Satu tahun kemudian,
Gaster Techn. Corporation
Jakarta, Indonesia
Memasuki usia 31 tahun, pencapaian Zafier Gaster bisa dikatakan sukses. Entrepreneur muda yang memiliki perusahaan berbasis teknologi yang tersebar di banyak Negara dan dinobatkan menjadi pengusaha muda dengan ketampanan menyilaukan hingga menjadi sorotan dunia.
Sekitar dua tahunan ini, Zafier menetap di Jakarta sibuk melebarkan sayap bisnisnya di Negara Asia dengan mendirikan Gaster Tech. Corporation bersaing dengan banyak perusahaan sejenis di bidang teknologi yang sudah lebih dulu ada.
Zafier optimis jika semua rintangan itu hanya bertujuan satu hal yaitu kesuksesaan. Jadi, ketika pegawai inti perusahaannya sedang gempar karena kalahnya mereka dalam Tender besar membangun ulang jaringan dan sistem keamanan untuk perusahaan minyak dunia yang berprofit Triliunan Dollar itu, Zafier malah asyik berkirim pesan dengan wanita yang sebulan ini menemaninya bergelut di atas ranjang.
"Pak Zaf—"
Zafier tersenyum saat membalas pesan Helena, nama wanita itu, yang berniat menantangnya dengan mengirimkan foto bugil yang Zaf sambut dengan tangan terbuka. Siapa lelaki di dunia ini yang akan menolak ditawari foto bugil?
"Pak Zafier Gaster!"
TRING.
Satu pesan masuk dan bisa dilihatnya ada foto yang disertakannya di sana. Zaf mengelus dagu, menekan touchscreen hingga terpampanglah foto wanita cantik itu yang memang bugil tapi dari posisi belakang hanya memperlihatkan pundaknya yang ada tato mawarnya. Begitu menggiurkan untuk dikecup sampai membekas kemerahan, pinggangnya yang ramping bak gitar spanyol tapi dengan bongkahan pantat yang padat—
"PAK ZAFIER GASTER!!"
Lenyap. Ponselnya tiba-tiba lenyap bersamaan dengan suara memekakkan telinga itu membuatnya harus mengangkat pandangan dan menemukan sepuluh lelaki memandanginya dengan ekspresi kesal karena sejak tadi semua keluh kesah mereka terabaikan. Ketika pandangannya beralih ke samping kanan, berdiri menjulang sosok sekretaris yang selalu berkoar akan melakukan pekerjaan secara professional tidak peduli memiliki bos dengan ketampanan yang membuat siapapun siap loncat ke dalam pelukannya. Itu terbukti dengan penolakan kasar wanita itu setiap kali Zaf iseng menggodanya.
"Freya, ponselku." Wanita cantik yang lebih suka menggulung rambut hitamnya ke atas itu mendelik dan menggenggam ponselnya seraya menjauhkannya dari tangan Zaf yang terulur. "Aku membutuhkannya sekarang, please."
“Jangan buat meeting penting ini jadi sia-sia karena bapak sibuk dengan yang lain. Kami membutuhkan tanggapan dan saranmu di sini. Memangnya apa sih yang sedang kau lih—astaga!!"
Freya melotot, menjatuhkannya begitu saja tidak peduli jika ponsel bosnya itu akan terpelanting ke bawah dan rusak tapi dia lebih memilih meletakkan kedua tangan di kepala dan menggeleng frustasi. Zaf menangkap ponselnya sebelum sukses membentur lantai. "Ya Tuhan, ampuni dosa-dosanya selama ini."
Freya selalu berdoa seperti ini untuk Zaf kalau mendapati kelakuan bosnya itu menggelikan.
"Amen," Dan Zaf akan selalu membalas dengan satu kalimat yang sama.
"Wait a second," ucapnya ke semua yang hadir, mengetik cepat balasan untuk burung meraknya disertai senyuman dan setelah selesai dia meletakkan ponselnya di atas meja dan berdiri dari duduknya. Seketika semua yang ada di sana diam menunggu.
"Allison Tech. Corporation sudah berdiri sejak sepuluh belas tahun yang lalu dan dimulai dari Negara ini lalu mencoba merambah ke luar Asia. Pamor mereka menjadi yang nomor satu sementara perusahaan kita masih merangkak pelan-pelan untuk bisa sejajar dengan mereka. Tapi kekalahan kita kemarin bukan karena produk dan service yang kita tawarkan tidak bagus atau tidak bisa dipercaya tapi karena faktor internal."
"Apa maksudmu?" tanya Williem selaku Manager Marketing.
"Aku sudah mempelajari dan menganalisanya." Zaf berputar di sekitar area meeting di bawah tatapan semua yang hadir. "Dengan kata lain, Tender yang dilempar ke publik ini hanya kedok belaka agar mereka terlihat sebagai perusahaan yang baik-baik saja. Apa kalian mengerti maksudku?"
Terjadi bisik-bisik dan gumaman menanggapi perkataan Zaf.
"Aku simpulkan kalau maksud dari perkataanmu adalah—" Williem buka suara. "Ada atau tidaknya Tender, pihak perusahaan Franklin akan tetap memberikan proyek itu ke pihak Allison karena mereka sudah memiliki semacam kesepakatan tertutup."
"Gotcha," ucap Zaf dengan senyuman seraya menunjuk Williem. "Kesepakatan tertutup yang dilakukan oleh perwakilan Franklin juga Allison yang memiliki jabatan berpengaruh dengan banyak kepentingan pribadi di dalamnya tanpa menimbulkan kecurigaan pimpinan tertinggi Franklin di Dubai. Jadi, sepuluh perusahaan yang kemarin mengikuti Tender kecuali Allison sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk memenangkannya."
Williem berdiri dari duduknya. "Jadi, sejak awal kita mengurus dan memperjuangkan Tender itu, kau sudah tahu kalau kita tidak akan menang?"
Zafier tersenyum, mendekat ke arah Williem dan menepuk pundak lelaki itu dengan keras mencoba menenangkan sedangkan yang lain hanya menggelengkan kepala.
"Poin kita berada di bawah Allison dan aku puas mendapatkannya."
"Tapi kita kehilangan Tender mahalan itu Pak," desah Alvi seraya memijit pelipisnya.
Zafier tertawa, melangkah penuh percaya diri kembali ke tempat duduknya, memandangi semua bawahannya.
"Pantas saja beberapa kali Franklin menggunakan jasa Allison untuk sistem perusahaan mereka yang besar itu," gumam Williem terlihat seperti lelaki yang patah hati. "Aku pikir adanya Tender itu bisa memberi kita sedikit celah untuk masuk ke sana."
Zafier melipat lengannya di dada dengan kharisma seorang pemimpin yang tidak bisa dilawan. "Aku tahu kalian sudah berusaha sangat keras untuk memenangkannya dan untuk itulah aku turun tangan memberikan sentuhan terakhir agar usaha kalian tidak sia-sia."
Reflek, semua yang ada di sana langsung menoleh ke Zafier dengan tatapan penasaran.
Zafier tersenyum miring, membuka ponselnya dan mengotak atiknya lalu berputar ke arah kaca transparan di balik punggungnya yang perlahan menyala menampilkan cahaya putih. Sebuah proyektor berbasis wireless yang terhubung dengan ponsel canggihnya lalu hanya dalam satu kali tekan di ponselnya, layar itu menampilkan sebuah email yang ingin diperlihatkan Zaf ke semua bawahannya yang terkesiap kaget dan melotot maksimal. Freya bahkan berdiri dan mendekat seakan ingin memastikan apa yang dilihatnya itu benar.
Zafier minggir untuk memberikan akses semuanya memperhatikan setiap detail isi dari email yang diterimanya tadi pagi itu dan berucap santai. "Pada akhirnya, kita memenangkan tender ini dan aku ucapkan selamat untuk kalian yang sudah berusaha keras melakukan usaha yang terbaik."
Semuanya ternganga kaget.
"Are you kiddding me, Sir?" teriak Williem dan Alvi bersamaan seraya berdiri dari duduknya.
"Hmm tidak. Aku tahu kalian bingung kenapa proyek itu jatuh ke tangan kita tapi tidak usah dipikirkan. Anggap saja mereka berubah pikiran dan aku pastikan kalau itu adalah keputusan akhir mereka jadi setelah ini kalian semua harus berusaha maksimal membuat pihak Franklin terkesan dengan service dan produk kita supaya profit Triliunan Dollar itu bisa kita dapatkan."
Tentu saja semua yang ada di sana hanya bisa bengong memandangi antara layar dan Zafier yang berdiri di dekat pintu keluar dengan senyuman kemenangan.
"Yeah, aku sudah tahu kalian mau bilang apa. Aku memang hebat. Terima kasih," ucap Zafier kalem namun terkesan congkak.
"Tidak bisa dipercaya!!" Desah Freya
Zafier tertawa pelan, membuka pintu ruangan meeting meninggalkan bawahannya yang senang melihat kabar itu.
"Aku tahu Freya, kalau bos sintingmu itu pasti seorang hacker," ucap Alvi dengan pemikirannya sendiri yang terakhir kali dia dengar bersamaan dengan layar proyektor yang meredup dan email itu menghilang saat pintunya tertutup.
Zafier masuk ke dalam ruangannya dan berdiri di balik kaca transparan memandangi gedung-gedung kota Jakarta dengan wajah datar. Kesepakatan itu akan menimbulkan dampak yang lain dan Zafier harap akibatnya tidak akan fatal terutama dari pihak Allison. Ini semua bukan tentang uang tapi tantangan terselubung yang di dapatnya dari pemimpin Allison sendiri. Pada akhirnya,semua kekacauan ini bermula karena wanita malam.
"Martin Allison, kau menantang orang yang salah," gumamnya disertai senyuman miring.
***
"Saya dipecat Bu."Wanita cantik berambut coklat itu tidak bisa menyembunyikan kekagetannya saat kekejaman dunia kerja yang bisa sangat brutal membuatnya di depak dari perusahaan periklanan yang sudah lima tahun menjadi tempatnya menggantungkan harapan untuk bertahan hidup."Apa salah saya?" Dia jelas tidak terima."Kamu masih tidak sadar kesalahan yang sudah kamu lakukan?!" Ucap Ibu Siksa selaku Manager HRD. "Kamu telah melanggar aturan dengan diam-diam memberikan service gelap ke pihak pelanggan untuk mendapatkan kontrak dan itu sangat tidak bisa dibenarkan.”"Tapi Bu—""Saya tidak mau mendengar penjelasan apapun lagi. Kamu kemasi barang-barangmu dan mulai besok cari pekerjaan di tempat lain. Di sini kami tidak bermain dengan cara kotor. MENGERTI!!" teriaknya membuat wanita itu berjengit kaget."Bukan saya Bu—""KELUAR!!!" bentakan itu akhirnya menyadarkannya kalau dia sudah tidak memiliki hak untuk berbicara dan menjelaskan semuanya. Dengan langkah gontai, dia keluar di bawah bisi
Flashback OnZafier Gaster tidak mempedulikan wanita-wanita di sekitarnya yang mencoba menarik perhatian karena tatapannya hanya tertuju pada wanita seksi bergaun merah yang duduk di salah satu sofa tidak jauh darinya dengan gaya congkak, sadar kalau hampir semua lelaki menatapnya lapar. Tonjolan belahan dadanya yang padat berisi begitu menggairahkan bahkan saat dilihat dari jauh sekalipun begitu juga kaki jenjangnya yang terekspos jelas. Sangat cantik dan sexy.Zafier turun dari duduknya di meja bar, melangkah mantap menghampiri bersamaan dengan seorang lelaki yang juga berjalan ke arah yang sama. Sampai akhirnya mereka berdua berdiri bersisian di depan wanita itu yang nampak kaget dengan kedatangan mereka."Siapa kau?" Lelaki itu nampak tidak senang dengan keberadaannya.Zafier dengan gaya santai, memasukkan kedua telapak tangan ke saku celana bahkan sempat mengedip genit ke wanita seksi itu yang langsung tersipu sebelum menjawab."Apa itu penting bagimu?"Lelaki itu mendengkus, "Ti
"Errghh, sayang."Erangan itu membuat Zafier yang sejak tadi duduk memandangi lampu-lampu gedung kota Jakarta menoleh ke samping, di mana Helena tergeletak tanpa sehelai benangpun setelah pergulatan mereka tadi."Tidurlah," ucap Zaf seraya menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara."Aku maunya meluk kau," ucapnya manja.Bukannya menuruti kemauan wanita itu, Zaf malah turun dari tempat tidur membuat Helena jelas bingung."Why, zaf?" Tanyanya heran."Aku mau cari udara segar dulu. Kau lanjutkan saja tidurnya. Kalau aku tidak kembali itu berarti sedang ada yang aku kerjakan di tempat lain.""Tapi aku mau kau tidur di sini dan temanin aku sampai pagi."Zaf tidak mempedulikan protesan Helena, berjalan mengarah ke kamar mandi untuk membasuh diri dan keluar setengah jam kemudian dengan setelan santai. Dilihatnya Helena duduk di tepi ranjang sedang menghisap rokoknya. Zaf menghampiri, menarik rokok itu dari tangannya dan mematikannya."Hei—" ucapnya kesal."Jangan merokok.
Bagi Shine, menjadi wanita lemah tidak ada dalam kamusnya.Setidaknya seorang wanita tidak harus selalu bergantung pada lelaki. Kalau bisa dilakukan sendiri kenapa harus meminta bantuan mereka yang kebanyakan merasa sombong karena dilahirkan lebih kuat. Terserah dia mau dicap sebagai perempuan bar-bar, tidak elegan dan lebih banyak membuat kaum lelaki yang tertarik dengan wajah imut juga cantiknya ielfeel setelah melihat kelakuannya yang kadang seperti lelaki hingga membuatnya tetap melajang diusianya yang ke dua puluh lima tahun.Untuk membekali dirinya dalam menghadapi apapun hal yang bisa saja terjadi pada wanita yang hidup sendiri, Shine belajar ilmu bela diri secara otodidak. Kepalan tangannya sudah sekuat lelaki, tendangannya memberikan efek yang pasti akan menjatuhkan dan dia belajar untuk selalu waspada.Awalnya Shine tidak terlalu peduli dengan lelaki berhoodie yang duduk di salah satu meja minimarket langganannya tapi saat menyadari kalau lelaki itu menguntitnya masuk ke da
Shine ternganga, memegangi kepalanya dengan tangannya yang lain merasakan pusing. "Oh pemuas wanita?" Shine kembali fokus. "Oke, itu sangat membantu untuk menentukan langkah selanjutnya yang harus aku ambil." "Oh senang sekali bisa membantumu. Apa kau akan merobek leherku sekarang juga?" "Tidak. Tidak sekarang karena pelajaran berharga untuk lelaki sepertimu itu—" Shine tersenyum smirk. "Yang seperti ini." BUUK!! Shine mengayunkan kakinya tepat mengenai kebanggaan lelaki itu dengan kerasnya dan berlanjut memukul wajahnya mengenai tulang hidung dan pipi. "Arrgghh, Shit!!!" umpat lelaki itu seraya mundur dan merunduk memegangi itu-nya dengan kedua tangan terlihat kesakitan. "Sialan!! Apa wanita selalu mengarahkan kemarahan mereka ke bagian terpenting laki-laki yang bisa memuaskan kalian tanpa ampun!!" "Yeah, supaya itu-mu punya tata krama!!" Umpat Shine seraya tersenyum penuh kemenangan. "Kau mau melawanku, huh? Tanggung akibatnya nanti!!"desisnya. "Oh, siapa takut." Shine men
Shine mengerang saat tangan lelaki itu menelusup di balik bajunya, membelai kulit punggungnya tanpa perantara dengan sensual masih sambil mencium bibirnya dengan napsu dan Shine melotot saat lelaki itu melepas kaitan branya. Shine mencoba melawan tapi percuma. Dia tidak bisa melakukan banyak hal. Seharusnya dari awal, dia sudah menghajarnya tanpa harus mengobrol dulu seperti teman lama. Yeah, Shine yang idiot. "Sial, aromamu sangat menggoda. Memabukkan," bisiknya setelah melepaskan pagutan bibirnya dan turun ke leher jenjangnya, mengigit-gigit kecil sampai kancing bajunya terbuka memperlihatkan belahan dadanya dan dengan kurang ajarnya bibir lelaki itu turun menghisapnya di sana. "BRENGSEK!! Aku akan membunuhmu—Ssshhh." Shine mengatupkan bibirnya karena takut mengeluarkan desahan. Tangan lelaki itu asik mengelusi punggungnya dari atas ke bawah, untung tidak sampai menjalar ke depan. Napasnya naik turun tidak beraturan mendapat perlakukan tidak senonoh dari lelaki gila di depannya
"Ini termasuk dalam tindak pidana asusila."Shine membuka sedikit syal yang melekat di lehernya yang jenjang dengan ekspresi kesal. Jarinya yang lentik menunjuk beberapa bercak merah yang tersebar di sekitar leher dan dada bagian atas. Dengan gerakan kasar, Shine membenarkan letak syal motif bunga-bunga untuk menutupinya lalu menatap Sasha frustasi."Lihat bagaimana lelaki bajingan itu menandai leherku ini seakan-akan dia ingin memperlihatkan kepada dunia kalau aku ini sejatinya adalah miliknya seorang. Dasar gila!"Tadi malam Shine meneleponnya, menceritakan kejadian yang menimpanya secara mendetail tanpa memberinya kesempatan untuk berargumen dan siang ini dia datang ke cafe untuk menunjukkan mahakarya yang dibuat laki-laki tidak dikenal itu disertai dengan omelan panjang seperti biasanya. Sasha hanya diam menjadi pendengar di salah satu kursi di sudut cafenya yang belum buka seraya mengaduk sendok sup jagung di tangannya. Nampak tidak begitu berselera."Yakin itu bukan ulah pacarm
"Aroma maskulinnya memabukkan," ucap Shine akhirnya membuat Sasha bengong. "Jenis parfum mahalan yang tidak bisa sembarangan orang membelinya." Shine seperti menerawang mengingat kejadian kemarin malam. "Dia punya bulu-bulu halus di rahangnya tapi aku tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya karena terhalang hoodie." "Wah, mungkin dia penjahat yang tampan." Shine melipat lengannya, duduk menyandar di kursi dan menghela napas panjang. "Lelaki itu bule. Logat Amerikanya kentara sekali meskipun bahasa Indonesianya lancar." Sendok yang dipegang Sasha menggantung di udara ketika mendengarnya. Dia mengerjap lalu menyimpitkan matanya. "Kamu yakin?" Shine mengangguk, "Seratus persen yakin. Di mana aku pernah mendengar suaranya ya?" Sasha diam memandangi Shine yang memijit pelipisnya nampak berpikir. "Ah, pokoknya siapapun dia, aku harus bisa menemukannya lagi." Shine mengepalkan tangan dan menyentaknya di atas meja dengan geram. "Dia tidak akan lolos dari kemurkaanku karena membuatku meras