"Semalam kafe rame banget, ya, Bib?”
“Alhamdulillah, Mbak. Habis si Arsyil bikin konten di kafe dan pesen semua menu masakan di sana, hampir tiap hari menu kita ludes. Padahal porsi selalu ditambah.”
“Syukurlah, berarti omset kita bulan ini bisa nutup yang kemarin-kemarin, ya?”
“Alhamdulillah bisa banget, Mbak.”
Amira tersenyum bahagia dengan terus mengunyah menu sarapan.
“Aku boleh kasih bonus ke Arsyil enggak, Mbak?”
Amira mengernyit. “Bonus apa?”
“Ya semacam makan minum gratis buat dia kalau pas main ke kafe. Gimana pun dia punya andil cukup berpengaruh, Mbak, buat usaha kita.”
“Hmm ... boleh-boleh aja, Bib. Kasih aja.”
“Oke, Mbak. Siap!”
Kafe yang dikelola oleh Abib adalah usaha miliknya dan Amira. Modal paling banyak dari kakaknya, sementara Abib yang cukup andal dalam manajemen menjadi wakil dari Amira. Selain sebagai penyumbang modal terbesar, Amira juga sebagai kepala koki di dapur kafenya sendiri.
“Mama ....”
Gala datang dengan seragam PAUD-nya yang cerah. Secerah senyum khas anak-anak yang tanpa beban berat selain mainannya direbut teman. Tadi Amira yang memandikannya, tetapi Gala memilih neneknya yang memakaikan seragam dan mendandaninya.
“Unch ... anak Mama udah wangi banget. Mana ganteng lagi.” Diciuminya kedua pipi sang buah hati yang harum, sebab bedak bayi.
“Yuk, sarapan dulu. Bekalnya udah Mama siapin, entar habis isi perut, kita langsung berangkat.”
Anak lelaki usia lima tahun itu duduk di sebelah om-nya yang meminta tos tangan terlebih dahulu. Jagoan tampan yang mewarisi lebih banyak gen mamanya itu makan dengan lahap walau porsinya sedikit. Yang penting ada nutrisi yang masuk sebelum memulai aktivitas di sekolahnya, begitu kata Amira.
“Mah,”
“Iya, Sayang?”
“Tadi malam ada Papa Cil, ya?”
Kening Amira berkerut. “Papa Cil?”
Begitu pun Abib dan Bu Tami yang terlihat beradu pandang mendengar pertanyaan Gala.
“Papa Cil itu siapa, Sayang?”
“Papa Cil, temennya Om Bib,” sahutnya lucu.
“Arsyil? Om Arsyil maksud Gala?” Abib bersuara untuk memperjelas rasa penasarannya.
Spontan Gala mengangguk. Membuat Abib menyemburkan makanannya yang sudah setengah lumat.
“Hus! Kayak mbah dukun aja pake acara nyembur-nyembur segala,” seru Bu Tami seraya melempar serbet bersih kepada anak bujangnya. “Bersihin!”
“Iya, Buk, iya. Maaf. Abib kaget tadi.”
Sementara Amira masih tak habis pikir dengan panggilan Gala kepada salah satu teman baik om-nya itu. Sejak kapan sebutan Om Acil berubah jadi Papa Cil?
“Iya, Om Acil semalam ke sini. Gala tahu?” tanya Amira hati-hati.
Lagi-lagi Gala hanya mengangguk. “Papa Cil janji mau main sama Gala semalem. Tapi, Gala udah ngantuk pas dielus-elus Nenek.”
“Kok, papa, sih, Dek? Biasanya, kan, Adek panggil Om, bukan papa.”
“Kata Papa Cil, hayus dibiasain manggil papa, Mah. Soalnya besok-besok Papa Cil bakal tinggal di sini juga.”
“Kata siapa?” Amira mulai ngegas.
“Mbak ....” Abib memberi kode pada kakaknya agar memelankan suara di hadapan anak sekecil Gala.
“Kata siapa kalau Om Arsyil bakalan tinggal di sini, Dek?” ulang Amira dengan nada lebih lembut.
“Kata Papa Cil.”
Amira terlihat mengepalkan tangan seraya menahan amarah. Kening Abib berkerut saat menyadari perubahan ekspresi dari kakaknya itu.
“Udah, udah. Nanti lagi ngobrolnya.” Bu Rati menengahi obrolan di meja makan. “Gala udah selesai sarapan, Mir. Cepet anter ke sekolah.”
Setelah salim dengan nenek juga om-nya, Gala dan Amira berlalu dengan mengendarai motor matic. Lambaian tangan dari orang-orang yang sangat menyayangi jagoan kecil itu mengantarkannya hingga hilang di balik tikungan gang.
“Buk, semalam Arsyil ke sini emang?” tanya Abib.
“Iya.”
“Ngapain?”
“Kata Amira nungguin kamu.”
“Tumben enggak langsung ke kafe?”
“Yo ndak tahu, kok, nanya Ibuk?”
Abib hanya nyengir mendengar jawaban ibunya yang segera berlalu ke dalam rumah.
***
Setelah mengantar dan menitipkan sementara putra semata wayangnya ke sekolah Pendidikan Anak Usia Dini, Amira bergegas menuju kafe yang menjadi sumber kehidupannya setelah resmi menyandang status janda.
Kafe kekinian yang sudah banyak direnovasi atas ide Abib dan Arsyil itu memang sudah banyak menyumbangkan pundi-pundi rupiah untuk keberlangsungan hidupnya. Terlebih setelah dua tahun lalu cinta pertamanya harus pulang memenuhi panggilan Sang Pencipta.
Kini, Bu Tami, Abib, dan juga Gala menjadi tanggung jawab Amira. Walau sebenarnya, Gala masih memiliki papa yang sehat dan masih mau menafkahinya. Namun, Amira tak sudi lagi menyebut nama sang mantan suaminya itu, apalagi memakai uang yang belum lama ini masuk ke rekening atas nama Abiyas Manggala.
“Persediaan bahan makanan kafe masih aman, kan, Ran?”
“Aman, Mbak Mira. Bahan yang sudah menipis sudah kami order kembali, dan mobil box delivery sedang dalam perjalanan,” jelas Chef Rani sebagai wakil koki dan penanggung jawab bagian dapur.
“Oke. Good job.” Senyum manis Amira langsung merekah. “Saya tinggal ke ruangan dulu, ya.”
Rani dan yang lain mempersilakan atasannya itu. Amira mengayun langkah sembari menengok jam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum kafe dibuka pada pukul 09.00 pagi.
Biasanya, kafe akan ramai di jam-jam makan siang, sebab tempatnya yang strategis dekat dengan perkantoran dan sebuah kampus swasta. Namun, tak jarang kafe pun langsung ramai di atas jam sepuluh. Ya, rezeki tak ada yang tahu.
Pagi sampai sore, Amira akan stand by di kafe, sementara sore sampai malam akan digantikan dengan Abib yang sudah pulang dari kampusnya. Sejauh ini, semua lebih menyenangkan dan Amira selalu penuh semangat dalam menjalani hari. Setidaknya, itu yang Amira rasakan semenjak lepas dan hidup bebas dari mantan suami yang suka main perempuan.
‘Tring!’
Sebuah notifikasi dari mobile banking masuk ke ponsel Amira. Walau tanpa membukanya di aplikasi, rentetan nominal dengan jumlah cukup jika untuk jajan Gala tertera di sana. Wanita dengan rambut panjang sebahu dan ujung sedikit curly itu tak terlalu menanggapi.
Ditaruhnya ponsel di meja dan ia mulai sibuk di depan sebuah laptop, melihat laporan keuangan dari sang adik. Benar, omsetnya semakin meroket tajam. Kedua sudut bibir Amira melengkung sempurna. Segera ia meraih ponsel dan mencari nomor Arsyil.
“Lah, ngapain juga aku nyari nomor si Arsyil?” Amira bermonolog.
Tangannya bergerak, sebab dorongan hati yang ingin mengucapkan terima kasih. Namun, Amira teringat bahwa di balik omset kafenya yang akhir-akhir ini meroket tajam, Arsyil pun semakin menyebalkan. Belum lagi hasutannya yang membuat Gala sudah mengganti panggilan pada pria itu menjadi Papa Cil. Iyuuuh ... perut Amira mulai bergejolak membayangkan jika suatu saat takdir mempersatukannya dengan bocah kecil itu.
“Enggak usah ditelepon, deh. Entar dia ke-GR-an lagi.”
“Eh, tapi ... dia harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum!”
“Oh, jadi Mbak Mira mau aku tembak, nih?”
Mata Amira membola saat sadar kalau wajah Arsyil sudah memenuhi layar ponselnya.
“L-loh, kok bisa?” Amira tergagap.“Bisa apa, Mbak?”“Lu vcall gue duluan, ya?”“Dih, mana ada?” tampik Arsyil. “Mbak Mira yang vcall aku duluan.”Amira menggeleng. “Enggak mungkin!”“Apanya yang enggak mungkin, Mbak? Lihat aja entar di log panggilan. Yang manggil duluan aku apa Mbak Mira?”Amira menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah, sementara ponselnya berdiri menyandar di depan vas bunga dekat laptop. Apa iya tadi jarinya sudah menyentuh gambar kamera hingga membuat panggilan video ke nomor Arsyil? Ah, ternyata selain kaki, jari pun bisa terpeleset. Apalagi hati, terpeleset brondong. Eh! “Enggak usah malu, Mbak. Aku udah denger, kok, semua yang Mbak Mira bilang.”“Hah?” Amira membuka telapak tangannya. “Emang gue bilang apaan?”“Mbak Mira bilang gini: Arsyil harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum.”Mata Amira melebar.“Siapin mental, ya, Mbak. Aku bakal nembak Mbak Mira di depa
“M-Mas Dewo?”Amira terpaku saat pulang dari klinik bidan tempat biasa ia cek kandungan. Pulang-pulang disuguhi pemandangan di mana dua insan berlainan jenis tanpa sehelai benang sedang adu fisik penuh peluh dan nafsu setan.Air mata Amira luruh tanpa komando. Dewo benar-benar gila. Ia bermain kuda-kudaan dengan wanita lain di kamar pribadinya dengan sang istri. Cepat-cepat dua insan yang diliputi gairah itu menarik selimut.“A-Amira?” Dewo tampak gugup. Wajahnya pias dan pucat seperti mayat. “B-bukannya kamu mau menginap di rumah ibu setelah cek kandungan?”Amira tak bisa mengucapkan kata-kata. Hatinya benar-benar remuk dihajar realita di depan mata. Saat ia dan janinnya harus berjuang dengan kondisi kehamilan yang lemah, Dewo malah bermain gila di rumah kontrakan mereka.“Mas Dewo ... aku udah basah, Mas. Ayolah ...,” desah wanita di samping Dewo dengan tak tahu malu.Dapat Amira pastikan, bahwa keduanya belum sampai dipuncak yang ingin dituju. Terlihat dari wajah Dewo yang masih di
Tak mau ditipu anak kecil, Dewo segera merebut ponsel Amira untuk memastikan ucapan Arsyil. Seketika Dewo membeku, kakinya seperti mengakar di lantai, dan jari-jarinya kebas melihat nominal yang benar-benar masuk pada nomor rekening Amira.Sementara Amira tersenyum puas saat bisa membuat Dewo mati kutu dengan adegan bohongan ini. Masalah uang itu, nanti setelah episode ini selesai tayang, Amira akan mentransfer balik pada rekening Arsyil.“Sayang, aku lapar ...,” rengek Arsyil dengan mengembungkan kedua pipinya.Ya ampun, gemas banget. Amira mengerjap saat sadar telah mengagumi Arsyil secara tidak sengaja.“Ya ampun, Sayang ... maaf, ya. Aku sampai lupa. Yuk, kita makan di ruangan aku aja. Takut ada yang ganggu,” bisik Amira yang masih dapat didengar jelas oleh Dewo.“Siap, Sayang.”Arsyil menggenggam tangan Amira dan menge
Abib lagi-lagi harus menerima telepon dari salah satu teman kampusnya yang mau reservasi kafe untuk acara ulang tahun. Tangan yang sudah menyentuh handle pintu ruangannya bersama Amira urung ia putar. Merasa haus, Abib pun bergegas ke dapur sembari menerima telepon.“Iya, Sya. Gimana?”“Bib, bulan depan pas malam minggu pertama, kafe lu gue boking, ya?”“Boleh, boleh. Untuk acara apa, Sya?”“Ultah gue, Bib.”“Wih, jatah umur lu semakin berkurang, dong, Sya?”“Sialan lu, Bib!”Abib tergelak dan meminta maaf karena hanya bercanda.“Untuk makan dan minum bisa request, kan?”“Bisa dong, Sya. Pelanggan adalah raja. Entar gue kasih diskon kalau tamunya banyak.”“Sip, sip. Entar gue
Bu Zahroh mengernyit menatap lelaki dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan itu. Wajahnya seperti tak asing, pikirnya.“Bu ....”Dewo maju dan hendak meraih tangan mantan sang mertua untuk diciumnya. Namun, dengan cepat Bu Tami menyembunyikan tangan kiri di punggung dengan tangan kanan masih menggandeng tangan Gala. Dewo tercekat mendapati reaksi mantan mertuanya.“Ibu mau ke mana? Biar Dewo antar.”Bu Zahro langsung membulatkan mulut saat sadar, bahwa lelaki di hadapannya saat ini adalah mantan suami Amira.“Nggak perlu! Kakiku masih sehat buat jalan!” jawab Bu Tami, ketus. “Ayo, Bu!” lanjutnya mengajak Bu Zahro melanjutkan langkah sembari menarik pelan tangan Gala.“Ini Gala?”Bu Tami menyadari sesuatu dan langsung menggendong anak tampan berusia 5 tahun itu. “Bukan
“Apa?! Gala diculik?”Mendengar nama sang buah hati disebut, Amira langsung menoleh ke arah adiknya.“Gala diculik?” lirih Amira dengan mata membola dan langsung mendekati Abib.“Ibu sekarang di mana?”‘Ibu di rumah. Itu penculiknya gedor-gedor pintu terus. Cepetan pulang!’‘Nek ... Gala takut ....’ Terdengar rengekan Gala setelah kalimat Bu Tami yang terdengar panik.“Ibu, Ibu tenang, ya. Kunci semua pintu, Ibu sama Gala masuk kamar dan kunci juga pintunya. Abib sama Mbak Mira pulang sekarang juga.”Klik. Bu Tami langsung memutus panggilan.Dewo terus mengetuk pintu rumah mantan mertuanya dengan tak sabar. Niatnya hanya ingin bertemu Gala, tetapi Bu Tami malah menyebutnya sebagai penculik. Jika saja Dewo datang saat Amira dan Abib sudah di rumah,
Bahu Dewo luruh saat mendengar panggilan sang putra untuk pria yang usianya jauh di bawahnya. Hatinya hancur mendapati kenyataan. Jangankan memanggilnya papa, mengenali Dewo saja tidak. Mungkin itu tak seberapa dibanding sakit yang Amira rasakan dulu. Namun, diperlakukan sebagai orang yang tak dikenali putra kandungnya saja rasanya begitu pilu.“Papa Cil,” panggil Gala.“Iya, Sayang?”“Gala pengen main ke timezone,” pintanya setengah merengek.“Timezone yang di Mall?”Jagoan tampan itu mengangguk.“Tanya dulu sama Mama. Boleh, enggak?”Gala menoleh pada muara kasihnya yang menatap sang buah hati dengan penuh cinta.“Boleh, Ma?”Melihat kejadian yang sempat membuat Gala ketakutan, Amira pun mengangguk demi melihat senyum mereka
Semenjak kejadian di area Timezone waktu itu, Arsyil dan Amira sempat viral di jejagat maya lantaran ada seseorang yang mengabadikan moment tersebut. Walau tak sedikit yang mencibir karena usia keduanya terpaut cukup jauh, tetapi ada juga yang mendukung tanpa mau memperkeruh kolom komentar akun Bibir Dower itu. “Cantik, sih, sayang jendes.” “Cantikan juga aku ke mana-mana. Masih segel pula.” “Serius itu calon istrinya Arsyil? Kuat banget dukunnya.” “Janda semakin di depan. Perawan minggir dulu, Gan!” “Pawangnya sudah berpengalaman lahir dan batin.” “Arsyil udah kena pelet.” “Cocok, kok, Kak. Semoga selalu bahagia, ya.” “Emak ... anak perawanmu kalah sama janda.” “Apa salahnya sama janda? Yang salah itu cara berpandang kalian.” “Bung, jandanya buat gue aja. Barter sama perawan. Gimana?” Dan masih banyak lagi komentar-komentar soal hubungan mereka. Hubungan yang sebenarnya belum jelas hitam di atas putihnya. Amira sudah memperkirakan hal ini akan ramai diperbincangkan jika Ars