Share

3. Mau Ditembak?

"Semalam kafe rame banget, ya, Bib?”

“Alhamdulillah, Mbak. Habis si Arsyil bikin konten di kafe dan pesen semua menu masakan di sana, hampir tiap hari menu kita ludes. Padahal porsi selalu ditambah.”

“Syukurlah, berarti omset kita bulan ini bisa nutup yang kemarin-kemarin, ya?”

“Alhamdulillah bisa banget, Mbak.”

Amira tersenyum bahagia dengan terus mengunyah menu sarapan.

“Aku boleh kasih bonus ke Arsyil enggak, Mbak?”

Amira mengernyit. “Bonus apa?”

“Ya semacam makan minum gratis buat dia kalau pas main ke kafe. Gimana pun dia punya andil cukup berpengaruh, Mbak, buat usaha kita.”

“Hmm ... boleh-boleh aja, Bib. Kasih aja.”

“Oke, Mbak. Siap!”

Kafe yang dikelola oleh Abib adalah usaha miliknya dan Amira. Modal paling banyak dari kakaknya, sementara Abib yang cukup andal dalam manajemen menjadi wakil dari Amira. Selain sebagai penyumbang modal terbesar, Amira juga sebagai kepala koki di dapur kafenya sendiri.

“Mama ....”

Gala datang dengan seragam PAUD-nya yang cerah. Secerah senyum khas anak-anak yang tanpa beban berat selain mainannya direbut teman. Tadi Amira yang memandikannya, tetapi Gala memilih neneknya yang memakaikan seragam dan mendandaninya.

“Unch ... anak Mama udah wangi banget. Mana ganteng lagi.” Diciuminya kedua pipi sang buah hati yang harum, sebab bedak bayi.

“Yuk, sarapan dulu. Bekalnya udah Mama siapin, entar habis isi perut, kita langsung berangkat.”

Anak lelaki usia lima tahun itu duduk di sebelah om-nya yang meminta tos tangan terlebih dahulu. Jagoan tampan yang mewarisi lebih banyak gen mamanya itu makan dengan lahap walau porsinya sedikit. Yang penting ada nutrisi yang masuk sebelum memulai aktivitas di sekolahnya, begitu kata Amira.

“Mah,”

“Iya, Sayang?”

“Tadi malam ada Papa Cil, ya?”

Kening Amira berkerut. “Papa Cil?”

Begitu pun Abib dan Bu Tami yang terlihat beradu pandang mendengar pertanyaan Gala.  

“Papa Cil itu siapa, Sayang?”

“Papa Cil, temennya Om Bib,” sahutnya lucu.

“Arsyil? Om Arsyil maksud Gala?” Abib bersuara untuk memperjelas rasa penasarannya.

Spontan Gala mengangguk. Membuat Abib menyemburkan makanannya yang sudah setengah lumat.

“Hus! Kayak mbah dukun aja pake acara nyembur-nyembur segala,” seru Bu Tami seraya melempar serbet bersih kepada anak bujangnya. “Bersihin!”

“Iya, Buk, iya. Maaf. Abib kaget tadi.”

Sementara Amira masih tak habis pikir dengan panggilan Gala kepada salah satu teman baik om-nya itu. Sejak kapan sebutan Om Acil berubah jadi Papa Cil?

“Iya, Om Acil semalam ke sini. Gala tahu?” tanya Amira hati-hati.

Lagi-lagi Gala hanya mengangguk. “Papa Cil janji mau main sama Gala semalem. Tapi, Gala udah ngantuk pas dielus-elus Nenek.”

“Kok, papa, sih, Dek? Biasanya, kan, Adek panggil Om, bukan papa.”

“Kata Papa Cil, hayus dibiasain manggil papa, Mah. Soalnya besok-besok Papa Cil bakal tinggal di sini juga.”

“Kata siapa?” Amira mulai ngegas.

“Mbak ....” Abib memberi kode pada kakaknya agar memelankan suara di hadapan anak sekecil Gala.

“Kata siapa kalau Om Arsyil bakalan tinggal di sini, Dek?” ulang Amira dengan nada lebih lembut.

“Kata Papa Cil.”

Amira terlihat mengepalkan tangan seraya menahan amarah. Kening Abib berkerut saat menyadari perubahan ekspresi dari kakaknya itu.

“Udah, udah. Nanti lagi ngobrolnya.” Bu Rati menengahi obrolan di meja makan. “Gala udah selesai sarapan, Mir. Cepet anter ke sekolah.”

Setelah salim dengan nenek juga om-nya, Gala dan Amira berlalu dengan mengendarai motor matic. Lambaian tangan dari orang-orang yang sangat menyayangi jagoan kecil itu mengantarkannya hingga hilang di balik tikungan gang.

“Buk, semalam Arsyil ke sini emang?” tanya Abib.

“Iya.”

“Ngapain?”

“Kata Amira nungguin kamu.”

“Tumben enggak langsung ke kafe?”

“Yo ndak tahu, kok, nanya Ibuk?”

Abib hanya nyengir mendengar jawaban ibunya yang segera berlalu ke dalam rumah.

***

Setelah mengantar dan menitipkan sementara putra semata wayangnya ke sekolah Pendidikan Anak Usia Dini, Amira bergegas menuju kafe yang menjadi sumber kehidupannya setelah resmi menyandang status janda.

Kafe kekinian yang sudah banyak direnovasi atas ide Abib dan Arsyil itu memang sudah banyak menyumbangkan pundi-pundi rupiah untuk keberlangsungan hidupnya. Terlebih setelah dua tahun lalu cinta pertamanya harus pulang memenuhi panggilan Sang Pencipta.

Kini, Bu Tami, Abib, dan juga Gala menjadi tanggung jawab Amira. Walau sebenarnya, Gala masih memiliki papa yang sehat dan masih mau menafkahinya. Namun, Amira tak sudi lagi menyebut nama sang mantan suaminya itu, apalagi memakai uang yang belum lama ini masuk ke rekening atas nama Abiyas Manggala.

“Persediaan bahan makanan kafe masih aman, kan, Ran?”

“Aman, Mbak Mira. Bahan yang sudah menipis sudah kami order kembali, dan mobil box delivery sedang dalam perjalanan,” jelas Chef Rani sebagai wakil koki dan penanggung jawab bagian dapur.

“Oke. Good job.” Senyum manis Amira langsung merekah. “Saya tinggal ke ruangan dulu, ya.”

Rani dan yang lain mempersilakan atasannya itu. Amira mengayun langkah sembari menengok jam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum kafe dibuka pada pukul 09.00 pagi.

Biasanya, kafe akan ramai di jam-jam makan siang, sebab tempatnya yang strategis dekat dengan perkantoran dan sebuah kampus swasta. Namun, tak jarang kafe pun langsung ramai di atas jam sepuluh. Ya, rezeki tak ada yang tahu.

Pagi sampai sore, Amira akan stand by di kafe, sementara sore sampai malam akan digantikan dengan Abib yang sudah pulang dari kampusnya. Sejauh ini, semua lebih menyenangkan dan Amira selalu penuh semangat dalam menjalani hari. Setidaknya, itu yang Amira rasakan semenjak lepas dan hidup bebas dari mantan suami yang suka main perempuan.

‘Tring!’

Sebuah notifikasi dari mobile banking masuk ke ponsel Amira. Walau tanpa membukanya di aplikasi, rentetan nominal dengan jumlah cukup jika untuk jajan Gala tertera di sana. Wanita dengan rambut panjang sebahu dan ujung sedikit curly itu tak terlalu menanggapi.

Ditaruhnya ponsel di meja dan ia mulai sibuk di depan sebuah laptop, melihat laporan keuangan dari sang adik. Benar, omsetnya semakin meroket tajam. Kedua sudut bibir Amira melengkung sempurna. Segera ia meraih ponsel dan mencari nomor Arsyil.

“Lah, ngapain juga aku nyari nomor si Arsyil?” Amira bermonolog.

Tangannya bergerak, sebab dorongan hati yang ingin mengucapkan terima kasih. Namun, Amira teringat bahwa di balik omset kafenya yang akhir-akhir ini meroket tajam, Arsyil pun semakin menyebalkan. Belum lagi hasutannya yang membuat Gala sudah mengganti panggilan pada pria itu menjadi Papa Cil. Iyuuuh ... perut Amira mulai bergejolak membayangkan jika suatu saat takdir mempersatukannya dengan bocah kecil itu.

“Enggak usah ditelepon, deh. Entar dia ke-GR-an lagi.”

“Eh, tapi ... dia harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum!”

“Oh, jadi Mbak Mira mau aku tembak, nih?”

Mata Amira membola saat sadar kalau wajah Arsyil sudah memenuhi layar ponselnya.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status