"Kalau bisa jangan hanya ditanyakan, Mas. Langsung beli saja kalau uangnya ada. Soalnya sayang, kapan lagi bisa beli kontrakan banyak pintu," lirihku meracuni.Setelah mengatakan itu, aku masuk ke dapur untuk membawa makanan kesukaannya."Wah, kapan buatnya?" tanyanya semringah."Tadi pagi. Bella dan yang lainnya juga tahu. Kebetulan tadi aku mau makan yang anget dan manis, terus bikin. Ini barusan sudah aku hangatkan di microwave." Aku mengambil satu potong dan menyuapinya.Seperti biasa dia makan dengan lahap tanpa mengatakan apa pun lagi. Kali ini giliran aku yang banyak bicara."Niatku ingin beli kontrakan agar nanti kita enak, Mas. Di masa tua akan terus menerima uang meski tidak bekerja, terus aku bisa membuat martabak cokelat ini tanpa harus bekerja panas-panasan di luar. Ditambah kalau atas nama anak, dia juga jadi belajar caranya mengelola keuangan," jelasku pelan, namun pasti.Mas Rayan mengangguk cepat. "Kamu benar. Hanya di depanmu aku berani mengatakan banyak makanan kes
Untuk menghilangkan segala kegelisahan tadi malam, kini aku memilih untuk menemui ibunya Via terlebih dahulu. Selama ini beliau selalu menjadi orang yang bijak dan membuatku lebih berani dalam menjalani hidup, aku rasa sekarang juga merupakan solusi yang tepat jika aku datang ke rumahnya.Yah, benar. Sebelum bertemu ustazah, alangkah baiknya aku memantapkan hati terlebih dahulu. Jadi, pagi menjelang siang aku kembali meminta Bella untuk memandikan anak-anak."Kamu dan yang lainnya tidak perlu ikut, ini adalah momen aku dan anak-anak sebelum nanti aku kembali disibukkan dengan kepulangan Bapak," pintaku padanya.Kali ini dia mengangguk cepat tanpa ragu, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin sekarang dia sudah percaya bahwa aku tidak akan melakukan apa pun yang membuat Mas Rayan marah.Sejujurnya aku lebih benci diriku goyah seperti ini daripada langsung pergi meninggalkan semua kemewahan. Hanya saja kalau dirinya masih memiliki banyak uang, aku rasa dia akan bisa menemukan aku den
"Siapa, Mas?" Belum juga Mas Rayan mendekat ke arahku, wanita itu sudah memanggilnya dengan mesra. Sementara anak-anak langsung berlari ke arah pria yang ada di hadapanku ini dan mempertanyakan apa dirinya sudah pulang dinas, lalu menginap di sini.Sekarang Mas Rayan terlihat sangat tertekan. Di satu sisi ada aku yang minta penjelasan, di sisi lain ada wanita itu yang tengah mendekat ke arah dini. Ditambah anak-anak juga kau diperhatikan.Rasakan, Mas. Ibu belum seberapa dan akan aku pastikan nanti kamu berada di posisi yang bahkan membuatmu tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun.Wanita itu mendekat ke arah kami dan kedua matanya tidak lepas dariku. Bisa saja dia sudah tahu sejak lama kalau aku adalah istri dari suaminya, namun sangat disayangkan aku justru baru tahu tentang dirinya."Mas," panggil wanita itu lagi. Namun kali ini nada bicaranya agak rendah.Kami sama-sama terdiam dan kalau aku masih tetap seperti ini, justru akan membuat mereka curiga."Mas apa yang kamu lakuk
"Lihat, istrimu sepertinya lebih perhatian kepada pria lain, Mas. Sudah aku katakan berulang kali, kalau kamu tidak menikah denganku, maka kamu akan lebih menderita," ucap Ratih, lalu pergi begitu saja ke kamarku sewaktu lajang.Padahal, aku sudah bilang agar dia tidak bertindak sembarangan karena aku tidak mau membuat Delisa curiga. Namun tetap saja dia tidak mau mendengarkan aku.Ketika aku hendak mencegahnya, mama lebih dulu menatapku tajam dan papa juga memintaku untuk duduk di ruang keluarga."Apa maksud kalian? Apa kalian sengaja memintaku untuk melihat kedekatan istriku dengan pria lain?" tanyaku dengan nada kesal.Aku sudah cukup bersabar dengan sikap anak-anak, sekarang Delisa malah melakukan hal yang sama. Bahkan beberapa menit yang lalu dia masih membela pria yang ada di luar itu. Benar-benar membuatku semakin marah."Bukan, sama sekali tidak ada maksud untuk seperti ini." Papa mulai membenarkan posisi duduknya. "Kami hanya ingin kamu tahu konsekuensi dari menikah lagi, da
Mataku tiba-tiba berair ketika melihat suamiku sendiri bermesraan dengan wanita lain. Kak Dion yang melihatku tidak mengatakan apa-apa. Aku rasa dia sudah tahu kalau aku sudah mengetahui semuanya.Dia memang orang yang peka dan aku sudah tahu sejak lama, makanya hanya dia yang kesuksesannya melebihi Mas Rayan.Kak Dion tidak mengatakan apa-apa dan aku juga langsung menghapus air mata ketika anak-anak mendekat ke arahku. Biarlah, toh mereka sudah suami istri. Yang membuatku tidak habis pikir, mereka melakukannya di rumah ini di saat aku dan anak-anak ada.Jadi, aku pikir ini merupakan tanda kalau aku dan anak-anak sudah bukan lagi prioritas baginya."Ambil keputusan yang tepat, lalu jangan pernah lagi melihat ke belakang!" ucap Kak Dion ketika kita berjalan ke arah pintu rumah.Aku sendiri tidak tahu kenapa dia berkata seperti itu, namun apa yang dia katakan tidak salah. Ketika aku sudah mengambil keputusan, maka aku dilarang untuk melihat ke belakang karena sudah pasti aku akan goyah
"Lihat apa?" Kedua tangan dingin Mas Rayan menyentuh kedua pipiku dan mengusapnya lembut."Melihat anak kita. Ternyata sekarang dia sudah besar dan bisa pergi ke masjid dengan siapa pun. Tidak harus dengan papanya," jelasku lembut.Untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, bukankah aku harus berperan sebaik mungkin? Daripada menyia-nyiakan kesempatan, lebih baik aku berpura-pura menjadi istri yang baik, yang menutup kedua mata agar tidak melihat kekurangan yang ada pada suamiTentu saja semua ini hanya untuk sementara. Kalau waktunya sudah tiba, aku akan mengeluarkan semuanya, dan membuatnya membayar dengan berlipat ganda. Bukan dengan uang, melainkan rasa sakit yang pernah aku terima."Apa kalau aku tidak ada di rumah, dia masih tetap salat di masjid?""Iya. Sekarang dia memang sudah lebih mendiri. Aku juga mengantarnya mengaji di ustaz dekat rumah," ucapku membuat wajahnya yang semula murung, kini tersenyum lebar.Dia memelukku erat. "Terima kasih sudah menjadi ibu dan istri yang ba
"Mas, kamu sudah pulang?" Aku mendekat dan menciuminya dengan takjim."Iya." Dia langsung mencium keningku, lalu mendekat ke arah Ratih dengan tatapan tajam. "Apa yang kau katakan? Beraninya kau bicara seperti itu di rumahku, terlebih ini adalah kamar kami. Apa yang kau inginkan?"Ratih tidak bicara. Dia hanya diam sambil menatap tidak suka ke arahku yang sama-sama diam, namun aku memilih untuk tidak melihat ke arah mereka berdua."Dia menyarankan agar aku berpisah darimu, Mas," ucapku masih dengan posisi yang sama.Emosi Mas Rayan meningkat, dia pun mengangkat tangan dan mendaratkan satu tamparan di pipinya."Jangan pernah melewati batas dan aku bisa melakukan apa pun untuk menghancurkan dirimu," kecamnya yang aku rasa hanya untuk sementara.Kenapa aku bilang begitu, karena mereka saling mencintai. Jadi, mustahil rasanya kalau Mas Rayan pun tetap akan memarahi atau menamparnya kalau aku tidak ada. Jika tak percaya, lihat saja nanti. Akan aku tunjukkan seperti apa cinta yang dimiliki
Pagi-pagi sekali, aku mendengar pergerakan dari pria yang tidur di sebelahku. Hanya saja aku enggan untuk berbicara atau pun mendekat ke arahnya, jadi aku hanya berpura-pura tidak mendengar. Yakali jam empat kurang dia keluar untuk bekerja. Ngapain? Kurang kerjaan saja.Aki pura-pura tertidur ketika Mas Arsan bangkit dan keluar dari kamar. Tentu aku tahu apa yang akan dia lakukan, cuman kali ini aku tidak akan mencegahnya.Tadi malam, dia juga sudah berjanji untuk memberikan pelajaran kepada Ratih karena sudah mengatakan sesuatu yang negatif tentang anak-anak. Hanya saja aku masih tidak tahu hukuman apa yang akan dia berikan kepada istri mudanya itu atau dia hanya berpura-pura agar aku tidak memcurigainya lagi.Entahlah, yang jelas aku lebih yakin kalau dia sepertinya kalah oleh Ratih. Kalau satu atau dua tamparan memang berani, namun untuk jauh dari itu aku rasa tidak. Ditambah Ratih adalah wanita yang dicintainya, jadi dia bisa saja luluh lalu Ratih bilang akan meninggalkan dirinya