"Kalau takdirmu aku, kamu bisa apa, Mbak?”
Amira terenyak dan mengerjapkan matanya beberapa kali saat mendengarkan kalimat dari mantan bocah SMA itu. Iya, yang melontarkan kalimat itu sudah satu tahun tak memakai seragam putih abu-abunya setelah dicoret-coret. Tak berapa lama, tawa Amira malah menyembur bak air dari mulut mbah dukun.
“Gila ... gila! Keren banget ide konten lu, Syil,” ujar Amira sambil memegangi perutnya.
Yang Amira tahu, sejak masuk kelas sebelas, Arsyil sudah berpenghasilan dari hasil konten-kontennya di Kamu-tube. Amira pun salah satu subscriber-nya yang suka dan merasa terhibur dengan aksi konyol Arsyil. Dia sering membuat video cosplay jadi driver taksi online yang suka mengerjai para penumpang wanita berumur. Maksudnya lebih tua darinya.
Arsyil hanya menatap Amira dengan tatapan tajam. Tak ada pergerakan dari kedua sudut bibirnya yang menandakan, bahwa saat ini dia tak sedang main-main, sementara wanita yang usianya terpaut delapan tahun lebih tua dari Arsyil itu masih tertawa sembari menyeka setitik air dari sudut matanya.
“Udah ketawanya?”
Amira terdiam dengan gerakan patah-patah. Antara masih ingin tertawa, juga akhirnya mingkem mendapati tatapan tajam dari anak baru gede yang lumayan manis itu. Dia masih terlihat cengo ditatap begitu dalam oleh Arsyil, teman baik adiknya.
“Pulang sana! Udah malem. Tuh, dicariin mama lu. Suruh cuci tangan, cuci kaki, cuci muka, berdoa, terus bobok,” ujar Amira masih betah menggoda.
“Ck, aku udah gede kali, Mbak!” bantah Arsyil.
“Gede? Apanya yang gede?”
Arsyil tersenyum jahil. “Mbak Mira mau tahu, apa aja punyaku yang udah gede?”
Alis Amira hampir menyatu demi mencerna ucapan bocil di depannya. Disuruh pulang malah bicara yang enggak-enggak.
“Apa emang?”
Arsyil mulai membuka lipatan sarung yang digelung di perutnya dengan gerakan slow motion. Mata Amira membola dan ia langsung membelakangi Arsyil sebelum kain hitam kekinian dengan motif wayang itu benar-benar diturunkan.
“Arsyil gila!” umpat Amira dengan telapak tangan menutupi matanya. “Lu mau menodai mata gue?”
Arsyil terkikik dengan mengalungkan sarungnya dan menyisakan celana pendek kotak-kotak warna coklat, serta kaus hitam yang kontras dengan kulit bersihnya.
“Halah, Mbak Mira bukan pemula, kan? Masa belum pernah lihat pisang cavendis berdiri tegak menuntut keadilan?”
“Sinting lu emang!”
Arsyil tergelak.
“Balik badan, deh, Mbak. Punya aku gede, lho.” Remaja itu masih betah menggoda kakak temannya.
“Lu pulang apa gue teriak?” ancam Amira.
“Teriak aja, Mbak. Sekalian aku buka baju dan pelorotin celana. Paling ntar kita malah jadi suami istri karena langsung dinikahin.”
“Dasar stres!”
Amira tak habis pikir dengan teman adiknya itu. Hampir lima tahun tak pernah terlihat, sebab Amira berada di kota. Tiba-tiba remaja yang dulu terlihat kalem dan sopan itu sudah pintar mengerjainya. Apa lantaran dia seorang Youtuber dan terlatih membuat konten-konten yang laris dipasaran? Auk, ah.
“Lu pulang aja. Adek gue belum balik kerja.”
“Aku nunggu di sini aja, deh, Mbak.”
“Pulang!” bentak Amira masih dengan posisi membelakangi lelaki itu.
“Enggak mau ....” Arsyil menjawab dengan nada dibuat-buat.
“Pulang!”
“Enggak!”
“Pulang!”
“Enggak!”
“Pulang, nggak?”
“Ya enggaklah,” ujar Arsyil santai sembari berjalan dan duduk di kursi teras rumah Amira.
Mendengar suara kursi yang diseret, mau tak mau Amira pun menoleh dan mendapati Arsyil duduk dengan mengangkat satu kakinya sambil bersiul. Amira mendengus kesal saat tahu Arsyil mengerjainya.
“Ehhem!” Arsyil berdehem dengan suara dibuat serak-serak becek. “Ehhem, ehhem!”
Amira hanya melirik sinis.
“Haus banget, sumpah. Ada yang jual es boba keliling enggak, ya? Tungguin, ah ....”
Amira memutar bola mata malas saat sadar bahwa Arsyil tengah memberi kode. Ia ingin disuguhi minum sebagai tamu yang datang tak diundang dan pulang minta ditendang.
Dengan hati yang masih dongkol, Amira pun masuk hendak membuatkan minum untuk si tengil Arsyil. Sepanjang jalan dari teras hingga ke dapur, kedua kakinya terus mengentak-entak. Sudah seperti anak kecil yang kehabisan tahu bulat.
“Sssttt!”
Langkah Amira terhenti di depan pintu kamar ibunya yang belum tertutup sempurna. Kepalanya melongok demi melihat ibunya yang setengah berbaring.
“Ibu ngapain?”
“Ngeloni anakmu ini, lho,” jawab Bu Tami–ibunya Amira. “Kakimu itu kenapa malah grudak-gruduk?”
Amira hanya nyengir. “Mau nginjek kecoa, Buk. Tapi, kecoanya tengil. Malah ngajakin Mira main engklek.”
“Ada siapa di depan, Mir?”
“Arsyil, Buk.”
“Mau ngapain?”
“Nungguin Abib katanya.”
“Oh, ya sudah. Kamu temenin dulu aja. Tumben-tumbenan juga adikmu belum pulang jam segini?”
“Kafe lagi rame mungkin, Buk.”
Bu Tami tak lagi menanggapi ocehan anak sulungnya. Dia terus mengelus-elus rambut sang cucu yang masih merem melek. Amira pun kembali beranjak dan menutup pintu kamar ibunya pelan.
Saat di dapur, dia bingung mau menyuguhkan minuman apa untuk Arsyil. Gula kopi, ada. Teh dan sirup Marjani juga ada. Akhirnya, Mira pun hanya menuangkan air putih di gelas besar.
“Kembung, kembung, lu, Syil!” Amira terkekeh.
Sementara di teras, Arsyil sibuk dengan benda pipihnya. Seperti biasa, puluhan chat dari kaum Hawa selalu menghiasi aplikasi hijaunya. Selain tampan dan banyak uang, anak bungsu dari dua bersaudara itu memang sudah mulai terkenal setahun belakangan.
Jujur saja, Arsyil sangat risi dengan wanita-wanita yang hanya mengejar popularitas semata. Sangat mudah baginya jika hanya memiliki pacar yang cantik, seksi, gemoy, apalagi bahenol. Namun, Arsyil lebih tertantang dengan yang matang.
Apalagi saat dia membaca salah satu postingan Amira di akun sosial medianya sekitar seminggu yang lalu. Amira sedang foto berdua dengan sepupunya yang sedang melangsungkan acara lamaran. Di foto itu tertulis caption,
“Pilih mana, yang masih awam apa yang sudah berpengalaman?”
Gejolak kawula muda dalam diri Arsyil pun terasa tertantang. Adrenalinnya on fire.
“Minum dulu!” Amira meletakkan air putih di meja.
Arsyil mendongak dan menyimpan ponselnya. “Makasih, Mbak Mira.”
“Hm!”
Tanpa banyak kata, Arsyil segera menenggak minuman yang disuguhkan Amira untuknya. Padahal hanya air putih, tetapi Arsyil terlihat sangat menikmati minuman itu.
Amira sempat melirik saat bibir gelas menyentuh bibir seksi Arsyil yang berwarna merah muda nan menggoda. Belum lagi jakun remaja itu yang terlihat turun naik seperti baju yang sempat viral. Amira pun menelan saliva dengan berat. Bisa-bisanya hatinya berbisik iri ingin menjadi bibir gelas. Eh!
“Alhamdulillah ... seger banget, Mbak,” ucap Arsyil yang sudah menghabiskan separuh isi gelas. “Ngerebus sendiri, Mbak?” lanjutnya.
“Enggak, nyuling sendiri dari pegunungan,” jawab Amira asal.
Arsyil terkekeh. “Pantesan ....”
Kedua alis Amira bertaut. “Pantesan apa?”
“Airnya tuh, bening, fresh, lebih plong, rasanya enak banget. Badan terasa jauh lebih enteng, makin keterusan, deh, suka sama kamu,” ujar Arsyil dengan mengedipkan sebelah mata.
“Iyuuuh ... gelaaay ....” Amira bergidik hingga membuat tubuh bagian atasnya bergetar.
Arsyil kian tergelak dan merasa gemas dengan kakak temannya itu.
"Jangan kayak jijik gitu, Mbak, sama brondong. Entar malah tergila-gila, lho.”“Tergila-gila?”Arsyil mengangguk.“Siapa?”Pria dengan bibir tipis itu menunjuk Amira dengan dagunya.“Aku? Tergila-gila sama kamu?”Dua jempol tangan Arsyil mengacung.“Strawberry, mangga, donat. Sorry, enggak minat!”Arsyil terkekeh. “Ah, masa?”Amira kembali menunjukkan ekspresi bergidik. Sementara teman adiknya itu malah mengeluarkan sedikit ujung lidahnya untuk membasahi bibir dan mengacak-acak rambut berponinya. Tak berlebihan jika banyak subscriber-nya bilang kalau Arsyil Miftah sebagai Sehun KW dengan kearifan lokal.“Muter-muter cari cincin, nemunya di Raja Ampat. Mbak Mira udah aku tandain, pokoknya harus dapat.”“Beli buku gratis kotak pensil. Sorry, seleraku bukan bocil,” balas Amira tak mau kalah.Arsyil menggeleng dengan menyunggingkan senyum misterius. Percik semangat dalam hatinya kian berkobar, seiring ucapan Amira yang menyebut dirinya ‘bocil’.Entah apa yang tengah menyerang hati dan pik
"Semalam kafe rame banget, ya, Bib?”“Alhamdulillah, Mbak. Habis si Arsyil bikin konten di kafe dan pesen semua menu masakan di sana, hampir tiap hari menu kita ludes. Padahal porsi selalu ditambah.”“Syukurlah, berarti omset kita bulan ini bisa nutup yang kemarin-kemarin, ya?”“Alhamdulillah bisa banget, Mbak.”Amira tersenyum bahagia dengan terus mengunyah menu sarapan.“Aku boleh kasih bonus ke Arsyil enggak, Mbak?”Amira mengernyit. “Bonus apa?”“Ya semacam makan minum gratis buat dia kalau pas main ke kafe. Gimana pun dia punya andil cukup berpengaruh, Mbak, buat usaha kita.”“Hmm ... boleh-boleh aja, Bib. Kasih aja.”“Oke, Mbak. Siap!”Kafe yang dikelola oleh Abib adalah usaha miliknya dan Amira. Modal paling banyak dari kakaknya, sementara Abib yang cukup andal dalam manajemen menjadi wakil dari Amira. Selain sebagai penyumbang modal terbesar, Amira juga sebagai kepala koki di dapur kafenya sendiri.“Mama ....”Gala datang dengan seragam PAUD-nya yang cerah. Secerah senyum khas
“L-loh, kok bisa?” Amira tergagap.“Bisa apa, Mbak?”“Lu vcall gue duluan, ya?”“Dih, mana ada?” tampik Arsyil. “Mbak Mira yang vcall aku duluan.”Amira menggeleng. “Enggak mungkin!”“Apanya yang enggak mungkin, Mbak? Lihat aja entar di log panggilan. Yang manggil duluan aku apa Mbak Mira?”Amira menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah, sementara ponselnya berdiri menyandar di depan vas bunga dekat laptop. Apa iya tadi jarinya sudah menyentuh gambar kamera hingga membuat panggilan video ke nomor Arsyil? Ah, ternyata selain kaki, jari pun bisa terpeleset. Apalagi hati, terpeleset brondong. Eh! “Enggak usah malu, Mbak. Aku udah denger, kok, semua yang Mbak Mira bilang.”“Hah?” Amira membuka telapak tangannya. “Emang gue bilang apaan?”“Mbak Mira bilang gini: Arsyil harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum.”Mata Amira melebar.“Siapin mental, ya, Mbak. Aku bakal nembak Mbak Mira di depa
“M-Mas Dewo?”Amira terpaku saat pulang dari klinik bidan tempat biasa ia cek kandungan. Pulang-pulang disuguhi pemandangan di mana dua insan berlainan jenis tanpa sehelai benang sedang adu fisik penuh peluh dan nafsu setan.Air mata Amira luruh tanpa komando. Dewo benar-benar gila. Ia bermain kuda-kudaan dengan wanita lain di kamar pribadinya dengan sang istri. Cepat-cepat dua insan yang diliputi gairah itu menarik selimut.“A-Amira?” Dewo tampak gugup. Wajahnya pias dan pucat seperti mayat. “B-bukannya kamu mau menginap di rumah ibu setelah cek kandungan?”Amira tak bisa mengucapkan kata-kata. Hatinya benar-benar remuk dihajar realita di depan mata. Saat ia dan janinnya harus berjuang dengan kondisi kehamilan yang lemah, Dewo malah bermain gila di rumah kontrakan mereka.“Mas Dewo ... aku udah basah, Mas. Ayolah ...,” desah wanita di samping Dewo dengan tak tahu malu.Dapat Amira pastikan, bahwa keduanya belum sampai dipuncak yang ingin dituju. Terlihat dari wajah Dewo yang masih di
Tak mau ditipu anak kecil, Dewo segera merebut ponsel Amira untuk memastikan ucapan Arsyil. Seketika Dewo membeku, kakinya seperti mengakar di lantai, dan jari-jarinya kebas melihat nominal yang benar-benar masuk pada nomor rekening Amira.Sementara Amira tersenyum puas saat bisa membuat Dewo mati kutu dengan adegan bohongan ini. Masalah uang itu, nanti setelah episode ini selesai tayang, Amira akan mentransfer balik pada rekening Arsyil.“Sayang, aku lapar ...,” rengek Arsyil dengan mengembungkan kedua pipinya.Ya ampun, gemas banget. Amira mengerjap saat sadar telah mengagumi Arsyil secara tidak sengaja.“Ya ampun, Sayang ... maaf, ya. Aku sampai lupa. Yuk, kita makan di ruangan aku aja. Takut ada yang ganggu,” bisik Amira yang masih dapat didengar jelas oleh Dewo.“Siap, Sayang.”Arsyil menggenggam tangan Amira dan menge
Abib lagi-lagi harus menerima telepon dari salah satu teman kampusnya yang mau reservasi kafe untuk acara ulang tahun. Tangan yang sudah menyentuh handle pintu ruangannya bersama Amira urung ia putar. Merasa haus, Abib pun bergegas ke dapur sembari menerima telepon.“Iya, Sya. Gimana?”“Bib, bulan depan pas malam minggu pertama, kafe lu gue boking, ya?”“Boleh, boleh. Untuk acara apa, Sya?”“Ultah gue, Bib.”“Wih, jatah umur lu semakin berkurang, dong, Sya?”“Sialan lu, Bib!”Abib tergelak dan meminta maaf karena hanya bercanda.“Untuk makan dan minum bisa request, kan?”“Bisa dong, Sya. Pelanggan adalah raja. Entar gue kasih diskon kalau tamunya banyak.”“Sip, sip. Entar gue
Bu Zahroh mengernyit menatap lelaki dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan itu. Wajahnya seperti tak asing, pikirnya.“Bu ....”Dewo maju dan hendak meraih tangan mantan sang mertua untuk diciumnya. Namun, dengan cepat Bu Tami menyembunyikan tangan kiri di punggung dengan tangan kanan masih menggandeng tangan Gala. Dewo tercekat mendapati reaksi mantan mertuanya.“Ibu mau ke mana? Biar Dewo antar.”Bu Zahro langsung membulatkan mulut saat sadar, bahwa lelaki di hadapannya saat ini adalah mantan suami Amira.“Nggak perlu! Kakiku masih sehat buat jalan!” jawab Bu Tami, ketus. “Ayo, Bu!” lanjutnya mengajak Bu Zahro melanjutkan langkah sembari menarik pelan tangan Gala.“Ini Gala?”Bu Tami menyadari sesuatu dan langsung menggendong anak tampan berusia 5 tahun itu. “Bukan
“Apa?! Gala diculik?”Mendengar nama sang buah hati disebut, Amira langsung menoleh ke arah adiknya.“Gala diculik?” lirih Amira dengan mata membola dan langsung mendekati Abib.“Ibu sekarang di mana?”‘Ibu di rumah. Itu penculiknya gedor-gedor pintu terus. Cepetan pulang!’‘Nek ... Gala takut ....’ Terdengar rengekan Gala setelah kalimat Bu Tami yang terdengar panik.“Ibu, Ibu tenang, ya. Kunci semua pintu, Ibu sama Gala masuk kamar dan kunci juga pintunya. Abib sama Mbak Mira pulang sekarang juga.”Klik. Bu Tami langsung memutus panggilan.Dewo terus mengetuk pintu rumah mantan mertuanya dengan tak sabar. Niatnya hanya ingin bertemu Gala, tetapi Bu Tami malah menyebutnya sebagai penculik. Jika saja Dewo datang saat Amira dan Abib sudah di rumah,