Share

Part 8. Teman Lama

Keesokan paginya, Faris dan Friska sudah meninggalkan kawasan Puncak Bogor dan kembali menuju Jakarta. Tugasnya sudah selesai semua untuk mengawasi jadwal syuting semalam. Sementara para kru dan pemain masih menetap di villa itu, mengingat masih banyak schedule yang harus di selesaikan oleh mereka di tempat itu, sembari menunggu Friska kembali dan membawa pemain baru.

Sebelumnya Friska sudah mengirim pesan singkat pada seseorang yang akan ia temui pagi ini, sekaligus untuk menawarkan kerja sama dalam pembuatan series movie yang di adaptasi dari novelnya sendiri. Orang itu menyetujui untuk bertemu di sebuah tempat sarana olahraga, tepatnya di stadium utama GBK Senayan Jakarta yang saat ini tampak ramai oleh pengunjung yang tengah berolahraga pagi, seperti jogging dan bersepeda.

Mobil menepi di bahu jalan, Friska kembali menghubungi orang itu sementara suaminya pun mendapatkan sebuah panggilan masuk dari kliennya.

“Oh, kamu udah sampe? di sebelah mana?” Friska mengedarkan pandangan.  Menilik ke berbagai arah mencari orang yang di maksud.

“Ohh, itu yang pake hoodie biru navy, ya? oke-oke, tunggu aku ke situ ya!” katanya dan langsung mengakhiri panggilan.

Ia menoleh pada suaminya yang masih tampak sibuk menerima panggilan telepon. Sembari menunggu, Friska memakai sepatu sneakers-nya, ia pun sudah siap dengan setelan olahraga yang kebetulan memang sudah dipersiapkan sejak kemarin. Sebenarnya ia dan suaminya berniat untuk olahraga bersama di sisa waktu cuti mereka, namun karena ada banyak kendala, akhirnya waktu untuk berolahraga berdua harus di pending.

“Sayang, sorry banget, nih. Pak Albert minta ketemu pagi ini di proyek!” Faris tampak resah, merasa tak enak hati pada istrinya.

“Begitu? dadakan banget, Ris?” tanya Friska.

“Hari ini dia mau balik ke Netherlands, tapi sebelum itu dia mau memastikan dulu proyek yang lagi aku jalanin ini gimana. No more time, and no more choice.” Faris menghela napas.

Friska tersenyum lebar lalu berkata, “Okay. No problem, kalau gitu aku sendiri aja gak apa-apa, Ris. Kamu selesaikan tugasmu dan aku selesaikan tugasku. Kabarin kalau udah beres ya!”

Faris mengusap lembut pipi istrinya seolah memberikan semangat dan kata maaf karena tak bisa menemaninya bertemu dengan seseorang.

I’m sorry! semangat ya.”

“Kenapa harus minta maaf? gak ada yang salah, kok.” Friska terkekeh sembari mencubit kecil lengan suaminya. “Kamu juga semangat ya. Ya udah, aku turun dulu kalau gitu. Hati-hati dijalan!”

Friska keluar dari mobil dan menunggu suaminya beranjak sampai hilang dari pandangan. Ia termenung sejenak sampai suara seorang pria membuyarkan lamunannya.

“Hai, Fris.”

“Eh! Hai, Zafriel.” Friska menoleh lalu balik menyapa.

“Suamimu gak ikut?” tanya pria itu yang tak lain adalah Zafriel.

“Nggak! dia ada pertemuan sama kliennya di proyek.” Friska tersenyum lalu mereka berdua berbalik badan dan melangkah memasuki stadium utama itu.

“Kamu udah lama nunggu, Zaf?” tanya Friska. Tentu saja pagi ini orang yang akan ia tawari job itu adalah Zafriel.

“Nggak terlalu lama, kok. Baru 15 menitan lah. By the way, kamu serius dari Puncak?” tanya Zafriel. Sebelumnya mereka sudah berkomunikasi melalui pesan singkat. Friska pun memberitahu jika ia terlambat mohon untuk dimaklumi, mengingat posisinya berada di kota lain.

Friska terkekeh lalu menjawab, “Iya, nih. Semalam habis dari RS aku langsung ke Puncak. Ke lokasi syuting. Soalnya kasian anak-anak kru di sana gak ada yang handle!”

“Waw, sibuk banget kayaknya kamu. Tapi suamimu juga kayaknya orang sibuk. Kalian sama-sama sibuk!” kekeh Zafriel.

Posisi mereka saat ini sedang berbincang sembari berjalan santai di kawasan stadion besar itu.

“Yahh, begitu, deh. Makanya banyak yang bilang kami belum punya anak karena sama-sama sibuk!” kata Friska.

“Oh ya, kamu emang rutin banget ke sini dan olahraga?” tanya Friska.

“Hmm, minimal 3 kali aja seminggu! abisnya kalau gak digerakkin nih badan malah gampang sakit aku!” ujar Zafriel dengan senyuman tipis diwajahnya.

Friska mengangguk dengan menaikkan alisnya.

“Pantes. Sehat dan bugar banget. Body-body atletis!” katanya sembari meninju kecil lengan pria disebelahnya yang tampak berotot tercetak dibalik jaket hoodie. Yang di puji malah tergelak.

“Aku sama suami malah gak sempet terus mau olahraga!” sambung Friska.

“Sempatin aja minimal 20 menit lah. Apalagi kalian kan lagi program hamil, dua-duanya harus sehat dan ideal. Life style juga harus di perbaiki. Dan salah satunya dengan berolahraga.” Zafriel menoleh pada Friska yang hanya mengangguk.

“Sama aja gak sih kayak aktivitas sehari-hari? kayak kita bergerak sana-sini, naik turun tangga dan lain-lain? bukannya sama-sama bakar kalori juga?” tanya Friska.

“Betul, segala aktivitas bergerak pasti akan membakar kalori. Tapi jangan samakan porsi olahraga dengan aktivitas. Keduanya berbeda. Ada unsur lain yang terbentuk dalam tubuh selama berolahraga, dan itu mengaktifkan beberapa kerja hormon penting dalam tubuh manusia yang gak didapat hanya dengan beraktivitas aja.” Zafriel menjelaskan dengan santai.

“Ohh, begitu?!” gumam Friska. “Pantesan aja tadi kamu nolak di ajak ketemuan di Mcd. Dan lebih milih tempat ini!” kekeh Friska.

Zafriel tersenyum lebar dan bertanya, “kamu laper gak?”

“Belum terlalu laper, sih. Why?” kata Friska.

“Aku bawa cemilan pagi. Aku bawa lebih tadi, niatnya mau berbagi sama kamu dan suamimu,” ujar Zafriel, membuat Friska melebarkan mata.

“Waw, makasih loh, Zaf.”

“Nggak apa-apa. Aku emang biasa bikin lebih, kok. Biasanya aku ke sini sama Mama atau sama Yoana. Tapi mereka lagi sama-sama sibuk, jadi udah beberapa waktu ini aku sendiri dan beruntungnya hari ini ada temannya lagi,” ucap Zafriel sambil menyunggingkan senyum manisnya.

Friska terdiam sejenak. Mencerna kalimat utama.

“Yoana itu ....”

“Junior aku di kampus. Kebetulan dia lagi coas di RS tempat aku praktek sekarang.”

“Ohh.”

Friska dan Zafriel saat ini memilih duduk di sebuah tempat yang nyaman untuk beristirahat. Pria itu pun memberikan sebotol minuman segar pada Friska, lalu ada sebuah kotak sarapan pula yang ia persiapkan.

“Wahh seger banget nih, isinya apa?” tanya Friska sembari memperhatikan minuman berwarna hijau gelap yang tampak menyegarkan.

“Bayam, nanas, timun, apel. Fresh juice! tanpa tambahan gula. Terus dikotak itu ada roti slice gandum yang isinya mashed avocado.” Zafriel kemudian meneguk minuman segar itu.

My favorit. Avocado sandwich. Hehe! Paket lengkap sarapan sehat.” Friska tertawa. Ia pun tidak sabar untuk mencicipinya. “Enak banget! ini menu sarapan terenak menurut aku. Gak bikin begah perut, dan kenyang tahan lama. Tapi semenjak banyak deadline, aku jadi jarang banget sempetin sarapan sehat begini, Zaf.”

“Oh ya? beli yang udah jadi aja kalau gitu!” usul Zafriel.

“Niatnya sih gitu, kalau fresh juice begini gampang nyarinya, tapi kalau menu sarapan sandwich sehat gini yang bingung nyarinya!” kata Friska.

“Pesen aja sama aku!” balas Zafriel sembari terkekeh.

“Serius, kamu jualan juga?” tanya Friska.

Pria itu tertawa kecil. “Yaah ... kalau langganan setianya kamu sih kayaknya aku mau coba buka usaha juga. Sampingan selain jadi dokter obgyn!”

Friska tergelak. “Boleh-boleh.”

“Oh ya, jadi ... gimana sama tawaran aku semalam?” tanya Friska. Ia memulai perbincangan mengenai tujuan utamanya.

Zafriel terdiam beberapa detik. Alisnya mengkerut dan mulai bertanya serius. “Emangnya itu gimana sih sistemnya? kamu tuh jadi produser atau sutradara film?”

“Dua-duanya. Hehe! Abisnya ini kan masih PH kecil sebetulnya. Jadi aku double job.” Friska terkekeh saat melihat ekspresi Zafriel yang tertegun. “Kita lagi kekurangan pemain 2 orang. Cowok cewek. Pengganti tokoh utama!” jawab Friska.

Pria itu tampak berpikir kemudian kembali bertanya, “Pengganti tokoh utama? ini adaptasi buat novel yang judulnya ‘The Meaning Of Encounter’ bukan?”

Friska melebarkan mata dan menatap Zafriel dengan ekspresi yang sulit untuk digambarkan.

“Eh! Kamu tau novel aku yang itu?”

“Udah aku tamatin baca setahun lalu!” Zafriel menyengir. Memperlihatkan giginya yang putih dan rapi.

Sementara Friska tertegun mendengarnya. Lebih pada tak menyangka ternyata teman kecilnya mengoleksi karya novel.

“Sejak kapan kamu suka baca novel, Zaf?” tanya Friska.

“Sejak ke toko buku dan melihat novel best seller yang judulnya ‘Leaving In White’ Karya Fris.P.Tama.” Zafriel tersenyum tipis kemudian menilik Friska yang tampak tercengang dengan mulut menganga.

Wanita itu tak bisa berkata-kata. Ia hanya terus menatap lekat Zafriel yang kembali berujar.

“Novelnya bagus. Pantes aja jadi best seller. Terus aku koleksi lagi karya-karya berikutnya, dan ternyata gak nyesel udah beli. Akhirnya ... aku ngefans deh sama penulisnya, pas aku cari tau ternyata sekarang penulisnya sendiri yang nawarin aku jadi visualisasi tokoh novelnya!”

Zafriel menilik kembali pada Friska yang saat ini tengah tergelak. Selama ini rupanya ia sudah mengoleksi hampir seluruh karya-karya teman kecilnya itu. Friska pun memang menamai karyanya dengan nama pena ‘Fris.P.Tama’ sebagai singkatan dari nama lengkapnya yaitu: Friska Puspita Wiratama.

“Lucu, ih. Aku gak tau kalau kamu suka baca. Setahu aku dulu tuh kamu paling hobinya ya olahraga kayak begini,” ucap Friska.

“Gimana kamu mau tau tentang aku, gak lama baru masuk SMA aja kamu udah pindah. Gak ngasih kabar dan pamitan juga. Curang!” kata Zafriel yang tampak meledek.

“Abisnya dulu tuh aku emang taunya mendadak. Satu minggu sebelum pindahan baru dikabarin sama ortu. Aku pikir becanda, ternyata beneran. I’m sorry.” Friska menghela napas perlahan,

Entah mengapa kepergiannya 15 tahun yang lalu ternyata seperti meninggalkan kekecewaan diwajah Zafriel.

“Nggak perlu minta maaf. Gak ada yang salah, kok. Hanya saja ... kita harus mulai memahami beberapa makna kehidupan, salah satunya arti dari pertemuan dan perpisahan.” Zafriel tersenyum getir, kemudian melanjutkan. “Aku senang udah mengenal kamu dengan baik, Fris. Dan, setelah kamu pergi, doaku tetap sama. Semoga sahabat kecilku ini selalu bahagia dimana pun dan dengan siapapun! And ... one day, i hope we can meet again.”

“Benarkah? berarti pertemuan kita saat ini adalah jawaban dari doa-doa kamu, Zaf.” Friska menatap pria di sebelahnya.

“Ya. Aku bersyukur bisa ketemu kamu lagi setelah 15 tahun lamanya kita berpisah.” Zafriel pun menoleh dan menatap wanita disebelahnya. Mata mereka beradu, ada sorot kebahagiaan terpancar.

“Kamu masih sama. Cantik dan meneduhkan.” Zafriel mengunci tatapan mereka. Entah sadar atau tidak, ekspresi pria itu terkesan sangat mengagumi sosok wanita di dalam tatapan itu. Kini Zafriel semakin serius dan intens menatap Friska yang tengah termangu. “Semuanya yang ada dalam dirimu masih sama. Hanya saja ... perbedaannya adalah kamu telah di miliki. Andai itu belum, mungkin aku sudah menarikmu dalam dekapanku.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status