Share

Bab 7

"Sedang makan sama Mama ... sama Abang ... Adek."

Anak keduaku menjawab dengan jujur dan jangka waktu yang cukup lama, namun seperti biasa Mas Rayan selalu menunggu dengan sabar.

Dulu, aku pun berpikir itu karena dia perhatian sama kami, sama sekali tidak pernah memikirkan yang aneh-aneh. Ternyata semuanya benar-benar tidak seperti yang aku duga.

Aku mengartikan semua sikapnya merupakan bentuk perhatian, namun sebenarnya karena dia takut aku melakukan sesuatu yang membuat rencananya terbongkar. Lalu, aku dan anak-anak menjauh darinya.

"Dari tadi ngapain aja, Sayang?" Mas Rayan bertanya sampai ke intinya.

Hah, aku sudah tahu kalau pada akhirnya inilah yang ingin dia tanyakan. Dia berusaha mencari tahu apa saja yang aku dan anak-anak lakukan seharian ini, apalagi tanpa pengawalan, supir atau pekerja yang berada di bawah pengawasannya.

"Kakak sama Abang, Ade, Mama, pergi ke rumah Tante Via. Kita main bersama di taman, lalu tidur. Ini bangun tidur kembali bermain," jelas anak itu membuatku dan Via tersenyum lebar.

Ini adalah rencana Abang. Selama ini dia selalu menemaniku tidur bersama anak-anak, jadi dia juga tahu kebiasaan adik-adiknya. Meski anak-anak punya pengasuhnya masing-masing, tidur tetap aku yang atur.

Mereka hanya memandikan dan ganti diaper. Itu pun kalau ada Mas Rayan, dia yang melakukan.

Aku akui, dia adalah suami yang siap siaga. Kalau ada di rumah, dia selalu bangun lebih awal dan memasak makanan kesukaan kami tanpa ada yang terlewat. Lalu, membangunkan anak-anak dan memandikannya.

Tidak lupa sebelum berangkat bekerja juga menyuapi mereka. Ditambah keahlian memasaknya lebih baik dariku. Dia juga lagi siaga ketika di antara kita ada yang sakit dan harus dirawat, bahkan dia hanya mengambil cuti untuk merawat kami.

Aku pikir, kebersamaan itu akan terus berlanjut hingga maut memisahkan. Nyatanya ... hanya aku yang berpikir seperti itu. Justru aneh kalau lelaki perfect seperti itu hanya punya aku atau mencintaiku seperti yang dikatakannya selama ini.

Aku hanyalah wanita desa yang tidak tahu apa-apa tentang gemerlap dunia. Aku juga bukan wanita karier atau berpendidikan tinggi. Sayangnya selama ini aku tidak pernah bercermin, sehingga selalu berpikir kalau dia memang orang yang sudah Allah tetapkan untukku dan akan selalu mencintaiku.

Tanpa sadar, mataku mengeluarkan kesedihan ketika mengingat semuanya. Ternyata semuanya hanya mimpi dan sekarang aku sudah benar-benar bangun. Aku sadar aku siapa dan tidak ada kecocokan di antara kita.

"Mama nangis?"

Aku menoleh ke arah gadis kecil yang tengah menatapku dengan penuh kesedihan. Karena sadar, aku langsung menghapus air mata dan menatapnya dengan senyuman yang lebar.

"Tidak, Sayang. Mana mungkin Mama menangis di saat kalian ada di sisi Mama," lirihku sambil membawanya ke dalam pelukan.

"Halo, Sayang? Apa yang terjadi padamu? Kamu menangis? Kenapa?"

Aku tersadar sepenuhnya ketika mendengar suara panik Mas Rayan. Segera aku mengambil ponsel itu.

"Benar, ini bukan salahmu, Mas. Namun salahku karena tidak sadar diri dan terlalu serakah," batinku mengakui kekalahan.

"Halo, Mas. Aku gapapa. Tadi hanya kelilipan saja," jawabku berbohong.

"Benar?" tanyanya lagi seolah tidak percaya dengan yang aku katakan.

"Iya, Mas. Jangan terlalu khawatir, aku adalah seorang ibu yang kuat."

Mas Rayan terdiam, seolah mencerna apa yang aku katakan.

"Nanti Mas akan usahakan agar pulang secepatnya," ucapnya kemudian.

"Tidak apa-apa, Mas. Aku enggak mau ganggu waktu kerja kamu," tegasku berusaha membuatnya yakin.

"Lebih tepatnya bulan madu yang sudah kalian rencanakan," lanjutku dalam hati.

"Aku pulang tiga hari lagi," ucapnya penuh penekanan.

"Enggak, Mas! Banyak tempat yang harus kita datangi."

Dengan samar, aku mendengar suara wanita.

"Nanti Mas telepon lagi, pokoknya kalau ada apa-apa jangan lupa telepon atau kirim pesan. Aku mencintaimu dan anak-anak," lanjutnya, lalu mematikan sambungan telepon tanpa menungguku berbicara lagi.

Mungkin dia hendak memberikan penjelasan kepada wanita itu. Yah, bagaimanapun juga mereka adalah pengantin baru. Seharusnya tadi aku mendekat ke arah mereka, memberikan kado, dan mendoakan agar pernikahan mereka langgeng.

Sayangnya aku punya anak yang harus terjamin kehidupannya. Mereka terbiasa hidup tanpa kekurangan, jadi aku tidak bisa bergerak begitu saja.

*

Anak-anak kembali bermain dengan riang. Sementara aku dan Via hanya memperhatikan dari kejauhan.

"Ternyata sikap Rayan seperti itu. Pantas kamu tidak pernah percaya ketika aku bilang mungkin dia punya pacar di luar sana, karena sudah sejak lama aku melihat dia jalan dengan rekan kantorku," ucap Via tiba-tiba.

"Wanita itu baru pindah ke divisiku. Aku sendiri tidak tahu kenapa dia diterima di perusahaan, padahal pendidikannya biasa, keluarganya juga biasa. Namun sekarang aku tahu kalau kekuatan yang ada di belakangnya adalah suamimu," lanjutnya semakin membuatku terluka karena dia malah mempertegas semuanya.

"Akan tetapi, wanita itu juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Justru aku sangat berterima kasih padanya." Aku berucap lirih, namun Via malah menatapku tidak percaya.

"Apa yang baru saja kamu katakan? Dia sudah merebut suamimu, ayahnya anak-anak. Kenapa kamu masih baik begini?" cecarnya.

Aku tersenyum tipis. "Kalau bukan karena dia, mungkin sampai sekarang aku masih berpikir kalau Mas Rayan hanya mencintaiku dan tidak ada sejarah wanita di masa lalunya. Namun, dua membuatku sadar kalau ternyata selama ini aku terlalu menilai tinggi diriku sendiri."

"Cukup! Apa yang baru saja kamu katakan? Suamimu saja yang buta. Bosku saja mengakui kecantikan fisik dan hatimu," ucapnya yang aku tahu keceplosan.

"Bosmu yang mana?" tanyaku penasaran. "Top manajer atau di bawahnya?"

Via memalingkan wajah.

Baiklah, sepertinya dia tidak mau bercerita.

"Besok, minta temanmu yang bisa mengurus perpindahan nama rumah. Lalu, beri aku nomor ponselnya. Aku ingin rumah sudah menjadi milik Gibran ketika dia pulang," pintaku padanya yang hanya mengangguk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status