Hari yang dijanjikan pun tiba dan anak-anak langsung aku mandikan dengan kedua tanganku sendiri meski ada pengasuhnya. Entah kenapa sejak berbicara dengan Via beberapa hari lalu, kalau semua orang yang bekerja di sini adalah orang-orang suamiku, aku enggan untuk berbicara banyak dengan mereka.
Sekarang suamiku masih dinas yang katanya memang dua Minggu. Itu permintaan atasannya atau top manajer di perusahaannya. Aku juga tidak bertanya lagi karena dari sejak dulu juga memang selalu begini."Kita mau ke mana, Ma?" tanya anak lelakiku yang baru keluar dari kamarnya. Dia adalah anak pertama, sekarang usianya sudah menginjak delapan tahun."Jalan-jalan, Bang. Emang enggak mau kali-kali jalan sama Mama?" Aku malah kembali bertanya dengan senyuman yang merekah.Sejujurnya bukan hanya anak-anak yang terlihat tidak biasa ketika aku memutuskan untuk memandikan kedua si kecil, namun para pekerja juga begitu. Mereka menatapku dengan penuh keanehan seperti aku baru melakukan hal yang langka."Gisya sama Giska juga ikut?" tanyanya lagi."Iyalah, Bang. Keduanya kan adik Abang, masa iya kita tinggal. Apa di mata Abang Mama tidak berprikemanusiaan?""Bukan begitu, Ma. Hanya saja aneh."Setelah mengatakan itu, dia kembali masuk ke kamarnya.Sepuluh tahun pernikahan dengan suamiku, kami dikaruniai tiga anak. Satu tampan dan yang dua sangat cantik. Mereka adalah anak-anak yang baik."Ibu mau pergi ke mana memangnya? Apa sudah izin sama Bapak?" tanya Bella, dia adalah pengasuh Giska dan Gisya. Dia juga dibantu asisten yang tidak terlalu aku ingat namanya."Menyangkut izin, kamu tidak perlu khawatir. Lagi pula suamiku sendiri yang bilang aku boleh pergi ke mana pun. Justru aku merasa aneh kenapa kamu bertanya seperti itu? Seolah kamu hendak melaporkan apa saja yang terjadi di sini kepada seseorang. Ada apa?" tanyaku dengan nada seperti biasa.Aku tidak mau para pekerja yang masih dicurigai tahu kalau aku sudah mengetahui segalanya. Aku harus bermain cantik agar tidak dicurigai."Kalau kamu sakit atau ada di bawah tekanan seseorang, katakan saja, Bell. Aku dan suamiku enggak mau kamu atau yang lainnya tidak bahagia tinggal di rumah ini," lanjutku membuatnya bernapas lega.Entah apa yang membuatnya seperti itu, yang jelas aku tidak akan pernah membiarkan gerak-gerikku tercium oleh mereka."Enggak ada, Bu. Maaf kalau saya terlalu lancang," lirihnya, lalu berlalu dari hadapanku.Yah, aku memang sengaja menambahkan beberapa kalimat terkahir untuk menghapus kecurigaan Bella juga beberapa orang yang tengah menguping. Termasuk beberapa pengurus rumah.Aku sendiri masih tidak mengerti kenapa para pekerja manjadi orang-orang suamiku, telinga untuknya. Padahal, akulah yang merekrut mereka untuk bekerja di sini. Aku juga yang membujuk Mas Rayan agar mau menerimanya.*Selesai mereka sarapan, aku langsung membawa ketiganya ke dalam mobil. Kini beberapa sopir pribadi mendekat."Ibu yakin mau berangkat sendiri?" tanya salah satu dari mereka membuatku tersenyum kecut.Dulu, aku tidak pernah berpikir kalau mereka bertanya seperti ini karena maksud lagi. Mungkin karena mereka perhatian, tulus gitu. Namun sekarang setelah diperhatikan lagi, reaksi yang mereka tunjukkan gak natural. Bahkan dari nada bicaranya juga berbeda dari cara pengucapan yang tulus.Ternyata aku sudah ditipu habis-habisan. Meski aku belum memastikan apa yang diucapkan Via semuanya benar, namun aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia tidak berbohong.Aku tahu Via tidak akan bertindak sembarangan sebelum dia punya bukti yang cukup."Iya, Pak. Terima kasih banyak sudah selalu memperhatikan dan mencemaskan kita. InsyaAllah gapapa, saya juga ingin punya waktu dengan mereka saja," ucapku seperti biasa.Pokoknya aku sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang beda."Sama-sama, Bu. Lagi pula sudah menjadi tanggung jawab kami." Salah satu dari mereka kembali menjawab."Cuman tetap saja juga harus berterima kasih. Nanti ke sananya tetap kalian supiri, kok. Saya kali-kali aja karena mau lihat kebahagiaan anak-anak," sahutku dan lagi-lagi mereka bernapas lega."Baik, Bu. Hati-hati, ya, semoga sampai ke sini dengan selamat lagi," ucap mereka bersamaan.Kini aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis."Ma, aku kok, ngerasa ada yang beda, ya?" Gibran yang duduk di belakang mendekatkan kepalanya ke arahku."Beda gimana?""Reaksi mereka, Ma. Kayaknya agak berlebihan," jawabnya singkat."Hust, jangan bicara yang enggak-enggak. Kamu itu masih kecil, jadi bantu Mama untuk jaga kedua adekmu aja." Aku tertawa kecil, sengaja agar dia tidak mengacaukan rencana yang sudah aku susun rapi.Walau tidak tahu ke sananya seperti apa, namun aku memang tidak mau Abang ikut serta. Dia masih harus belajar yang rajin dan tidak mau dibebankan oleh hal-hal seperti ini."Abang udah gede, Ma. Abang udah mau sembilan tahun. Kata Papa, Abang sudah tumbuh jadi pria hebat dan tampan," ungkapnya membanggakan diri dengan suara yang riang.Tangannya menepuk dada pelan."Iya, deg. Abang udah gede.""Oh iya, Ma. Abang baru inget, Abang pernah lihat Papa di sekolah Abang di waktu pengambilan buku rapor bulan lalu, Ma. Pas Abang mau tanya, Papa udah keburu masuk mobil dan pergi," terangnya membuat napasku seketika naik turun."Mungkin lagi cari Abang." Aku berusaha memberikan alasan yang logis agar dia lebih menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hari itu, karena jujur saja aku lupa."Enggak, Ma. Beberapa hari sebelum pembagian buku raport kan Papa sudah izin mau dinas seminggu. Sama Abang juga minta maaf karena enggak bisa datang ke sekolah, tapi malah ada, Ma, dan tangan Papa juga pegang raport. Padahal, punya Abang belum diambil," lanjutnya antusias."Benar buku raport itu milik sekolah Abang?" tanyaku kembali memastikan."Iyalah, Ma. Warnanya aja sama kek punya Abang, kok. Udah enggak bisa diragukan lagi. Abang yakin banget itu raport sama seperti kelas Abang," jawabnya meyakinkan.Kali ini aku tidak lagi bertanya. Semuanya sudah cukup jelas. Hanya tinggal memastikan apa benar suamiku menikahi wanita lain tanpa paksaan atau tidak. Setelah tahu semuanya, tentu aku akan mulai menjalankan rencana.Sebenarnya ini adalah rencana untuk mengeluarkan salah satu temanku dari jeratan suami yang suka selingkuh, namun dia menolaknya. Aku sama sekali tidak menyangka kalau rencana ini akan aku gunakan untukku sendiri.Ternyata dunia ini memang tidak selebar yang kita kita. Memikirkannya saja sudah membuatku lelah. Namun aku harus tetap kuat untuk anak-anak. Mereka sangat membutuhkan diriku di waktu-waktu seperti ini."Kira-kira itu raport siapa ya, Ma?" Dia menatapku bingung."Yah enggak tahu, Abang. Kan, yang lihat Papa waktu itu juga Abang.
Aset? Tentu saja. Hanya anak-anakku yang berhak mendapatkan semua yang sudah dia dapatkan selama ini. Mengurus anak adalah tanggung jawabnya meski dia menikah lagi, jadi wanita yang akan menjadi istrinya nanti tidak akan pernah mendapatkan apa pun.Akan aku pastikan itu terjadi tanpa membuat anak-anakku terluka ataupun membuat Mas Rayan curiga.Aku mendekat ke arah Gibran dan memeluknya."Mama mohon kerja samanya, ya," ucapku sambil membisikkan beberapa kata yang tadi sudah disepakati."Iya, Ma. InsyaAllah Abang enggak akan lupa," ucapnya bersemangat."Oke, Mama percayakan semuanya sama Abang. Mama juga enggak akan lama dan akan ganti baju dulu," ucapku menegaskan setelah melihat matanya menatap pakaianku dengan tajam.Dia pun mengangguk dan aku kembali masuk ke kamar Via, lalu keluar setelah berganti dress."Nah, ini cantik banget. Seperti bukan Mama yang biasanya. Abang yakin kalau Papa bertemu Mama juga akan sadar kalau istrinya ada di hadapannya," pujinya berlebihan."Anak kecil
Air mata hendak jatuh ketika mendengarnya mengatakan itu, namun aku tidak mau air mata itu sia-sia. Jadi, aku segera kembali menghapusnya dan tersenyum lebar."Jadi, siapa yang paling penting untuk Anda?" tanya pembawa acara lagi membuatku ikut menatap ke arah mereka.Jujur saja, aku juga sangat penasaran dengan jawabannya."Dia ibu dari anak-anakku," jawabnya cepat dan benar-benar tanpa perasaan.Tak pernah kusangka dan kuduga, ternyata dia adalah pria yang sangat kejam."Bukankah dia juga istri Anda? Jadi, sudah pasti kalau Anda sangat mencintainya bukan?" Aku menatap mereka semakin lekat dan memasang kedua telinga dengan sebaik-baiknya.Aku sungguh penasaran dengan setiap kata yang keluar dari bibirnya."Ya, dulu memang seperti itu. Namun sejak Tiara kembali, cinta itu langsung hilang. Lalu, aku pun sadar kalau ternyata selama ini aku mencintai istriku bukan cinta seperti pria dan wanita, namun cinta karena dia adalah ibu dari anak-anakku," jelasnya membuat napasku langsung ters
Hah, ternyata pria ini adalah orang-orang yang sangat licik. Dia mau menggenggam kedua hati dalam hati tangannya dengan niat membuat keduanya tetap utuh, padahal tidak. Justru keduanya akan ikut hancur.Jadi, sebelum hal itu terjadi, aku akan menarik batasku dan mundur. Karena kita sudah berjuang bersama-sama dari nol, maka tidak ada yang lebih berhak atas semua yang kita punya selain anak-anak.Aku mendekat ke arah Via. "Tugas kita sudah selesai! Sekarang aku sudah tahu apa yang harus dilakukan setelah mengetahui semuanya. Kita tidak punya banyak waktu," bisikku dengan pandangan tetap ke depan.Via tidak mengatakan apa pun sampai kami tiba di mobil dan menjalankannya hingga ke rumah tempat Giska dan dokter anak itu berada."Bersiaplah, kita pulang sekarang!"Setelah mengucapkan itu kepada dokter dan Via, segera aku pergi ke kamar dan berganti pakaian. Tentu dengan topeng baru yang harus digunakan. Aku tidak ingin rencana yang sudah susah payah dibuat hancur karena keteledoranku.Ket
"Sedang makan sama Mama ... sama Abang ... Adek."Anak keduaku menjawab dengan jujur dan jangka waktu yang cukup lama, namun seperti biasa Mas Rayan selalu menunggu dengan sabar.Dulu, aku pun berpikir itu karena dia perhatian sama kami, sama sekali tidak pernah memikirkan yang aneh-aneh. Ternyata semuanya benar-benar tidak seperti yang aku duga.Aku mengartikan semua sikapnya merupakan bentuk perhatian, namun sebenarnya karena dia takut aku melakukan sesuatu yang membuat rencananya terbongkar. Lalu, aku dan anak-anak menjauh darinya."Dari tadi ngapain aja, Sayang?" Mas Rayan bertanya sampai ke intinya.Hah, aku sudah tahu kalau pada akhirnya inilah yang ingin dia tanyakan. Dia berusaha mencari tahu apa saja yang aku dan anak-anak lakukan seharian ini, apalagi tanpa pengawalan, supir atau pekerja yang berada di bawah pengawasannya."Kakak sama Abang, Ade, Mama, pergi ke rumah Tante Via. Kita main bersama di taman, lalu tidur. Ini bangun tidur kembali bermain," jelas anak itu membuat
Aku dan anak-anak pulang dengan sangat bahagia. Meski hati tengah terluka, aku berusaha untuk bersikap seperti biasa dan menikmati semua kekayaan yang bisa dinikmati.Bukankah sangat disayangkan kalau aku melewati semuanya hanya karena suamiku menikah lagi?Lucu sekali.Bersedih boleh, berkepanjangan jangan. Kejadian ini membuatku sadar kalau di dunia ini tidak ada sandaran yang abadi selain yang Mahakuasa. Cukup sandarkan semuanya pada-Nya, maka hati ini akan merasa tenang.Jika tidak, tentu akan seperti aku yang sekarang karena selalu bergantung kepada suami atau orang lain. Jadi, di saat orang yang kita percaya itu bertingkah, rasa sakit pun datang menggantikan kebahagiaan dan kenyamanan yang sebelumnya.Akan tetapi, jika sejak awal sudah kita gantungkan kepada yang Mahakuasa, hatiku tidak akan sesakit ini."Bell, mandikan anak-anak," pintaku pada tepat setelah anak-anak turun dari mobil.Para satpam dan semua pekerja langsung tertawa kecil ketika mendengar permintaanku. Mungkin m
"Hah, jadi Anda sedang mengancam saya? Atas dasar apa? Saya dan Anda tidak punya hubungan yang membuat saya harus patuh atau menjawab pertanyaan Anda dengan benar. Jadi, kenapa Anda malah mengucapkan kata-kata yang begitu menakutkan seperti itu?" cecar Via dengan suara yang mulai tegas membuatku kembali sadar dan mendekat ke arah ponsel.Untung saja aku sudah menyentuh pengeras suaranya. Jadi meski ponsel ada di bawah, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Setelah benda pipih ini ada di tangan, aku kembali mematikan pengeras suaranya dan berbaring di tempat tidur dengan kepala dan tubuh ditutupi selimut.Jangan sampai suara dari ponsel ini terdengar oleh orang-orang yang ada di luar. Ditambah aku sendiri tidak tahu siapa saja orang yang ditugaskan untuk memata-matai aku dan jumlahnya berapa.Jadi, aku harus berhati-hati agar semuanya tidak tampak mencurigakan. Meskipun aku benar-benar terkejut dengan sikap Mas Rayan yang berani menghalalkan segala cara, tetap saja aku tidak bol
Hah, ternyata dugaanku benar. Hanya aku yang tidak tahu apa-apa di sini. Teganya kalian berkhianat setelah apa yang kulakukan selama ini.Sepertinya aku harus merekrut beberapa orang lagi yang kesetiannya tidak diragukan lagi, karena aku benar-benar lelah kalau harus mengamati orang-orang ini sendiri.Setelah beberapa detik, tanpa sengaja aku melihat wajah Bella yang ketakutan. Aku pun mendekat padanya."Ah, Bu, ini tidak seperti yang Ibu duga," ucapnya panik seolah dia tahu apa yang ada di pikiranku. Padahal, dia tidak tahu apa-apa."Memangnya apa? Kenapa kamu mendadak panik seperti ini?" Aku menatapnya sambil memasang tampang heran dan mengamatinya.Ternyata dia terlihat lebih gugup dari yang aku duga. Yah, memang sudah seharusnya seperti itu. Siapa suruh dia menjadi pencuri di rumah tuannya sendiri. Padahal, aku selalu membela mereka kalau dimarahi Mas Rayan.Pantesan beberapa waktu ini aku tidak pernah melihat ataupun mendengar salah satu dari para pekerja dimarahi, ternyata suda