Share

2. Wanita dan Traumanya

"Jangan kayak jijik gitu, Mbak, sama brondong. Entar malah tergila-gila, lho.”

“Tergila-gila?”

Arsyil mengangguk.

“Siapa?”

Pria dengan bibir tipis itu menunjuk Amira dengan dagunya.

“Aku? Tergila-gila sama kamu?”

Dua jempol tangan Arsyil mengacung.

“Strawberry, mangga, donat. Sorry, enggak minat!”

Arsyil terkekeh. “Ah, masa?”

Amira kembali menunjukkan ekspresi bergidik. Sementara teman adiknya itu malah mengeluarkan sedikit ujung lidahnya untuk membasahi bibir dan mengacak-acak rambut berponinya. Tak berlebihan jika banyak subscriber-nya bilang kalau Arsyil Miftah sebagai Sehun KW dengan kearifan lokal.

“Muter-muter cari cincin, nemunya di Raja Ampat. Mbak Mira udah aku tandain, pokoknya harus dapat.”

“Beli buku gratis kotak pensil. Sorry, seleraku bukan bocil,” balas Amira tak mau kalah.

Arsyil menggeleng dengan menyunggingkan senyum misterius. Percik semangat dalam hatinya kian berkobar, seiring ucapan Amira yang menyebut dirinya ‘bocil’.

Entah apa yang tengah menyerang hati dan pikiran seorang Arsyil Miftahur Ridho. Seorang Youtuber muda tampan dan banyak uang, serta memiliki jutaan penggemar. Namun, sedikit pun ia tak tertarik dengan gadis-gadis muda kekinian.

Walaupun dia termasuk anak di era milinial, tetapi seleranya bisa dibilang jauh ke belakang. Sejak SMP, Arsyil memang lebih tertarik dengan lawan jenis yang lebih dewasa satu atau dua tahun di atasnya. Saat SMA pun dia pernah berpacaran dengan kakak kelas paling kece di sekolah.

“Yang matang, lebih menantang,” ucapnya kala itu.

“Menantang gimana, Syil?” tanya Abib.

“Enggak ményé-ményé, lebih dewasa, dan matang dalam berpikir. Sat-set, gitu, Bib.”

Abib hanya manggut-manggut.

“Enggak perlu diajarin, malah gue yang diajarin.”

“Hah? Diajarin apaan lu?”

Arsyil membisikkan sesuatu di telinga sahabat kentalnya itu. Seketika mata Abib membola. “Serius lu?”

Arsyil tersenyum miring dengan mengedikkan alisnya ke atas.

“Gila lu, Syil!”

“Mereka yang tergila-gila sama gue, Bib.”

Entahlah apa yang mereka bicarakan, hanya penulisnya yang tahu.

Beberapa saat rasa canggung mengepung. Amira dan Arsyil larut dalam kegiatan masing-masing. Amira sibuk dengan ponselnya, memasukkan barang-barang murah dan menarik ke dalam keranjang aplikasi belanja. Sementara Arsyil juga terlihat sibuk dengan ponselnya, tetapi matanya awas sesekali menatap wanita incarannya.   

“Abib lembur kayaknya, Syil. Lu ada urusan apa ke mari?” Amira coba mengusir kecanggungan dengan mulai melupakan ketengilan Arsyil yang sempat membuatnya risi.

“Sebenarnya, aku ke sini bukan mau ke Abib, sih, Mbak.”

“Lah?” Kening Amira mulai berkerut lagi. “Terus?”

“Aku mau main sama Gala.”

“Hah?”

“Aku mau main sama Gala, Mbak,” ulang Arsyil.

“Iya, Mbak denger.”

“Terus?”

“Apanya yang terus?”

“Gala-nya ada, kan?”

“Enggak ada. Udah tidur dia.”

“Uhmm, udah tidur. Kalau gitu, boleh enggak kalau aku main sama mamanya Gala?”

Tatapan laser Amira terasa menembus jantung Arsyil. Pria dewasa menuju matang itu sedikit kikuk, tetapi hatinya bersumpah akan membuat Amira bertekuk lutut.

“Main apa?” tanya Amira.

“Main hati, Mbak,” jawab Arsyil.

Uhuk!

***

Semakin hari, kelakuan Arsyil semakin menjadi-jadi. Tentu saja itu tak baik untuk kesehatan jantung  Amira. Tak bisa dipungkiri bahwa Arsyil memang memiliki pesona yang kian paripurna saat menginjak usia dewasa.

Awalnya, Amira hanya mengira bahwa kalimat-kalimat tengil yang dilontarkan Arsyil kepadanya hanyalah sebuah bualan semata. Hanya bentuk latihan atau pemanasan sebelum melakukan syuting pembuatan konten. Ya, itu yang Amira pikirkan.

Berbeda halnya dengan Arsyil yang selalu mencari celah untuk bisa meluluhkan single mom satu anak itu. Apalagi, dia masih ingat betul dengan candaan yang pernah dilontarkan Amira saat dirinya kecil dulu.

“Sore, Tante. Lagi nyuapin Arsyil, ya?”

“Eh, Mira. Iya, nih,” jawab Bu Zahro–ibunda Arsyil. “Mau ke mana siang-siang panas begini, Mir?”

“Mau les masak, Tante. Biar besok enggak dijulitin ipar dan mertua karena enggak bisa masak.” Amira terkikik.

“Wah, wah, wah. Udah cantik, pinter masak pula anak perawan Bu Tami ini.”

Amira tersenyum mendengar pujian dari Bu Zahro. Dia pun mendekat dan menghampiri Arsyil yang asyik bermain robot-robotan sambil menerima suapan dari bundanya itu.

“Tante, makannya Arsyil apaan, sih?” Mira melongok pada piring yang dibawa Bu Zahro.

“Ya sama kayak kamu, Mir. Nasi, lauk, sayur, buah, ditambah minum susu.”

“Masa, sih?”

Kening Bu Zahro berkerut. “Kenapa emang?”

“Anak Tante ganteng banget. Masih kecil aja seganteng ini. Gimana kalau udah gede, pasti meresahkan gadis-gadis desa.”

Bu Zahro terkekeh dengan mengibaskan tangan ke udara. “Kamu ini ada-ada saja.”

Sementara Arsyil terlihat acuh walau merekam dengan baik obrolan bunda dan kakak temannya itu.

“Syil!” panggil Amira.

Arsyil masih terus bergumam dengan menirukan suara mobil.

“Hei, Arsyil!”

Bocah tampan bak titisan dewa Yunani itu menoleh. “Apa, Mbak? Abib mana?”

“Ada di rumah.”

“Oh ....”

“Eh, Arsyil. Besok kalau udah gede, nikah sama Mbak Mira, yuk?”

Bu Zahro hanya menggeleng-geleng sambil terkekeh.

“Enggak mau!”

“Dih, kenapa?”

“Mbak Mira jelek. Pas Acil gede, pasti Mbak Mira udah tua.”

Amira tergelak mendapat jawaban menohok dari teman adiknya itu. Saat itu Amira masih 15 tahun dan Arsyil baru masuk usia anak SD, 7 tahun.

“Awas, ya, kamu. Entar beneran Mbak nikahin!”

Arsyil tersenyum mengingat momen itu. Rasa-rasanya, dia harus mengingatkan Amira soal ucapannya 12 tahun yang lalu itu. Apalagi, Pak Ustaz bilang, besar pahalanya menikahi janda. Arsyil pun semakin penasaran.

“Serius, Pak Ustaz?”

“Seriuslah, Syil. Masa uztaz ngibul?”

Arsyil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. “Sebesar apa pahalanya, Ustaz?”

“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin, laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan salat di malam hari. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim.”

“Selain meneladani Nabi kita, menikahi seorang janda bisa dikategorikan sebagai berkah dan membawa anugerah dalam hidup. Apalagi jika niat menikahinya adalah untuk melindungi si janda dari fitnah ataupun hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi.”  

Arsyil manggut-manggut mendengar penuturan ustaz di masjid dekat rumahnya.

“Kamu suka sama janda, Syil?” Pertanyaan Pak Ustaz membuat Arsyil tersentak.

“E-eh, kenapa, Pak Ustaz?”

Ustaz muda yang katanya juga masih jomlo ting-ting itu tersenyum samar.

“Kamu naksir seseorang?”

Arsyil tersenyum canggung.

“Menikahi wanita yang lebih matang itu memang menantang, Syil. Apalagi jika wanita itu diliputi rasa trauma di hatinya.”

“Maksudnya, Taz?”

“Janda yang cerai mati ataupun cerai hidup, sedikit banyak keduanya memiliki trauma dalam kisah percintaannya. Yang ditinggal mati, akan ada ketakutan dalam dirinya, sebab perpisahan karena maut itu pasti akan selalu terjadi. Yang ditinggal saat masih hidup pun sama, ketakutan untuk berumah tangga lagi akan selalu hinggap dalam hatinya. Terlebih perpisahan mereka pastilah terdapat musabab yang mendasari hingga kata cerai dipilih sebagai jalan akhir.”

“Kalau kamu memang menginginkan seseorang yang pernah punya masa lalu kelam, perjuangan kamu akan sangat berat, Syil. Tapi ... semakin berat tantanganmu, semakin manis pula buah yang akan kamu petik dari tiap kesabaran untuk mendapatkannya itu.”

Arsyil mengangguk dan tersenyum penuh arti.

“Temukan wanita yang hidupnya dipenuhi luka dan rasa trauma. Wanita yang tidak lagi mempercayai cinta, bahkan siapa pun yang mencoba menawarkan cinta. Setelah kamu menemukannya, coba jaga dia, rebut hatinya. Tancapkan rasa percaya, bahwa saat Tuhan mengambil yang baik, maka dia akan mendapatkan yang lebih baik. Nanti, kamu akan paham dan mengerti betapa hebatnya dicintai oleh wanita hebat seperti dia.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status