"De, kamu enggak merasa ada yang aneh gitu dengan suamimu?" tanya Via-sahabatku.
Aku mengangguk cepat. "Dia masih bersikap seperti dulu kita baru menikah. Jadi untuk apa aku curiga?"Via lagi-lagi hanya mengusap wajahnya dengan kasar.Dalam satu bulan ini, dia sudah mengajakku bertemu sekitar enam atau tujuh kali. Namun aku hanya bisa bertemu dengannya hari ini di sebuah mall yang tidak jauh dari rumah. Bukan karena aku tidak rindu dengan sahabat, hanya saja aku tidak suka kalau setiap bertemu dengannya, dia selalu melayangkan pertanyaan yang sama.Yaitu tentang kecurigaan pada suamiku. Suami yang sangat menyayangi aku serta anak-anak, tidak pernah marah, kurang memberikan uang, atau yang lainnya. Dia benar-benar suami yang nyaris sempurna membuatku merasa apa yang dikatakan Via sangat tidak masuk akal."Ada apa? Cerita saja kalau memang ada sesuatu. Mungkin nanti kamu akan merasa lega," ucapku lagi berusaha memberinya solusi karena wajah Via terlihat sangat tertekan.Wajah Via menjadi semakin pucat. Kepalanya menengok ke arah kanan dan kiri seperti memastikan tidak ada seseorang yang sedang memantaunya. Hal ini membuatku heran. Apa yang dia lakukan?"Via, kita orang biasa. Enggak mungkin ada orang yang ngikutin," ucapku berusaha membuatnya tenang, namun dia malah makin panik."Lu enggak tahu apa yang gue tau, jadi gak panik kek gue. Cuman gue harap walau nanti Lu tau, teteplah tenang seperti Delisa yang gue kenal, ya?" pintanya sambil menggenggam kedua tanganku."Kenapa cara bicaramu begitu?" tanyaku lirih. "Tanganmu juga keringetan."Via kembali melihat ke segala arah, lalu mendekat ke arahku. "Kita memang orang biasa, De. Namun tidak dengan suamimu. Dia orang hebat dan punya banyak orang yang kerja buat dia. Jadi kita harus hati-hati," ucapnya yang mulai membaik. Tidak terlalu memprihatinkan seperti tadi.Jujur saja, aku jadi ikut-ikutan panik seperti dirinya. Namun, aku tetap berusaha tenang agar tidak membuat keadaan Via semakin berantakan.Aku bahkan membantunya untuk memantau orang-orang sekitar dan tidak ada yang mencurigakan. Semuanya masih sama seperti tadi, bahkan masih seperti beberapa waktu ini ketika kita datang."Suamimu masih dinas, kan? Katanya dia dinas di mana?" tanyanya lagi-lagi membicarakan pria yang sudah menjadi imam di dalam hidupku sepuluh tahun pernikahan."Iya." Aku menjawab singkat dengan perasaan sedikit kesal. "Kalau cuman bicara seperti ini, kenapa enggak di rumahku saja? Dekat ini.""Enggak bisa, Dek. Semua orang yang bekerja di rumahmu ada di pihak suamimu. Kali ini aku benar-benar mau mengatakan semuanya. Aku sudah tidak sanggup melihat kamu dibodohi oleh pria licik itu," ucapnya geram sambil menahan amarah yang memuncak."Pria licik? Suamiku?" tanyaku sambil menatapnya lekat untuk mendapatkan penjelasan. "Jelaskan semuanya maksud dari ucapanmu selama ini."Mas Rayan memang bukan pria yang sempurna, namun aku juga demikian. Jadi, aku tidak pernah berharap rumah tanggaku akan seperti orang-orang yang mendekati sempurna.Sebelum mengatakan sesuatu, Via kembali duduk dengan tegak seolah tidak ada apa pun. Dia juga mengambil buku menu yang ada di hadapannya, lalu mengangkatnya hingga wajahnya tidak kelihatan."Suamimu berpacaran dengan teman kantorku," ucapnya pelan, namun kedua telingaku mendengarnya sangat jelas."Jangan katakan yang tidak-tidak! Aku tahu betul kalau selama ini sikap suamiku dingin terhadap wanita. Bukankah selama ini padamu juga begitu? Hanya padaku dia bersikap lembut. Jadi tidak mungkin dia menikah lagi," cecarku tidak terima.Via kembali menurunkan buku menu itu, lalu memelukku.Dia berbisik, "Aku mohon jangan bicara yang keras-keras. Aku sungguh takut kalau di tempat ini ada orang-orang suamimu yang mendengar pembicaraan kita," ucapnya lagi-lagi memasang wajah ketakutan."Aku mohon," pintanya lagi dengan suara yang sudah bergetar.Kali ini aku mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya. Sementara ini memang hanya Via yang selalu ada di sisiku. Jadi tidak ada salahnya jika sekarang aku mendengarkan lebih dulu ceritanya.Via mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini adalah undangan pernikahan suamimu dengan teman kantorku. Diadakan siang hari dengan tema topeng," ucapnya dan tubuhku langsung gemetar ketika melihat nama suamiku dan kedua orang tuanya ada di sana. Bahkan nama adik-adiknya juga dimasukkan."Kalau kamu masih tidak percaya, mari kita pergi ke sana Sabtu nanti. Anak-anakmu bawa semuanya keluar dari rumah agar para pekerja yang ada di rumah tidak ada yang curiga dan titipkan di rumah orang tuaku," lanjutnya menyampaikan rencana, namun aku tidak meresponnya.Telingaku berdenging dan tubuhku gemetar. Pria yang selalu bertutur kata lembut dan sering mengucapkan kata-kata cinta, kini namanya ada di surat pernikahan dengan wanita lain."Mau atau tidak?" tanyanya lagi."Aku setuju. Jalankan seperti rencanamu!"Hari yang dijanjikan pun tiba dan anak-anak langsung aku mandikan dengan kedua tanganku sendiri meski ada pengasuhnya. Entah kenapa sejak berbicara dengan Via beberapa hari lalu, kalau semua orang yang bekerja di sini adalah orang-orang suamiku, aku enggan untuk berbicara banyak dengan mereka.Sekarang suamiku masih dinas yang katanya memang dua Minggu. Itu permintaan atasannya atau top manajer di perusahaannya. Aku juga tidak bertanya lagi karena dari sejak dulu juga memang selalu begini."Kita mau ke mana, Ma?" tanya anak lelakiku yang baru keluar dari kamarnya. Dia adalah anak pertama, sekarang usianya sudah menginjak delapan tahun."Jalan-jalan, Bang. Emang enggak mau kali-kali jalan sama Mama?" Aku malah kembali bertanya dengan senyuman yang merekah.Sejujurnya bukan hanya anak-anak yang terlihat tidak biasa ketika aku memutuskan untuk memandikan kedua si kecil, namun para pekerja juga begitu. Mereka menatapku dengan penuh keanehan seperti aku baru melakukan hal yang langka."Gi
"Benar buku raport itu milik sekolah Abang?" tanyaku kembali memastikan."Iyalah, Ma. Warnanya aja sama kek punya Abang, kok. Udah enggak bisa diragukan lagi. Abang yakin banget itu raport sama seperti kelas Abang," jawabnya meyakinkan.Kali ini aku tidak lagi bertanya. Semuanya sudah cukup jelas. Hanya tinggal memastikan apa benar suamiku menikahi wanita lain tanpa paksaan atau tidak. Setelah tahu semuanya, tentu aku akan mulai menjalankan rencana.Sebenarnya ini adalah rencana untuk mengeluarkan salah satu temanku dari jeratan suami yang suka selingkuh, namun dia menolaknya. Aku sama sekali tidak menyangka kalau rencana ini akan aku gunakan untukku sendiri.Ternyata dunia ini memang tidak selebar yang kita kita. Memikirkannya saja sudah membuatku lelah. Namun aku harus tetap kuat untuk anak-anak. Mereka sangat membutuhkan diriku di waktu-waktu seperti ini."Kira-kira itu raport siapa ya, Ma?" Dia menatapku bingung."Yah enggak tahu, Abang. Kan, yang lihat Papa waktu itu juga Abang.
Aset? Tentu saja. Hanya anak-anakku yang berhak mendapatkan semua yang sudah dia dapatkan selama ini. Mengurus anak adalah tanggung jawabnya meski dia menikah lagi, jadi wanita yang akan menjadi istrinya nanti tidak akan pernah mendapatkan apa pun.Akan aku pastikan itu terjadi tanpa membuat anak-anakku terluka ataupun membuat Mas Rayan curiga.Aku mendekat ke arah Gibran dan memeluknya."Mama mohon kerja samanya, ya," ucapku sambil membisikkan beberapa kata yang tadi sudah disepakati."Iya, Ma. InsyaAllah Abang enggak akan lupa," ucapnya bersemangat."Oke, Mama percayakan semuanya sama Abang. Mama juga enggak akan lama dan akan ganti baju dulu," ucapku menegaskan setelah melihat matanya menatap pakaianku dengan tajam.Dia pun mengangguk dan aku kembali masuk ke kamar Via, lalu keluar setelah berganti dress."Nah, ini cantik banget. Seperti bukan Mama yang biasanya. Abang yakin kalau Papa bertemu Mama juga akan sadar kalau istrinya ada di hadapannya," pujinya berlebihan."Anak kecil
Air mata hendak jatuh ketika mendengarnya mengatakan itu, namun aku tidak mau air mata itu sia-sia. Jadi, aku segera kembali menghapusnya dan tersenyum lebar."Jadi, siapa yang paling penting untuk Anda?" tanya pembawa acara lagi membuatku ikut menatap ke arah mereka.Jujur saja, aku juga sangat penasaran dengan jawabannya."Dia ibu dari anak-anakku," jawabnya cepat dan benar-benar tanpa perasaan.Tak pernah kusangka dan kuduga, ternyata dia adalah pria yang sangat kejam."Bukankah dia juga istri Anda? Jadi, sudah pasti kalau Anda sangat mencintainya bukan?" Aku menatap mereka semakin lekat dan memasang kedua telinga dengan sebaik-baiknya.Aku sungguh penasaran dengan setiap kata yang keluar dari bibirnya."Ya, dulu memang seperti itu. Namun sejak Tiara kembali, cinta itu langsung hilang. Lalu, aku pun sadar kalau ternyata selama ini aku mencintai istriku bukan cinta seperti pria dan wanita, namun cinta karena dia adalah ibu dari anak-anakku," jelasnya membuat napasku langsung ters
Hah, ternyata pria ini adalah orang-orang yang sangat licik. Dia mau menggenggam kedua hati dalam hati tangannya dengan niat membuat keduanya tetap utuh, padahal tidak. Justru keduanya akan ikut hancur.Jadi, sebelum hal itu terjadi, aku akan menarik batasku dan mundur. Karena kita sudah berjuang bersama-sama dari nol, maka tidak ada yang lebih berhak atas semua yang kita punya selain anak-anak.Aku mendekat ke arah Via. "Tugas kita sudah selesai! Sekarang aku sudah tahu apa yang harus dilakukan setelah mengetahui semuanya. Kita tidak punya banyak waktu," bisikku dengan pandangan tetap ke depan.Via tidak mengatakan apa pun sampai kami tiba di mobil dan menjalankannya hingga ke rumah tempat Giska dan dokter anak itu berada."Bersiaplah, kita pulang sekarang!"Setelah mengucapkan itu kepada dokter dan Via, segera aku pergi ke kamar dan berganti pakaian. Tentu dengan topeng baru yang harus digunakan. Aku tidak ingin rencana yang sudah susah payah dibuat hancur karena keteledoranku.Ket
"Sedang makan sama Mama ... sama Abang ... Adek."Anak keduaku menjawab dengan jujur dan jangka waktu yang cukup lama, namun seperti biasa Mas Rayan selalu menunggu dengan sabar.Dulu, aku pun berpikir itu karena dia perhatian sama kami, sama sekali tidak pernah memikirkan yang aneh-aneh. Ternyata semuanya benar-benar tidak seperti yang aku duga.Aku mengartikan semua sikapnya merupakan bentuk perhatian, namun sebenarnya karena dia takut aku melakukan sesuatu yang membuat rencananya terbongkar. Lalu, aku dan anak-anak menjauh darinya."Dari tadi ngapain aja, Sayang?" Mas Rayan bertanya sampai ke intinya.Hah, aku sudah tahu kalau pada akhirnya inilah yang ingin dia tanyakan. Dia berusaha mencari tahu apa saja yang aku dan anak-anak lakukan seharian ini, apalagi tanpa pengawalan, supir atau pekerja yang berada di bawah pengawasannya."Kakak sama Abang, Ade, Mama, pergi ke rumah Tante Via. Kita main bersama di taman, lalu tidur. Ini bangun tidur kembali bermain," jelas anak itu membuat
Aku dan anak-anak pulang dengan sangat bahagia. Meski hati tengah terluka, aku berusaha untuk bersikap seperti biasa dan menikmati semua kekayaan yang bisa dinikmati.Bukankah sangat disayangkan kalau aku melewati semuanya hanya karena suamiku menikah lagi?Lucu sekali.Bersedih boleh, berkepanjangan jangan. Kejadian ini membuatku sadar kalau di dunia ini tidak ada sandaran yang abadi selain yang Mahakuasa. Cukup sandarkan semuanya pada-Nya, maka hati ini akan merasa tenang.Jika tidak, tentu akan seperti aku yang sekarang karena selalu bergantung kepada suami atau orang lain. Jadi, di saat orang yang kita percaya itu bertingkah, rasa sakit pun datang menggantikan kebahagiaan dan kenyamanan yang sebelumnya.Akan tetapi, jika sejak awal sudah kita gantungkan kepada yang Mahakuasa, hatiku tidak akan sesakit ini."Bell, mandikan anak-anak," pintaku pada tepat setelah anak-anak turun dari mobil.Para satpam dan semua pekerja langsung tertawa kecil ketika mendengar permintaanku. Mungkin m
"Hah, jadi Anda sedang mengancam saya? Atas dasar apa? Saya dan Anda tidak punya hubungan yang membuat saya harus patuh atau menjawab pertanyaan Anda dengan benar. Jadi, kenapa Anda malah mengucapkan kata-kata yang begitu menakutkan seperti itu?" cecar Via dengan suara yang mulai tegas membuatku kembali sadar dan mendekat ke arah ponsel.Untung saja aku sudah menyentuh pengeras suaranya. Jadi meski ponsel ada di bawah, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Setelah benda pipih ini ada di tangan, aku kembali mematikan pengeras suaranya dan berbaring di tempat tidur dengan kepala dan tubuh ditutupi selimut.Jangan sampai suara dari ponsel ini terdengar oleh orang-orang yang ada di luar. Ditambah aku sendiri tidak tahu siapa saja orang yang ditugaskan untuk memata-matai aku dan jumlahnya berapa.Jadi, aku harus berhati-hati agar semuanya tidak tampak mencurigakan. Meskipun aku benar-benar terkejut dengan sikap Mas Rayan yang berani menghalalkan segala cara, tetap saja aku tidak bol