Share

MENYUSUL

Author: Khanna
last update Last Updated: 2025-10-08 11:04:08

Sekitar hampir dua minggu, hidupku seolah diteror oleh keluargaku sendiri. Tentu ibuku yang memerintahkan. Kalau Agni, dia tahu diri. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Jujur saja, ada saja perasaan kesal karena sikapnya itu.

Namun, aku tidak mau ambil pusing. Aku sudah memproses segalanya hingga aku bisa dengan mudah bekerja di kantor milik keluargaku yang ada di luar kota—tempatku sekarang ini. Lagian, warisan itu pasti akan jatuh ke tanganku karena aku sudah menuruti keinginan almarhum ayah lewat wasiatnya.

“Kita akhiri rapat hari ini. Terima kasih untuk semua kerja keras kalian,” ucapku di depan meja rapat.

Sebelum kembali ke ruangan pribadiku, aku berbicara sebentar pada asistenku agar semua dokumen hasil rapat tadi diperiksa kembali.

Setelah membereskannya, aku beranjak dari ruang rapat itu dan melangkahkan kaki jenjangku menuju ruangan pribadiku.

Ketika daun pintu semakin terbuka lebar, aku terpaku melihat pemandangan di depanku. Ibu dan Agni sudah duduk di sofa di ruangan peribadiku?

Melihat kehadiranku, dengan wajah yang kesal, Ibu berjalan cepat ke arahku. Lalu, setelah di dekatku ....

Plak!

Tangan kanannya mendarat dengan keras di wajahku.

“Ibu nggak mungkin menamparmu kalau tindakanmu benar, Arfan!” bentaknya.

Ya ... bukan hanya tamparan, tapi omelan juga dihadiahkan kepadaku. Apalagi Agni melihat semua ini. Dia pasti sangat puas aku diperlakukan begini oleh ibuku sendiri.

Aku memegang pipiku yang terasa panas. Sungguh aku tak bisa menerima semua ini, tapi aku tidak mungkin melakukan hal yang sama pada ibuku sendiri.

“Hampir dua minggu kamu nggak pulang, Arfan! Mau sampai kapan kamu begini! Pernikahanmu adalah wasiat almarhum ayah! Permintaannya yang terakhir, Arfan! Apa kamu nggak bisa memikirkannya dengan benar!”

Ibu masih meluapkan amarahnya padaku. Aku juga sedikit melirik pada Agni yang aku duga sedang mencibirku dalam diam. Walau dia tidak ikut bicara, tapi aku makin membencinya. Pasti dia yang punya ide mendatangiku ke sini. Dia yang merengek ingin bertemu denganku. Cih! Dasar bedebah gendut!

“Aku lagi kerja, Bu,” jawabku dengan ketus. Bagaimana tidak? Harga diriku seolah diinjak di depan Agni.

“Kamu bisa membawa Agni, Arfan! Bukan malah kabur tanpa bicara apa pun! Agni istrimu yang wajib kamu bahagiakan! Jangan bikin Ibu marah dan kecewa sama kamu, Ar. Kasihani juga ayahmu yang sudah meninggal. Turuti permintaan terakhirnya dengan cara yang baik, Ar.”

Suara Ibu kian merendah. Aku melihat matanya mulai berkaca-kaca. Tak tega sebenarnya, tapi ini masalah hati. Aku pun sakit kalau harus memaksakan diri. Apa hanya Ibu sebagai orang tua yang bisa egois dan memaksakan kehendaknya?

“Aku maupun Agni nggak saling cinta, Bu. Lagian, Agni juga punya pacar. Mana mungkin hati kami bisa bersatu. Aku juga nggak bakalan suka sama dia. Dia bukan tipeku, Bu.”

Soal pacarnya Agni, baru ini aku berbicara. Tapi kalau soal tidak saling cinta, aku sudah mengatakannya berkali-kali sebelum ijab kabul itu akhirnya terjadi. Aku sudah mengatakan sejak awal, tapi para orang tua seolah tutup telinga.

“Mau Ibu tampar lagi kamu, Ar? Bilang begitu terus! Cinta itu datang seiring waktu. Cobalah membuka hatimu untuk istrimu, Arfan!” bentak Ibu yang tak jadi menitikkan air mata. Malah tanduk di kepalanya semakin runcing.

“Agni! Kamu punya pacar, kan!” Akhirnya aku melemparkan pada gadis berbobot hampir satu ton itu. Aku tidak mau mendapatkan omelan ibuku terus.

“Aku nggak ada pacar,” jawabnya dengan sangat mudah.

Aku melebarkan mata. Kesal pastinya. Katanya dia tidak setuju dengan pernikahan ini. Tapi, dia seolah tak bisa diajak kerja sama. Bikin muak. Sial!

“Kamu itu yang mengada-ada, Ar! Agni bukan perempuan yang gampang berpacaran. Makanya, Ibu senang punya mantu seperti dia. Kamu yang harusnya bisa memperbaiki diri,” omel Ibu lagi.

“Tapi sebelum menikah, aku bertemu sama dia, Bu.” Aku masih membela diri. “Agni! Bicara yang jujur! Jangan sok polos gitu!” ucapku lagi pada Agni sambil memelototinya.

Agni mengerutkan kening seolah sedang memikirkan ucapanku.

“Oh, kalau yang waktu itu, dia hanya temanku. Bukan pacarku,” jawabnya pada akhirnya.

“Tapi dia kelihatan banget suka kamu! Kenapa nggak nikah aja sama dia?”

“Arfan! Astagfirullah! Anak ini! Kamu menikahi Agni atas wasiat ayahmu. Jaga ucapanmu!” Ibu mengomel lagi. Entah yang anak kandungnya siapa di sini. Aku merasa tidak adil.

Aku hanya berdecap kesal. Bicara pun aku lagi yang akan salah. Tapi, aku tidak mau kalau sampai Agni tinggal bersamaku di tempat tinggalku sekarang. Jauh-jauh aku ke sini untuk menghindarinya, tapi malah dia datang lagi.

“Ibu ke sini mengantarkan Agni agar tinggal sama kamu, Ar. Ibu yang meminta walau awalnya Agni juga menolak. Tapi, karena Agni mantu Ibu yang baik, dia akhirnya mau datang ke sini untuk tinggal bersamamu, Ar.”

Ibu menjelaskan kehadiran mereka di sini. Dugaanku ternyata benar. Kami disuruh tinggal bersama. Kalau ujungnya bakal begini. Semua upayaku capek-capek menjauh darinya akan sia-sia. Sekejam itukah hidupku sekarang ini?

“Aku nggak bisa, Bu. Kami nggak saling cinta. Aku nggak tau kalau kami hidup bersama akan seperti apa. Aku nggak mau terjadi hal yang buruk di antara kami berdua,” ucapku tegas.

“Astagfirullah, Arfan! Agni istrimu! Perlakukan dia dengan baik!” bentak Ibu lagi.

“Tapi aku nggak mau, Bu! Aku nggak mau tinggal sama dia! Makanya aku kabur ke sini. Aku sudah merencanakan semuanya biar bisa kerja di kota ini, Bu! Yang penting aku sudah menikahinya sesuai wasiat yang ayah minta, Bu. Tolong mengerti perasaanku juga, Bu.”

Aku tak ingin membentak, tapi kemarahanku seolah sudah ada di ubun-ubun. Ucapanku tadi juga ada benarnya. Karena emosi seseorang bisa saja meledak ketika dihadapkan dengan sesuatu yang bikin kesal sepanjang waktu. Agni adalah sumber kekesalanku untuk saat ini.

Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah sedih. Baginya mungkin aku sangat keras kepala. Tapi, sekali lagi, ini soal hati, soal perasaan yang tidak bisa dipaksakan sesuka hatinya. Katanya cinta datang seiring waktu? Bagiku tidak kalau perempuan itu adalah Agnia Fahira—wanita gendut yang bikin mataku sakit dan hatiku bergejolak penuh amarah.

“Ayo, Bu. Kita pulang. Buat apa buang-buang waktu di sini,” ucap Agni yang sejak tadi diam.

“Agni ... Ibu minta maaf untuk semua yang terjadi. Jangan marah, ya, Nak. Ibu akan bujuk Arfan lagi,” ucap Ibu begitu lembut. Aku sampai berdecap kesal karenanya.

“Nggak perlu capek-capek membuang tenaga Ibu untuk semua itu. Aku juga nggak masalah kalau nggak tinggal bareng Mas Arfan. Kami sama-sama muak, Bu. Maaf telah mengatakannya. Tapi aku lebih baik pergi dari sini, Bu.”

Pandangan Agni beralih padaku walau sebentar. Tatapannya datar seolah mengatakan, Aku nggak butuh dirimu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JATUH CINTA PADA ISTRIKU YANG DULU KUHINA GENDUT   Jika Jodohku, Mudahkanlah

    34Layar ponsel, aku pandangi. Di sana tertulis berbagai macam sesuatu yang disuka dan tak sukai Agni. Aku mendapatkannya dari Mbak Olif.“Kalau sudah sampai begini, aku tambah percaya sama kamu, Ar. Perjuangkan pernikahan kalian. Kejar Agni sampai dapat.”Begitulah yang dikatakan oleh Mbak Olif. Kalimat yang semakin membuat jiwaku semakin membara. Jiwa untuk merengkuh seutuhnya seorang Agni.“Nggak nyangka, seminggu lagi, Agni akan ulang tahun. Pas di saat keputusan itu akan diberikan.”Seketika itu, otakku berpikir keras. Aku akan melakukan yang terbaik agar selama seminggu waktu yang diberikan, akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Pernikahan kami akan baik-baik saja, itulah yang aku harapkan.Aku beralih pada aplikasi warna hijau. Mumpung blokiranku sudah dibuka, aku akan mengirimkan pesan untuknya. Tentu sekarang lebih berhati-hati.Tentang motor, Rehan mengatar saat aku hendak pulang. Ia kelihatan bingung. Karena motor itu milik manager yang kerja di restoran.“Manager itu istr

  • JATUH CINTA PADA ISTRIKU YANG DULU KUHINA GENDUT   Izinkan Aku Mengantarkanmu

    33“Aku mohon … beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya,” pintaku lagi masih dengan posisi yang sama.“Berdiri!” bisik Agni, bicaranya sangat ditekan.“Aku akan berdiri, tapi tolong … ikut aku ke mobil. Kita bicara di sana.”Aku mendengar decak kesal dari mulutnya lagi.“Iya! Iya! Cepat berdiri!”Kali ini, aku mematuhinya.“Di mana mobilmu?” tanyanya, mungkin sudah terlalu tak nyaman menjadi perhatian orang.“Di sana.” Aku menujuk ke arah mobilku.“Cepat!”Agni berjalan lebih dulu. Wajahnya ditekuk.“Terima kasih dan maaf sekali lagi,” ucapku sambil mengekor mengimbangi langkahnya.Agni tak menjawabku. Dia tetap berjalan pada tujuannya.Aku bergegas mempercepat langkah untuk membukakan pintu untuk Agni.Agni berdecak lagi sambil melihatku sinis, tetapi ia masuk ke dalam mobil.Senyumanku tersimpul tipis sambil melangkah ke sisi yang lain. Buket bunga tetap dibawa. Sebelum masuk mobil, aku mengatur napas. Tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.“Dalam seminggu ini, berkas unt

  • JATUH CINTA PADA ISTRIKU YANG DULU KUHINA GENDUT   Beri Aku Kesempatan

    32“Aku udah gila! Kerjaanku nggak fokus. Aku malah nyari hadiah buat Agni dan sekarang, aku menunggunya pulang kerja begini. Hebat … cinta bikin buta segalanya. Bikin kacau jadwalku. Tapi, aku nggak bisa mencegahnya. Kacau bener. Kalau udah begini, aku harus dapetin Agni biar kegilaanku diobati.”Saat ini, aku di dalam mobil. Sorot mataku fokus pada pintu restoran, berharap seseorang yang menganggu pikiran dan hatiku muncul dari sana. Aku ingin sekali melihatnya, bahkan ingin berkomunikasi secara langsung. Kalau lewat ponsel, aku diblokir olehnya. Sungguh terlalu.Agni memblokir nomorku sebab aku sering mengirim pesan, bahkan meneleponnya akhir-akhir ini. Setelah itu, aku tak bisa menghubunginya lagi. Aku kecewa dan lumayan menyesal karena begitu sering menghubunginya. Mungkin ia merasa diteror, tetapi aku sedang berusaha merebut hatinya kembali. Aku sedang berusaha mengejar maafnya.Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk. Aku langsung membukanya.“Ar, kamu sama Agni pergi ke pesta ulang

  • JATUH CINTA PADA ISTRIKU YANG DULU KUHINA GENDUT   Paketan

    31“Jangan mengharapkan apa pun lagi darinya? Itu juga mauku kalau bisa, tapi sejauh ini, hatiku nggak bisa melupakannya begitu saja. Aku begini juga gara-gara melihatnya sebagai manager waktu itu. Apa perasaanku ini salah? Kenyataannya dia, kan, memang masih istriku. Manager yang bikin aku terpana adalah istriku sendiri. Boleh kan, aku mempertahankannya?”Di dalam mobil, aku berbicara sendiri. Agak kesal pada ucapan Agni tadi, ditambah dia langsung pergi tanpa mau mendengarkan perkataanku lebih dulu. Kesal, tetapi aku terlanjur ingin memilikinya.*POV Agni“Ni, bagaimana caraku untuk menebus kesalahanku padamu?”Jam istirahat, Mas Ghani meneleponku. Ia tak bisa datang ke restoran hari ini.“Apa, sih, Mas. Nggak perlu menebus apa pun. Aku memaklumi semua yang terjadi, kok. Mama udah baikan, kan?”“Alhamdulillah, Ni. Tapi, aku masih disuruh tunggu di sini. Belum boleh urus kerjaan.”“Iyalah, Mas. Rawat Mama dulu. Maaf, kalau aku nggak bisa jenguk. Rumah sakitnya jauh, Mas.”“Udah dido

  • JATUH CINTA PADA ISTRIKU YANG DULU KUHINA GENDUT   Lampu Hijau

    30“Loh! Arfan?” ucap Mbak Olif saat aku keluar dari mobil.“Iya, Mbak,” balasku sambil melangkah mendekat.“Kok, kamu bisa bersama Agni?”“Bisa, Mbak. Aku diundang juga di pesta ulang tahun itu.”Aku meminta bersalaman padanya.“Wah … bisa gitu, ya? Takdir kalian unik banget.”“Biasa aja kali!” ketus Agni yang mengurungkan masuk rumah.Aku sempat melihatnya terkejut, lalu mendelik ke arahku yang memutuskan keluar dari mobil. Padahal dilarang olehnya. Aku keluar gara-gara disuruh Mbak Olif. Harusnya bukan salahku seutuhnya.“Ni ….”Aku melihat bola mata gadis itu diputar ketika Mbak Olif memanggilnya sebagai teguran.“Aku aja nggak nyangka, Mbak,” ucapku tetap melengkungkan senyuman.Mbak Olif seperti mencari sesuatu pada mobilku karena sorot matanya tertuju ke arah sana. Namun, aku melihat keraguan di wajahnya saat hendak mengungkapkan sesuatu.“Nyari apa, Mbak?” tanyaku ikut melihat ke belakang.“Iya, ya, mobil kalian ternyata beda. Warna dan modelnya aja yang hampir mirip. Ditambah

  • JATUH CINTA PADA ISTRIKU YANG DULU KUHINA GENDUT   Berhasil

    29“Aku akan pesankan taksi online buatmu saja, ya,” ujar Ghani lagi, ia mulai fokus pada ponsel. Meski wajahnya terlihat gelisah.“Lebih baik, Anda langsung berangkat ke rumah sakit saja, Pak Ghani. Mungkin Anda sudah sangat ditunggu di sana. Soal Mbak Agnia, aku yang akan antar sekalian bertanggung jawab soal gaunnya yang kena noda gara-gara kesalahanku,” ucapku.Ghani melihatku sekilas, lalu berpindah pada Agni.“Kamu nggak apa-apa, Ni?” tanyanya, padahal tidak perlu bertanya begitu. Aku harap, ia cepat pergi.Aku melihat Agni gelisah pula. Mungkin banyak sekali pertimbangan yang berseliweran di kepala. Namun, aku sangat berharap kalau dia akhirnya pasrah pergi bersamaku.“Ya udah, Mas. Kamu pergi ke rumah sakit secepatnya. Nggak usah pesankan taksi online, nanti kelamaan. Yang ada di rumah sakit lebih penting, Mas,” ucap Agni.Ponsel yang digenggam oleh Ghani berbunyi lagi.“Aku ditelepon lagi. Aku harus pergi. Maafkan aku, Ni. Lain waktu, aku akan menebusnya,” ucapnya sambil berj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status