"Sedang makan sama Mama ... sama Abang ... Adek."
Anak keduaku menjawab dengan jujur dan jangka waktu yang cukup lama, namun seperti biasa Mas Rayan selalu menunggu dengan sabar.Dulu, aku pun berpikir itu karena dia perhatian sama kami, sama sekali tidak pernah memikirkan yang aneh-aneh. Ternyata semuanya benar-benar tidak seperti yang aku duga.Aku mengartikan semua sikapnya merupakan bentuk perhatian, namun sebenarnya karena dia takut aku melakukan sesuatu yang membuat rencananya terbongkar. Lalu, aku dan anak-anak menjauh darinya."Dari tadi ngapain aja, Sayang?" Mas Rayan bertanya sampai ke intinya.Hah, aku sudah tahu kalau pada akhirnya inilah yang ingin dia tanyakan. Dia berusaha mencari tahu apa saja yang aku dan anak-anak lakukan seharian ini, apalagi tanpa pengawalan, supir atau pekerja yang berada di bawah pengawasannya."Kakak sama Abang, Ade, Mama, pergi ke rumah Tante Via. Kita main bersama di taman, lalu tidur. Ini bangun tidur kembali bermain," jelas anak itu membuatku dan Via tersenyum lebar.Ini adalah rencana Abang. Selama ini dia selalu menemaniku tidur bersama anak-anak, jadi dia juga tahu kebiasaan adik-adiknya. Meski anak-anak punya pengasuhnya masing-masing, tidur tetap aku yang atur.Mereka hanya memandikan dan ganti diaper. Itu pun kalau ada Mas Rayan, dia yang melakukan.Aku akui, dia adalah suami yang siap siaga. Kalau ada di rumah, dia selalu bangun lebih awal dan memasak makanan kesukaan kami tanpa ada yang terlewat. Lalu, membangunkan anak-anak dan memandikannya.Tidak lupa sebelum berangkat bekerja juga menyuapi mereka. Ditambah keahlian memasaknya lebih baik dariku. Dia juga lagi siaga ketika di antara kita ada yang sakit dan harus dirawat, bahkan dia hanya mengambil cuti untuk merawat kami.Aku pikir, kebersamaan itu akan terus berlanjut hingga maut memisahkan. Nyatanya ... hanya aku yang berpikir seperti itu. Justru aneh kalau lelaki perfect seperti itu hanya punya aku atau mencintaiku seperti yang dikatakannya selama ini.Aku hanyalah wanita desa yang tidak tahu apa-apa tentang gemerlap dunia. Aku juga bukan wanita karier atau berpendidikan tinggi. Sayangnya selama ini aku tidak pernah bercermin, sehingga selalu berpikir kalau dia memang orang yang sudah Allah tetapkan untukku dan akan selalu mencintaiku.Tanpa sadar, mataku mengeluarkan kesedihan ketika mengingat semuanya. Ternyata semuanya hanya mimpi dan sekarang aku sudah benar-benar bangun. Aku sadar aku siapa dan tidak ada kecocokan di antara kita."Mama nangis?"Aku menoleh ke arah gadis kecil yang tengah menatapku dengan penuh kesedihan. Karena sadar, aku langsung menghapus air mata dan menatapnya dengan senyuman yang lebar."Tidak, Sayang. Mana mungkin Mama menangis di saat kalian ada di sisi Mama," lirihku sambil membawanya ke dalam pelukan."Halo, Sayang? Apa yang terjadi padamu? Kamu menangis? Kenapa?"Aku tersadar sepenuhnya ketika mendengar suara panik Mas Rayan. Segera aku mengambil ponsel itu."Benar, ini bukan salahmu, Mas. Namun salahku karena tidak sadar diri dan terlalu serakah," batinku mengakui kekalahan."Halo, Mas. Aku gapapa. Tadi hanya kelilipan saja," jawabku berbohong."Benar?" tanyanya lagi seolah tidak percaya dengan yang aku katakan."Iya, Mas. Jangan terlalu khawatir, aku adalah seorang ibu yang kuat."Mas Rayan terdiam, seolah mencerna apa yang aku katakan."Nanti Mas akan usahakan agar pulang secepatnya," ucapnya kemudian."Tidak apa-apa, Mas. Aku enggak mau ganggu waktu kerja kamu," tegasku berusaha membuatnya yakin."Lebih tepatnya bulan madu yang sudah kalian rencanakan," lanjutku dalam hati."Aku pulang tiga hari lagi," ucapnya penuh penekanan."Enggak, Mas! Banyak tempat yang harus kita datangi."Dengan samar, aku mendengar suara wanita."Nanti Mas telepon lagi, pokoknya kalau ada apa-apa jangan lupa telepon atau kirim pesan. Aku mencintaimu dan anak-anak," lanjutnya, lalu mematikan sambungan telepon tanpa menungguku berbicara lagi.Mungkin dia hendak memberikan penjelasan kepada wanita itu. Yah, bagaimanapun juga mereka adalah pengantin baru. Seharusnya tadi aku mendekat ke arah mereka, memberikan kado, dan mendoakan agar pernikahan mereka langgeng.Sayangnya aku punya anak yang harus terjamin kehidupannya. Mereka terbiasa hidup tanpa kekurangan, jadi aku tidak bisa bergerak begitu saja.*Anak-anak kembali bermain dengan riang. Sementara aku dan Via hanya memperhatikan dari kejauhan."Ternyata sikap Rayan seperti itu. Pantas kamu tidak pernah percaya ketika aku bilang mungkin dia punya pacar di luar sana, karena sudah sejak lama aku melihat dia jalan dengan rekan kantorku," ucap Via tiba-tiba."Wanita itu baru pindah ke divisiku. Aku sendiri tidak tahu kenapa dia diterima di perusahaan, padahal pendidikannya biasa, keluarganya juga biasa. Namun sekarang aku tahu kalau kekuatan yang ada di belakangnya adalah suamimu," lanjutnya semakin membuatku terluka karena dia malah mempertegas semuanya."Akan tetapi, wanita itu juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Justru aku sangat berterima kasih padanya." Aku berucap lirih, namun Via malah menatapku tidak percaya."Apa yang baru saja kamu katakan? Dia sudah merebut suamimu, ayahnya anak-anak. Kenapa kamu masih baik begini?" cecarnya.Aku tersenyum tipis. "Kalau bukan karena dia, mungkin sampai sekarang aku masih berpikir kalau Mas Rayan hanya mencintaiku dan tidak ada sejarah wanita di masa lalunya. Namun, dua membuatku sadar kalau ternyata selama ini aku terlalu menilai tinggi diriku sendiri.""Cukup! Apa yang baru saja kamu katakan? Suamimu saja yang buta. Bosku saja mengakui kecantikan fisik dan hatimu," ucapnya yang aku tahu keceplosan."Bosmu yang mana?" tanyaku penasaran. "Top manajer atau di bawahnya?"Via memalingkan wajah.Baiklah, sepertinya dia tidak mau bercerita."Besok, minta temanmu yang bisa mengurus perpindahan nama rumah. Lalu, beri aku nomor ponselnya. Aku ingin rumah sudah menjadi milik Gibran ketika dia pulang," pintaku padanya yang hanya mengangguk.Aku dan anak-anak pulang dengan sangat bahagia. Meski hati tengah terluka, aku berusaha untuk bersikap seperti biasa dan menikmati semua kekayaan yang bisa dinikmati.Bukankah sangat disayangkan kalau aku melewati semuanya hanya karena suamiku menikah lagi?Lucu sekali.Bersedih boleh, berkepanjangan jangan. Kejadian ini membuatku sadar kalau di dunia ini tidak ada sandaran yang abadi selain yang Mahakuasa. Cukup sandarkan semuanya pada-Nya, maka hati ini akan merasa tenang.Jika tidak, tentu akan seperti aku yang sekarang karena selalu bergantung kepada suami atau orang lain. Jadi, di saat orang yang kita percaya itu bertingkah, rasa sakit pun datang menggantikan kebahagiaan dan kenyamanan yang sebelumnya.Akan tetapi, jika sejak awal sudah kita gantungkan kepada yang Mahakuasa, hatiku tidak akan sesakit ini."Bell, mandikan anak-anak," pintaku pada tepat setelah anak-anak turun dari mobil.Para satpam dan semua pekerja langsung tertawa kecil ketika mendengar permintaanku. Mungkin m
"Hah, jadi Anda sedang mengancam saya? Atas dasar apa? Saya dan Anda tidak punya hubungan yang membuat saya harus patuh atau menjawab pertanyaan Anda dengan benar. Jadi, kenapa Anda malah mengucapkan kata-kata yang begitu menakutkan seperti itu?" cecar Via dengan suara yang mulai tegas membuatku kembali sadar dan mendekat ke arah ponsel.Untung saja aku sudah menyentuh pengeras suaranya. Jadi meski ponsel ada di bawah, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Setelah benda pipih ini ada di tangan, aku kembali mematikan pengeras suaranya dan berbaring di tempat tidur dengan kepala dan tubuh ditutupi selimut.Jangan sampai suara dari ponsel ini terdengar oleh orang-orang yang ada di luar. Ditambah aku sendiri tidak tahu siapa saja orang yang ditugaskan untuk memata-matai aku dan jumlahnya berapa.Jadi, aku harus berhati-hati agar semuanya tidak tampak mencurigakan. Meskipun aku benar-benar terkejut dengan sikap Mas Rayan yang berani menghalalkan segala cara, tetap saja aku tidak bol
Hah, ternyata dugaanku benar. Hanya aku yang tidak tahu apa-apa di sini. Teganya kalian berkhianat setelah apa yang kulakukan selama ini.Sepertinya aku harus merekrut beberapa orang lagi yang kesetiannya tidak diragukan lagi, karena aku benar-benar lelah kalau harus mengamati orang-orang ini sendiri.Setelah beberapa detik, tanpa sengaja aku melihat wajah Bella yang ketakutan. Aku pun mendekat padanya."Ah, Bu, ini tidak seperti yang Ibu duga," ucapnya panik seolah dia tahu apa yang ada di pikiranku. Padahal, dia tidak tahu apa-apa."Memangnya apa? Kenapa kamu mendadak panik seperti ini?" Aku menatapnya sambil memasang tampang heran dan mengamatinya.Ternyata dia terlihat lebih gugup dari yang aku duga. Yah, memang sudah seharusnya seperti itu. Siapa suruh dia menjadi pencuri di rumah tuannya sendiri. Padahal, aku selalu membela mereka kalau dimarahi Mas Rayan.Pantesan beberapa waktu ini aku tidak pernah melihat ataupun mendengar salah satu dari para pekerja dimarahi, ternyata suda
"Benar, kan, kau menguping?" Wanita itu kembali bertanya sambil mengacungkan telunjuknya ke arahku dan tatapannya benar-benar merendahkan. "Mereka memang pasangan yang serasi, namun aku sungguh tidak tahu kalau di mini market secuil ini pun masih bertemu dengan orang yang menjadi penggemar mereka. Seperti selalu mengikutinya ke mana pun," lanjutnya sambil memuji fisik, wajah, dan kekayaan mereka berulang-ulang.Hal itu sungguh tidak bisa membuatku menahan tawa, jadi aku tertawa kecil."Kenapa kau begitu? Apa kau tidak terima dengan apa yang baru saja aku katakan? Kenapa?" cecarnya tak terima. "Hah, padahal kau hanya tinggal duduk manis, sambil melihat keduanya dari jarak dekat. Mereka orang-orang baik, jadi tidak akan pernah melarangmu untuk melihatnya."Jadi dia pikir aku aku adalah penggemar mereka? Benar-benar di luar dugaan."Oh ya? Maaf, Anda siapa? Kenapa Anda begitu yakin kalau saya adalah penggemar mereka?" tanyaku mulai bersikap seperti biasa karena melihat pasangan itu sud
"Kalau bisa jangan hanya ditanyakan, Mas. Langsung beli saja kalau uangnya ada. Soalnya sayang, kapan lagi bisa beli kontrakan banyak pintu," lirihku meracuni.Setelah mengatakan itu, aku masuk ke dapur untuk membawa makanan kesukaannya."Wah, kapan buatnya?" tanyanya semringah."Tadi pagi. Bella dan yang lainnya juga tahu. Kebetulan tadi aku mau makan yang anget dan manis, terus bikin. Ini barusan sudah aku hangatkan di microwave." Aku mengambil satu potong dan menyuapinya.Seperti biasa dia makan dengan lahap tanpa mengatakan apa pun lagi. Kali ini giliran aku yang banyak bicara."Niatku ingin beli kontrakan agar nanti kita enak, Mas. Di masa tua akan terus menerima uang meski tidak bekerja, terus aku bisa membuat martabak cokelat ini tanpa harus bekerja panas-panasan di luar. Ditambah kalau atas nama anak, dia juga jadi belajar caranya mengelola keuangan," jelasku pelan, namun pasti.Mas Rayan mengangguk cepat. "Kamu benar. Hanya di depanmu aku berani mengatakan banyak makanan kes
Untuk menghilangkan segala kegelisahan tadi malam, kini aku memilih untuk menemui ibunya Via terlebih dahulu. Selama ini beliau selalu menjadi orang yang bijak dan membuatku lebih berani dalam menjalani hidup, aku rasa sekarang juga merupakan solusi yang tepat jika aku datang ke rumahnya.Yah, benar. Sebelum bertemu ustazah, alangkah baiknya aku memantapkan hati terlebih dahulu. Jadi, pagi menjelang siang aku kembali meminta Bella untuk memandikan anak-anak."Kamu dan yang lainnya tidak perlu ikut, ini adalah momen aku dan anak-anak sebelum nanti aku kembali disibukkan dengan kepulangan Bapak," pintaku padanya.Kali ini dia mengangguk cepat tanpa ragu, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin sekarang dia sudah percaya bahwa aku tidak akan melakukan apa pun yang membuat Mas Rayan marah.Sejujurnya aku lebih benci diriku goyah seperti ini daripada langsung pergi meninggalkan semua kemewahan. Hanya saja kalau dirinya masih memiliki banyak uang, aku rasa dia akan bisa menemukan aku den
"Siapa, Mas?" Belum juga Mas Rayan mendekat ke arahku, wanita itu sudah memanggilnya dengan mesra. Sementara anak-anak langsung berlari ke arah pria yang ada di hadapanku ini dan mempertanyakan apa dirinya sudah pulang dinas, lalu menginap di sini.Sekarang Mas Rayan terlihat sangat tertekan. Di satu sisi ada aku yang minta penjelasan, di sisi lain ada wanita itu yang tengah mendekat ke arah dini. Ditambah anak-anak juga kau diperhatikan.Rasakan, Mas. Ibu belum seberapa dan akan aku pastikan nanti kamu berada di posisi yang bahkan membuatmu tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun.Wanita itu mendekat ke arah kami dan kedua matanya tidak lepas dariku. Bisa saja dia sudah tahu sejak lama kalau aku adalah istri dari suaminya, namun sangat disayangkan aku justru baru tahu tentang dirinya."Mas," panggil wanita itu lagi. Namun kali ini nada bicaranya agak rendah.Kami sama-sama terdiam dan kalau aku masih tetap seperti ini, justru akan membuat mereka curiga."Mas apa yang kamu lakuk
"Lihat, istrimu sepertinya lebih perhatian kepada pria lain, Mas. Sudah aku katakan berulang kali, kalau kamu tidak menikah denganku, maka kamu akan lebih menderita," ucap Ratih, lalu pergi begitu saja ke kamarku sewaktu lajang.Padahal, aku sudah bilang agar dia tidak bertindak sembarangan karena aku tidak mau membuat Delisa curiga. Namun tetap saja dia tidak mau mendengarkan aku.Ketika aku hendak mencegahnya, mama lebih dulu menatapku tajam dan papa juga memintaku untuk duduk di ruang keluarga."Apa maksud kalian? Apa kalian sengaja memintaku untuk melihat kedekatan istriku dengan pria lain?" tanyaku dengan nada kesal.Aku sudah cukup bersabar dengan sikap anak-anak, sekarang Delisa malah melakukan hal yang sama. Bahkan beberapa menit yang lalu dia masih membela pria yang ada di luar itu. Benar-benar membuatku semakin marah."Bukan, sama sekali tidak ada maksud untuk seperti ini." Papa mulai membenarkan posisi duduknya. "Kami hanya ingin kamu tahu konsekuensi dari menikah lagi, da