LOGIN“Mas Ghani? Kok, bisa ada di sini?” kata Agnia wajahnya begitu semringah.
Benar, kan! Dia punya pacar. Kelihatan dari wajahnya yang bahagia. Harusnya, Ayah nggak perlu bikin wasiat yang aneh-aneh. Aku melengos hendak jalan lagi. Buat apa ikutan basa-basi sama orang yang tidak dikenal? Apalagi urusan sama Agnia yang saat ini bikin nasibku tak bagus. “Aku baru makan di restoran di sebelah bridal shop tempatmu keluar tadi. Jadi benar, kamu mau menikah, ya?” “Iya, Mas. Kebetulan banget kita bertemu, ya,” jawab Agnia. “Mas, calonnya Agni, ya?” Pertanyaan itu membuatku terpaksa menoleh pada mereka. “Iya, benar,” jawabku menarik kedua ujung bibir walau berat sekali melakukannya. Orang itu mengulurkan tangan kanannya. Buat apa minta kenalan? Pada akhirnya, aku menyambut tangan kanannya itu. Kalimat yang terangkai di dalam hati, percuma diucapkan. “Namaku Ghani, dulu kakak kelasnya Agni waktu SMA. Tapi, kami satu kampus juga. Kami sering bertemu. Jadi lumayan akrab. Senang berkenalan dengan calon suaminya Agni,” ujarnya sambil mengulas senyum dan sesekali melirik pada Agnia. Buat apa dijelasin sepanjang itu? Aku nggak peduli. Batinku menolak ketika telingaku mendengar kata demi kata yang bagitu tak berguna sama sekali. Mau akrab kek. Bahkan pacaran kek. Terserah mereka. Yang menjadi permasalahan adalah kenapa aku harus menikah sama Agnia yang punya teman lelaki yang mungkin ada perasaan di antara mereka. “Oh, iya. Senang berkenalan denganmu. Aku Arfan,” ujarku, lagi-lagi berbeda dengan apa yang ada di dalam hati. Kami melepas tangan yang tadi saling bertaut. “Agni beruntung dapat suami setampan kamu, Mas. Tapi, Agni juga cantik, kok. Sama-sama beruntung jadinya,” ucapnya lagi. Senyumku tetap mengembang. Namun, rasanya hambar sekali. Apa dia dibutakan oleh cinta? Agni dibilang cantik? Yang benar saja. Dalam hati merongrong sebab tidak setuju dengan ucapan dari lelaki bernama Ghani itu. Aku menahan bibirku untuk tidak tersenyum mengejek. Geli sekali mendengar kata-kata yang dipilih olehnya. Apalagi di hadapanku yang jelas akan menjadi suaminya Agni. Apa dia tidak merasa sungkan padaku? “Mas Ghani kalau bercanda lihat tempat, dong!” Agni menanggapi ucapan dari Ghani. Aku melihat sekilas, wajah Agni tampak tersipu. Apa-apaan mereka? Coba bayangkan kalian dalam posisiku. Bukankah bikin kesal? Agni seolah tak bisa sadar diri akan dirinya yang gendut. Bisa saja ucapan dari Ghani hanya ejekan buatnya, kan? Intinya aku kesal, kenapa bukan Ghani saja yang menikahi Agni. Malahan aku. “Ini kebetulan aku beli take away. Buat kamu aja, mau kan?” “Ya ampun, Mas. Kenapa malah dikasih aku? Itu sengaja beli buat nanti kan?” Agni menanggapi. Entah mengapa, kakiku seperti terpaku. Padahal tadi sudah ingin pergi. Aku malah terus mendengar percakapan mereka. Aku seperti terperangkap di tempat ini. “Nggak apa-apa. Aku lebih senang kalau kamu yang makan. Aku bisa beli lagi. Terima, ya? Aku juga harus segera pergi.” Agni akhirnya menerimanya. “Terima kasih, Mas. Nanti pasti aku makan.” Gimana nggak gendut gitu? Kerjanya makan terus. Lagi-lagi, aku menggerutu di dalam hati. Wajarlah kalau aku kesal melihat interaksi mereka. “Ya udah, aku pergi dulu. Semoga kita lain waktu bertemu lagi,” ucap lelaki itu. Lalu, sorot matanya berpindah padaku. “Tolong jaga Agni ya, Mas. Dia cewek yang sangat baik yang pernah aku kenal.” “Iya,” jawabku singkat sambil mengangguk dan mengukir senyum yang sangat terpaksa. * Jadi benar, orang itu suka sama Agni? Bisa-bisanya ngomong kayak tadi. Aku sudah duduk di balik kemudi. Mobil melaju di jalan raya menuju ke rumah Agni. Telingaku mendengar gesekan benda dari arah samping. Aku mengernyit dan melirik sekilas untuk mencari tahu. “Jangan bikin kotor mobilku,” ucapku ketika melihat Agni sedang membuka makanan yang diberikan oleh Ghani. Aku merasa, Agni melihatku dengan tatapan sengit walau aku fokus lagi ke depan. Ucapanku tadi hanya basa-basi. Yang sesungguhnya, aku tak suka melihat gadis gendut itu makan lagi hingga membuat bobot tubuhnya semakin berat. Apa hidupnya hanya untuk makan? Dia cewek loh. Kenapa nggak pengen punya penampilan yang menarik. Cewek aneh. Saat di dekat Agni, batinku susah untuk diam saja. Ada saja yang diucapkan di dalam sana. “Aku pastikan, nggak ada remahan yang jatuh di mobilmu!” kata Agni dengan tegas. Ia tetap membuka bungkus makanan itu. Sungguh memuakkan. * “Kalian pasti capek. Ayo, makan dulu. Mama udah bikinin rendang sapi.” “Beneran, Ma? Aku mau, dong!” Aku benar-benar syok dengan kata-kata yang keluar dari lisan si Agni. Di mobil dia baru makan burger. Sekarang dia mau makan lagi? Perut macam apa itu? Sungguh, aku makin ilfil pada gadis itu. Aku ingin lenyap saja dari muka bumi agar tak jadi dinikahkan dengan Agni. Namun, semesta tidak merestui. Nasibku semenyedihkan ini. “Mas Arfan juga makan, ya. Nggak usah malu-malu. Anggap rumah sendiri.” Pada akhirnya, aku duduk di meja makan. Kedua mataku melihat pemandangan yang bikin emosi makin memuncak. Agni makan begitu lahap dengan porsi yang sama denganku. Tentu saja, lumayan banyak nasi yang terhidang di atas piring. * Ijab kabul sudah aku lafazkan beberapa menit yang lalu. Meski sempat salah-salah beberapa kali dan diperingati oleh Ibu. Pada akhirnya, aku dan Agni sah menjadi suami-istri. Padahal aku sempat senang, karena kalimat yang keluar dari lisanku sering salah. Aku mengira, pernikahan ini akan gagal. Nyatanya, ibuku menjadi garda terdepan agar aku bisa melafazkan ijab kabul itu dengan benar. Meski Agni dirias dan kata orang-orang begitu cantik, di mataku, dia tetaplah buntalan karung satu ton yang tak menarik sama sekali. Aku melihatnya begitu begah dan sesak ketika Agni memakai kebaya yang kemarin sudah diukur dengan pas. Begitu dibilang cantik? Jelas-jelas kayak lontong. Hari bahagia ini, sungguh membuatku tak bahagia. Justru gelisah dan tertekan mengingat Agni sudah sah menjadi istriku. Aku sungguh tak mencintainya. Bahkan, secuil pun tidak. * Aku sudah membersihkan diri sebelum pergi tidur. Begitu pula dengan Agni. Ia sudah memakai baju tidur. Kasurnya pasti jadi sempit. Jadi kurang bebas. Lebih baik aku tidur di bawah. Aku lagi yang menderita di sini. Aku mengambil bantal di kasur. “Walau kita tidur sekasur, aku nggak bakal melewati batas. Kasurnya lebar. Masih cukup untuk kita berdua,” ujar Agni. “Nggak perlu. Lebih baik aku tidur di bawah. Ada sofa yang bisa dijadikan kasur.” Aku menolaknya mentah-mentah. Lagipula, aku sudah mengemasi barang-barangku. Aku akan pergi setelah orang-orang tidur semua. Lebih tenang kerja di kantor Ayah yang ada di luar kota. Biar aku nggak serumah sama ini orang. Bukankah aku sudah menikahinya? Warisan yang Ayah janjikan sudah jadi milikku kan? Perusahaan yang ada di luar kota salah satunya. Aku bebas mau bekerja di mana saja.8Aku sangat heran ketika gadis cantik itu seketika pergi, bahkan tampak sangat terburu-buru setelah kami saling tatap.“Kenapa dia pergi begitu saja?” gumamku sambil melihat punggung gadis itu yang kian menjauh.Padahal aku pikir, inilah kesempatan emas buatku karena dia menyapaku duluan. Harusnya aku meminta berkenalan padanya. Minimal tahu namanya sudah membuatku bahagia.“Bodohnya aku nggak lihat ID pengenalnya,” gerutuku lagi masih mematung di tempat yang sama.Tidak biasanya aku seperti sekarang. Di luar nurul kalau kata orang. Memang seperti terhipnotis tanpa sadar. Ketertarikanku pada gadis itu sulit untuk ditepis. Malah terasa begitu bergejolak di dalam hati. Seolah sangat penasaran padanya.Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?Sejujurnya, aku memang tak begitu peduli pada perempuan. Aku lebih suka menyibukkan diri dengan hobi dan pekerjaan. Mantan pacar pun bisa dihitung dengan jari. Bahkan, sebelum menikah, aku memang sedang tidak dekat dengan perem
7Pov AgniApa yang aku takutkan, akhirnya terjadi juga hari ini. Bener-bener nggak nyangka kalau aku berhadapan langsung sama dia. Apa dia menyadari perubahanku? Kalau nggak, ngapain coba, dia berhenti di dekatku?Gelisah, sungguh hatiku gelisah sambil mengayunkan kaki memasuki restoran tempatku bekerja. Aku tak menoleh ke belakang sama sekali. Tak mau saling pandang dengan Mas Arfan.Aku yakin dia akan makan di sini. Bagaimana ini? Apa aku harus ramah padanya kalau benar dia mengenaliku? Hah! Tapi buat apa? Dia aja nggak peduli sama aku sejak dulu.Ponsel aku simpan ke dalam tas. Sangat kebetulan juga, mertuaku yang barusan telepon. Di waktu istirahat begini, biasa beliau melakukannya. Beliau begitu perhatian padaku. Apalagi kami sudah lama sekali tidak bertemu. Ya, setelah aku memutuskan untuk pindah ke rumah kakakku di luar kota.Meski kami sering kasih kabar satu sama lain, lebih tepatnya, mertuaku yang lebih sering melakukannya duluan, beliau tidak tahu perubahanku saat ini.Kal
6“Arfan, Agni akan tinggal di rumah kakaknya, kota yang sama denganmu, Ar. Ibu nggak bisa menolak permintaannya yang pengen mencoba pengalaman baru. Padahal Ibu sudah kasih jatah uang sebagai bentuk nafkah darimu, tapi Agni punya keputusan lain. Mungkin itu lebih baik daripada dia meminta cerai darimu.”Setelah tiga hari dari kejadian waktu itu, Ibu melaporkannya padaku lewat pesan. Bodoh amat sebenarnya. Lagian aku sudah mengatakan semuanya dengan jujur, tapi begitulah maunya Ibu. Pun soal nafkah.“Ini alamatnya, Jalan Merdeka No 10 .... Kamu harus datang menemuinya, Ar. Ingat sama wasiat almarhum ayahmu! Ibu nggak mau pernikahanmu hancur. Itu permintaan terakhir ayahmu. Lakukanlah dengan benar, Ar. Coba buka hatimu untuk Agni, Arfan!”Bahkan, aku diomeli lewat rangkaian kata dan mencekokiku agar mau menelan segala takdir yang dirancang oleh mereka. Di mana jati diriku, coba? Mereka terus yang mengatur hidupku.Aku menghela napas kasar. Begitu malas rasanya selalu dikaitkan dengan A
"Dikira dia cantik? Menarik? Lagaknya sok cantik bener! Najis banget lirikannya tadi!” gerutuku sambil mengepalkan tangan di atas meja setelah ibuku dan Agni keluar dari ruangan pribadiku ini.Ibu tadi sempat memohon pada Agni, tapi wanita gendut itu seolah punya harga diri yang begitu tinggi. Badan mirip lontong begitu bikin aku makin kesal saja. Ibu juga mau-maunya merengek padanya. Bikin kesal, sumpah!“Jangan harap kamu bisa bahagia setelah menyakiti hati istrimu, Arfan!”Ucapan itu juga masih terngiang di ingatanku. Ya, ibuku menyumpahiku hanya demi Agni si gendut itu. Sebelum pergi dari ruanganku. Aku tidak habis pikir dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Seperti mimpi buruk, tapi semua adalah kisah hidupku yang begitu nyata.“Semua gara-gara wasiat Ayah yang sangat konyol. Tapi, kalau si gembrot itu nggak lahir ke dunia, nggak bakalan aku jadi begini.”Udara keluar dengan kasar lewat mulutku. Lalu, meraup wajahku penuh emosi.“Setidaknya, mereka sudah pergi dari sini. Syuku
Sekitar hampir dua minggu, hidupku seolah diteror oleh keluargaku sendiri. Tentu ibuku yang memerintahkan. Kalau Agni, dia tahu diri. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Jujur saja, ada saja perasaan kesal karena sikapnya itu.Namun, aku tidak mau ambil pusing. Aku sudah memproses segalanya hingga aku bisa dengan mudah bekerja di kantor milik keluargaku yang ada di luar kota—tempatku sekarang ini. Lagian, warisan itu pasti akan jatuh ke tanganku karena aku sudah menuruti keinginan almarhum ayah lewat wasiatnya.“Kita akhiri rapat hari ini. Terima kasih untuk semua kerja keras kalian,” ucapku di depan meja rapat.Sebelum kembali ke ruangan pribadiku, aku berbicara sebentar pada asistenku agar semua dokumen hasil rapat tadi diperiksa kembali.Setelah membereskannya, aku beranjak dari ruang rapat itu dan melangkahkan kaki jenjangku menuju ruangan pribadiku.Ketika daun pintu semakin terbuka lebar, aku terpaku melihat pemandangan di depanku. Ibu dan Agni sudah duduk di sofa di ruangan pe
Perlahan tapi pasti dengan sangat hati-hati, aku mengambil koper yang di dalamnya sudah ada pakaian yang dibutuhkan.Senyum terlukis tipis. Aku melihat Agni sebelum benar-benar keluar dari kamar.“Aku terpaksa menikahimu, makanya sekarang aku memilih kabur tanpa berpamitan denganmu. Masalah apa yang terjadi nanti, bisa dipikirkan belakangan.”Aku bicara sendiri untuk menguatkan diri atas perbuatanku. Membenarkan semuanya agar diri ini lepas dari tekanan yang terasa membelenggu.Di dalam kamar yang pencahayaannya temaran ini, sama sekali tidak ada adegan yang biasa dilakukan di malam pertama. Kami sama-sama enggan, walau entah di lubuk hati terdalam dari seorang Agni.Aku membuka hendel pintu sangat hati-hati.“Agni pasti juga lega karena aku tinggal pergi. Dia bisa leluasa bertemu dengan lelaki bernama Ghani yang mungkin ada perasaan,” gumamku.Aku melangkah keluar. Sorot mata mengitari setiap sudut ruangan untuk memastikan tidak ada kehidupan. Semua orang seharusnya sudah tertidur de







