Share

BAB 5 BERITA KEMATIAN IBU ANNA

Tutup mulutmu! Tidak ada wanita yang bisa membuatku mabuk!”  Bentak Ray, sambil melayangkan tatapan tajam menusuk.

David mengangkat pundaknya. Ia tidak akan mendebat Ray, karena hanya akan semakin menyulut emosinya saja.

David menenggak anggur yang dipesannya. Sementara Ray menjentikkan jarinya ke udara memanggil pelayan bar datang menghampiri mejanya.

Seorang wanita dengan gaun yang terlihat kekecilan untuk ukuran badannya, sehingga membuat bagian dadanya menyembul, begitu pula dengan panjang gaunnya yang di atas lutut, seolah memang sengaja untuk menarik mata nakal lelaki melihatnya.

“Bawakan satu botol whiskey!” Perintah Ray.

“Tidak, Ray! Kau sudah banyak minum dan aku tidak mau menyeretmu keluar dari sini.” Tegas David.

Ia, kemudian memalingkan wajahnya ke arah pelayan yang berdiri di dekat mereka. “Untuk temanku, bawakan kopi hitam dan air putih saja!” ucap David.

“Pernikahan membuatmu menjadi cerewet, David!” Gerutu Ray.

David tertawa dengan keras, tetapi ia tidak marah. Ia tidak marah sama sekali kepada Ray. Ia ingin sahabatnya ini kembali, seperti dahulu tidak bersikap tertutup dan menjadi pria yang keras.

“Bagaimana pelayaranmu?” Tanya David, setelah selama beberapa saat mereka hanya diam saja.

Ray bersendawa dengan keras. Ia diam sebentar, sebelum menjawab pertanyaan dari David.

“Semuanya lancar, Sekarang kita harus bersiap menghadapi pameran kapal bulan depan, biar kita mendapatkan tender!” sahut Ray.

“Tentu saja, itulah sebabnya aku ada di kantorku untuk membuat rancangan kapal yang akan kita pamerkan!” ucap David.

Kopi yang dipesankan David untuk Ray datang. Ray pun menyeruput kopinya dengan pelan dan nikmat. Setelahnya ia meletakkan gelas kopinya yang kosong ke atas meja.

“Apa yang sedang mengganggu pikiranmu? Apakah ada masalah pada perusahaan yang tidak kau ceritakan kepadaku?” Tanya David.

Ray menyandarkan punggung pada sandaran kursi dengan mata yang terpejam. “Tidak ada masalah pada perusahaan! Aku hanya lelah saja!" ucap Ray.

 David mengamati wajah sahabatnya itu, yang terlihat dingin dan tak tersentuh. Ia menyembunyikan perasaan dan pikirannya dari orang lain.

“Sudah waktunya kau mulai membuka dirimu untuk seorang wanita. Berhenti mengingat apa yang sudah terjadi di masa lalumu!” Tegas David.

Mata Ray yang tadinya terpejam langsung saja terbuka dan menyorot marah kepada David. Rahangnya mengetat dengan kedua tangan yang mengepal di sisi tubuhnya.

“Aku sudah lama melupakan wanita itu! Wanita itu tidak berharga untuk kuingat!” Bentak Ray, sambil memukul meja yang ada di hadapannya dengan keras.

David mengacungkan dua jarinya meminta maaf. Ia lupa, kalau Ray masih sulit menerima, apabila ada yang membicarakan tentang mantan istrinya.

Ia merasa kasihan kepada wanita yang jatuh cinta kepada Ray nantinya, karena ia harus bersaing dengan bayangan masa lalu mantan istri Ray, selain itu juga dirinya pasti sedikit banyak akan dibandingkan Ray.

Walaupun ia merasa, kalau Ray tidak mengakui mantan istrinyalah yang telah membawa perubahan besar dalam hidupnya.

“Aku tidak mengerti, mengapa kau datang ke kantor hanya untuk mabuk saja. Biasanya sepulang dari berlayar kau akan mengurung diri di rumahmu yang terpencil dan dingin itu?” ujar David memecahkan keheningan.

Ray diam saja tidak menanggapi perkataan David, ia lebih memilih mengamati ampas kopi di gelasnya.

 David mendesah dengan keras, ia kesal karena Ray tidak menanggapi perkataannya. Sudah berapa kali ia memancing sahabatnya itu untuk membuka mulut, yang ada hanya dirinya saja yang banyak berbicara.

Ray mendesah dengan keras ia melihat ke sekeliling bar tersebut di mana banyak pelaut yang berkumpul, Bahkan ada yang baru datang dari melaut mencari ikan, sehingga aroma amis tercium dari badan mereka.

Ia mendengarkan perbincangan mereka yang merasa senang, karena berhasil mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Dahulu, ia akan bergabung dengan mereka, karena sama seperti mereka, sebelum dirinya menjadi sukses ia hanyalah putra dari seorang nelayan biasa.

 Itu dahulu, sebelum dirinya mendapatkan pengkhianatan yang menyakitkan dari orang-orang yang dipercayainya.

Sekarang ia menjaga jarak dan bersikap tertutup dari mereka semua. Ia tahu, kalau dirinya kini mendapatkan julukan sebagai ‘Tuan Dingin yang Sombong’ Namun, ia tidak peduli dengan julukan tersebut,

Tidak ada lagi percakapan yang tercipta di antara keduanya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

***

Anna berdiri di depan jendela sudah berjam-jam, Raut wajahnya terlihat cemas, karena ibunya belum juga kembali dari perginya.

‘Seharusnya tadi aku saja yang pergi berbelanja. Mengapa aku tidak bersikeras melarang Ibu?’ batin Anna.

Dengan tubuh yang lemah, karena ia sedari siang tadi tidak dapat menelan makanan. Ia terus saja terbayang sikap kasar Ray kepadanya dan tidak mengerti apa yang membuat pria itu sampai berlaku kasar kepadanya.

Tidak ingin terlihat Ray kembali dan mendapatkan kemarahan darinya. Anna berjalan menuju pondok khusus untuk pelayan, yang terletak di luar rumah utama ini.

Ia sudah menyalakan lampu teras, karena hari memang sudah gelap. Namun, alangkah terkejutnya Anna.

Begitu pintu dibuka berdiri di depan pintu dua orang petugas polisi. Karena asyik melamun tadi, ia sampai tidak mendengar ada mobil polisi yang berhenti di depan rumah.

“Selamat malam! Apa ada keluarga dari Nyonya Marie Smith?” Tanya salah seorang polisi itu.

“Saya putrinya, ada apa dengan ibu saya?” sahut Anna dengan jantung yang berdebar kencang.

Petugas polisi itu melihat Anna dan diam sebentar. Tatapan wajahnya melihat Anna dengan kasihan.

“Mereka kalian hanya diam saja! Cepat katakan ada apa dengan ibu saya?” Tanya Anna tidak sabaran, setelah selama beberapa saat petugas polisi itu hanya diam saja.

Terdengar helaan napas yang berat dari salah seorang petugas polisi itu. “Maaf, kami harus menyampaikan kabar buruk untuk Anda! Apakah ada seseorang yang bersama Anda pada saat ini?” Tanya petugas polisi itu.

“Saya harap Anda bisa kuat dan sabar. Kami harus memberikan kabar duka, kalau ibu Anda meninggal dunia, karena mengalami kecelakaan tunggal dan pada saat ini jenazahnya masih berada di rumah sakit untuk menjalani otopsi!” Terang salah seorang polisi tersebut.

“Kalian pasti berbohong! Tidak mungkin ibuku meninggal! Ia pasti baik-baik saja dan sedang dalam perjalanan pulang ke sini!” Teriak Anna histeris.

Kaki Anna terlihat goyah, sebelum pada akhirnya ia condong ke depan hendak jatuh ke lantai, karena pingsan. Namun, salah seorang petugas polisi itu dengan sigap menangkap badan Anna mencegahnya jatuh.

“Sudah kuduga, ia akan jatuh pingsan melihat kondisinya yang begitu payah. Kasihan sekali wanita muda ini, ia terlihat tertekan,” ucap salah seorang petugas polisi itu.

Tubuh tak sadar Anna, kemudian dibopong dan dibaringkan di atas sofa panjang yang ada di ruang tamu tersebut.

“Terpaksa kita harus menunggu gadis ini sadar dari pingsannya,” ucap petugas polisi yang tadi membopong Anna.

Pada akhirnya, Anna sadar dari pingsannya. Dipijatnya pelipisnya yang terasa pusing. Begitu melihat wajah kedua polisi yang duduk tidak jauh darinya Anna kembali teringat apa yang membuatnya pingsan.

“Tolong, antarkan saya ke rumah sakit, Pak! Saya tidak mempunyai mobil.” Satu-satunyna mobil yang ia punya dibawa ibunya, yang ternyata mengalami kecelakaan.

Anna mencoba untuk bangkit dari duduknya, meskipun badannya masih sedikit limbung.

Petugas polisi itu pun dengan cepat bangkit dari duduknya dan salah seorang dari mereka membantu Anna berjalan keluar rumah tersebut.

“Apakah Anda pemilik rumah ini?” Tanya petugas polisi itu, sambil berjalan keluar.

Anna menggelengkan kepala. “Saya hanya seorang pelayan di rumah ini, Pak!” sahut Anna.

Petugas polisi itu pun mengangguk mendengarkan apa yang dikatakan oleh Anna. “Apakah majikan Anda berada di tempat?” Tanya petugas polisi itu lagi, sambil melihat ke arah tangga menuju lantai dua yang terlihat gelap.

“Saya tidak tahu, Tuan saya pergi sejak kemarin siang dan saya tidak mengenalnya sama sekali, karena saya baru beberapa hari bekerja di rumah ini dan tuan saya baru saja pulang dari bepergian.” Terang Anna, sambil menggenggam jemarinya.

Petugas polisi itu hanya diam saja tidak lagi bertanya kepada Anna. Mereka bisa mencari tahu sendiri di mana majikan Anna pada saat ini berada.

Mereka bertiga masuk mobil patroli polisi menuju rumah sakit. Clara duduk di jok belakang ia duduk dengan diam. Namun, pikirannya melayang pada apa yang harus dilakukannya, setelah ibunya meninggal dunia.

Sesampainya mereka di rumah sakit mereka semua langsung menuju kamar jenazah di mana jasad ibu Anna yang sudah selesai dilakukan otopsi berada.

Tangan Anna bergetar hebat ketika menggenggam kenop pintu kamar mayat tersebut. Ia terlihat gugup dan takut melihat kenyataan, kalau memang benar ibunya yang berada di dalam kamar mayat tersebut.

“Masuklah! Dan lihat apakah memang benar mayat yang berada di dalam sana adalah ibu, biar kau tidak memiliki keraguan lagi!” ucap salah seorang petugas polisi yang menemani Anna.

Anna menggangguk, lalu diputarnya pegangan pintu tersebut. Ia, kemudian berjalan masuk menuju ruangan dengan pencahayaan temaram tersebut.

Langkah kaki Anna terasa berat, tetapi ia tetap memaksakan dirinya untuk mendekat ke arah meja di mana terlihat tubuh yang tertutup kain berwarna putih.

Begitu sudah berada dekat dengan tubuh yang tertutup kain itu. Dengan tangan yang bergetar hebat ia pun membukanya.

Air mata Anna langsung pecah, begitu melihat memang benar ibunyalah yang berada di balik penutup tersebut.

Anna memeluk tubuh dingin yang sudah terbujur kaku itu. ‘Ibu! Mengapa kau tinggalkan aku sendirian saja? Apa yang harus kulakukan sekarang?’ lirih Anna, sambil memeluk Ibunya.

Kedua polisi yang menemani Anna, setelah diam selama beberapa saat melihat Anna. Keduanya, kemudian perlahan mundur untuk memberikan privasi kepada Anna.

Beberapa saat berselang Anna pun sudah merasa tenang. Ia melepskan pelukan di tubuh Ibunya, kemudian ia mencium wajah ibunya, sebelum ditutupnya kembali badan ibunya, dengan kain.

Dengan mata yang sembab dan tubuh bergetar hebat Anna berjalan keluar dari kamar jenaxah tersebut.

Dilihatnya dua orang polisi yang tadi mengantarkannya masih berdiri di dekat pintu kamar jenazah.

“Sekarang kami akan membawa anda ke kantor polisi untuk menandatangani beberapa dokumen. Yang terkait dengan kematian ibu Anda,” kata salah seorang dari polisi itu.

Anna menganggukkan kepalanya mengerti. Ia, lalu mengikuti kedua polisi itu menuju parkiran.

Tubuh Anna terasa melayang, kepalanya pusing dan perutnya yang belum menyentuh makanan berbunyi nyaring.

Kedua polisi yang bersama Anna melihat ke arahnya. Namun, Anna yang sedang melamun dan berjalan, bagaikan robot tidak menyadarinya.

“Kita akan singgah ke kantin yang ada di rumah sakit ini  terlebih dahulu mencari makanan untukmu,” ujar salah seorang polisi itu dengan senyum di bibirnya.

Anna hanya mengangguk saja, seakan ia tidak memiliki pendapat sama sekali. Dirinya berjalan mengikuti kedua polisi itu berjalan dengan langkahnya yang pelan.

Seesampaiya di kantin tersebut mereka duduk di depan sebuah meja yang kosong. Seorang pelayan datang menghampiri mereka untuk mencatat pesanan ketiganya. Kedua polisi itu sudah menyebutkan pesanan mereka, tetapi Anna hanya diam saja.

“Pesanlah, Nona Smith! Anda perlu makan, biar tubuh Anda menjadi kuat,” tegur salah seorang polisi itu.

“Saya tidak lapar dan tidak memiliki napsu makan sama sekali!” sahut Anna lemah.

“Kamu harus makan, biar bagaimanapun juga banyak hal yang harus kamu urus, kalau kamu sakit siapa yang akan mengurusmu dan juga pemakaman ibumu?” Tanya salah seorang polisi itu.

Akhirnya dengan terpaksa Anna pun memesan makanan, meski ia tidak tahu apakah akan sanggup menelan makanan tersebut.

***

Ketika pagi menjelang Ray dan David keluar dari bar tersebut menuju perusahaan. Namun, Ray tidak kembali ke kantornya ia menghampiri petugas keamanan yang berjaga dan mengatakan, kalau dirinya akan pulang.

“Tunggu sebentar, Bos! Akan saya bawakan mobil Anda.” Petugas keamanan tersebut bergegas menuju basement parkiran untuk mengambilkan mobil Ray.

Tak lama berselang, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tidak jauh dari tempat Ray berdiri.

Ray mengucapkan terima kasih, kepada petugas keamanannya, kemudian ia masuk mobil, lalu melajukannya menuju jalanan yang terlihat lengang.

Dengan kecepatan tinggi ia mengemudikan mobilnya menuju rumah. Wajahnya terlihat dingin dan tidak memperlihatkan emosi apapun juga.

Tak berselang lama, kemudian ia pun sampai juga di rumahnya yang terlihat suram dan dingin.

Dimatikannya mesin mobil, setelahnya ia pun turun dari mobilnya. Dengan langkah kakinya yang panjang Ray sudah berdiri di depan pintu rumahnya tersebut.

Diputarnya pintu rumah, yang terbuka dengan mudahnya tanpa ia perlu memasukkan kunci terlebih dahulu.

‘Sialan wanita itu beraninya ia tidak mengunci pintu rumah!’ gerutu Ray. Ia berjalan masuk rumah dengan kemarahan yang terlihat di wajah dan rahangnya.

Ruangan yang gelap dan amarah membuat Ray tidak memperhatikan langkahnya, sampai ia tersandung sesuatu yang tidak pada tempatnya.

“Anna, sialan! Apa kamu berniat membuatku celaka!” Teriak Ray dengan suara yang menggema di rumahnya yang besar dan megah tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status