Share

aku pulang, Bu

last update Last Updated: 2025-04-17 11:33:26

"Bagaimana kabarmu, Sayang? Apa kamu sudah menyadari kalau putra kita kini sangat jauh darimu?" Bima mengusap kepala Louis yang tertidur dengan lelap di sampingnya, dia tak mengizinkan Louis tidur dengan Ajeng karena ingin terus mendekap bukti cintanya dengan Louisa. 

Tak ada yang tersisa dari Louisa selain Louis, andai ponselnya ada dia bisa menatap foto istrinya itu dari sana. Tapi Edward entah menyimpan atau bahkan membuang benda itu, agar dirinya benar-benar tidak bisa terhubung lagi dengan Louisa. 

"Tapi kamu tenang saja, Nak. Kita masih bisa menemui mama dengan kembali ke negara itu. Cepatlah besar, biar papa bisa mengajakmu untuk bertemu Mama, ya?!" 

Air mata Bima kembali luruh, dia terisak sambil terus memeluk tubuh mungil Louis, menciumi wajahnya hingga sang anak sedikit terganggu, dan menggeliat. 

"Maafkan Papa, Nak, maafkan papamu yang hanya orang biasa tak seperti kakekmu. Maafkan aku, Louisa," isak Bima mengisi kesunyian kamarnya. 

Pagi menjelang, seperti rencana semalam yang sudah dibicarakannya dengan Tri dan Ajeng, mereka pergi ke Panti Asuhan Kasih Bunda. Tepat seperti perkiraan Bima, jarak dari rumah yang Tri bilang adalah rumahnya, tidak terlalu jauh. Dua puluh menit di perjalanan, akhirnya Bima bisa melihat bangunan dengan papan nama Panti Asuhan Kasih Bunda. 

Bima tersenyum haru. Dia merasa senang karena bangunan itu kini berdiri dengan kokoh. Salah satu motivasi dirinya pergi ke luar negeri adalah ingin merenovasi panti tersebut, dan sekarang mimpi juga cita-citanya sudah terwujud, tempat dirinya tumbuh itu kini sangat layak untuk menampung anak kurang beruntung sepertinya dulu. 

Atau kurang beruntung seperti anaknya juga? Tidak, tidak! Louis punya dirinya, dia akan menjadi ayah juga ibu untuk anaknya itu. Lagi pula, Louis memiliki ibu yang kini sedang sengaja dijauhkan hingga batas waktu yang dia sendiri tidak tahu. 

"Sudah sampai, Mas," ucap Pak Tri mengalihkan perhatian Bima dari memandangi bangunan panti. Pagi itu di pekarangan nampak beberapa orang anak tengah menyapu halaman juga menyiram bunga, tugas yang Bima kecil juga lakukan dulu di setiap hari libur. 

"Iya, Pak Tri." Bima segera turun dan meminta Louis dari gendongan Ajeng, "biar Louis sama saya. Kamu sama pak Tri pergi ke supermarket untuk beli bahan pokok dan makanan ringan. Ini uangnya," lanjut Bima seraya memberikan uang pada pak Tri. 

"Beli apa saja, Mas?!" tanya pak Tri sambil menerima uang yang diberikan Bima, entah berapa jumlahnya, hanya saja uang itu cukup banyak. 

"Iya. Apa saja kebutuhan pokok," tegas Bima. 

"Baiklah, saya antar dulu tas ini ke--" 

"Tidak perlu. Biar saya saja," tolak Bima sambil meminta tas yang dibawa pak Tri. 

Patuh dengan perintah majikannya, Pak Tri dan Ajeng lalu kembali masuk ke mobil untuk belanja sesuai yang Bima minta. 

Anak-anak yang tengah berada di pekarangan menoleh saat pintu pagar dibuka Bima, ada tiga orang anak laki-laki kira-kira berumur sembilan sampai dua belas tahun, dan dua orang anak perempuan dengan kisaran umur yang sama, kini menatap Bima kaget. 

"Kak Dirga!" seru mereka yang tentunya mengenali Bima meski sudah empat tahun kakak angkat mereka meninggalkan Indonesia. 

"Mawar! Kamu beritahu ibu kak Dirga pulang!" titah anak lelaki yang memegang sapu lidi yang kini sudah dilempar asal. 

Mawar yang disebut namanya mengangguk lantas berlari masuk untuk memanggil Ibu Panti. 

"Kakak kapan pulang?" tanya Arif mendekat pada Bima dan menatapnya lekat, "adek bayi ini siapa?" tanya Arif, Bima kini sudah dikerubungi oleh anak-anak yang tadi berseru senang melihat kedatangannya. Bahkan seorang anak mengambil alih tas Bima agar mereka bisa menyalami sang pahlawan panti bergantian. 

"Adek bayinya perempuan atau laki-laki, Kak?" tanya Melisa sambil menatap Louis yang tetap tertidur meski mereka gaduh. 

"Kak Dirga kenapa pulang tidak bilang dulu?" 

"Kami kangen sama kakak." 

"Terima kasih, ya Kak. Sekarang panti jadi bagus." 

"Iya, kata Ibu panti jadi bagus berkat kak Dirga." 

Bima terus saja dihujani pertanyaan oleh anak-anak itu, sedang dari dalam panti Bu Dina tergopoh keluar dengan tak percaya mendengar kalau Bima pulang. Terakhir bertukar kabar dengan Bima dua bulan yang lalu, dan Bima sama sekali tidak membahas kalau dirinya akan pulang. 

Tapi kini, di pagi yang masih jam tujuh Bima sudah ada datang. Hati Bu Dina merasa tak enak, apa ada sesuatu terjadi yang membuat Bima pulang tiba-tiba? 

"Dirga!" seru Bu Dina dengan mata berkaca-kaca, dia menatap Bima yang menggendong bayi. 

"Bu, Dirga pulang!" balas Bima menderap langkah memburu seorang wanita tua yang dia kenal sebagai ibunya itu. Ibu untuk dia dan mereka yang tidak beruntung di panti itu. 

"Dirga pulang, Bu." Bima memeluk Bu Dina dengan tangis yang mengiringi, Louis yang ada dalam gendongan sedikit merengek karena sedikit tertekan. 

"Iya, Nak, ibu senang kamu pulang," kata Bu Dina sedikit menjauh saat mendengar suara rengekan Louis. 

"Ini cucu ibu, Bimantara Louis namanya," kata Bima mendekatkan Louis yang langsung direngkuh dengan lembut oleh Bu Dina. 

"Ya Allah, cucu Ibu?" Bu Dina menatap wajah tampan Louis dengan penuh haru, diciumnya pipi Louis penuh kasih sayang. 

Bima mengangguk sambil berurai air mata. Dia yakin Louis tidak akan kekurangan kasih sayang meski saat ini harus berjauhan dengan ibu kandungnya. 

"Dimana menantu ibu? Kamu datang bareng menantu ibu juga 'kan?" tanya Bu Dina melihat ke pekarangan, mencari keberadaan sosok lain yang mungkin datang bersama Bima. 

Bima tidak menjawab, dia hanya terdiam dengan air mata yang dibiarkannya berjatuhan, membuat anak-anak yang tadi menyambut kedatangannya, satu per satu meninggalkan teras, mereka yakin ada yang tidak beres hingga Bima menangis seperti itu di depan mereka begitu bertemu dengan ibu Dina. 

"Ga, mana menantu ibu? Mana Louisa? Kenapa kamu menangis?" Bu Dina mengusap lengan Bima, sedang Bima hanya menggeleng sebagai jawaban. 

"Ada apa, Ga? Masuk, ceritakan sama ibu," ajak Bu Dina membawa Bima masuk dan duduk di ruang tamu. 

Bima luruh di depan Bu Dina membuat wanita tua itu berteriak memanggil pengurus panti lainnya. 

"Rita, Sita, kemari cepat!" 

"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    apa kamu tidak merasa?

    Edward mengusap pipinya yang terasa sakit, dengan gerakan tangan, dia meminta Alex mendekat. "Tunjukkan rekaman itu, Alex!" titahnya, Alex pun segera membuka ponselnya, dan menunjukan rekaman yang ada di dalamnya. "Lihat! Aku sebaik itu pada mantan menantu kita," kekeh Edward begitu ponsel Alex berpindah ke tangan Sarah yang membelalak melihat isi rekaman. "Cucuku," lirih Sarah begitu melihat sosok Bima yang duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang menggendong bayi. Anak Bima, cucunya. Air mata Sarah berjatuhan, dia menangisi cucunya yang tidak pernah dilihatnya. "Salah apa dia hingga sekecil itu harus menerima kebencian darimu, Edd?" Sarah menatap suaminya dengan pilu, Edward memberi tanda agar Alex segera pergi. "Aku hanya menempatkan semuanya pada posisinya kembali, Sayang." Edward mengusap pipi Sarah, lalu dikecupnya pipi itu dengan lembut. "Apa maksudmu?" Edward menghempaskan punggungnya, sementara Sarah tak sabar menunggu suaminya kembali membuka suara.

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    kemarahan Sarah

    Sarah memasuki rumah, setelah mengatakan pada pelayan kalau dia pulang hanya untuk mengambil beberapa pakaian, dia pun bergerak naik ke lantai dua. Namun saat teringat dengan suaminya, wanita cantik itu memutar setengah badannya untuk bertanya. "Apa Tuan Edward ada di rumah?" "Iya, Nyonya. Bahkan tadi siang, Tuan Besar Wei juga datang kesini untuk bertemu dengan Tuan Besar. Tapi …." "Papa kesini?" ulang Sarah, dia bahkan urung menaiki anak tangga dan menghampiri pelayannya. "B-betul, Nyonya," jawab si pelayan dengan gugup. Dia heran bagaimana bisa dia lupa untuk menghubungi Sarah, dan mengatakan kalau Thomas dibawa oleh Sam ke rumah sakit setelah berbicara dengan Edward. Rupanya beberapa kejadian tak disangka di rumah tersebut, membuatnya jadi tidak bisa berpikir dengan jernih. Dia pasrah andai setelah dia mengatakan semuanya, sang nyonya akan marah padanya. "Ada apa? Kenapa kamu seperti gugup?" Sarah menatap tajam. Hatinya merasa tak enak, entah kabar tak menyenangk

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    hanya robot

    Setelah mengobrol banyak hal, Bima pamit undur diri, dia harus segera menghubungi nomor telepon yang dia harap memang bisa menghubungkannya dengan Louisa. "Kemana lagi, Mas?" tanya pak Tri begitu mobil sudah meninggalkan panti. "Pulang, Pak. Tapi nanti di jalan beli buah-buahan dulu. Takutnya stok di rumah sudah sedikit," kata Bima yang diangguki patuh oleh pak Tri. Membawa kantong plastik berisi beberapa macam buah-buahan, Bima memasuki rumah dengan disambut suara tangis Louis. Dia segera menyimpan plastik yang dibawanya di meja ruang makan, lalu segera mencuci tangan sebelum menemui Louis yang terdengar masih menangis. "Louis kenapa, Mbak?" tanya Bima saat Ajeng melintas setelah tadi membukakan pintu untuknya. "Kurang tau, Mas. Padahal tadi anteng banget," jawab Ajeng. "Kangen sama papanya mungkin. Tuh, papa udah datang loh, Mas Louis. Udahan nangisnya, ya?" Mela keluar kamar dengan menggendong Louis yang terus menangis. "Sini sama saya, Mbak." Bima mengambil alih Loui

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    satu keanehan

    Bima terdiam dengan mata terus menatap tak percaya. Di depannya layar mesin ATM itu menampilkan jumlah saldo tabungannya, tak seperti yang dia duga. "Bagaimana aku bisa punya uang sebanyak ini? Apa ini tidak salah?" gumam Bima, dia memang tetap bekerja setelah menikah dengan Louisa, tapi tak menyangka juga akan memiliki uang sebanyak hampir 3 M. "Ini pasti salah!" Bima masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia mengeluarkan kartu, lalu kembali memasukan ke mesin untuk mengecek ulang, namun hasil yang tertera tetap tak berubah, dia memang memiliki uang sebanyak itu dalam rekeningnya. "Dari mana uang sebanyak itu? Nggak mungkin Louisa mengirim uang itu padaku kan?" Bima menggeleng bingung. Hingga ketukan dari pintu kaca, membuatnya tersadar kalau saat ini banyak orang yang mengantre untuk menggunakan fasilitas umum tersebut. Setelah menarik uang seperlunya, Bima segera keluar dari ruangan kecil itu, beberapa orang menatap kesal padanya yang terlalu lama berada di dalam.

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    laki-laki misterius

    "Oh, iya, Pak. Tali pusar mas Louis sudah mau lepas, kemungkinan besok juga sudah lepas. Apa Bapak berencana mau mengadakan aqiqah untuk mas Louis?" kata Mela sambil berjalan mendekat, lalu mengulurkan Louis yang sudah siap. "Bapak mau menggendong mas Louis?" tawarnya yang tentu saja tidak mendapat penolakan dari Bima. Laki-laki itu langsung menciumi pipi Louisa gemas. "Nanti saya bicarakan dengan ibu Dina dulu, Mbak," jawab Bima. "Mas Louis mau berjemur sama saya atau sama bapak? Jangan lama-lama, cukup sepuluh menit saja." "Biar sama saya saja," jawab Bima. Dia lalu membawa Louis ke depan, sedang Mela menuju dapur untuk membantu Ajeng menyiapkan sarapan. Awalnya Bima akan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, karena Ajeng dan Mela khusus untuk menjaga Louis, tapi karena ada Mela Ajeng jadi menawarkan diri agar dirinya saja yang bekerja mengurus rumah, meski tentunya dibantu Mela saat Louis tidur. Bima terus mengukir senyuman sambil menatap wajah tampan Loui

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    mencoba bangkit

    "Santai papa, santai! Bahkan aku masih bisa sesantai ini meski hampir seumur hidup Louisa sudah dibohongi oleh putrimu tersayang. Yang sialnya, dia adalah wanita yang sangat aku cintai, Papa." Ada gurat luka di sorot mata Edward saat mengatakan itu, Thomas pun jadi penasaran dan segera mengeluarkan satu lagi berkas yang ada dalam map. "Surat Keterangan Tes DNA?" gumam Thomas lalu menatap Edward yang mengangguk dengan sikapnya yang masih santai, seolah apa yang sedang mereka bicarakan saat ini tidak menyakiti hatinya. "Bacalah, dan papa bisa mengerti apa yang seharusnya aku lakukan saat tau kebenaran itu dulu," kata Edward seraya mengangkat sebelah kakinya untuk bertumpu di kaki yang lain. Begitu santai dan tenang seakan apa yang akan Thomas baca sebentar lagi bukan satu hal yang penting. Tangan tua Thomas bergetar saat dirinya mulai membaca isi surat keterangan tersebut, dia menggeleng tak percaya dengan sesekali menatap Edward yang masih bisa menyunggingkan senyuman di bibir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status