"Jangan macam-macam. Aku tidak takut padamu!" Aku menantang."Kalau tidak takut kenapa buru-buru?" Dia maju selangkah mendekatiku. Mataku membesar melihat tingkahnya."Berikan kuncinya!" Aku menjulurkan telapak tangan. Bersikap wajar agar dia tahu aku masih bisa melawan saat dia ingin berbuat yang aneh-aneh.Dia tersenyum tipis memandangi tanganku. Lalu tanpa aba-aba langsung menenggelamkannya dalam genggaman."Apa yang kau lakukan? Jangan kurang ajar!" Aku menarik paksa tanganku. Namun kejadian yang sama selalu terjadi.Ren tak membiarkanku begitu saja. Aku merasa seperti tikus yang terjebak, dan masuk dalam perangkapnya. Dia meremas kuat tanganku, lalu mengangkat tinggi hingga menyentuh wajahnya. Mataku langsung mendelik dengan sikap lancangnya."Aku sedang demam. Tak bisakah kau bersikap lembut sebentar saja?" Mataku berkedip-kedip mendengar rengekannya. Seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya.Entah kenapa aku membiarkan tanganku berada di pipi itu, lalu kugerakkan send
Dari kejauhan Daryan tersenyum ke arahku. Membawakan sekotak donat untuk kami nikmati bersama. Langit sedari tadi tampak mendung. Untungnya tak sampai berimbas pada penjulalan bubble drink-ku siang ini.Aku membuatkan 'strawberry boba' untuk Daryan, lalu duduk kembali menemaninya. Aneh saja melihat sikap anak orang kaya satu ini. Hidupnya terlalu datar. Di saat semua orang sibuk bekerja dan berpacu dengan waktu, dia hanya melenggang santai menemui siapa pun yang dia mau. Termasuk aku.Mulutku terasa gatal ingin menasihatinya. Namun mengingat sifat sensitifnya waktu itu, aku kembali mengurungkan niat. Kelak jika sudah berumah tangga, dia akan sadar. Bahwa pengangguran sepertinya hanya akan menjadi cemoohan semua orang. Pria yang tahunya hanya menghabiskan harta orang tua saja."Belum ada kabar dari ayahmu?" Pria dengan kaos lengan pendek dan celana jeans itu bertanya. Aku menggeleng."Tidak lapor polisi?""Buat apa? Untuk menangkapnya?" Aku berdecih. "Tidak menutup kemungkinan ayah jug
Sinar matahari masuk melalui celah jendela. Membuat mataku silau karena cahayanya. Aku menutup wajah dengan membalik telapak tangan dari terpaan sinarnya, agar bisa membuka mata dengan lebar. Lalu kurasakan pinggangku mendadak terasa sakit. Ini pasti karena tidur dalam posisi duduk dengan kepala bertumpu pada sisi ranjang.Aku mengucek mata, lalu menyipit saat Ren sudah tak ada di tempat tidurnya. Aku meraih ponsel guna melihat jam digital yang ada di sana. Hari masih sangat pagi. Bahkan belum lagi genap pukul tujuh. Mataku berkeliling mencari keberadaan pria yang bersamaku semalaman.Memoriku kembali teringat saat terpaksa berbohong pada Daryan. Beralasan kalau aku menginap di rumah ayah bersama Adit, agar ia mengurungkan niatnya untuk datang ke kamar kos-ku malam tadi.Aku tak tahu kenapa aku sampai melakukan hal itu. Yang kulakukan adalah mengabulkan permintaan Ren untuk menemaninya sepanjang malam.Sebagai wanita yang telah terbiasa hidup sendiri juga mandiri, hal seperti ini buk
"Kau sudah pandai berbohong rupanya." Daryan mengungkit soal itu lagi hari ini."Maaf." Hanya itu yang dapat aku katakan."Kau kemana? Kau bertindak yang aneh-aneh lagi, May?""Untuk apa? Hutangku sudah lunas karenamu." "Ada rahasia yang aku tak boleh tahu?""Kau juga punya rahasia," sahutku begitu saja."Jadi ini semacam balas dendam? Begitu, kah?" "Kau ini bicara apa? Aku belum terbiasa menjalani hubungan. Aku tak tahu kalau semuanya harus aku ceritakan pada pasangan."Daryan terdiam. "Maaf," ucapnya kemudian. Dia terlihat seperti merasa bersalah. Aku mengernyit. Kupikir dia akan marah-marah dan merajuk seperti waktu itu."Kenapa kau minta maaf?" Aku penasaran."Kau pasti takut aku melakukan hal itu lagi, kan?" Aku memandang sorot matanya.Laki-laki ini berpikir, bahwa aku takut kembali berciuman dengannya? Lucu sekali. Aku bahkan menikmatinya."Sudah kuduga," ucapnya lagi. "Kau bukan gadis nakal seperti yang kau tunjukkan selama ini. Kau hanya mengada-ada saat bilang akan mau m
"Menjaga parkir?" Aku mengulangi ucapannya. Adit mengangguk. Jadi Ren memberikannya pekerjaan sebagai tukang parkir? Bukan kurir pengantar barang haram yang aku sangkakan selama ini?Aku menghela napas dengan lega. Setidaknya adikku sedang tidak dalam masalah, atau menjadi salah satu DPO yang diincar oleh polisi. Ternyata Ren masih punya otak untuk tidak menjerumuskan adikku dalam bisnisnya."Memangnya apa yang kakak khawatirkan?" Adit menaruh curiga. Menuduhnya yang bukan-bukan tanpa bertanya terlebih dahulu."Aku hanya tak menyukai pria itu. Kau jangan lagi bertemu dengannya.""Bang Ren orang baik, Kak. Kakak tidak perlu curiga padanya. Hanya gayanya saja yang seperti itu." Adit tampak bersemangat membicarkan orang itu."Bang Ren?" Dahiku mengernyit. Kenapa Adit bisa ikut memanggilnya seperti itu. Bukankah itu hanya sebutanku saja agar dia sadar, kalau dia tak lebih hanya seorang rentenir di kehidupanku."Aku menanyakan namanya. Tapi dia bilang, kakak memanggilnya Ren. Dia menyuruh
Usai berdamai dan mengalah pada Adit, aku kembali membereskan rumah. Adit sudah berangkat ke restoran tempatnya bekerja. Sepertinya dia sudah melakukannya saat melapor padaku waktu itu. Padahal jelas-jelas aku sudah melarangnya.Namun sepertinya kali ini adikku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.Tak lama mobil Daryan muncul, setelah aku mengirimkan google maps alamat rumahku padanya. Begitu banyak bahan makanan yang dia bawakan. Semua sesuai pesananku."Aku beruntung, punya pacar anak orang kaya sepertimu." Aku terkikik geli, sambil menyusun rapi semuanya."Dan aku seperti duda yang ditinggal istrinya." Aku tertawa."Harusnya kau membelinya di pasar. Harga sayuran dan bumbu dapur jauh lebih murah di sana." Aku mengamati harga-harga yang menempel di tiap bahan."Jangan protes! Kartu ajaibku tidak akan berlaku di sana." Aku semakin tertawa.Awalnya aku hanya berniat meminta Daryan datang saat ingin menjemputku saja. Tapi karena tak Adit yang mengantarku pergi berbelanja, kuminta saja
Daryan merogoh saku celananya. Mengambil benda pipih yang tengah berdering. Aku tersenyum melihat ekspresinya yang kembali merasa terganggu."Ibumu?" tanyaku."Ya. Siapa lagi." Aku kembali tertawa."Kau ingin aku yang menjawabnya?" Aku menggoda. "Aku ingin memberitahunya, bahwa anak kesayangannya sedang bersamaku malam ini.""Jangan nekat, May. Ibuku tidak akan membiarkanmu begitu saja." Daryan sedikit menjauh, menerima panggilan itu.Mendengar nada bicara Daryan, sepertinya mereka terlibat perdebatan. Lalu diakhiri ucapan Daryan yang mengatakan dia akan segera pulang."Hati-hati di jalan. Ini sudah larut malam," pesanku saat mengantarnya ke depan pintu.Dia tersenyum mengangguk. Lalu pamit menuju mobil.*Udara begitu terik. Aku baru saja selesai melayani segerombolan mahasiswa yang antri untuk membeli minuman. Ada lebih dari sepuluh orang sekaligus yang memesan. Membuatku merasa puas, dan semakin bersemangat. Aku duduk di atas kursi tinggi yang aku letakkan di dalam booth container
Daryan hari ini sama sekali tak datang. Dia bilang kakak perempuannya sedang merayakan ulang tahun anaknya. Jujur aku merasa kecewa, nyatanya dia tidak mengajakku ikut serta. Aku tidak dianggap sama sekali.Padahal saat di hotel kakaknya terlihat ramah padaku. Berbeda sekali dengan perlakuan ibu mereka. Selain perangai, wajah mereka juga sangat berbeda. Meski kak Erin_ kakaknya_ begitu mirip dengan Daryan. Apa mereka berdua hanya mirip dengan ayahnya saja?Aku terlonjak kaget saat melihat siapa yang tiba-tiba muncul di depan pintu booth container. Ren datang lagi. Mungkin dari tadi mengawasi dan tak melihat Daryan ada di sini.Wajah itu kembali menatapku, semakin berani."Mau apa lagi, kau? Aku sudah tutup." Aku kembali bersikap ketus, sembari membereskan dan menyusun perlengkapan."Kau galak sekali. Kupikir hubungan kita sudah membaik sejak malam itu." Dia masuk tanpa kupersilakan."Apa yang kau lakukan?" Mataku membesar melihat dia yang semakin lancang."Membantumu.""Kau tidak perl