enggak mau kebaikan mereka lo abaikan gitu aja, kan, demi lo bebas dari kencan buta?" Hellen memeluk sahabatnya dari samping. "Apa yang dimau sama Tante juga buat kebaikan lo, Kak. Lo em
Gemerlap lampu yang dihias sedemikian rupa menerangi aula salah satu hotel bintang lima milik keluarga Anggari. Dekorasinya sangat mewah. Meja-meja panjang penuh dengan hidangan dengan tatanan boga yang menyegarkan mata. Makanan dan minumannya pun tidak bisa dibilang sederhana namun dihidangkan secara cuma-cuma. Semuanya telah dipersiapkan dengan sempurna meskipun hanya dalam waktu satu minggu."Jevano, sini. Ayo kita foto bareng." Juwita melambaikan tangannya kepada pemuda lima belas tahun yang sedang berdiri menyendiri di tengah keramaian para tamu undangan.Jevano mendekat, menuruti pinta Juwita. Dengan canggung dia berdiri di sebelah wanita yang sekarang sudah menyandang status sebagai ibu sambungnya, sambil menampakkan senyum tipis. Sungguh dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam acara besar dan formal seperti ini. Lebih lagi dia adalah tipe orang yang cukup tertutup. Seketika dia merasakan masuk ke dunia baru yang sangat asing."Ini yang namanya Jevano?" tanya seorang tamu
Setiap ibu pasti khawatir dengan masa depan anaknya. Lebih lagi jika mereka hanya memiliki satu anak. Hal itu pula yang membuat Nyonya Anggari terus menatap putri semata wayangnya dengan tatapan iba, bukan bahagia seperti semestinya. Berkali-kali dia harus menghela napas, mendesah, meringankan dadanya yang terasa sesak setiap melihat anaknya yang berfoto dengan para tamu. Juwita memang terlihat sangat bahagia dengan senyuman yang terus mengembang indah di wajah ayunya. Tangannya juga terus menggandeng duda yang baru dia kenal seminggu yang lalu. Entah kenapa hatinya resah. Padahal dia juga yang sangat menginginkan putrinya segera menikah."Aku gak tahu anak kita bakalan bahagia sama dia apa enggak," celetuk Nyonya Anggari yang duduk di samping suaminya.Tuan Anggari tersenyum menanggapi curahan hati Nyonya Anggari. Dia mengulurkan tangan untuk memijit pundak istrinya. "Yang penting dia udah mau nikah, Sayang. Itu yang kamu mau, kan?""Ya, tapi enggak sama duda juga, Pa. Anak satu, udah