Share

Bimantara Louis

last update Last Updated: 2025-04-17 11:32:37

Bima menatap Ajeng yang sangat telaten mengurus bayinya, entah akan seperti apa dia mengurus bayi itu andai Edward tak menyertakan wanita itu bersamanya. Ternyata di balik rasa tidak suka Edward padanya, masih tersimpan kepedulian Edward pada sang cucu. 

Penerbangan berjam-jam lamanya akhirnya berakhir, Bima kembali kaget saat dirinya sudah dijemput oleh seseorang begitu keluar untuk mencari taksi. 

"Tuan Dirga Bimantara?" tanya seorang paruh baya dengan sopan. 

"Benar," jawab Bima dengan bingung karena tak mengenal siapa yang menyapanya. 

"Saya Tri, Tuan. Mari, sebelah sini mobilnya," balas Tri menunjuk dengan jempolnya. 

"Tapi--" 

"Saya diminta untuk menjemput, Tuan," jelas pak Tri yang menyadari kebingungan Bima. 

"Tuan, Tuan Kecil nampaknya sudah tidak nyaman. Sebaiknya kita ikut saja dengan beliau," sela Ajeng yang menggendong bayi Bima. 

Bima tersadar, lalu membiarkan pak Tri mengambil alih barang bawaannya menuju mobil. 

"Biar saya yang gendong Louis," kata Bima membuat Ajeng terdiam beberapa saat. 

"Nama bayi ini Louis. Bimantara Louis," terang Bima dengan mata berkaca-kaca, ditatapnya wajah Louis yang tersenyum dalam tidurnya, seakan bayi itu senang dengan nama yang diberikan oleh sang ayah. Nama yang tiba-tiba saja terlintas dalam benak Bima. Perpaduan namanya dengan Louisa. 

Ajeng mengangguk dengan senyum haru, dia lalu memberikan Louis pada Bima. 

"Kamu senang 'kan dengan nama yang papa berikan, Louis? Nama itu akan terus mengingatkan papa pada mamamu. Nanti, kita akan kembali ke sana menemui mama, Nak," lirih Bima mengusap kening Louis lalu mengecupnya penuh sayang. 

Mobil perlahan meninggalkan area bandara, Bima bahkan tak mengatakan kemana mereka harus pergi. Dia hanya hanyut dalam pikiran tentang Louisa yang kini sudah berbeda tanah yang di pijaknya. 

Bagaimana keadaan istri tercintanya itu? 

"Kita langsung ke rumah, Tuan?" tanya pak Tri. 

Bima seakan baru sadar, dia melihat ke luar dan mulai mengingat di mana dia berada sekarang. 

"Bagaimana Bapak tau alamat saya?" tanya Bima, sedang Ajeng yang duduk di kursi depan lebih memilih diam. 

"Dari Tuan Besar," jawab Pak Tri menoleh sekilas ke kursi belakang, jawaban Tri membuat Bima mengernyit heran. 

"Tuan Besar? Apa yang pak Tri maksud itu … Tuan Edward?" tanya Bima tak ingin terus didera rasa penasaran. 

"Saya tidak tau, Tuan. Saya hanya diperintah oleh seseorang mengaku sebagai suruhan Tuan Besar," ujar pak Tri dengan jujur. Dia bahkan tidak pernah bertemu dengan orang yang memintanya menjemput Bima, mobil yang dibawanya pun hanya dikirim oleh seseorang yang katanya juga diperintah oleh Tuan Besar. 

Awalnya pak Tri ragu menerima pekerjaan itu, tapi melihat rekeningnya mendapat saldo tambahan, akhirnya dia menerima pekerjaan itu dengan senang hati. 

"Bisa saya mempercayai bapak?" tanya Bima. 

"Tentu saja, Tuan," balas Pak Tri dengan sangat yakin. 

"Baiklah. Tapi jangan panggil saya 'Tuan' terlalu berlebihan. Panggil saja saya Dirga," kata Bima memilih menggunakan nama yang sejak dulu memang dipakainya. Hanya sejak bekerja di luar negeri lah dia memakai nama Bima sekedar iseng saja awalnya. 

"Wah, mana berani saya, Tuan," tolak pak Tri seraya terkekeh. 

"Panggil 'Mas' saja kalau begitu. Untuk kamu juga, Ajeng," balas Bima menyertakan nama Ajeng. 

Dua orang yang duduk di kursi depan itu menjawab patuh. Hingga rengekan Louis terdengar. 

"Berikan susunya, Tuan," kata Ajeng menyerahkan susu yang sudah disiapkannya. 

"Panggil mas, Ajeng!" ulang Bima sambil menerima botol susu yang disodorkan Ajeng. 

"Maaf … Mas. Lupa." 

Bima fokus memberikan susu pada Louis, hatinya kembali perih mengingat nasib anaknya hampir sama dengan apa yang dialaminya. 

"Nanti cari donor ASI, Jeng. Saya ingin anak saya meminum ASI walaupun bukan ASI ibunya," titah Bima yang dijawab patuh oleh Ajeng. 

"Kita sudah sampai, Mas," kata pak Tri begitu mereka sampai di depan sebuah rumah yang terlihat cukup besar. 

Lagi, Bima dibuat kaget dengan apa yang ada di depannya sekarang. Rumah itu terlihat sangat nyaman. Tak ada pagar tinggi yang mengelilingi bangunan tersebut, hingga dia bisa melihat ke pekarangan yang ditumbuhi beberapa pohon buah-buahan, hingga pasti akan sejuk di sana saat siang hari. 

Satu yang jadi pertanyaan Bima saat ini. Siapa 'Tuan Besar' yang sudah berbaik hati melakukan semua itu untuknya? 

Bima jelas tak percaya Edward yang melakukan, nama itu jelas dicoret dari daftar kemungkinan si Tuan Besar tersebut. 

Bahkan perlengkapan bayi sudah siap begitu Bima memasuki kamar yang kata pak Tri adalah kamar untuknya. Si kecil Louis sudah dibaringkan di atas kasur dengan nyaman, sedang dua orang yang sejak tadi menjadi temannya sejak sampai di Indonesia, kini tengah beristirahat sambil berbincang dan minum kopi di dapur. 

Pak Tri sampai menggeleng tak percaya, mendengar cerita Ajeng tentang Bima yang diusir begitu bayi Louis dibawa ke rumah Edward. 

"Kasihan sekali. Apa mbak Ajeng sudah lama bekerja di rumah Tuan Edward?" tanya pak Tri sambil sesekali melihat ke ruang tengah takut Bima tiba-tiba datang, dan mendengar dirinya sedang dibicarakan. 

"Saya baru seminggu diminta bekerja pada Tuan Edward, Pak. Jadi saya tidak tau apa-apa selain kejadian Mas Dirga diusir itu," kata Ajeng. 

"Kasihan banget, ya Allah." 

Percakapan itu terhenti saat terdengar langkah kaki mendekat, Bima menghampiri pak Tri yang langsung berdiri. 

"Ada perlu apa, Mas?" tanya Pak Tri. 

"Apa bapak tau Panti Asuhan Kasih Bunda? Kalau saya tidak salah ingat, ada di daerah sini," kata Bima. 

"Panti Asuhan Kasih Bunda?" Bima mengangguk. 

"Oh, iya. Saya tau. Kenapa mas Dirga tanya soal panti asuhan itu? Kalau saya tidak salah, pengurusnya Bu Dina," jelas pak Tri. 

"Karena saya dulu tinggal di sana, Pak." Bima menatap kosong. Pak Tri dan Ajeng bertukar tatap, sungguh malang nasib Bima. Dulu dia anak yang besar di panti, sekarang anaknya harus dijauhkan dari ibu kandungnya karena keegoisan ayah mertuanya. 

Takdir memang sekejam itu untuk Bima dan Louis. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    hanya robot

    Setelah mengobrol banyak hal, Bima pamit undur diri, dia harus segera menghubungi nomor telepon yang dia harap memang bisa menghubungkannya dengan Louisa. "Kemana lagi, Mas?" tanya pak Tri begitu mobil sudah meninggalkan panti. "Pulang, Pak. Tapi nanti di jalan beli buah-buahan dulu. Takutnya stok di rumah sudah sedikit," kata Bima yang diangguki patuh oleh pak Tri. Membawa kantong plastik berisi beberapa macam buah-buahan, Bima memasuki rumah dengan disambut suara tangis Louis. Dia segera menyimpan plastik yang dibawanya di meja ruang makan, lalu segera mencuci tangan sebelum menemui Louis yang terdengar masih menangis. "Louis kenapa, Mbak?" tanya Bima saat Ajeng melintas setelah tadi membukakan pintu untuknya. "Kurang tau, Mas. Padahal tadi anteng banget," jawab Ajeng. "Kangen sama papanya mungkin. Tuh, papa udah datang loh, Mas Louis. Udahan nangisnya, ya?" Mela keluar kamar dengan menggendong Louis yang terus menangis. "Sini sama saya, Mbak." Bima mengambil alih Loui

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    satu keanehan

    Bima terdiam dengan mata terus menatap tak percaya. Di depannya layar mesin ATM itu menampilkan jumlah saldo tabungannya, tak seperti yang dia duga. "Bagaimana aku bisa punya uang sebanyak ini? Apa ini tidak salah?" gumam Bima, dia memang tetap bekerja setelah menikah dengan Louisa, tapi tak menyangka juga akan memiliki uang sebanyak hampir 3 M. "Ini pasti salah!" Bima masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia mengeluarkan kartu, lalu kembali memasukan ke mesin untuk mengecek ulang, namun hasil yang tertera tetap tak berubah, dia memang memiliki uang sebanyak itu dalam rekeningnya. "Dari mana uang sebanyak itu? Nggak mungkin Louisa mengirim uang itu padaku kan?" Bima menggeleng bingung. Hingga ketukan dari pintu kaca, membuatnya tersadar kalau saat ini banyak orang yang mengantre untuk menggunakan fasilitas umum tersebut. Setelah menarik uang seperlunya, Bima segera keluar dari ruangan kecil itu, beberapa orang menatap kesal padanya yang terlalu lama berada di dalam.

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    laki-laki misterius

    "Oh, iya, Pak. Tali pusar mas Louis sudah mau lepas, kemungkinan besok juga sudah lepas. Apa Bapak berencana mau mengadakan aqiqah untuk mas Louis?" kata Mela sambil berjalan mendekat, lalu mengulurkan Louis yang sudah siap. "Bapak mau menggendong mas Louis?" tawarnya yang tentu saja tidak mendapat penolakan dari Bima. Laki-laki itu langsung menciumi pipi Louisa gemas. "Nanti saya bicarakan dengan ibu Dina dulu, Mbak," jawab Bima. "Mas Louis mau berjemur sama saya atau sama bapak? Jangan lama-lama, cukup sepuluh menit saja." "Biar sama saya saja," jawab Bima. Dia lalu membawa Louis ke depan, sedang Mela menuju dapur untuk membantu Ajeng menyiapkan sarapan. Awalnya Bima akan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, karena Ajeng dan Mela khusus untuk menjaga Louis, tapi karena ada Mela Ajeng jadi menawarkan diri agar dirinya saja yang bekerja mengurus rumah, meski tentunya dibantu Mela saat Louis tidur. Bima terus mengukir senyuman sambil menatap wajah tampan Loui

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    mencoba bangkit

    "Santai papa, santai! Bahkan aku masih bisa sesantai ini meski hampir seumur hidup Louisa sudah dibohongi oleh putrimu tersayang. Yang sialnya, dia adalah wanita yang sangat aku cintai, Papa." Ada gurat luka di sorot mata Edward saat mengatakan itu, Thomas pun jadi penasaran dan segera mengeluarkan satu lagi berkas yang ada dalam map. "Surat Keterangan Tes DNA?" gumam Thomas lalu menatap Edward yang mengangguk dengan sikapnya yang masih santai, seolah apa yang sedang mereka bicarakan saat ini tidak menyakiti hatinya. "Bacalah, dan papa bisa mengerti apa yang seharusnya aku lakukan saat tau kebenaran itu dulu," kata Edward seraya mengangkat sebelah kakinya untuk bertumpu di kaki yang lain. Begitu santai dan tenang seakan apa yang akan Thomas baca sebentar lagi bukan satu hal yang penting. Tangan tua Thomas bergetar saat dirinya mulai membaca isi surat keterangan tersebut, dia menggeleng tak percaya dengan sesekali menatap Edward yang masih bisa menyunggingkan senyuman di bibir

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    membuka rahasia

    "Tuan Besar, Tuan Besar Wei menunggu di ruang kerja Anda," ujar kepala pelayan begitu Edward sampai. "Papa? Sudah lama?" balas Edward lalu berjalan menuju ruang kerjanya di mana Thomas sudah menunggu. "Ada satu jam yang lalu." Edward mengangguk, sementara kepala pelayan memandangi punggung Edward yang menjauh, hanya suara ketukan sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar. Mengisi rongga dadanya, juga merubah raut wajahnya dari segala kecewa saat mengingat dirinya dibohongi tentang Louisa bertahun-tahun lamanya, Edward membuka pintu ruang kerjanya hingga nampak Thomas yang tengah berada di sana bersama Sam. "Apa kabar, Papa? Kenapa tidak menghubungi aku dulu kalau mau datang?" sapa Edward mendekat, tersenyum hangat pada mertuanya yang tidak menunjukkan sikap yang sama padanya. "Apa aku harus bilang kamu dulu saat mau pulang ke rumahku sendiri?" tanya Thomas membuat Edward tersenyum kecut. "Bukan begitu Papa, tentu saja papa bebas mau kapan saja datang." Edward segera meralat

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    keluarga bahagia

    MI 9"Bapak siapa? Sedang apa di sini?" tanya seorang pria paruh baya pada laki-laki bertubuh tinggi yang tengah mengawasi rumah Mela. Lelaki itu menggeleng, jelas dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh warga tersebut. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, dia langsung menaiki motor besarnya, lalu tancap gas sebelum menimbulkan kecurigaan dan memancing kedatangan banyak orang. "Aneh! Ngapain orang itu terus merhatiin rumah ceu Odah? Apa orang yang mau melayat?" gumam kakek tersebut, dia memperhatikan lelaki tadi yang terus mengawasi rumah ibu Mela begitu kedatangan Bima dengan yang lainnya. Hanya yang membuat dia curiga, pria tersebut nampak sesekali berbicara lewat telepon sambil mengamati. Hingga kakek itu berinisiatif untuk bertanya, namun bukannya menjawab orang tersebut malah langsung pergi. "Maaf, Tuan Besar, saya terpaksa meninggalkan lokasi karena ketahuan oleh warga dan ditanya. Takut menimbulkan kecurigaan," lapor lelaki itu begitu dirasa cukup jauh dari tempatnya tadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status