Share

Hanya Satu Nama

1 TAHUN KEMUDIAN...

Matahari menyengat dunia dengan sinarnya. Musim kemarau sedang melanda Indonesia. Orang berlalu lalang di sisi kemacetan jalan. Di sana, di teras kafe pinggir trotoar. Seorang gadis sedang menatap sekitar, memperhatikan setiap sisi kehidupan kota yang dia tempati. Secangkir kopi di depannya mengepulkan asap ke udara, kopi hitam hasil racikan barista kafe yang ternama di sudut kota.

Pakaiannya masih rapi dengan kemeja putih dibalut jas warna krem yang sangat pas di tubuh langsingnya. Celana panjang warna serupa juga terasa pas menutupi kakinya yang beralaskan flat shoes warna hitam. Dari style-nya saja, jelas terlihat bahwa dia adalah wanita karier.

Dia menyeruput kopi panas itu, merasakan setiap inci kepahitan yang mengigit lidahnya. Rambutnya yang curly memanjang hingga batas pertengahan punggung sesekali melambai-lambai tertiup angin..

"Mbak, Tata!" Sahutan dari arah belakang mengganggu ketenagannya. Dia menengok, mendapati seorang gadis tengah berlari-lari menghampirinya. Terlihat kesusahan dengan hells tujuh sentu yang dia kenakan. Ketika sampai di depannya, gadis itu terengah-engah dan menepuk-nepuk dada.

"Ada apa, Rita?" Ampe segitunya?" tanyanya sambil menggeser kursi agar gadis yang dia panggil 'Rita' bisa duduk dan tenang.

"Gini, tadi Pak Ahmad titip pesen ke saya. Katanya, kalo Mbak Tata mau pulang biar dianterin ama dia. Terus Santo titip salam ke saya untuk Mbak Tata," jelasnya.

"Udah?" tanya Shinta sambil menatap Rita. Gadis itu mengangguk, dan mengibas-ibas wajahnya dengan tangan. "Ini mah lo gak perlu lari-larian kayak tadi kali, Ri."

"Aku takut lupa, soalnya sekarang aku mau izin ke rumah sakit sebentar. Tar kalau nggak disampein, dosa," katanya berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Susah sih punya atasan cantik macam Mbak Tata."

"Heleh..." Shinta memutar bola mata malas. Kalau sudah menyangkut masalah pria-pria yang mendekatinya, pasti tak akan pernah habis. Apa arti dari sederet nama kalau hatinya hanya menyimpan satu nama.

"Lagian, Mbak kenapa sih gak respon salah satu? Tinggal pilih aja kok Mba, apalagi Mbak umurnya udah cukup banget." Rita mengoceh tapi Shinta tidak menghiraukannya. Sedikit terkejut dia rasakan saat gadis yang bersamanya itu menyinggung soal umurnya. Dia menghela napas berat. "Lo gak tau berapa usia gue sekarang. Gue masih 17 tahun," ketusnya.

"Serius, Mbak? Mbak Tata tidak bohong 'kan?" Ucapnya kembali menanyakan sebuah kalimat yang langsung membuat pikirannya tidak menentu.

"Iya."

"Cukup buat apa?"

"Buat... itu..." Rita menggerak-gerakkan kedua telunjuknya.

"Lo aja duluan," jawab Shinta mengerti.

Jangan tanya berapa pria yang mendekatinya, tapi tidak ada satupun yang direspon oleh Shinta. Dia selalu bersikap profesional, jika rekan kerja ya cukup tekan kerja. Kalau ada rasa lebih, itu beda cerita, dan tidak ada yang melarangnya. Tapi kalau Shinta tertarik kepada semuanya, apa mau dikata? Hati tidak pernah bohong, mungkin karena dia masih menetapkan satu nama Shinta sedang bersabar dalam masa penantian.

"Gak enak ah ngelangkahin atasan, hehe." Kekehan Rita membuat Shinta ikut tertawa.

"Makasih, ya," ujarnya yang dibalas anggukan oleh Rita.

"Kalau gitu, saya pamit duluan ya, Mba," pamit Rita seraya bangkit dari duduk.

"Ati-ati, salam buat kakak lo di rumah sakit." Shinta ikut bangkit dan menepuk pundak Rita. Mereka bersalaman. Rita berlalu meninggalkan Shinta kembali sendiri. Dia duduk lagi, akhirnya larut dalam lamunannya.

Ponselnya bergetar dari dalam tas, dia mengacak-acak isi tasnya dan cepat meraih ponsel itu saat ada panggilan masuk terus terpampang di layar.

"Halo? Apa? Gak jadi?! Yah, gue sudah nunggu loh di kafe ini. Duh, gimana sih, Mba! Kenapa gak bilang dari tadi. Ya sudah. Terserah. Bye!" Shinta mematikan ponselnya dengan kasar.

Dia kesal lantaran rekan kerjanya membatalkan janji yang sudah dibuat. Kerjaan Shinta kan banyak, lain pasiennya di rumah sakit, lain yang ada di klinik prakteknya sendiri, dia rela-rela menyisihkan waktunya buat ketemuan tapi malah si orang membatalkannya begitu saja. Benar-benar tidak profesional dalam janji. Mood-nya jatuh seketika.

"Misi Mbak." Seorang pelayan menghampirinya.

Shinta mendongak. "Apa?" tanyanya ketus.

"Mbak namanya Shinta Ex Chipto?" tanya pelayan itu sopan. Shinta mengangguk singkat. "Ini ada sesuatu untuk, Mbak." Pelayan kafe itu memberikan secarik kertas berwarna pink muda. Shinta menerimanya dengan ragu sekaligus bingung.

"Dari siapa?"

"Gak tahu, Mbak. Saya permisi." Sebelum Shinta bertanya lebih jauh, pelayan itu langsung pergi.

"Sok misterius deh, palingan orangnya sia-sia lagi," gerutu Shinta yang langsung meletakkan surat itu tanpa membukanya terlebih dahulu.

Emang gue bocah apa dikasih gini-ginian, batinnya.

Tapi sebersit rasa ingin tahu menggelitik hatinya. Dia pun mengetuk-ngetuk jarinya ke meja, terus memandangi sambil berpikir. Tidak bisa lagi ditahan, dia langsung membuka amplop pink muda dan mengeluarkan isinya. Secarik kertas usang yang bertuliskan dengan pena.

"Gak ingat ini hari apa?" Dia membaca tulisannya dengan berbisik. Otaknya kembali dipenuhi pertanyaan yang mulai berputar.

"Hari Rabu lah. Kok aneh?" Gumam Shinta menjawab sendiri.

Dia membuka ponsel untuk memastikan kalau hari ini memang Hari Rabu. Setelah dilihat, benar kok hari Rabu.

Eitss, batin Shinta menemukan poin yang lain. Matanya mendelik melihat tanggal yang tertera. Cepat-cepat dia menutup mulutnya yang menganga. Ketika Shinta bangkit, dia sudah menemukan seorang pria yang berdiri menjulang di belakangnya.

Mata Shinta mendelik tidak percaya. Hatinya kembali merasakan serpihannya yang telah lama pergi. Shinta sudah berteriak senang tapi tidak dia keluarkan, justru dia hanya diam memaku. Penantiannya telah kembali.

"Lo ngapa bengong, Ta?" Pria itu menyadarkannya dari kecamuk pikiran.

Shinta mengerjap cepat. "Tris—Trisno?!" Dia masih tidak percaya.

"Mana kado gue?" Datang-datang sudah nodong, mentang-mentang ini hari ulang tahunnya.

Apa dia sudah lupa dengan satu tahun yang lalu? Saat dia mengatakan gue tolol? Dan sekarang tanpa dosa dia datang lagi untuk mendekatiku. Di mana pacarnya itu?

"Trisno yang mana?" gumam Shinta tidak berkedip.

"Shinta miliknya Trino Sugeng." Saking gemasnya melihat reaksi Shinta, tangan Trisno mencubit pipi Shinta agar dia sadar kalau dia sedang ada di dunia nyata.

"Lo... Ingat gue?" Shinta masih syok. Dia menyingkirkan tangan Trisno dari pipinya.

"Ingatlah. Lo Shinta Ex Chipto, yang setahun lalu buat janji sama gue. Gue sempat pikir lo ninggalin gue sengaja waktu itu. Tapi ternyata, gue salah. Lo masih lupa sama gue? Apa Lo masih ingat dengan kata-kata tolol yang keluar dari mulut gue ini?"

"Iya, gue ingat." Shinya menjelaskan dengan pelan-pelan. Supaya Trisno percaya, kalau ingatannya kembali.

"Semuanya?" Trisno girang.

"Enggak, sebagian besar aja. Semuanya sudah tidak buram. Pengobatannya berhasil."

Trisno menjadi seorang pria paling bahagia saat ini. Meskipun tidak semua ingatan Shinta kembali, tapi Shinta pasti ingat kalau Trisno masih pacarnya.

"Shinta!!" Trisno memeluk Shinta meluapkan kegembiraannya. Shinta memeluk Trisno kembali, meskipun ada rasa enggak untuk memeluknya.

"Pergi dari sini yukz orangtua kita sudah menunggu di rumah lo." Trisno menggenggam tangan Shinta. Ada sebuah makna besar di balik ajakan Trisno yang santai.

"Ha?! Ngapain?!" Shinta terkejut.

Mereka mulai berjalan meninggalkan kafe yang sepi.

"Nikahin lo," jawab Trisno tenang.

"WHAT?!" Jantung Shinta berhenti saat itu juga. Dia mematung, ledakan dari dalam dirinya menahan dua melangkah lebih jauh.

"Kenapa?" Trisno ikut menghentikan langkahnya. Dai berbalik badan, menengok ke Shinta mukanya syok habis.

"G—gue... i—itu... A—nu... Apa Mama izinkan orang tua lo datang ke rumah?" Shinta gelagapan. Ingin rasanya menampar bibirnya sendiri agar cepat bereaksi.

"Iya. Siapa yang bilang gak mau digantungn Mulu? Siapa yang bilang kalau cewek lebih suka dikasih kepastian? Sekarang gua akan bertanggung jawab atas semua penantian lo. Ya, setuju atau enggak, itu sih urusan lo." Trisno mengedikkan bahu cuek. Dia melangkah lagi, membiarkan Shinta berdiri di tempatnya.

Shinta sibuk dengan pikirannya sendiri, berusaha menurunkan hati yang sedang melayang menembus langit. Apa-apaan pria yang tadi bicara dengannya, benar saja itu seorang Trisno Sugeng.

Tidak ada yang asing. Cara bicara yang datar, caranya memandang Shinta, bahkan gerak-gerik tubuhnya yang begitu khas lagi melekat di pikiran Shinta.

Gue harus apa? Batinnya seorang diri sembari terus memikirkan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Trisno Sugeng. Itu adalah hal di luar jangkauannya yang tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh hatinya.

Dulu dia pernah berharap, tapi sekarang, dia sudah membuang jauh-jauh pikiran itu, semenjak pria itu sudah memiliki pacar. Lalu, kenapa sekarang dia datang lagi, setelah manaruh luka yang dalam di hatinya. Apa secepat itu juga waktu berlalu dan secepat itukah dia ingin meminta maaf sama gue? Dan gue sekarang harus apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status