LOGINPerlahan tapi pasti dengan sangat hati-hati, aku mengambil koper yang di dalamnya sudah ada pakaian yang dibutuhkan.
Senyum terlukis tipis. Aku melihat Agni sebelum benar-benar keluar dari kamar. “Aku terpaksa menikahimu, makanya sekarang aku memilih kabur tanpa berpamitan denganmu. Masalah apa yang terjadi nanti, bisa dipikirkan belakangan.” Aku bicara sendiri untuk menguatkan diri atas perbuatanku. Membenarkan semuanya agar diri ini lepas dari tekanan yang terasa membelenggu. Di dalam kamar yang pencahayaannya temaran ini, sama sekali tidak ada adegan yang biasa dilakukan di malam pertama. Kami sama-sama enggan, walau entah di lubuk hati terdalam dari seorang Agni. Aku membuka hendel pintu sangat hati-hati. “Agni pasti juga lega karena aku tinggal pergi. Dia bisa leluasa bertemu dengan lelaki bernama Ghani yang mungkin ada perasaan,” gumamku. Aku melangkah keluar. Sorot mata mengitari setiap sudut ruangan untuk memastikan tidak ada kehidupan. Semua orang seharusnya sudah tertidur dengan sangat lelap. Dengan kunci mobil yang ada dalam genggamanku, kaki diayunkan selangkah demi selangkah. Sikap waspada tetap menemaniku. Aku kabur harus tidak diketahui oleh siapa pun. Meski aku tahu, perbuatanku adalah sebuah kesalahan, tetapi aku melakukannya karena merasa kesal dan sebagai bentuk protes yang nyata. Karena protes saat di awal, tidak membuahkan hasil apa pun dan pernikahan tetap terjadi. Aku berhasil pergi ke garasi. Sosokku tidak diketahui oleh siapa pun. Jam satu dini hari begini, memang waktu yang tepat untuk melarikan diri. Apalagi orang-orang pasti lelah setelah mengikuti acara pernikahanku. Aku juga merasa lelah, tetapi keinginanku untuk kabur lebih besar hingga mengalahkan segalanya. * Aku tertawa kegirangan ketika berhasil kabur dari rumah. Satpam tidur pulas juga hingga tak mendengar gerbang yang dibuka dan ditutup kembali. Seolah semesta merestui kepergianku dari rumah. “Siap-siap HP berisik. Biarlah, yang terpenting adalah aku bisa menjauhi Agni yang kayak kudanil itu.” Mobil melaju cepat di jalan raya yang tidak banyak kendaraan lewat. Dini hari begini siapa pula yang mau bepergian kecuali ada hal mendesak sepertiku. * POV AGNI Aku mengerjapkan mata ketika mendengar pintu diketuk dari luar berkali-kali. Lalu, segera bangkit dari kasur. Aku melangkahkan kaki menuju pintu tanpa melihat ke sekeliling karena nyawaku seolah belum terkumpul semuanya. “Iya!” ucapku agak lantang untuk menanggapi ketukan yang menggebu-gebu dari luar. Rasa penasaran tentu bergejolak. Aku bahkan lupa tidak melihat jam di dinding. Tapi, aku rasa saat ini mungkin sudah masuk waktu subuh. Pintu akhirnya dibuka. Mertuaku yang mengetuk pintu. Wajahnya tampak gelisah. Ia berusaha mencuri pandang ke dalam kamarku. Aku semakin keheranan dengan sikapnya itu. “Arfan di dalam, kan?” tanyanya masih berusaha melihat ke dalam kamarku. Deg. Aku teringat kalau Mas Arfan tidur di sofa. Kalau mertuaku tahu kami tidur terpisah, akan seperti apa tanggapannya? “Arfan nggak pergi kan, Agni? Kata satpam, mobilnya sudah nggak ada di garasi,” ucap beliau lagi, makin gelisah. Jujur saja, aku terkejut mendengar ucapan dari mertuaku. Aku tadi memang tidak melihat ke arah sofa, karena itu, aku tidak bisa memastikan apakah Mas Arfan masih tidur di sana atau malah sudah kosong. Aku menoleh ke belakang karena penasaran apakah Mas Arfan masih ada di sofa. “Agni, apa Arfan beneran pergi?” tanya mertuaku lagi. Saat itu, aku menyadari kalau sofa itu telah kosong. Agak lega karena mertuaku jadi tidak mengetahui kalau kami tidur terpisah. Namun, pertanyaan lain kali ini menyelinap masuk. Ke mana Mas Arfan? “Dia nggak ada, Bu. Aku nggak tau dia ke mana,” ucapku sambil fokus lagi ke mertuaku. Beliau berdecap menunjukkan kekesalannya. “Arfan bener-bener keterlaluan!” * Hari beranjak siang. Mertuaku sejak tadi mengulang perkataan yang sama, yaitu permintaan maaf. Ya, kata itu dipergunakan sebagai bentuk rasa bersalah atas nama anaknya. Dari CCTV yang sudah diperiksa, menunjukkan sosok Mas Arfan yang mengendap-endap keluar dari rumah. Semua telah menyimpulkan bahwa suamiku itu sengaja kabur tanpa berpamitan pada siapa pun. Beberapa orang juga tadi sibuk dengan ponselnya untuk menghubungi suamiku. Namun, semua nihil. Sedangkan aku, hanya diam sambil agak tersenyum tipis. Aku malah bersyukur lelaki itu pergi dariku. Bukankah perceraian itu jadi gampang direngkuh? Namun sayangnya, mertuaku yang tinggal seorang diri itu pasti akan melarang dengan berbagai cara. Tadi saja beliau sudah terlihat sangat mengiba padaku agar aku tidak marah besar pada tindakannya Mas Arfan. Belum lagi dari pihak keluargaku, mungkin akan terbujuk rayu oleh permintaan dari mertuaku. Padahal jelas, menantunya itu telah kabur dari anak gadisnya yang telah dinikahi. “Arfan akan segera kembali, Agni. Kamu sabar dulu ya, Nak. Jangan berpikir yang macam-macam. Ibu pastikan Arfan ada di luar kota. Di sana ada kantor milik keluarga. Arfan pasti sudah merencanakan jauh-jauh hari. Makanya dengan mudah dia pergi. Anak nakal!” ucap mertuaku dengan wajah yang tampaknya tidak enak hati padaku. “Untuk sementara, kamu tetap tinggal di sini, ya, Nak. Kami akan bertanggung jawab atas dirimu, Agni,” ucapnya lagi. Kalau soal itu, aku kurang setuju. Aku ingin merasa bebas dalam artian bisa melakukan apa pun tanpa sungkan. Kalau serumah sama keluarganya Mas Arfan, aku sulit mendapatkan itu semua. Pasti kurang nyaman walau mereka memperlakukanku dengan sangat baik. “Mas Arfan mengangkat teleponnya, Bu,” ucap salah satu orang yang ditugaskan untuk menelepon Mas Arfan. Ia menyodorkan ponsel itu pada mertuaku. “Arfan! Cepat pulang! Apa-apaan kamu!” bentak mertuaku seketika. Wajahnya terlihat memerah. Sayangnya, telepon itu tidak di-loudspeaker. Aku tak bisa mendengarkan percakapan mereka. Hanya dari ucapan mertuaku saja. “Bisa! Semua bisa diatur asal kamu ada niatan pulang, Arfan! Kamu harus pulang! Nggak ada alasan lagi!” Mertuaku meninggikan setiap kata yang keluar dari lisannya. Sekian lama, percakapan mereka akhirnya selesai. Entah titik temunya bagaimana. Tapi, dari kesimpulan yang aku dengar dari lisan mertuaku, Mas Arfan tetap tidak mau pulang. “Agni, maafkan Arfan ya, Nak. Dia keras kepala banget. Ibu sudah memintanya pulang, tapi nggak tau dia maunya apa.” Mertuaku masih berusaha menjaga perasaanku. Padahal aku sudah menangkap kalau Mas Arfan tidak mau pulang. “Kamu di sini saja ya, Nak. Nanti Ibu ketemu sama keluargamu buat menjelaskan semuanya. Ibu hanya nggak mau pernikahanmu hancur gara-gara keegoisannya Arfan. Dia sama sekali tidak memikirkan wasiat ayahnya yang sudah meninggal. Arfan seharusnya membahagiakanmu setelah menikah. Tapi, untuk gantinya, Ibu yang akan melakukannya untukmu sampai Arfan pulang. Mau ya, Nak,” pinta mertuaku dengan kedua matanya yang sudah berkaca-kaca. “Aku senang dengan niat baik yang akan Ibu lakukan untukku. Aku juga tau Ibu nggak akan membiarkan rumah tangga kami hancur begitu saja. Tapi, Bu ... aku sepertinya nggak bisa tinggal bersama Ibu di sini. Aku juga ingin melakukan sesuatu yang aku inginkan, Bu. Aku minta maaf untuk itu.”8Aku sangat heran ketika gadis cantik itu seketika pergi, bahkan tampak sangat terburu-buru setelah kami saling tatap.“Kenapa dia pergi begitu saja?” gumamku sambil melihat punggung gadis itu yang kian menjauh.Padahal aku pikir, inilah kesempatan emas buatku karena dia menyapaku duluan. Harusnya aku meminta berkenalan padanya. Minimal tahu namanya sudah membuatku bahagia.“Bodohnya aku nggak lihat ID pengenalnya,” gerutuku lagi masih mematung di tempat yang sama.Tidak biasanya aku seperti sekarang. Di luar nurul kalau kata orang. Memang seperti terhipnotis tanpa sadar. Ketertarikanku pada gadis itu sulit untuk ditepis. Malah terasa begitu bergejolak di dalam hati. Seolah sangat penasaran padanya.Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?Sejujurnya, aku memang tak begitu peduli pada perempuan. Aku lebih suka menyibukkan diri dengan hobi dan pekerjaan. Mantan pacar pun bisa dihitung dengan jari. Bahkan, sebelum menikah, aku memang sedang tidak dekat dengan perem
7Pov AgniApa yang aku takutkan, akhirnya terjadi juga hari ini. Bener-bener nggak nyangka kalau aku berhadapan langsung sama dia. Apa dia menyadari perubahanku? Kalau nggak, ngapain coba, dia berhenti di dekatku?Gelisah, sungguh hatiku gelisah sambil mengayunkan kaki memasuki restoran tempatku bekerja. Aku tak menoleh ke belakang sama sekali. Tak mau saling pandang dengan Mas Arfan.Aku yakin dia akan makan di sini. Bagaimana ini? Apa aku harus ramah padanya kalau benar dia mengenaliku? Hah! Tapi buat apa? Dia aja nggak peduli sama aku sejak dulu.Ponsel aku simpan ke dalam tas. Sangat kebetulan juga, mertuaku yang barusan telepon. Di waktu istirahat begini, biasa beliau melakukannya. Beliau begitu perhatian padaku. Apalagi kami sudah lama sekali tidak bertemu. Ya, setelah aku memutuskan untuk pindah ke rumah kakakku di luar kota.Meski kami sering kasih kabar satu sama lain, lebih tepatnya, mertuaku yang lebih sering melakukannya duluan, beliau tidak tahu perubahanku saat ini.Kal
6“Arfan, Agni akan tinggal di rumah kakaknya, kota yang sama denganmu, Ar. Ibu nggak bisa menolak permintaannya yang pengen mencoba pengalaman baru. Padahal Ibu sudah kasih jatah uang sebagai bentuk nafkah darimu, tapi Agni punya keputusan lain. Mungkin itu lebih baik daripada dia meminta cerai darimu.”Setelah tiga hari dari kejadian waktu itu, Ibu melaporkannya padaku lewat pesan. Bodoh amat sebenarnya. Lagian aku sudah mengatakan semuanya dengan jujur, tapi begitulah maunya Ibu. Pun soal nafkah.“Ini alamatnya, Jalan Merdeka No 10 .... Kamu harus datang menemuinya, Ar. Ingat sama wasiat almarhum ayahmu! Ibu nggak mau pernikahanmu hancur. Itu permintaan terakhir ayahmu. Lakukanlah dengan benar, Ar. Coba buka hatimu untuk Agni, Arfan!”Bahkan, aku diomeli lewat rangkaian kata dan mencekokiku agar mau menelan segala takdir yang dirancang oleh mereka. Di mana jati diriku, coba? Mereka terus yang mengatur hidupku.Aku menghela napas kasar. Begitu malas rasanya selalu dikaitkan dengan A
"Dikira dia cantik? Menarik? Lagaknya sok cantik bener! Najis banget lirikannya tadi!” gerutuku sambil mengepalkan tangan di atas meja setelah ibuku dan Agni keluar dari ruangan pribadiku ini.Ibu tadi sempat memohon pada Agni, tapi wanita gendut itu seolah punya harga diri yang begitu tinggi. Badan mirip lontong begitu bikin aku makin kesal saja. Ibu juga mau-maunya merengek padanya. Bikin kesal, sumpah!“Jangan harap kamu bisa bahagia setelah menyakiti hati istrimu, Arfan!”Ucapan itu juga masih terngiang di ingatanku. Ya, ibuku menyumpahiku hanya demi Agni si gendut itu. Sebelum pergi dari ruanganku. Aku tidak habis pikir dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Seperti mimpi buruk, tapi semua adalah kisah hidupku yang begitu nyata.“Semua gara-gara wasiat Ayah yang sangat konyol. Tapi, kalau si gembrot itu nggak lahir ke dunia, nggak bakalan aku jadi begini.”Udara keluar dengan kasar lewat mulutku. Lalu, meraup wajahku penuh emosi.“Setidaknya, mereka sudah pergi dari sini. Syuku
Sekitar hampir dua minggu, hidupku seolah diteror oleh keluargaku sendiri. Tentu ibuku yang memerintahkan. Kalau Agni, dia tahu diri. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Jujur saja, ada saja perasaan kesal karena sikapnya itu.Namun, aku tidak mau ambil pusing. Aku sudah memproses segalanya hingga aku bisa dengan mudah bekerja di kantor milik keluargaku yang ada di luar kota—tempatku sekarang ini. Lagian, warisan itu pasti akan jatuh ke tanganku karena aku sudah menuruti keinginan almarhum ayah lewat wasiatnya.“Kita akhiri rapat hari ini. Terima kasih untuk semua kerja keras kalian,” ucapku di depan meja rapat.Sebelum kembali ke ruangan pribadiku, aku berbicara sebentar pada asistenku agar semua dokumen hasil rapat tadi diperiksa kembali.Setelah membereskannya, aku beranjak dari ruang rapat itu dan melangkahkan kaki jenjangku menuju ruangan pribadiku.Ketika daun pintu semakin terbuka lebar, aku terpaku melihat pemandangan di depanku. Ibu dan Agni sudah duduk di sofa di ruangan pe
Perlahan tapi pasti dengan sangat hati-hati, aku mengambil koper yang di dalamnya sudah ada pakaian yang dibutuhkan.Senyum terlukis tipis. Aku melihat Agni sebelum benar-benar keluar dari kamar.“Aku terpaksa menikahimu, makanya sekarang aku memilih kabur tanpa berpamitan denganmu. Masalah apa yang terjadi nanti, bisa dipikirkan belakangan.”Aku bicara sendiri untuk menguatkan diri atas perbuatanku. Membenarkan semuanya agar diri ini lepas dari tekanan yang terasa membelenggu.Di dalam kamar yang pencahayaannya temaran ini, sama sekali tidak ada adegan yang biasa dilakukan di malam pertama. Kami sama-sama enggan, walau entah di lubuk hati terdalam dari seorang Agni.Aku membuka hendel pintu sangat hati-hati.“Agni pasti juga lega karena aku tinggal pergi. Dia bisa leluasa bertemu dengan lelaki bernama Ghani yang mungkin ada perasaan,” gumamku.Aku melangkah keluar. Sorot mata mengitari setiap sudut ruangan untuk memastikan tidak ada kehidupan. Semua orang seharusnya sudah tertidur de







