Share

BAB 3

Author: Olin huy
last update Last Updated: 2023-03-08 11:53:36

"Hentikan! Hentikan, Bas!" Emak menarik tanganku yang terus memukul Mas Romi, "Kamu apa-apaan tiba-tiba berbuat seperti ini? Malu dilihat tetangga." Emak terus memarahiku. Tapi sama saja. Ucapannya tak mampu meredam amarah yang sudah memuncak di dadaku.

Napasku terengah-engah karena tenaga terkuras dengan aksiku menghajar pria yang saat ini juga terkulai menahan sakit.

"Aku tidak peduli dilihat tetangga. Sekalian biar mereka tahu kelakuan Mas Romi." Aku berteriak seperti orang yang kesurupan. "Biarkan aku menghajarnya, Mak." Aku mengibaskan pegangan tangan Emak. Kemudian berlari dan menghajar Mas Romi yang sudah tak berdaya.

Emak kembali menahanku. Dia menangis meraung mendekap tubuhku. "Ayo duduk dulu, Nak. Jangan lakukan ini. Emak enggak tak sanggup melihat kalian berkelahi."

Badanku terhuyung ke tanah. Emak masih mendekapku. Aku berteriak sekuat tenaga. Untuk menahan gejolak yang ada di dada.

"Iki ono opo?" Lelaki paruh baya terhenyak menyaksikan pemandangan menyedihkan di depan matanya. Dia adalah Pak Dhe Haryono--kakaknya Emak.

"Kang Har, mereka tiba-tiba berkelahi. Tanpa aku tau apa penyebabnya." Emak menatap sendu pada Pak Dhe, kemudian padaku, dan Mas Romi.

Pak Dhe mendekatiku dan menepuk pundakku. "Bas, jika ada masalah, selesaikan baik-baik. Jangan seperti ini. Kalian kakak beradik. Tak pantas sedarah saling menumpahkan darah."

Dengan napas yang masih terengah-engah, aku menatap Mas Romi tajam. Ingin sekali aku membun^hnya. Aku memang orang yang  suka bercanda. Tapi, jika ada yang menyenggolku, aku bisa marah tak terkendali.

Mas Romi adalah kakakku. Dia sangat kuhormati karena umurnya yang lebih tua. Tapi, mengetahui kebejat^nnya, rasanya tangan ini panas dan belum puas jika belum memberinya pelajaran. 

Sabar ..., sabar .... Itu yang keluar dari mulut Emak--wanita yang membesarkan kami dengan air mata dan keringatnya. Sangat mudah mengucapkan kata itu. Tapi, jika dalam posisiku saat ini, sangat sulit untuk mempraktekannya.

"Pak Dhe jangan ikut campur. Ini masalahku dengan Mas Romi," ujarku tanpa menatap wajah pria yang kulitnya sudah mulai keriput.

"Sebenarnya masalah apa, Bas?" Barang kali Pak Dhe bisa membantu.

"Semua sudah terjadi Pak Dhe. Tidak akan bisa dirubah."

"Bicara yang jelas. Supaya Pak Dhe paham."

"Dia, lelaki yang sok bijak dalam segala hal. Sok perhatian terhadapku. Selalu menanyakan kabarku di rantau. Ternyata sudah menghancurkan kebahagiaanku, Pak Dhe! Dia sudah menodai istriku! Hah! Dia harus kumat!kan." Aku hendak berdiri. Tapi, Pak Dhe menahanku dibantu bantu warga lainnya. Aku tak bisa lepas dari pegangan mereka. "Lepaskan aku! Aku harus menghab^sinya! Hah! Lepas!" 

PLAK.

Pak Dhe menamp^rku dan menatap tajam mataku. "Ibas, dengarkan Pak Dhe. Ini negara hukum. Kalau Romi memang melakukan perbuatan itu, dia bisa kamu laporkan ke polisi. Bukan main hakim sendiri. Dengan kamu membun^hnya, apa yang akan kamu dapat? Penyesalan, Bas. Kamu akan merasa bersalah seumur hidup. Kamu juga akan diberi gelar pembun^h." 

Aku menangis menundukkan kepala yang terasa begitu berat. Mimpiku membina rumah tangga bahagia terasa hancur. Membayangkan Mas Romi mendekam di penjar@ dan melihat perut istriku semakin membesar dan bersemayam janin darah dagingnya saja aku tak sanggup. 

"Tuduhanmu tak beralasan, Bas. Aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan padaku. Ini fitnah." Mas Romi buka suara setelah lama diam menikmati perih di tubuhnya.

"Lalu, apa kamu kira istriku di nodai setan yang menyerupai wajahmu? Begitu!" Kunaikkan kepala dan melebarkan mata ke arahnya.

"Aku berani sumpah, Bas. Aku tidak mungkin melakukan itu pada adik iparku sendiri."

"Aku lebih percaya istriku dari pada kamu, Mas. Aku tahu kamu seperti apa."

"Kalau memang aku pelakunya, apa buktinya?"

"Perut istriku sudah menjadi bukti nyata. Apa?! Masih mau mengelak?"

Tetangga saling menatap tak percaya dengan semua yang kuutarakan. Mereka saling berbisik mengomentari apa yang mereka dengar dan lihat saat ini.

"Aneh, kalau Romi pelakunya, kenapa dia tidak mengaku saja?"

"Iya, masak iya Aisma dinodai hantu. Jaman sekarang memangnya masih ada hal begituan?

"Halah, paling memang Romi. Hanya saja dia enggak mau ngaku."

Suara ibu-ibu nyaring sampai ke telingaku. Hanya saja, aku tak ingin mengomentari apa yang terlintas dipikiran mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    39

    Hari ini aku memutuskan untuk bermalam di rumah lama supaya bisa tahu siapa yang sering masuk tanpa sepengetahuanku. Miko dan teman-temannya siaga di rumah Mbak Diah agar jika ada apa-apa cepat teratasi.Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda seseorang yang mengacau. Isma sudah tidur di kamar. Sementara aku duduk di ruang tamu. ***"He, siapa kamu?!" Suara itu berhasil mengagetkanku. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. "Buka penutup wajahmu! Jangan jadi pecundang. Aku tahu, kamu pasti sekongkol dengan Romi. Kalau tidak, kamu tak akan mengendap-endap di sini." "Hajar saja. Kelamaan. Kita buka paksa penutup wajahnya."Para pemuda kampung saling bersahutan."Mas, ada apa? Kok rami-ramai?" Isma keluar dari kamar dengan menggendong Tegar."Tenang, Dek. Kamu tetap di dalam. Aku akan keluar untuk mencari tahu.""Aku ikut, Mas. Aku takut jika nanti ada yang menerobos masuk.""Ya sudah, ayo! Kamu sama Mbak Diah saja."Aku membuka p

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    38

    Tegar terus saja menangis ketika kami ajak ke tempat pengejaran Mas Romi. Mungkin karena dia sedang capek dan ngantuk atau karena ikatan batin antara anak dan ayah biologisnya.Apa lagi ketika suara tembakan diluncurkan, uaranya kian melengking dan memekikkan telinga. Di samping itu, gendang pendengarannya pasti juga belum cukup kuat untuk menangkap gema yang menggelegar itu. Kami yang sebagai orang tua saja merasakan ketakutan di lokasi. Apa lagi Tegar yang masih sangat kecil.Aku dan istriku memutuskan untuk pulang dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Yang terpenting, Tegar tidak kecapekaan dan bisa segera istirahat.***Dari infomasi polisi, Mas Romi dinyatakan tiada setelah masuk ke jurang yang cukup curam. Pasukannya sudah mencoba mencari dan menyisir sekitar, tapi keberadaan Mas Romi tidak ditemukan. Mereka berasumsi kalau masuk ke dalam jurang itu, tidak akan ada yang selamat. Kemungkinan Mas Romi dimakan atau dibawa hewan liar. Mengingat di bawang tebing adalah hutan

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    37

    "Aku enggak mau masuk penjara. Aku harus kabur," gumamku dalam hati.Mataku menyisir kesegala arah untuk menentukan ke mana aku harus berlari. Ini daerahku. Aku paham betul rintangan apa yang akan kudapatkan setelahnya. Ke arah barat jelas tidak mungkin. Karena di sana polisi menjagaku. Utara juga tidak mungkin. Ke sana jalan tembus ke kampong. Sama saja aku cari mati bila tertangkap warga. Selatan sungai yang luas. Aku tidak bisa berenang, jika polisi mengejarku. Sedangkan timur tebing. Lebih baik aku ke timur saja. Kuyakin aku akan selamat dan dikira mati karena medannya yang cukup dalam dan curam."Woi! Sudah atau belum? Jangan mencoba untuk kabur ya!" hardik pria berseragam yang berdiri di belakangku dengan jarak sekitar dua meter tersebut. Aku memintanya membalik badan dengan alasan kalau buang air kecil dilihatin enggak bisa keluar. Untung saja dia mengikuti keinginanku. "Tunggu sebentarlah, Pak. Aku sedang membuka celana. Bapak mau lihat?" selorohku dengan sengaja."Buruan!"

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    36

    Tak berapa lama kemudian aku dipanggil lagi. Kali ini aku semakin dibuat terkejut oleh dokter terkait perkembangan kondisi Emak."Begini bapak, mengingat kondisi ibunya yang tidak stabil dan cenderung menurun, kami mau meminta persetujuan lagi. Seandainya, kondisi jantung ibunya nanti melemah atau ..., maaf sebelumnya, berhenti. Kami akan melakukan pijat jantung. Apakah Bapak dan keluarga setuju? Karena terkadang ada keluarga yang tidak menyetujui sebab tidak tega.""Setuju, Dok. Bagaimanapun, semua itu bagian dari ikhtiar.""Baik, Pak. Tapi semua juga ada resikonya, karena umur Ibu yang sudah lebih dari empat puluh tahun, rawan sekali tulang rusuk didadanya akan patah. Jika diumur tiga puluhan masih okelah. Tulang masih kuat jika alat itu memompa seperti yang ada di TV."Seketika badanku lemas. Ya Allah, rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Emak. Aku membayangkan Emak menjerit kesakitan ketika tulangnya harus patah. Tanganku rasanya gemetar ketika memegang pulpen. Aku dilem

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    35

    Emak terus memutar roda itu sampai ke tepi jalan. Halaman yang belum terpasang pagar dan pintu gerbang dan sedikit menurun membuat kursi roda tersebut melesat dengan cepat. Aku dan Miko berusaha mengejarnya. Kami berteriak sekuat tenaga. Tapi, Emak terus saja melajukannya tanpa peduli dan menoleh padaku."Mak, tunggu, Mak! Awas, Mak!Bahaya." Rasanya otakku berhenti dalam sekejap. Aku tak bisa lagi berpikir positif. "Emak enggak mau orang-orang memasukkan Romi ke penjara. Emak enggak mau Romi menderita. Emak harus mencegahnya." Emak terus menyerukan kata itu. Bahkan sampai saat ini aku belum tahu kenapa Emak terus saja membela anak lelaki yang sering membuatnya malu."Mak ...! Awas ...!" Aku berteriak dengan begitu kencang. Tapi, laju truk dengan muatan berat tersebut sangat cepat menghantam tubuh Emak bersama kursi rodanya sampai terpental. Darah segar mengucur dari kepala, hidung, dan telinganya. Pun dengan kakinya banyak luka menganga di sana.Aku dan Miko tak lagi mengeluarkan

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    34

    Suara Isma membuat aku dan Dani berlari ke lantai dua. Di ruangan itu Isma mendekap Tegar yang sedang menangis sampai matanya merah."Kenapa dengan Tegar?" Aku tak sabar ingin mendengar penjelasan istriku."Ini tadi Tegar jatuh dari ranjang ketika aku ingin mencopot dan membersihkan kotoran Emak, Mas." Suara isma bergetar dan tergugu."Tapi, dia tidak apa-apa kan?" Aku mengambil alih gendongannya. "Lain kali hati-hati dong. Jangan sampai ini terulang lagi. Kasihan kamu, Nak." Kuelus rambutnya yang basah oleh keringat."Sekali lagi maafkan aku, Mas. Aku bingung. Soalnya Emak ngomel terus kalau tidak segera dibersihkan. Sedangkan Tegar ingin segera minum susu. Aku enggak sanggup merawat Tegar dan Emak sendirian, Mas." Lagi-lagi Isma menjerit dan meremas kepalanya yang tertutup hijab."Oh, jadi kamu menyalahkan aku? Kamu enggak ikhlas merawat aku? Ngomong dong dari awal. Kalau begitu, lebih baik aku tinggal di panti jompo saja. Di sana ada yang merawatku. Sekalian kalian menjadi anak dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status