POV TAMA
"Arum...apa yang terjadi?" tanyaku saat Arum masih nanar dengan tatapan mata berkaca-kaca.
"Arum?"panggilku lagi, Arum menoleh dengan tatapan hambar.
"Mas, maaf? Aku akan segera selesaikan ini," ujarnya berlalu pergi, aku kembali menghenyak kursi kerjaku dengan perasaan gundah. Pria itu, sebelumnya pernah dekat dengan Arum apa yang terjadi hingga Arum menjual semua aset padanya.
Aku tidak tau bagaimana Arum menyelesaikan masalahnya dengan pria itu, masalah baru ini benar-benar membuatku pusing, tak ada yang bisa aku lakukan untuk perusahaan ini lagi, aku harus kembali ke rumah.
Sesampai di rumah aku temui Luna tengah bermain dengan Geby, aku mencoba untuk tidak menemui dia dulu dan langsung mengecek kamar Resti. Rasa rindu dan penasaran padanya kenapa dia tiba-tiba menghilang dan mengirimi aku sebuah pesan misterius itu membuat banyak pertanyaan bersarang di kepalaku.
"Apa yang terjadi sebenarnya?
POV RESTIDua hari berlalu aku kembali ke rumah memantau keadaan dari kejauhan. Mendadak aku cemas melihat mba Arum sekarang tinggal di rumah bareng Luna dan mas Tama, takut-takut Luna juga perlakukan mba Arum sepertiku sebelumnya. Hatiku terenyuh saat melihat ibuk diajak jalan mbak Arum pakai kursi roda ke halaman rumah."Wanita itu? Mana dia?" lirihku. Hari sudah mulai gelap, mba Arum membawa masuk lagi ibuk ke dalam. Aku pun beranjak hendak pergi kembali ke rumah Irfan. Sekitar jarak lima meter aku melihat Luna turun dari taxi. Secepat kilat aku sembunyi di balik pohon."Ini sudah hari keberapa, aku belum juga bisa membujuk mas Tama, aku harus bagaimana?" gerutunya berjalan menuju pagar. Di bawah pohon ini minim pencahayaan, mungkin jika aku berdiri dari sini Luna akan melihatku seperti penampakan."Mba.. Luna," desisku memanggilnya, sontak saja langkah wanita itu terhenti dan membalik dengan gemetar. Aku tertunduk denga
PART POV RESTI Darahku serasa terhenti saat melihat pembunuh itu berada di depan pintu, aku tak menyangka dia bisa mengetahui keberadaanku, pria itu tertawa renyah melangkah masuk. "Jj-jangan mendekat!" bentakku mendorong pintu sontak saja pria itu menghempas pintu kuat hingga aku terjatuh. "Sayang sekali, aku harus habisi kamu malam ini cantik...," desisnya menyeret lenganku lagi untuk berdiri, aku gemetar dan coba berontak. "Lepas!" hardikku berusaha lepas dari cengkramannya. "Kalo di lihat-lihat kamu cantik juga?" desisnya memandangi dengan nafsu, aku jijik dan sekuat tenaga berontak. Pria itu menyeretku ke kamar hingga jemariku dapat menjangkau vas di lemari, secepat kilat aku layangkan ke kepalanya, Membuat cengkramannya terlepas dan tampak oleng memegangi kepalanya yang telah bersimbah darah. Seketika aku nanar melihatnya dan coba berlari keluar. Namun, aku salah, pria itu lebih sigap menangkis la
POV ARUM Mas Tama dia sangat kecewa padaku, hingga dia memilih diamkan aku di rumah, disini dirumah Hadi aku belum terbiasa, lagipula aku belum bercerai dengan mas Tama. Aku gundah entah apa pilihan yang harus aku ambil. "Arum?" sapa mas Hadi membuyarkan lamunanku di taman rumahnya. Sontak aku menoleh dan berkata. "Ya mas, sehabis mengantar Caca tadi les. Aku pilih balik lagi, ini sudah sore mas. Aku harus kembali pulang," tuturku, sedikit wajah mas Hadi berubah. "Pulang kemana? Ini rumahmu Arum," tekannya tak habis pikir. Aku berdesih sedikit dan berucap. "Mas aku males bahas yang beginian. Berapa kali aku katakan padamu mas. Aku belum bercerai dan aku masih istrinya mas Tama," ujarku, mas Hadi menghela nafas berat dan beranjak mengambil sesuatu.
POV ARUM'Mas Hadi maaf, aku diamkan mas seperti ini mas, mas memang yang terbaik tapi kita tidak di takdirkan untuk bersama, mas benar aku begitu mencintai mas Tama hingga aku tidak bisa membuat keputusan. Aku hanya ingin tinggal dengannya sekarang, entah kenapa aku tidak tega untuk membuat dia terluka. Aku sudah terbiasa denganya kami melalui susah dan senang bersama aku tau betapa rapuhnya mas Tama sekarang, aku tidak ingin pergi aku ingin bersama mas Tama hingga dia terasa sempurna saat bersamaku. Namun entah kenapa ada kalut dalam hatiku yang tak bisa aku artikan. Aku masih merasa bimbang.'"Arum!" bentak Risa membuyarkan lamunanku, aku menoleh ke pintu. Wajah temanku sudah tampak tak bersahabat aku coba memandanginya datar dan membuang muka. Palingan dia ingin membahas mas Hadi."Aku tak habis pikir ya sama kamu Rum? Kamu kembali kesini dan m
POV ARUMHanya satu kata yaitu gundah!, aku berniat untuk membalas mereka semua, tapi nyatanya aku terjebak dalam permainanku. Aku bahkan tak bisa membalas lebih kejam ataupun setara, kenapa begitu mudahnya aku bisa menghapus semua luka-luka itu yang tersemat bak duri menancap bertahun-tahun.***Sore ini aku menghampiri Resti di kamarnya, ia tampak melamun memandang jauh keluar jendela. Aku menghampirinya karena sempat bingung kenapa seharian dia tidak keluar kamar."Ada apa? Kamu sangat terlihat bersedih semenjak hari itu?" tanyaku, Resti menoleh menyunggingkan senyum."Tak ada apa-apa mbak, Resti hanya ingin sendiri saja," tukasnya, aku menghenyak di kasurnya dan coba melihat mimik wajahnya lebih dekat."Sepertinya ada yang menganggu pikiranmu?" desisku.
POV ARUM"Duduk!" perintah mas Hadi. Dengan langkah gontai aku melangkah dan menghenyak."Kurasa saya tidak perlu mengajukan banyak pertanyaan lagu untukmu," ujarnya, aku masih bungkam."Karena saya sudah tahu betul bagaimana cara kerjamu. Tapi sekarang kembali lagi padamu, apa kamu masih ingin bekerja untukku?" tanyanya, aku sedikit menghela nafas dan coba melihat wajahnya."Aku datang untuk interview, aku berharap bapak bisa profesional disini," tukasku, mas Hadi tampak manggut-manggut."Oke baiklah, saya akan profesional. Mengingat saya cukup mengenalmu, dan selama yang saya tahu, kamu cukup berpengalaman dan memiliki kinerja bagus," ucapnya sambil memandangku lekat. Aku masih tak habis pikir melihat raut wajahnya, dan bahasa dia yang tidak bersahabat, apa it
"Dari mana saja kamu Rum?" bentak mas Tama saat aku memasuki pintu rumah. Aku melirik jam didinding sudah menunjukan pukul 23:45 malam."Tadi aku..." ucapanku di cegat oleh mas Tama."Tadi apa? Kerja apa hingga larut malam begini? Kamu baru kerja beberapa hari saja sudah pulang larut malam begini." bentakknya,."Mas, yang jelas aku tak ngapa-ngapain, tadi itu Risa menghubungiku ngajakan nongkrong, hingga lupa waktu."ujarku, muka Mas Tama memerah meredam amarahnya, entah apa alasannya dia gak mau mendebatku lagi. Aku menghela nafas panjang dan membuntutinya kekamar.***POV TAMAArum aku tau kehadiran dia dirumah ino tak lebih hanya mengasihani aku, aku salah jika memohon padanya untuk tetap tinggal hati pikirannya sekarang tak lagi denganku. Aku sering temui ia melamun dirumah ini, dan bahkan dia sangat
POV HADISelepas mengurus salah satu perusahaanku itu, aku kembali menemui Caca di rumah, dia pasti sangat marah padaku karena tak membawa Arum. Tapi tak apa, semoga ke depannya aku bisa meyakinkan putriku itu nanti."Papa..." teriak Caca saat aku baru turun dari mobil, gadisku itu berlari ke garasi mengejarku."Ya sayang?" sambutku langsung merangkul dan menggendongnya, tawa riang dan senyum Caca sejenak mengusir lelahku."Kok Caca panggil Pipi, papa nak?" tanyaku menurunnkannya."Mulai hari ini, Caca akan panggil Pipi, Papa ya? Kan Caca panggil Mama sama Mama Arum. Biar cocok," ujarnya, mendadak aku bungkam."Oh, iya Pa? Mama mana? Tadi Caca dah telpon Mama?" ucapnya lagi, kembali aku gendong putriku itu masuk kerumah."