Share

Part 9

"Uangnya sudah aku kembalikan," lapor Daryan. 

"Ibumu bilang apa?"

"Dia bilang kau plin plan."

"Mana mungkin." Aku tergelak. "Itu pasti hanya karanganmu saja." Dia ikut tertawa.

Seperti itulah Daryan. Selalu tertutup tentang bagaimana keluarganya. Tak banyak yang dia ceritakan. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan pun hanya dengan senyuman dan kalimat-kalimat ambigu lainnya.

Kalau dipikir-pikir, lebih banyak aku yang mengeluh dibanding dia. Semua permasalahan keluarga aku ceritakan padanya. Tak ada lagi yang aku tutup-tutupi. Bicara pada orang itu membuatku merasa nyaman.

Sementara, pria berhidung mancung itu lebih banyak menutup rapat perihal siapa keluarganya. Yang dia ceritakan, hanya betapa kayanya mereka saja.

Dari barang-barang yang dipakai, juga kartu-kartu yang aku juga tidak paham fungsinya apa, aku tidak berpikir kalau dia sedang mengada-ada atau sekadar mengarang cerita.

Apalagi sejak bertemu ibunya. Juga pesta di hotel waktu itu. Semua nyata. Bukan khayalan atau sekedar kehaluan saja. Dia benar-benar dari keluarga kaya raya.

"Yan."

"Apa?"

"Waktu itu, kau sengaja mengupload foto agar aku datang, kan?" Aku memberi kesimpulan. Dia tersenyum kecil. Tak menampik.

Bagaimana tidak. Dia sudah hafal jam berapa biasa aku menutup dagangan. Saat itulah dia memajang foto di i*******m agar aku tahu dia dimana.

Pemuda yang mengaku sebagai anak bungsu itu pasti tahu kalau aku sedang berusaha mencarinya melalui semua akun. Untuk itu dia memberi sebuah petunjuk. Pantas saja, tak ada gurat keterkejutan di wajahnya saat bertemu denganku di sana. Bahkan sepertinya aku sedang dinantikan.

"Kau sengaja menungguku, kan? Bagaimana kalau aku tidak datang?"

"Kenapa? Karena sibuk pacaran?"

"Yan!"

"Iya, iya. Kau hanya pura-pura. Sudah ratusan kali kau mengatakannya."

Malam itu, aku menceritakan tentang kedatangan ibunya. Juga tentang sandiwaraku bersama Ren. Tentu saja tanpa mengadu bahwa wanita yang telah melahirkannya itu sudah menamparku dengan keras.

"Pria itu terlihat tampan. Kau yakin tidak merasakan apapun saat memeluknya?"

"Aku tidak memeluknya, Daryan. Dia yang mengambil kesempatan!" protesku.

"Tapi tetap saja dia terlihat menarik."

"Tidak sama sekali."

"Bagaimana kalau dia menyukaimu."

"Amit-amit." Aku mengusap perutku seperti wanita hamil yang takut anak dalam kandungannya mirip dengan orang yang dia benci. Daryan terkekeh.

Begitulah percakapan kami sepanjang jalan, saat Daryan mengantarku pulang. Aku juga bercerita bahwa laki-laki itu adalah Ren. Rentenir yang selama ini menagih hutang dengan garang padaku.

Sekian lama mengenalku, mereka memang tidak pernah saling bertemu. Ren memang selalu begitu. Seperti pengamat yang selalu mengawasi gerak-gerikku. Tak pernah datang saat jualanku sedang ramai. Lalu tiba-tiba muncul dengan wajah garang dan selalu mengintimidasi saat aku sedang sendiri.

Terkadang aku juga merasa ngeri. Takut jika dia akan melakukan tindakan kekerasan seperti debt collector pada umumnya. Untuk itu aku selalu bersikap kasar, agar dia tahu aku bukan wanita lemah yang bisa selalu ditakut-takuti. Meski sebenarnya rasa was-was itu memang ada saat melihatnya datang.

Kesalah pahaman terjadi saat Daryan datang keesokan harinya. Sebelum turun dari mobil, dia melihat Ren duduk di depan booth container. Penampilannya sama persis seperti yang ibunya ceritakan.

Gaya berpakaian Ren dan juga topinya membuat dia mudah untuk dikenali. Sebelumnya, tak pernah ada yang menghampiriku seperti itu selain Daryan. Karena itu dia mengambil kesimpulan, bahwa aku benar-benar telah berpacaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status