Share

JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY
JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY
Author: Pusparani Surya

bawa bayimu

last update Last Updated: 2025-04-17 11:31:40

"Bawa anak itu, dan jangan pernah kamu menunjukkan lagi batang hidungmu di depan kami. Terutama di depan Louisa. Kembalilah ke negeramu, semua sudah kami siapkan." Ucapan laki-laki berambut pirang itu laksana anak panah yang melesat dengan telak menembus jantung Bima, belum lagi sosok bayi merah yang kini diangsurkan seorang perawat di depannya. Bayi laki-laki yang baru dilahirkan Louisa, buah cinta keduanya. 

"Dad …." 

"Jangan panggil saya dengan panggilan itu. Pergilah! Jangan mengulur waktu lagi." 

"Setidaknya biarkan aku melihat istriku dulu, Dad! Louisa juga pasti ingin melihat bayi kami. Anaknya," kata Bima mencoba mengambil hati Edward, sang ayah mertua. 

"Tak perlu. Mulai detik ini pun kamu dan Louisa sudah tidak terikat hubungan apa pun lagi. Kalian sudah bercerai. Pergilah!" Edward berbalik badan, namun langkahnya terhenti saat Bima mencekal tangannya. 

Edward menatap tangannya yang dipegang Bima, hingga laki-laki itu segera melepaskan. 

"Apa? Tapi aku tidak pernah merasa menceraikan Louisa, Dad!" balas Bima dengan air mata yang mulai luruh membasahi wajahnya. 

"Kamu tidak melakukannya, tapi saya yang mengurusnya. Pergilah! Jangan sampai orang-orang ku harus menyeret paksa keluar dari sini!" Edward meninggalkan Bima begitu saja yang mencoba lagi menahan langkah laki-laki itu. 

"Dad, tolong jangan lakukan ini!" 

"Urus dia! Kalau masih bandel, seret saja! Jangan lupa, berikan bayi itu padanya!" titah Edward pada pengawalnya hingga Bima kini ditahan oleh dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. 

"Dad! Daddy!" 

"Mari, Tuan Muda!"

"Max, tolong … aku harus bertemu Louisa dulu. Biarkan aku menemui istriku!" Bima memohon pada pengawal itu, tapi wajah datar yang nampak di depan Bima. 

"Maaf, Tuan Muda. Tuan Besar sudah memberikan perintah. Pergilah. Bawa anak Anda, jangan sampai saya berbuat kasar," ucap Max menyimpan rapat rasa iba pada laki-laki yang kini meminta belas kasihannya. 

"Tapi--" 

Suara tangis bayi terdengar, menahan Bima dari sikap memberontaknya. Dia menoleh pada suster yang menggendong bayi laki-laki yang bahkan belum dilihat Louisa, akan seperti apa sikap Louisa setelah sadar nanti kalau dia pergi membawa bayi itu. 

"Pergilah," ulang Max yang kini melonggarkan cekalan tangannya pada Bima, "lepaskan!" titahnya pada anak buahnya. 

"Aku hanya ingin bertemu istriku dulu, Max." 

"Nona Louisa akan baik-baik saja, Tuan Muda," balas Max. 

Bima pun tak bisa membantah lagi, dengan hati yang hancur dia mengambil bayi yang tengah menangis itu dalam pelukan. 

"Mari, Tuan Muda," ujar Max tak memberikan Bima waktu lebih lama. 

Bima pasrah, dia tahu Edward tak pernah menerimanya menjadi suami Louisa, pernikahannya dengan Louisa terjadi setelah percobaan bun-uh diri yang dilakukan Louisa. 

Bima mengira saat ada anak di antara mereka Edward akan menerimanya dengan tulus, tapi dia salah besar. Justru kini dia harus pergi membawa buah cintanya dengan Louisa. 

"Di tas itu sudah ada semua kelengkapan dokumen milik Anda, Tuan Muda," jelas Max menunjuk pada tas saat pintu mobil terbuka. 

"Kenapa kalian bersikap tega padaku?" ujar Bima yang hanya mendapat tatapan datar dari Max juga beberapa orang anak buahnya. 

"Sampaikan maafku pada istriku, bilang padanya aku pasti kembali ke negara ini satu hari nanti." 

"Silakan, Tuan Muda," ujar Max setengah mendorong Bima agar segera masuk ke mobil. 

Bima menoleh ke bangunan mewah di depannya, menatap tempat kediaman Edward yang hampir setahun ini menjadi tempatnya berteduh pula. Tak menyangka, akan secepat itu dia keluar, dan justru harus meninggalkan seseorang yang kini tak bisa ditemuinya lebih dulu. 

Bima mengusap wajah bayi dalam dekapannya, kini mobil sudah melaju meninggalkan kediaman mewah Edward. Bayi tampan itu kembali merengek, lalu mulai menangis seakan ikut merasakan kesedihan ayahnya. 

"Jangan menangis, Nak. Kita pasti kembali menemui mamamu." Bima mendekap bayi itu dengan air mata bercucuran. 

"Tuan muda, mungkin bayinya haus." Bima mengangkat wajahnya cepat saat mendengar suara seorang wanita berbicara dalam bahasa negaranya. 

"Kamu bisa bahasa indonesia?" tanya Bima menatap penuh selidik seseorang yang kini menghadap ke arah kursi penumpang belakang. 

Dia ingat, wanita itu perawat yang tadi menggendong bayinya. 

"Tentu saja, Tuan Muda. Saya Ajeng, pengasuh bayi Anda," jawab pengasuh itu mengenalkan diri. 

"Kenapa kamu ikut dengan saya?" tanya Bima dengan tangan menepuk lembut bayinya agar kembali tenang. 

"Karena saya memang ditugaskan untuk mengurus bayi anda," terang Ajeng. 

"Tapi saya diminta pulang ke Indonesia." 

"Itu juga tugas saya, Tuan Muda." 

Bima mengernyit heran, untuk apa Edward melakukan itu semua? 

"Bayinya sangat anteng bersama ayahnya." Ajeng menatap bayi Bima yang sudah kembali tenang. 

"Dia tau papanya sedang tidak baik-baik saja," balas Bima memeluk bayinya lembut, membiarkan air mata kembali luruh menjadi bukti kesedihannya. 

"Anda harus kuat, Tuan Muda. Demi Tuan Kecil. Ingat Nyonya Louisa yang menunggu anda kembali menemuinya." 

Bima tak menanggapi perkataan Ajeng, namun tentu dia akan melakukan itu. Tanpa dia sadari, saat dia turun dari mobil begitu sampai di bandara, seseorang mengambil fotonya. 

"Beliau sudah sampai bandara, Tuan Besar," ujarnya setelah menghubungi seseorang dengan mata tetap awas mengawasi Bima. 

"Ikuti sampai ke negaranya. Kamu membawa semua yang sudah aku perintahkan, bukan?" balas seseorang yang dihubunginya. 

"Iya, Tuan Besar." 

Sambungan pun diputus begitu saja setelah dia menjawab. Dia langsung menyusul Bima yang kini mulai memasuki bandara diikuti oleh Ajeng. Siapa pun akan mengira kalau Bima dan Ajeng adalah sepasang suami istri yang membawa bayi mereka. 

Sungguh Edward sangat teliti mengatur semuanya untuk Bima. Bayi merah yang belum diberi nama itu kini berpindah gendongan pada Ajeng, sedang Bima membawa mendorong troli berisi dua koper yang entah apa isinya. 

"Aku pasti kembali, Louisa sayang." Batin Bima dengan hati teriris. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    kedatangan Max

    "Apa tadi calon suami Mbak Mela?" tanya Bima begitu Mela selesai menerima telepon. "Maaf, tadi saya sempat mendengar percakapan Mbak," sambung Bima setengah tak enak hati karena telah diam-diam mencuri dengar. "Nggak apa-apa, Pak." Mela tersenyum sipu, "iya, barusan calon suami saya yang nelpon. Dia akan datang besok. Tadi meyakinkan saya agar tidak terlambat untuk menjemputnya di bandara," jelasnya dengan rona bahagia yang terpancar jelas di wajah. Bima mengangguk, "namanya … Max?" tanya Bima mulai mencari tahu. Berharap apa yang sempat terlintas dalam benaknya benar, kalau Max yang dia kenal adalah benar calon suami Mela. "Iya, Pak. Namanya Max. Maxim nama lengkapnya," balas Mela tanpa curiga kalau Bima tengah mencari tahu sesuatu. "Seorang ... pengawal?" Bima melanjutkan tanya dengan jantung berdebar. Kembali berharap Mela akan menjawabnya iya lagi Bima semakin merangkai harap kalau kali ini jawaban Mela pun iya. "Benar, Pak. Mantan pengawal tepatnya. Dia katanya du

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    pertemuan tak terduga

    "Mbah Tri!" pekik Louis saat sudah sampai di toko, bocah itu berlari memasuki toko dengan gerakan yang sangat cepat. Bima hanya menghela napas panjang, dia sudah bosan mengingatkan Louis agar tidak berlari, jawaban iya yang dikatakan Louis, hanya isapan jempol saja. Bima segera menyusul Louis masuk ke toko, di mana sekarang anaknya itu sudah berada di hadapan Pak Tri yang berdiri menyamakan tinggi keduanya sambil berbincang. "Mau diantar sekarang, Mas?" tanya Pak Tri, setiap hari dia yang mengantar Louis ke sekolah, tapi karena hari ini ada acara di sekolah, jadi Bima yang akan mengantar Louis. "Iya, Pak. Tadi Louis minta ketemu mbah tersayangnya dulu," sahut Bima seraya mengulum senyum. Kedekatan Louis dengan Pak Tri sudah seperti lem dan perangko, tak bisa dipisahkan. "Mbah Tri ikut aja, liat Ouis nyanyi nanti," kata Louis memegangi tangan Pak Tri. "Kan Mbah harus jaga toko. Louis sama papa aja, ya?! Nanti Mbah liat dari video aja." Pak Tri mengusap kepala Louis dengan

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    apa kau mengingatnya?

    "Dimana, Max? Bagaimana dengan Bima?" Max menerima panggilan Sarah, dia mengalihkan tatap ke arah unit apartemen Bima berada. "Di apartemen Tuan Muda, Nyonya. Besok, Tuan Muda akan kembali," jawab Max. "Lebih cepat dia pergi, lebih baik untuknya, Max. Edward berencana menemui dia kalau sampai besok sore kamu masih mengurus Bima," ujar Sarah yang sudah mengetahui rencana Edward. Max tak menjawab, dia tahu karena Edward sudah mengatakannya. "Bagaimana dengan Nona Louisa, Nyonya?" tanya Max, Sarah mengatakan padanya, setelah mendengar langsung talak yang diucapkan Bima, Louisa kembali terguncang. Louisa menjerit dan menangis tanpa bisa diajak berbicara dengan baik, dan setelah tenang justru memilih bungkam tak mengindahkan siapapun yang mengajaknya berbicara. Sarah sangat menyesal sudah menelpon Louisa, dengan maksud agar anaknya itu mendengar sendiri kata perpisahan yang dikatakan Bima. "Dia masih membisu, Max. Aku … takut," lirih Sarah. Max tak menanggapi, karena percuma

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    hanya tinggal kenangan

    "B-Bima? Tidak! Mom … Mommy?! Itu Bima! Itu suara Bima. Mom? Halo? Mommy!" Louisa histeris. Dia tak salah mengenali suara laki-laki yang baru terdengar jelas oleh indera pendengarannya. Namun sambungan telepon itu langsung terputus, dia pun mencoba menghubungi nomor Sarah dengan tangan bergetar. "Angkat, Mom. Kumohon," lirih Louisa dengan air mata yang berjejalan keluar dari pelupuknya. Pandangannya memburam oleh selaksa kesedihan yang kuat mendera jiwa. Hatinya kian hancur saat panggilannya tak mendapat tanggapan dari Sarah. "Mommy … Bima … bagaimana … bagaimana …." Louisa memaksakan diri melangkah, langkahnya terseok, dia kembali lemah setelah enam bulan lamanya berhasil menjadi kuat yang dipaksa keadaan. Kini jiwanya kembali rapuh, bahkan sangat rapuh setelah kembali mendengar suara si pemilik hati. "Bima, apa kamu ada di sini, Sayang?" Louisa akhirnya luruh, dia bersimpuh tepat di depan pintu kamar. Pelayan yang melihat Louisa tergugu dalam tangis dengan tangan memegang p

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    aku menceraikanmu

    Sarah memilih menunggu di luar, dia biarkan Bima ditemani Max karena tak sanggup untuk terus berkata bohong pada laki-laki yang kini wajahnya memar atas ulah pengawal suaminya. Ponsel Bima yang berada dalam genggamannya, membuat Sarah dengan leluasa terus memandangi wajah Louis. Sesekali dia mengusap pipi dari lelehan air mata pilu merindukan cucunya. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Memberi tahu Louisa tentang kedatangan Bima? Atau membiarkan semuanya seperti saat ini, di mana Louisa sudah mulai terbiasa tanpa adanya Bima dan juga putranya. "Kamu tampan sekali, Nak," lirih Louisa mengusap layar ponsel. Hatinya teriris perih membayangkan Louis yang bertumbuh tanpa pernah dilihat oleh Ibunya. "Maafkan Nenek, Louis. Karena tak bisa melawan apa kehendak kakekmu, membuatmu harus berjauhan dengan mamamu. Tapi Nenek bahagia, kamu tumbuh dengan baik dalam asuhan papamu." Sarah menghela napas kasar, dia pun lantas mengambil gambar Louis dengan ponselnya, dia akan memperlihat

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    ini cucu, Mommy

    Bima melangkah perlahan, debaran jantung yang menggila membuatnya lemas membayangkan pertemuannya dengan Louisa. Dari dalam pos penjaga, seorang pengawal bisa dengan jelas melihat kedatangan Bima. Mata lelaki itu melebar melihat siapa yang datang mendekat ke arah gerbang. "Tuan Muda Bima," lirihnya tak percaya. Dia masih ingat bagaimana tujuh bulan lalu laki-laki yang pernah berstatus suami Nona mereka, diusir tanpa perasaan iba bersama bayinya. Dia segera mengangkat telepon, menghubungi Max untuk mengabari kalau Bima ada di depan kediaman majikan mereka. Max tak jauh beda, dia pun terkejut mendengar kabar tentang datangnya Bima yang tidak pernah terpikirkan olehnya. "Kamu yakin itu Tuan Muda Bima?" tanya Max membuat Edward menoleh padanya. "Ada apa, Max?" tanya Edward menatap tajam, telinganya jelas tak salah mendengar kalau Bima yang disebut namanya oleh Max. "Tuan, Tuan Muda Bima datang ke rumah," jawab Max tak menutupi kabar yang didengarnya, karena percuma dia berbohon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status