Share

4. Calon Istri

“L-loh, kok bisa?” Amira tergagap.

“Bisa apa, Mbak?”

“Lu vcall gue duluan, ya?”

“Dih, mana ada?” tampik Arsyil. “Mbak Mira yang vcall aku duluan.”

Amira menggeleng. “Enggak mungkin!”

“Apanya yang enggak mungkin, Mbak? Lihat aja entar di log panggilan. Yang manggil duluan aku apa Mbak Mira?”

Amira menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah, sementara ponselnya berdiri menyandar di depan vas bunga dekat laptop. Apa iya tadi jarinya sudah menyentuh gambar kamera hingga membuat panggilan video ke nomor Arsyil? Ah, ternyata selain kaki, jari pun bisa terpeleset. Apalagi hati, terpeleset brondong. Eh!  

“Enggak usah malu, Mbak. Aku udah denger, kok, semua yang Mbak Mira bilang.”

“Hah?” Amira membuka telapak tangannya. “Emang gue bilang apaan?”

“Mbak Mira bilang gini: Arsyil harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum.”

Mata Amira melebar.

“Siapin mental, ya, Mbak. Aku bakal nembak Mbak Mira di depan–“

Tut!

Amira segera menyentuh gambar gagang telepon warna merah.

Di seberang sana, Arsyil terkekeh dan langsung jungkir balik di atas kasur spring bed-nya. Dia merasa bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan walau Amira selalu mengelak tak menyukai bocil sepertinya.

“Bocil-bocil begini juga aku mampu nafkahin kamu lahir batin, Mbak,” ucapnya seraya menatap langit-langit plafon kamarnya.

Segera ia bergegas menuju kamar mandi untuk meluruhkan sisa keringat usai olahraga di halaman rumah. Walau baru sembilan belas tahun, Arsyil termasuk remaja dengan tubuh proporsional. Tubuh padat berisi dengan otot-otot yang mulai terbentuk sempurna ia dapatkan setelah rutin berolahraga semenjak kelas XI. Tinggi badan mencapai 182cm dengan berat 66kg.

Di bawah guyuran air shower yang hangat-hangat kuku, bayangan single mom dengan tubuh mungil nan imut itu datang berkelebat. Fantasi liar Arsyil sebagai lelaki normal mulai terusik. Kulit putih dan tubuh mungil Amira dengan wajah ayu yang hampir mirip aktris Song Hye-kyo membuat kepalanya mendadak sakit menahan hasrat naluri kelelakiannya.

“Shit!” umpatnya. “Mbak Mira ... tolong Arsyil, Mbak ....” Dia menengadah dengan senyum tampannya.

Arsyil segera mengganti guyuran air hangat dengan air dingin untuk meredam kobaran panas dalam tubuhnya. Sempat ia melirik sabun, tetapi kepalanya menggeleng kuat-kuat. Tak mau berlama-lama, Arsyil pun segera menyudahi aktivitasnya dan berganti pakaian.

***

Di kampus Tunas Muda, Arsyil datang dengan Ducati merahnya. Kehadirannya selalu membuat banyak wanita berbisik-bisik dan mleyot berjamaah. Padahal ia tak melakukan apa pun. Hanya berjalan dan menyapa beberapa temannya.

“Abib!”

Habib Sahid yang akrab dipanggil Abib itu menoleh.

“Hey, Syil. Baru dateng?”

Arsyil mengangguk dan melingkarkan lengan ke pundak teman baiknya itu.

“Pulang kuliah, gue main ke kafe, ya?”

“Main ya tinggal main aja, Syil. Tumben-tumbenan izin segala.”

Arsyil terkekeh. “Takut lu sibuk, entar gue dicuekin.”

“Idih, najis. Gemulai amat bahasa lu, anj*r.”

Mereka tergelak bersama dengan langkah terus menuju kelas. Di lorong kampus, Arsyil dan Abib sudah seperti model yang berjalan di atas catwalk. Keduanya tak luput dari sapuan mata para gadis-gadis kampus.

“Pagi, Arsyil ....”

“Hai, Abib ....”

Dua pria tampan itu hanya membalas dengan senyum ramah dan anggukan kepala. Tidak perlu berlebihan jika tak mau disebut sebagai the next Garangan. Sebab, Arsyil pernah menyinggung hal tersebut dalam salah satu kontennya.

“Hanya seorang pecundang yang mampu menghidupkan rasa dalam hati wanita, tapi pergi tanpa mau membalasnya.”

Akun sosial media dan channel Youtube-nya langsung diserbu barisan kaum Hawa. Sejauh ini, wajah tampannya yang sangat menjual tak pernah Arsyil gunakan untuk membual. Berteman sewajarnya dan bergaul seperlunya. Namun, hanya dengan Abib dia terbilang cukup dekat.

“Eh, ibu bilang kalau semalem lu ke rumah. Beneran?” tanya Abib.

“Iya.”

“Ngapain?”

“Niatnya sih, mau main sama ponakan lu, Bib.”

“Gala?”

“Ada lagi emang?”

“Ya enggak ada, sih.”

“Nah, ngapain nanya?”

Abib hanya mengedikkan bahu.

“E ... Syil, gue mo nanya sesuatu, deh, sama lu.”

“Apaan?”

“Gue kayak mencium sesuatu.”

Arsyil menghentikan langkah dan mulai menghidu kedua ketiaknya secara bergantian. “Gue udah mandi, Bib.”

“Bukan bau badan lu, Bokir!”

“Lah terus?”

“Bau-bau aroma pendekatan.”

Kedua alis tebal Arsyil bertaut.

“Enggak usah pura-pura bego, Syil. Jujur sama gue, lu lagi berusaha ambil hati Gala buat nakhlukin Mbak Mira, kan?”

Baru hendak membuka mulut, teman-teman sekelas dan sejurusan dengan keduanya saling berebut masuk kelas. Arsyil urung menjawab, lantara dosen sudah berjalan menuju ruangan mereka.

“Nanti kita obrolin lagi.”

Abib hanya mengangguk patuh.

Waktu terus berjalan. Tak terasa hari sudah beranjak sore. Abib dan Arsyil menuju parkiran kampus. Sesekali keduanya mengobrol dan terkekeh hingga kaki memijak pelataran parkir dan menaiki motornya masing-masing hendak menuju kafe milik Amira.

Sementara di tempat mengais rezeki, Amira berusaha membuang jauh-jauh rasa malunya lantaran monolognya tadi pagi malah didengar langsung oleh Arsyil. Kesibukannya di kafe sedikit mengalihkan  perasaan malu dan canggung jika nanti bertemu dengan si brondong tengil itu.

“Semoga dia enggak ke sini. Aamiin.”

Amira kembali bekerja membantu kesibukan di kafe. Hingga seorang lelaki datang dan duduk di salah satu meja. Memanggil waitres dan memintanya untuk memanggilkan pemilik kafe.

“Maaf, Kak, mau pesan apa? Biar sama saya saja,” ucap salah satu pelayan wanita dengan sopan.

“Saya mau ketemu Amira,” balasnya dengan nada dingin. “Panggilkan dia ke sini!”

“Maaf, dengan Bapak siapa?”

Pria itu melirik sinis. Tadi kakak, sekarang bapak, pikirnya.

“Kamu bilang saja, papanya Gala mau ketemu.”

Pelayan dengan hijab rapi itu segera mundur dan mengangguk hormat. Dengan cepat waitres dengan seragam kaus warna merah itu memberitahu atasannya yang sedang ikut sibuk di dapur.

“Siapa?”

“Orang itu bilang papanya Gala, Mbak.”

Amira menghela napas dan memejam sesaat, lalu melepas apron dan mencuci tangannya.

“Ada apa dia datang ke sini?” gumam Amira dalam hati.

Segera Amira merapikan tampilan agar tak terlihat kacau di depan mantan suaminya. Bukan mau tebar pesona, Amira hanya ingin menunjukkan, bahwa ia jauh lebih cantik dan terawat saat lepas dari bayang-bayang lelaki durjana itu.

“Ehem! Selamat sore. Ada yang bisa dibantu?”

Dewo–mantan suami Amira–meneliti penampilan sang mantan istri dari bawah sampai atas. Ya, dia cukup terkejut setelah hampir lima tahun tak pernah melihat Amira. Dewo mendua saat Amira tengah hamil dan badannya menjadi seperti buntalan kentut. Begitu kalimat menohok yang pernah keluar dari bibir Dewo.

“Amira?”

“Ada yang bisa dibantu?” sapa Amira ramah. Padahal dalam hati ingin sekali ia menghajar wajah standar tak tahu rasa bersyukur itu.

“Mir, k-kamu cantik sekali,” ujar Dewo takjub.

“Maaf, ada keperluan apa Anda datang ke mari?” Amira hanya berusaha ramah kepada setiap pengunjung yang datang.

Dewo berdiri dan hendak meraih tangan Amira. Namun, sebuah tangan yang lebih berotot dengan kulit bersih segera mencekal lengan Dewo.

“Jangan sentuh calon istri saya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status