"Jangan kayak jijik gitu, Mbak, sama brondong. Entar malah tergila-gila, lho.”
“Tergila-gila?”
Arsyil mengangguk.
“Siapa?”
Pria dengan bibir tipis itu menunjuk Amira dengan dagunya.
“Aku? Tergila-gila sama kamu?”
Dua jempol tangan Arsyil mengacung.
“Strawberry, mangga, donat. Sorry, enggak minat!”
Arsyil terkekeh. “Ah, masa?”
Amira kembali menunjukkan ekspresi bergidik. Sementara teman adiknya itu malah mengeluarkan sedikit ujung lidahnya untuk membasahi bibir dan mengacak-acak rambut berponinya. Tak berlebihan jika banyak subscriber-nya bilang kalau Arsyil Miftah sebagai Sehun KW dengan kearifan lokal.
“Muter-muter cari cincin, nemunya di Raja Ampat. Mbak Mira udah aku tandain, pokoknya harus dapat.”
“Beli buku gratis kotak pensil. Sorry, seleraku bukan bocil,” balas Amira tak mau kalah.
Arsyil menggeleng dengan menyunggingkan senyum misterius. Percik semangat dalam hatinya kian berkobar, seiring ucapan Amira yang menyebut dirinya ‘bocil’.
Entah apa yang tengah menyerang hati dan pikiran seorang Arsyil Miftahur Ridho. Seorang Youtuber muda tampan dan banyak uang, serta memiliki jutaan penggemar. Namun, sedikit pun ia tak tertarik dengan gadis-gadis muda kekinian.
Walaupun dia termasuk anak di era milinial, tetapi seleranya bisa dibilang jauh ke belakang. Sejak SMP, Arsyil memang lebih tertarik dengan lawan jenis yang lebih dewasa satu atau dua tahun di atasnya. Saat SMA pun dia pernah berpacaran dengan kakak kelas paling kece di sekolah.
“Yang matang, lebih menantang,” ucapnya kala itu.
“Menantang gimana, Syil?” tanya Abib.
“Enggak ményé-ményé, lebih dewasa, dan matang dalam berpikir. Sat-set, gitu, Bib.”
Abib hanya manggut-manggut.
“Enggak perlu diajarin, malah gue yang diajarin.”
“Hah? Diajarin apaan lu?”
Arsyil membisikkan sesuatu di telinga sahabat kentalnya itu. Seketika mata Abib membola. “Serius lu?”
Arsyil tersenyum miring dengan mengedikkan alisnya ke atas.
“Gila lu, Syil!”
“Mereka yang tergila-gila sama gue, Bib.”
Entahlah apa yang mereka bicarakan, hanya penulisnya yang tahu.
Beberapa saat rasa canggung mengepung. Amira dan Arsyil larut dalam kegiatan masing-masing. Amira sibuk dengan ponselnya, memasukkan barang-barang murah dan menarik ke dalam keranjang aplikasi belanja. Sementara Arsyil juga terlihat sibuk dengan ponselnya, tetapi matanya awas sesekali menatap wanita incarannya.
“Abib lembur kayaknya, Syil. Lu ada urusan apa ke mari?” Amira coba mengusir kecanggungan dengan mulai melupakan ketengilan Arsyil yang sempat membuatnya risi.
“Sebenarnya, aku ke sini bukan mau ke Abib, sih, Mbak.”
“Lah?” Kening Amira mulai berkerut lagi. “Terus?”
“Aku mau main sama Gala.”
“Hah?”
“Aku mau main sama Gala, Mbak,” ulang Arsyil.
“Iya, Mbak denger.”
“Terus?”
“Apanya yang terus?”
“Gala-nya ada, kan?”
“Enggak ada. Udah tidur dia.”
“Uhmm, udah tidur. Kalau gitu, boleh enggak kalau aku main sama mamanya Gala?”
Tatapan laser Amira terasa menembus jantung Arsyil. Pria dewasa menuju matang itu sedikit kikuk, tetapi hatinya bersumpah akan membuat Amira bertekuk lutut.
“Main apa?” tanya Amira.
“Main hati, Mbak,” jawab Arsyil.
Uhuk!
***
Semakin hari, kelakuan Arsyil semakin menjadi-jadi. Tentu saja itu tak baik untuk kesehatan jantung Amira. Tak bisa dipungkiri bahwa Arsyil memang memiliki pesona yang kian paripurna saat menginjak usia dewasa.
Awalnya, Amira hanya mengira bahwa kalimat-kalimat tengil yang dilontarkan Arsyil kepadanya hanyalah sebuah bualan semata. Hanya bentuk latihan atau pemanasan sebelum melakukan syuting pembuatan konten. Ya, itu yang Amira pikirkan.
Berbeda halnya dengan Arsyil yang selalu mencari celah untuk bisa meluluhkan single mom satu anak itu. Apalagi, dia masih ingat betul dengan candaan yang pernah dilontarkan Amira saat dirinya kecil dulu.
“Sore, Tante. Lagi nyuapin Arsyil, ya?”
“Eh, Mira. Iya, nih,” jawab Bu Zahro–ibunda Arsyil. “Mau ke mana siang-siang panas begini, Mir?”
“Mau les masak, Tante. Biar besok enggak dijulitin ipar dan mertua karena enggak bisa masak.” Amira terkikik.
“Wah, wah, wah. Udah cantik, pinter masak pula anak perawan Bu Tami ini.”
Amira tersenyum mendengar pujian dari Bu Zahro. Dia pun mendekat dan menghampiri Arsyil yang asyik bermain robot-robotan sambil menerima suapan dari bundanya itu.
“Tante, makannya Arsyil apaan, sih?” Mira melongok pada piring yang dibawa Bu Zahro.
“Ya sama kayak kamu, Mir. Nasi, lauk, sayur, buah, ditambah minum susu.”
“Masa, sih?”
Kening Bu Zahro berkerut. “Kenapa emang?”
“Anak Tante ganteng banget. Masih kecil aja seganteng ini. Gimana kalau udah gede, pasti meresahkan gadis-gadis desa.”
Bu Zahro terkekeh dengan mengibaskan tangan ke udara. “Kamu ini ada-ada saja.”
Sementara Arsyil terlihat acuh walau merekam dengan baik obrolan bunda dan kakak temannya itu.
“Syil!” panggil Amira.
Arsyil masih terus bergumam dengan menirukan suara mobil.
“Hei, Arsyil!”
Bocah tampan bak titisan dewa Yunani itu menoleh. “Apa, Mbak? Abib mana?”
“Ada di rumah.”
“Oh ....”
“Eh, Arsyil. Besok kalau udah gede, nikah sama Mbak Mira, yuk?”
Bu Zahro hanya menggeleng-geleng sambil terkekeh.
“Enggak mau!”
“Dih, kenapa?”
“Mbak Mira jelek. Pas Acil gede, pasti Mbak Mira udah tua.”
Amira tergelak mendapat jawaban menohok dari teman adiknya itu. Saat itu Amira masih 15 tahun dan Arsyil baru masuk usia anak SD, 7 tahun.
“Awas, ya, kamu. Entar beneran Mbak nikahin!”
Arsyil tersenyum mengingat momen itu. Rasa-rasanya, dia harus mengingatkan Amira soal ucapannya 12 tahun yang lalu itu. Apalagi, Pak Ustaz bilang, besar pahalanya menikahi janda. Arsyil pun semakin penasaran.
“Serius, Pak Ustaz?”
“Seriuslah, Syil. Masa uztaz ngibul?”
Arsyil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. “Sebesar apa pahalanya, Ustaz?”
“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin, laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan salat di malam hari. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim.”
“Selain meneladani Nabi kita, menikahi seorang janda bisa dikategorikan sebagai berkah dan membawa anugerah dalam hidup. Apalagi jika niat menikahinya adalah untuk melindungi si janda dari fitnah ataupun hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi.”
Arsyil manggut-manggut mendengar penuturan ustaz di masjid dekat rumahnya.
“Kamu suka sama janda, Syil?” Pertanyaan Pak Ustaz membuat Arsyil tersentak.
“E-eh, kenapa, Pak Ustaz?”
Ustaz muda yang katanya juga masih jomlo ting-ting itu tersenyum samar.
“Kamu naksir seseorang?”
Arsyil tersenyum canggung.
“Menikahi wanita yang lebih matang itu memang menantang, Syil. Apalagi jika wanita itu diliputi rasa trauma di hatinya.”
“Maksudnya, Taz?”
“Janda yang cerai mati ataupun cerai hidup, sedikit banyak keduanya memiliki trauma dalam kisah percintaannya. Yang ditinggal mati, akan ada ketakutan dalam dirinya, sebab perpisahan karena maut itu pasti akan selalu terjadi. Yang ditinggal saat masih hidup pun sama, ketakutan untuk berumah tangga lagi akan selalu hinggap dalam hatinya. Terlebih perpisahan mereka pastilah terdapat musabab yang mendasari hingga kata cerai dipilih sebagai jalan akhir.”
“Kalau kamu memang menginginkan seseorang yang pernah punya masa lalu kelam, perjuangan kamu akan sangat berat, Syil. Tapi ... semakin berat tantanganmu, semakin manis pula buah yang akan kamu petik dari tiap kesabaran untuk mendapatkannya itu.”
Arsyil mengangguk dan tersenyum penuh arti.
“Temukan wanita yang hidupnya dipenuhi luka dan rasa trauma. Wanita yang tidak lagi mempercayai cinta, bahkan siapa pun yang mencoba menawarkan cinta. Setelah kamu menemukannya, coba jaga dia, rebut hatinya. Tancapkan rasa percaya, bahwa saat Tuhan mengambil yang baik, maka dia akan mendapatkan yang lebih baik. Nanti, kamu akan paham dan mengerti betapa hebatnya dicintai oleh wanita hebat seperti dia.”
"Semalam kafe rame banget, ya, Bib?”“Alhamdulillah, Mbak. Habis si Arsyil bikin konten di kafe dan pesen semua menu masakan di sana, hampir tiap hari menu kita ludes. Padahal porsi selalu ditambah.”“Syukurlah, berarti omset kita bulan ini bisa nutup yang kemarin-kemarin, ya?”“Alhamdulillah bisa banget, Mbak.”Amira tersenyum bahagia dengan terus mengunyah menu sarapan.“Aku boleh kasih bonus ke Arsyil enggak, Mbak?”Amira mengernyit. “Bonus apa?”“Ya semacam makan minum gratis buat dia kalau pas main ke kafe. Gimana pun dia punya andil cukup berpengaruh, Mbak, buat usaha kita.”“Hmm ... boleh-boleh aja, Bib. Kasih aja.”“Oke, Mbak. Siap!”Kafe yang dikelola oleh Abib adalah usaha miliknya dan Amira. Modal paling banyak dari kakaknya, sementara Abib yang cukup andal dalam manajemen menjadi wakil dari Amira. Selain sebagai penyumbang modal terbesar, Amira juga sebagai kepala koki di dapur kafenya sendiri.“Mama ....”Gala datang dengan seragam PAUD-nya yang cerah. Secerah senyum khas
“L-loh, kok bisa?” Amira tergagap.“Bisa apa, Mbak?”“Lu vcall gue duluan, ya?”“Dih, mana ada?” tampik Arsyil. “Mbak Mira yang vcall aku duluan.”Amira menggeleng. “Enggak mungkin!”“Apanya yang enggak mungkin, Mbak? Lihat aja entar di log panggilan. Yang manggil duluan aku apa Mbak Mira?”Amira menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah, sementara ponselnya berdiri menyandar di depan vas bunga dekat laptop. Apa iya tadi jarinya sudah menyentuh gambar kamera hingga membuat panggilan video ke nomor Arsyil? Ah, ternyata selain kaki, jari pun bisa terpeleset. Apalagi hati, terpeleset brondong. Eh! “Enggak usah malu, Mbak. Aku udah denger, kok, semua yang Mbak Mira bilang.”“Hah?” Amira membuka telapak tangannya. “Emang gue bilang apaan?”“Mbak Mira bilang gini: Arsyil harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum.”Mata Amira melebar.“Siapin mental, ya, Mbak. Aku bakal nembak Mbak Mira di depa
“M-Mas Dewo?”Amira terpaku saat pulang dari klinik bidan tempat biasa ia cek kandungan. Pulang-pulang disuguhi pemandangan di mana dua insan berlainan jenis tanpa sehelai benang sedang adu fisik penuh peluh dan nafsu setan.Air mata Amira luruh tanpa komando. Dewo benar-benar gila. Ia bermain kuda-kudaan dengan wanita lain di kamar pribadinya dengan sang istri. Cepat-cepat dua insan yang diliputi gairah itu menarik selimut.“A-Amira?” Dewo tampak gugup. Wajahnya pias dan pucat seperti mayat. “B-bukannya kamu mau menginap di rumah ibu setelah cek kandungan?”Amira tak bisa mengucapkan kata-kata. Hatinya benar-benar remuk dihajar realita di depan mata. Saat ia dan janinnya harus berjuang dengan kondisi kehamilan yang lemah, Dewo malah bermain gila di rumah kontrakan mereka.“Mas Dewo ... aku udah basah, Mas. Ayolah ...,” desah wanita di samping Dewo dengan tak tahu malu.Dapat Amira pastikan, bahwa keduanya belum sampai dipuncak yang ingin dituju. Terlihat dari wajah Dewo yang masih di
Tak mau ditipu anak kecil, Dewo segera merebut ponsel Amira untuk memastikan ucapan Arsyil. Seketika Dewo membeku, kakinya seperti mengakar di lantai, dan jari-jarinya kebas melihat nominal yang benar-benar masuk pada nomor rekening Amira.Sementara Amira tersenyum puas saat bisa membuat Dewo mati kutu dengan adegan bohongan ini. Masalah uang itu, nanti setelah episode ini selesai tayang, Amira akan mentransfer balik pada rekening Arsyil.“Sayang, aku lapar ...,” rengek Arsyil dengan mengembungkan kedua pipinya.Ya ampun, gemas banget. Amira mengerjap saat sadar telah mengagumi Arsyil secara tidak sengaja.“Ya ampun, Sayang ... maaf, ya. Aku sampai lupa. Yuk, kita makan di ruangan aku aja. Takut ada yang ganggu,” bisik Amira yang masih dapat didengar jelas oleh Dewo.“Siap, Sayang.”Arsyil menggenggam tangan Amira dan menge
Abib lagi-lagi harus menerima telepon dari salah satu teman kampusnya yang mau reservasi kafe untuk acara ulang tahun. Tangan yang sudah menyentuh handle pintu ruangannya bersama Amira urung ia putar. Merasa haus, Abib pun bergegas ke dapur sembari menerima telepon.“Iya, Sya. Gimana?”“Bib, bulan depan pas malam minggu pertama, kafe lu gue boking, ya?”“Boleh, boleh. Untuk acara apa, Sya?”“Ultah gue, Bib.”“Wih, jatah umur lu semakin berkurang, dong, Sya?”“Sialan lu, Bib!”Abib tergelak dan meminta maaf karena hanya bercanda.“Untuk makan dan minum bisa request, kan?”“Bisa dong, Sya. Pelanggan adalah raja. Entar gue kasih diskon kalau tamunya banyak.”“Sip, sip. Entar gue
Bu Zahroh mengernyit menatap lelaki dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan itu. Wajahnya seperti tak asing, pikirnya.“Bu ....”Dewo maju dan hendak meraih tangan mantan sang mertua untuk diciumnya. Namun, dengan cepat Bu Tami menyembunyikan tangan kiri di punggung dengan tangan kanan masih menggandeng tangan Gala. Dewo tercekat mendapati reaksi mantan mertuanya.“Ibu mau ke mana? Biar Dewo antar.”Bu Zahro langsung membulatkan mulut saat sadar, bahwa lelaki di hadapannya saat ini adalah mantan suami Amira.“Nggak perlu! Kakiku masih sehat buat jalan!” jawab Bu Tami, ketus. “Ayo, Bu!” lanjutnya mengajak Bu Zahro melanjutkan langkah sembari menarik pelan tangan Gala.“Ini Gala?”Bu Tami menyadari sesuatu dan langsung menggendong anak tampan berusia 5 tahun itu. “Bukan
“Apa?! Gala diculik?”Mendengar nama sang buah hati disebut, Amira langsung menoleh ke arah adiknya.“Gala diculik?” lirih Amira dengan mata membola dan langsung mendekati Abib.“Ibu sekarang di mana?”‘Ibu di rumah. Itu penculiknya gedor-gedor pintu terus. Cepetan pulang!’‘Nek ... Gala takut ....’ Terdengar rengekan Gala setelah kalimat Bu Tami yang terdengar panik.“Ibu, Ibu tenang, ya. Kunci semua pintu, Ibu sama Gala masuk kamar dan kunci juga pintunya. Abib sama Mbak Mira pulang sekarang juga.”Klik. Bu Tami langsung memutus panggilan.Dewo terus mengetuk pintu rumah mantan mertuanya dengan tak sabar. Niatnya hanya ingin bertemu Gala, tetapi Bu Tami malah menyebutnya sebagai penculik. Jika saja Dewo datang saat Amira dan Abib sudah di rumah,
Bahu Dewo luruh saat mendengar panggilan sang putra untuk pria yang usianya jauh di bawahnya. Hatinya hancur mendapati kenyataan. Jangankan memanggilnya papa, mengenali Dewo saja tidak. Mungkin itu tak seberapa dibanding sakit yang Amira rasakan dulu. Namun, diperlakukan sebagai orang yang tak dikenali putra kandungnya saja rasanya begitu pilu.“Papa Cil,” panggil Gala.“Iya, Sayang?”“Gala pengen main ke timezone,” pintanya setengah merengek.“Timezone yang di Mall?”Jagoan tampan itu mengangguk.“Tanya dulu sama Mama. Boleh, enggak?”Gala menoleh pada muara kasihnya yang menatap sang buah hati dengan penuh cinta.“Boleh, Ma?”Melihat kejadian yang sempat membuat Gala ketakutan, Amira pun mengangguk demi melihat senyum mereka