Share

Bab 2

Hari yang dijanjikan pun tiba dan anak-anak langsung aku mandikan dengan kedua tanganku sendiri meski ada pengasuhnya. Entah kenapa sejak berbicara dengan Via beberapa hari lalu, kalau semua orang yang bekerja di sini adalah orang-orang suamiku, aku enggan untuk berbicara banyak dengan mereka.

Sekarang suamiku masih dinas yang katanya memang dua Minggu. Itu permintaan atasannya atau top manajer di perusahaannya. Aku juga tidak bertanya lagi karena dari sejak dulu juga memang selalu begini.

"Kita mau ke mana, Ma?" tanya anak lelakiku yang baru keluar dari kamarnya. Dia adalah anak pertama, sekarang usianya sudah menginjak delapan tahun.

"Jalan-jalan, Bang. Emang enggak mau kali-kali jalan sama Mama?" Aku malah kembali bertanya dengan senyuman yang merekah.

Sejujurnya bukan hanya anak-anak yang terlihat tidak biasa ketika aku memutuskan untuk memandikan kedua si kecil, namun para pekerja juga begitu. Mereka menatapku dengan penuh keanehan seperti aku baru melakukan hal yang langka.

"Gisya sama Giska juga ikut?" tanyanya lagi.

"Iyalah, Bang. Keduanya kan adik Abang, masa iya kita tinggal. Apa di mata Abang Mama tidak berprikemanusiaan?"

"Bukan begitu, Ma. Hanya saja aneh."

Setelah mengatakan itu, dia kembali masuk ke kamarnya.

Sepuluh tahun pernikahan dengan suamiku, kami dikaruniai tiga anak. Satu tampan dan yang dua sangat cantik. Mereka adalah anak-anak yang baik.

"Ibu mau pergi ke mana memangnya? Apa sudah izin sama Bapak?" tanya Bella, dia adalah pengasuh Giska dan Gisya. Dia juga dibantu asisten yang tidak terlalu aku ingat namanya.

"Menyangkut izin, kamu tidak perlu khawatir. Lagi pula suamiku sendiri yang bilang aku boleh pergi ke mana pun. Justru aku merasa aneh kenapa kamu bertanya seperti itu? Seolah kamu hendak melaporkan apa saja yang terjadi di sini kepada seseorang. Ada apa?" tanyaku dengan nada seperti biasa.

Aku tidak mau para pekerja yang masih dicurigai tahu kalau aku sudah mengetahui segalanya. Aku harus bermain cantik agar tidak dicurigai.

"Kalau kamu sakit atau ada di bawah tekanan seseorang, katakan saja, Bell. Aku dan suamiku enggak mau kamu atau yang lainnya tidak bahagia tinggal di rumah ini," lanjutku membuatnya bernapas lega.

Entah apa yang membuatnya seperti itu, yang jelas aku tidak akan pernah membiarkan gerak-gerikku tercium oleh mereka.

"Enggak ada, Bu. Maaf kalau saya terlalu lancang," lirihnya, lalu berlalu dari hadapanku.

Yah, aku memang sengaja menambahkan beberapa kalimat terkahir untuk menghapus kecurigaan Bella juga beberapa orang yang tengah menguping. Termasuk beberapa pengurus rumah.

Aku sendiri masih tidak mengerti kenapa para pekerja manjadi orang-orang suamiku, telinga untuknya. Padahal, akulah yang merekrut mereka untuk bekerja di sini. Aku juga yang membujuk Mas Rayan agar mau menerimanya.

*

Selesai mereka sarapan, aku langsung membawa ketiganya ke dalam mobil. Kini beberapa sopir pribadi mendekat.

"Ibu yakin mau berangkat sendiri?" tanya salah satu dari mereka membuatku tersenyum kecut.

Dulu, aku tidak pernah berpikir kalau mereka bertanya seperti ini karena maksud lagi. Mungkin karena mereka perhatian, tulus gitu. Namun sekarang setelah diperhatikan lagi, reaksi yang mereka tunjukkan gak natural. Bahkan dari nada bicaranya juga berbeda dari cara pengucapan yang tulus.

Ternyata aku sudah ditipu habis-habisan. Meski aku belum memastikan apa yang diucapkan Via semuanya benar, namun aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia tidak berbohong.

Aku tahu Via tidak akan bertindak sembarangan sebelum dia punya bukti yang cukup.

"Iya, Pak. Terima kasih banyak sudah selalu memperhatikan dan mencemaskan kita. InsyaAllah gapapa, saya juga ingin punya waktu dengan mereka saja," ucapku seperti biasa.

Pokoknya aku sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang beda.

"Sama-sama, Bu. Lagi pula sudah menjadi tanggung jawab kami." Salah satu dari mereka kembali menjawab.

"Cuman tetap saja juga harus berterima kasih. Nanti ke sananya tetap kalian supiri, kok. Saya kali-kali aja karena mau lihat kebahagiaan anak-anak," sahutku dan lagi-lagi mereka bernapas lega.

"Baik, Bu. Hati-hati, ya, semoga sampai ke sini dengan selamat lagi," ucap mereka bersamaan.

Kini aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Ma, aku kok, ngerasa ada yang beda, ya?" Gibran yang duduk di belakang mendekatkan kepalanya ke arahku.

"Beda gimana?"

"Reaksi mereka, Ma. Kayaknya agak berlebihan," jawabnya singkat.

"Hust, jangan bicara yang enggak-enggak. Kamu itu masih kecil, jadi bantu Mama untuk jaga kedua adekmu aja." Aku tertawa kecil, sengaja agar dia tidak mengacaukan rencana yang sudah aku susun rapi.

Walau tidak tahu ke sananya seperti apa, namun aku memang tidak mau Abang ikut serta. Dia masih harus belajar yang rajin dan tidak mau dibebankan oleh hal-hal seperti ini.

"Abang udah gede, Ma. Abang udah mau sembilan tahun. Kata Papa, Abang sudah tumbuh jadi pria hebat dan tampan," ungkapnya membanggakan diri dengan suara yang riang.

Tangannya menepuk dada pelan.

"Iya, deg. Abang udah gede."

"Oh iya, Ma. Abang baru inget, Abang pernah lihat Papa di sekolah Abang di waktu pengambilan buku rapor bulan lalu, Ma. Pas Abang mau tanya, Papa udah keburu masuk mobil dan pergi," terangnya membuat napasku seketika naik turun.

"Mungkin lagi cari Abang." Aku berusaha memberikan alasan yang logis agar dia lebih menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hari itu, karena jujur saja aku lupa.

"Enggak, Ma. Beberapa hari sebelum pembagian buku raport kan Papa sudah izin mau dinas seminggu. Sama Abang juga minta maaf karena enggak bisa datang ke sekolah, tapi malah ada, Ma, dan tangan Papa juga pegang raport. Padahal, punya Abang belum diambil," lanjutnya antusias.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status