Share

Mengingatkannya Tentang Masa Lalu

Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di gedung kampus yang mulai sepi. Beberapa mahasiswa lainnya terlihat meninggalkan gedung kampus. Semua serba anak sultan. Sebagian kecil saja yang merupakan anak orang miskin, lainnya, ya, begitulah. Semuanya serba ada dan permintaannya tidak pernah tidak terpenuhi.

"Gedung ini terasa gak asing," gumam Shinta menatap gedung kampusnya yang banyak berubah, tapi bentuknya tetap sama.

"Yuk keluar." Sintha melepas sabuk pengaman, lalu membuka pintu mobil. Shinta menghela napas berat, lagi-lagi dia harus mengikuti kata hatinya. Sifa ikut keluar dan berjalan di belakang Shinta yang mulai memasuki gerbang.

Shinta tampak berbicara dengan seorang penjaga kampus. Beberapa menit kemudian, dia melangkah memasuki area kampus. Sifa berjalan mengikutinya dari belakang.

"Jalannya jangan jauh-jauh. Nanti kamu nyasar." Shinta menarik tangan Sifa. Lagian, jalannya Sifa lama, kayak orang linglung pula. Bikin Shinta gregetan.

Sifa melepas genggaman tangan Shinta. "Gue bisa jalan sendiri," ketusnya. Shinta lagi-lagi tercekat dengan penolakan yang diutarakan oleh Sifa. Apa yang terjadi dengannya? Dia hanya bisa diam menutupi sakitnya hati.

Mereka melangkah ke ruang kelas terlebih dulu. Sampai sejauh ini, mereka belum menemukan dosen yang mengajar yang tidak suka memberi tugas saat mereka kuliah di sini, selalu saja ada tugas, setiap harinya.  Sudah bertahun-tahun lalu, mungkin ada yang pensiun, kena rotasi, atau sudah pulang ke peristirahatan terakhir.

'S1 KEDOKTERAN-Tingkat-2'. Tulisan di papan yang menggantung di depan ruang itu.

"Ini ruang kelas—" Shinta tidak melanjutkan perkataannya karena lagi-lagi Sifa membuat rusuh. Barr... Tiba-tiba Sifa mendorong tubuh Shinta ke dinding. Untung saja pelan. Kalau tidak, kepala gadis itu akan berdarah. Tapi, kenapa dengannya?

"Tata?! Sakit lagi ya?" Sifa ingin menyentuh Shinta, tapi tangannya berhenti di udara. Takut kalau perlakuannya malah membuat Shinta tidak suka seperti tadi.

Berkelebat memori samar-samar lalu-lalang di kepala Shinta. Seorang anak perempuan, seorang lelaki, aktivitas kelas yang membosankan, semua berputar-putar memusingkan.

"Tata..." Sifa melirih. Tidak tega melihat Shinta yang mengerang sakit tanpa suara. Sintha berusaha mengendalikan kepalanya yang berdenyut, menenangkan diri, mengatur napasnya sendiri. Dia bersandar pada pintu kelas yang terbuka. Ruang kelas sudah kosong. Sekosong dirinya.

Ini di luar rencana Sifa. Apa yang selanjutnya harus dia lakukan jika sedikit saja menyenggol masa lalu membuat Shinta mengerang kesakitan? Sifa mempunyai pilihan yang sama saja merugikan. Pertama, relakan Shinta yang ingatannya lesap dalam sebuah tragedi, berarti dia harus relakan Shinta pergi. Kedua, berjuang lagi, tapi harus menyakiti kepala Shinta dengan beberapa hal yang menyangkut masa lalu Shinta, berarti Sifa rela menyaksikan Shinta kesakitan saat masa lalu menghantuinya.

"Tata—Shinta..." Sifa masih teriris melihat Shinta yang wajahnya pucat. "Gue gak papa. Lanjut aja." Shinta mulai melangkahkan kakinya duluan. Sifa cepat-cepat mengejar Shinta, berjalan di samping gadis yang sekarang tak lebih dari fatamorgana.

Kaki mereka menyusuri ruang kelas yang lain. Berhenti tepat di sebuah pintu yang tertutup, papan menggantung di atas bertuliskan S1 KEDOKTERAN-Tingkat-4.

"Yang tadi ruang kelas kita. Yang sekarang ruang kelas yang lain. Kita di jurusan yang sama, ruang kelas juga sama sih. Gue hanya menunjukkan kelas yang lainnya untukmu." Sifa menyentuh pintu yang terbuat dari kayu. Matanya menerawang jauh ke beberapa tahun silam. Sifa jadi takut.

Sekarang mereka bergantian siapa yang duluan di depan, dan siapa yang mengekor dari belakang.

Setelah lima detik bernostalgia tentang masa KULIAH, Sifa berjalan ke arah taman belakang. Kaki mereka bergerak menyusuri lorong yang tidak banyak berubah. Ujung lorong sana adalah taman belakang, tapi Sifa menghentikan langkah di tengah-tengah lorong yang cukup gelap. Shinta ikut berhenti di belakang Sifa.

"Ada apa?" Tanya Shinta menatap punggung Shinta yang pendek.

"Lo kenapa sembunyi? Kenapa selalu menghindar?" Sifa berbalik. Mengangkat dagunya untuk melihat ke mata hitam Shinta.

Shinta mengeryitkan dahinya tidak paham. "Ngomong apa sih?"

"Kenapa, Ya?! Kasih gue alasan!" Sifa setengah berteriak. Shinta makin bingung. Bahkan dia sempat berpikir Sifa gila."Kenapa lo minta gue jauhin elo, padahal gue adalah sahabat lama lo, gue sudah berusaha bikin semuanya kembali normal." Dada Sifa bergemuruh. Dia mengulangi kejadian yang menimpanya saat di lorong kampus.

Ketika hati keduanya tak lagi sejalan, hingga Shinta meninggalkan Sifa yang jatuh di lorong yang gelap. Waktu itu, beberapa waktu yang menyakitkan bagi Shinta dan Sifa.

"Waktu itu. Lo ninggalin gue di lorong, padahal lo lihat gue jatuh. Waktu itu semuanya terasa berat. lo ninggalin gue, untuk kali kesekian yang tidak bisa aku hitung. Waktu itu, lo nyakitin gue lebih dalam dari hati gue sendiri. You was so cruel, but i keep holding you on."

Tiba-tiba jerit tangis yang melolong menulikan telinga Shinta. Kepalanya berdenyut lagi.

"Akh!" Shinta mulai memekik sambil memegangi kepalanya. Sesekali dia menutup telinga dengan mata terpejam. Bayangan kelam, kembali menghantui.

Buram. Yang Shinta lihat hanya siluet gadis yang jatuh sambil menangis. Di samping gadis itu ada sebuah tongkat, di depan gadis itu ada seorang anak perempuan yang melenggang pergi tanpa sebuah pertolongan.

Sakit. Kepala Shinta seperti makin dicengkram saat Shinta berusaha melihat secara jelas masa lalunya.

Sifa mengenyahkan pikiran negatifnya tentang reaksi Sintha. Dia merangkul bahu Shinta untuk membantu Shinta berjalan. Shinta yang kepalanya masih kesakitan hanya bisa bertumpu pada punggung Sifa. Aroma tubuh Sifa yang terasa familier malah membuat kepala Shinta semakin kencang denyutnya.

"Duduk sini dulu." Sifa membantu Shinta duduk di kursi yang terbuat dari batang pohon. Tempat favoritnya dulu. Sifa duduk di samping Shinta, menahan batinnya yang menjerit saat melihat Shinta menahan sakit.

"Maafin gue. Gue gak bermaksud nyakitin lo." Jemari Sifa bertautan, bergerak-gerak mengusir canggung rasa bersalah. Shinta diam. Dia hanya menenggelamkan kepala di kedua telapak tangannya, mengurut pelan-pelan agar urat yang mengencang bisa mengendur.

Telepon Sifa berdering. Satu panggilan masuk. Ibu jarinya mengusap ponsel, lalu menempelkan ke telinga.

"Halo..." ~ Sifa. Dia berusaha menormalkan suaranya. "Iya, Kak. Aku lagi... em... di kampus. Ada reuni. Kenapa, Kak? Ihh yang itu gak usah lagi di. Sifa gak papa. Ehh jangan, Kak—" Bibir Sifa kelu saat panggilan terputus satu arah. Dia merutuk sendiri karena kesal.

Sifa mengigit jarinya, jantungnya mulai tak keruan. Orang yang menelponnya tadi akan segera ke sini tanpa persetujuannya.

"Kenapa?" tanya Shinta menghentakkan Sifa. Padahal nada bicara Shinta datar-datar saja.

"Emmm—emmm... gue lagi ada urusan mendadak hari ini. Tidak. Bukan yang itu sih..." Sifa menggigit bibirnya enggan meneruskan. Shinta menatap Sifa, menunggu jawaban. "Ahh! Lupakan aja! Gak papa!" Tangan Sifa berkibas-kibas di udara. Sebuah senyum terpaksa dia ukir agar semua tampak baik-baik saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status