Mataku masih menatap ke arah belakang rumah Pak Cipto. Siapakah wanita berbaju merah itu? Jalannya tertatih-tatih, seperti merasakan sakit yang luar biasa. Bukan, bukan Mbak Anggun. Aku tau bagaimana postur tubuh Mbak Anggun.
Mbak Anggun tinggi semampai, dan yang aku lihat ini berperawakan kecil mungil. Mungkin tingginya hanya 155 centimeter saja.Teman-temanku yang lainnya pun ikut menengok ke belakang rumah Pak Cipto."Mm--Mba Wuri," ucap Hanif terbata.Hah, Mba Wuri? Bukankah katanya Mbak Wuri sudah meninggal. Aku memang jarang sekali melihat Mba Wuri jika liburan ke desa ini, satu atau dua kali aku pernah bertemu dengan Mba Wuri. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih."Nggak usah bercanda deh. Lu bilang Mbak Wuri udah meninggal kan? Bagaimana bisa orang itu adalah Mbak Wuri," ucap Intan panik."Tapi itu beneran Mbak Wuri, gue hafal banget sama postur tubuhnya." Hanif tetap pada pendiriannya kalau itu Mbak Wuri."Udah pada nggak usah ngaco! Nggak usah dilihatin. Pura-pura nggak lihat aja. Coba, Mel. Telepon Kakek lu, bilang udah sampai di mana," ucap Ridwan.Aku dan lainnya pun mengikuti saran Ridwan, agar tak terfokus pada seseorang di belakang rumah Pak Cipto dan segera mentelepon Kakek.[Assalamu'alaikum, Paklik. Paklik udah di mana sekarang? Aku udah sampai rumah sama teman-temanku.][W*'alaikumsalam. Ini sedang di perjalanan jam 7 mungkin sampai, kamu tunggu saja.][Aku tunggu di luar, Paklik, nggak berani masuk ke dalam. Paklik, anaknya Pak Cipto yang namanya Mbak Wuri udah meninggal kan?] tanyaku pada Paklik.[Iya, memang sudah meninggal. Kenapa memangnya?][Ka--kami melihat sosok Mbak Wuri di bekalang rumah Pak Cipto, jalan tertatih. Kami takut Paklik,][Allah ... tidak usah takut, kamu baca-baca doa saja bersama teman-temanmu. Tunggu Paklik!][Baik, Paklik. Ya sudah kami tunggu di rumah. Assalamu'alaikum.][W*'alaikumsalam.]Praangg ....Dari arah rumah Pak Cipto ke gaduhan itu terdengar. Seperti orang yang sedang bertengkar dan melemparkan barang-barang.Kami semua mengernyit, menatap ke rumah Pak Cipto. Rumah itu gordennya selalu ditutup rapat, pintu pun selalu ditutup. Seperti tidak ada orangnya saja."Jangan bilang siang-siang gini setannya muncul lagi, ya. Gue udah engos-engosan nih dikejar-kejar demit mulu. Ampuunn deh," oceh Intan."Huuusss ... Lu nya juga jangan apa-apa mikirnya setan mulu. Lebih baik kita berdoa saja, semoga tidak ada apa-apa lagi," ujarku. Lalu kami semua berdoa bersama membaca ayat-ayat suci Allah. Tak berapa lama suara-suara ke gaduhan itu pun menghilangHm ... kalau dipikir-pikir, semenjak malam resepsi Bang Arif dan Mbak Anggun kok tidak pernah keluar rumah ya? Ke mana mereka pergi. Atau mereka ke rumah ibunya Mbak Anggun. Tapi, kemarin malam Mbak Anggun datang dengan keadaan yang memprihatinkan. Apa benar itu Mbak Anggun atau hanya jin yang menyamar seperti Mbak Anggun?Ah, kepalaku kembali berdenyut. Terlalu banyak misteri dan teka-teki di desa ini yang harus dipecahkan.Terlihat dari jauh Pak Muklis sedang berjalan ke arah kami, sambil membawa kantong plastik hitam besar. Mungkin ia ingin ke kebun.Lah ... kok plastiknya malah bergerak-gerak begitu isi di dalamnya. Sebenarnya Pak Muklis membawa apa di dalam plastik itu."Mau ke mana, Pak Muklis?" tanya Ridwan ramah."Ini mau ke sungai," jawab Pak Muklis datar."Itu apaan, Pak, di dalam plastik. Kok bergerak-gerak gitu. Berat banget lagi kayanya," ucap Ridwan lagi sambil memperhatikan plastik itu."Ini bangkai.""Hah! Bangkai apa, Pak?" tanya Yuni terkejut dengan ucapan Pak Muklis."Bangkai kambing saya. Mau saya kubur di kebun dekat sungai sana." Jari Pak Muklis mengarah ke kebun."Oh, ya sudah, Pak. Silakan dilanjutkan penguburannya," sahut Hanif.Mata kami masih tak lepas menatap bungkusan yang dibawa oleh Pak Muklis. Kalau memang bangkai kambing, lalu kenapa bisa bergerak-gerak seperti itu. Apa kambingnya hidup lagi? Aneh.Deru mesin mobil terdengar. Ternyata itu mobil temannya Paklik. Ah, untung mereka sampai lebih cepat."Assalamu'alaikum.""W*'alaikumsalam." Aku dan teman-temanku juga Intan mencium takzim tangan Kakek, Nenek dan Paklik."Udah lama kalian di sini?" tanya Kakek."Lumayan, Kek," jawab Intan."Ayo masuk!" ajak Kakek.Kemudian Kakek membuka kunci pintu dan kami segera masuk ke dalam rumah."Ambilkan termos teh manis, Nduk, Nenek haus!" suruh Nenek.Aku langsung mengambilkan termos teh manis di dapur. Ah, lagi-lagi aku parno akibat kejadian kemarin. Walaupun aku bisa melihat mereka yang tak kasat mata. Bukan berarti aku ini benar-benar berani untuk melihat mereka kan? Apalagi kalau wujudnya mengerikan seperti itu. Selain seram aku pun mual jika sosoknya dalam keadaan hancur.Aku terburu-buru mengambil termos dan beberapa gelas itu di dapur dan langsung kembali ke ruang tamu. Setelah itu aku menaruhnya di atas meja yang sudah tersedia beberapa toples cemilan."Sebenarnya semalam ada kejadian apa?" tanya Kakek dan Paklik Mulyono.Aku pun langsung menceritakan kejadian semalam yang hampir membuatku mati muda. Irma dan Intan pun ikut menceritakan kejadian itu. Kakek, Paklik dan Nenek manggut-manggut mendengarkan cerita kami."Sebetulnya dari sebulan yang lalu Kakek sudah mencurigai seseorang. Tapi Kakek nggak berani main tuduh aja tanpa bukti," ucap Kakek sambil menghela napasnya."Siapa, Kek?" tanyaku penasaran."Apa Pak Cipto dan keluarganya?" tanyaku lagi.Kakek hanya diam sembari menatapku."Nanti saja, Kakek dan Paklik-mu ingin mencaritahu kebenarannya terlebih dahulu. Kami mau cari bukti. Kemarin malam kami juga dihadang oleh kepala buntung di jalanan dekat pohon bambu. Sepertinya itu tubuh pria," jelas Kakek."Sama, Kek. Aku dan juga Melly diteror sama kepala buntung," ujar Intan.Paklik menatap wajah Kakek sangat serius sekali. Begitupun Kakek, sepertinya mereka bicara dengan menggunakan bahasa tubuh. Entahlah."Apa itu Erwin?" celetuk Ridwan tiba-tiba.Kami semua langsung menolek ke Ridwan. Erwin siapa? Siapa yang di maksud Ridwan."Bisa jadi itu Erwin," sahut Paklik."Erwin siapa, Kek?" tanyaku yang mulai bingung dengan arah pembicaraan mereka."Erwin anaknya Purnomo yang tiba-tiba meninggal dalam keadaan kepala yang sudah terputus. Setelah diselidiki polisi tidak ada jejak sama sekali, ini bukan kasus pembunuhan secara langsung. Tapi ilmu hitam," ujar Kakek tegas. Napasnya langsung memburu, seperti menahan kesal yang mendalam."Kakek kenapa nggak ceritain semua ini sama aku dan Intan?" "Untuk apa menceritakan padamu? Kamu itu rasa ingin tahunya besar. Kalian semua ngeyel kalau dibilangin sama orang tua. Suka melawan. Kakek bilang B tapi kalian tetep pilih A.""Pasti habis ini kalian ingin mencaritahu kebenarannya bukan? Sudah hapal Kakek tuh sama jalan pikiran kalian," ucap Kakek lagi.Ucapan Kakek memang benar, aku Intan dan juga teman-temanku suka ngeyel kalau dikasih tahu sama Kakek ataupun Nenek dan Paklik. Tapi, selama ini apa yang kami lakukan hanya ingin ungkap sebuah kebenaran dan fakta. "Kami memang mau minta izin sama Kakek, Nenek dan juga Paklik Mulyono untuk mencaritahu ada apa sebenarnya dengan kampung kita ini," ucap Ridwan sambil menunduk."Benar kan yang Kakek bilang, kalian memang ngeyel. Nggak bisa dibilangin, apa kalian mau jadi korban selanjutnya, hah?" intonasi bicara Kakek mulai meninggi. Kami semua langsung terdiam, tak lagi berani untuk menyahuti ucapan Kakek. Jika disahuti Kakek akan tambah marah."Benar, Mel, kamu mau caritahu sama apa yang terjadi sama desa kita ini?" ucap Kakek tegas."I--iya, Kek,""Nggak takut mati kamu, Mel?!" bentak Kakek.Aku tak mampu lagi menahan air mataku saat Kakek membentakku seperti ini. Semuanya akan diam jika Kakek sudah marah."Nggak, Kek. Karena aku punya Allah," lirihku."Kalau kamu nggak takut mati. Kami yang takut kehilanganmu!" Kakek menggebrak meja lalu masuk ke dalam kamar.Paklik menatapku sendu, lalu menggelengkan kepalanya. Setelah itu masuk ke dalam kamar Kakek. Sedangkan Nenek langsung merengkuh tubuhku. Nenek menangis. 'Sebenarnya ada apa ini. Jangan membuatku makin penasaran dengan semuanya,' Batinku."Nenek ... Aku hanya ingin membantu warga desa saja, Nek. Apa aku salah? Aku mau kampung ini kembali damai seperti dulu. Sekarang coba Nenek lihat. Kampung kita banyak diteror oleh arwah penasaran. Mungkin saja arwah-arwah itu ingin meminta tolong pada kita yang peka dengannya."Nenek kemudian mengusap kepalaku dan menciumnya sembari menangis."Kamu nggak salah, Nduk. Niat kamu dan lainnya memang bagus. Tapi kami mencemaskan kalian. Coba kalian pikir. Jika kalian menyelidiki ini, dan orang yang sebenarnya menggunakan ilmu hitam tahu bahwa kalian sedang mencoba mengungkapan misteri ini. Apa dia nggak aka marah dan menargetkan kalian jadi korban selanjutnya? Itu yang kami khawatirkan," ucap Nenek sembari menghapus air matanya."Tapi, Nek ....""Ilmu hitam harus dilawan dengan ilmu putih. Bukan dengan rasa penasaran kalian," ucap Nenek lagi.Setelah itu Nenek pun pergi ke kamarnya."Ilmu putih, maksudnya gimana?" tanya Yuni."Entah, tanya aja sama Nenek," jawabku malas.Bersambung ....Gimana? Makin penasaran nggak sama jalan ceritanya? Banyak tokoh yang harus diselidiki nih hehe😁😁Setelah Nenek masuk ke dalam kamar. Kini di ruang tamu hanya ada aku, Intan dan teman-temanku saja."Masih mau diterusin, Mel?" tanya Intan."Masih, emang lu mau desa ini di teror terus tiap hari. Entar lama-lama nama desa ini bukannya desa Indah Permai lagi. Tapi desa sarang hantu," sahutku."Hiihhh ... serem amat itu omongan." Intan bergidik ngeri."Ya udah, lebih baik kita coba omongin lagi sama Kakek baik-baik. Semoga Kakek izinin, atau kalau nggak kita selidiki bareng-bareng sama Kakek dan Paklik Mulyono," ucap Ridwan memberi ide."Nah, ide yang bagus tuh, Mel," ujar Hanif menimpali dan disetujui oleh teman-teman lainnya.Aku masih diam tak merespon, tapi ide yang dibilang Ridwan boleh juga sih. Kenapa tidak kami selidiki saja bersama Kakek dan Paklik. Setelah nanti ketahuan siapa yang bersekutu dengan iblis, barulah kami akan panggil Ustaz Fiqih."Ya udah nanti gue pikirin dulu ide dari lu, Wan," ujarnya."Nah, gitu dong. Ya udah kita balik dulu ya, lu coba ngomongnya baik-baik
"Ora usah ngeganggu, wong mati iku ngegone wis udu neng dunyo maneh.Opo kowe mati digawe tumbal?" tanya Kakek.(Nggak usah mengganggu, orang mati tempatnya bukan di bumi lagi. Apa kamu mati karna dijadikan tumbal?)Aku, Intan, Irma saling merangkul karena ketakutan. Kakek, Paklik, menjagaku dari depan sedangkan Hanif dan Ridwan menjaga di belakang. "Kowe podo weruh sirahku ora, hah?" Lagi suara lirih dari sosok tanpa wujud itu menanyakan di mana kepalanya.Grookk ....Bug!Seperti suara orang yang digorok lehernya sampai kepalanya putus. Allah ... kenapa banyak sekali gangguannya ketika kami ingin tahu siapa orang yang ke sungai itu.Kami semua langsung berdoa membaca ayat kursi dan surah-surah lainnya. Intan membaca ayat kursi dengan suara yang bergetar dan menahan tangis.Arrggghh ....Teriak-teriakan itu menggema di kebun tebu ini, teriakan kesakitan serta rintihan yang menyayat hati."Sepertinya kita tidak bisa meneruskan untuk memata-matai sekarang. Apalagi turun hujan rintik-
Setelah Ustaz mengusapkan air ke wajahku, aku jadi sedikit lebih tenang. Nenek langsung mendekapku dan mengusap rambut hitamku yang dikuncir kuda.Hoeeekk ....Hoeeekk ....Tuti kembali memuntahkan darah segarnya, kali ini ia muntah lebih banyak. Matanya kini sendu setengah terpejam.Grookkk!Grookkk!Tuti menggelepar seperti ikan yang kehabisan air, serta menyuarkan seperti lehernya tengah di gorok seseorang."Aarrrghh ... sakit, Bu," teriak Tuti. Matanya masih mendelik ke atas, napasnya mulai sesak. Tuti menghembuskan napas terakhirnya dengan mulut menganga, serta mata yang melotot menatap ke atas langi-langit rumah."Innalillahi wainnalilahirojiun ...," lirih suara Pak Ustaz sambil mengusap mata Tuti yang mendelik ke atas."Maksud Pak Ustaz apa ngomong kaya gitu?" ucap Pak Guntur dengan suara bergetar."Tuti sudah pergi, Pak Guntur. Mohon untuk di ikhlaskan kepergiannya." Pak Ustaz berkata sambil mengusap bahu Pak Guntur."Nggak mungkin anakku mati." Pak Guntur langsung mendekap tu
Seminggu sudah kematian Tuti, kini desa kembali sepi. Jika malam-malam kemarin ramai. Itu karena warga mengadakan tahlilan selama seminggu untuk tuti.Suara burung Gagak terdengar jelas di luar rumah. Bau kembali melati menguar kembali.Kakek dan Paklik sedang berada di ruang tamu. Mereka sedang asyik menyesap masing-masing kopinya."Pertanda apa lagi ini, Pak?" tanya Paklik pada Kakek."Semoga aja nggak terjadi apa-apa lagi," jawab Kakek sambil menyesap kopinya."Burung Gagak rupanya daritadi selalu bolak-balik, perasaanku jadi nggak tenang.""Berdoa saja semoga hal yang buruk tidak terjadi!"Aku dan Intan mendengarkan pembicaraan mereka di ruang tv. Ruang tamu dan tv itu jaraknya sangat dekat. Jadi aku bisa mendengarkan semuanya pembicaraan Kakek dan Paklik."Mel, tinggal di sini kaya uji nyali ya kita?" kata Intan."Hemm ... begitulah,""Aku gregetan lho siapa dalang dibalik semua ini!" sungut Intan."Lho, aku pun sama!""Kepalaku rasanya mau meledak ini, aku banyak yang aku curiga
Suara sirine ambulance datang ke TKP serta beberapa mobil polisi pun datang.Orang tua Yuni tak hentinya menangis, apalagi ibunya Yuni yang jatuh pingsan berkali-kali.Saat tubuh Yuni diangkat dan ditaruh di pembungkus mayat berwarna orange, ada bagian anggota tubuh yang jatuh. Ternyata mata Yuni yang jatuh.Astagfirullah ... begitu tragis sekali kematianmu, Yun. Aku masih nggak nyangka kalau kamu bakalan pergi secepat ini."Ayo kita pulang!" ajak Kakek.Kakek membantuku untuk berdiri, rupanya Kakek dan Paklik datang mengendarai mobil temannya tempo hari."Kok pakai mobil, Kek?" tanya Intan."Ada teman Paklik mu datang, jadi kami pinjam."Kami pun langsung masuk ke dalam mobil, aku dan Intan duduk di belakang. Lalu Paklik pun mengendarai mobilnya. Motorku dititipkan di rumah ibu-ibu yang kutumpangi, nanti akan diambil lagi sama Paklik."Kok bisa Yuni tertabrak?" Paklik membuka pembicaraan."Nggak ngerti aku. Tau-tau dari arah belakang bunyi dentuman dan Yuni langsung terkapar di dekat
Nanti malam adalah malam tahlilan ke tiga Yuni. Karena dua hari lalu aku dan Intan tidak datang ke sana di karenakan aku masih belum sehat. Maka malam ini aku memutuskan untuk menghadiri tahlilan ke 3 hari Yuni. Aku dan Intan juga akan datang dengan Ayah kami dan juga Kakek dan Paklik."Badan kalian udah benar-benar enakan belum, Nduk? Kalau belum sebaiknya nggak usah ikut," saran Kakek."Udah sehat, Kek. Aku juga ingin bertemu ibunya Yuni. Aku ingin menguatkan beliau," ucapku."Ya udah kalau gitu, ayo kita siap-siap!"Aku dan Intan langsung ke kamar untuk berganti pakaian dan memakai hijab instan.Setelah selesai berganti baju, kami pun kembali ke ruang tamu."Ayo, kami udah siap!" ujar Intan.Kami pun langsung masuk ke mobil ayahku, dan menuju ke rumah Yuni.***Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit, kami pun sampai di pelataran rumah Yuni.Setelah Ayah memarkirkan mobilnya, kami pun turun bersamaan."Assalamu'alaikum," ucap kami."Wa'alaikumsalam,"Kakek, Paklik, Ayah l
Pagi ini ponselku terus bergetar, ternyata banyak pesan di WAG yang masuk. Mereka telah merencanakan apa-apa saja untuk nanti malam. Ya, nanti malam adalah malam jum'at. Sesuai kesepakatan, kami akan bermain Jelangkung untuk memanggil para arwah korban tumbal.Hanif sudah mempersiapkan semuanya untuk nanti malam. Mulai dari boneka yang dibuat dari batok kelapa serta bambu, dibuat sedemikian rupa hingga menjadi boneka Jelangkung. Hanif juga sudah mengirim lokasi untuk nanti malam.Aku bingung mencari alasan apa untuk keluar nanti malam. Apalagi keadaan kampung lagi genting seperti ini. Apakah aku dan Intan dibolehkan untuk keluar."Tan ... ki ngoncekno brambang!" pinta ibunya.(Tan ... ini kupasin bawang!)"Nggih, Bu!" jawab Intan.Intan langsung mengupas bawang merah, dan mengirisnya tipis-tipis untuk dijadikan taburan sup ayam nanti. Sedangkan aku sibuk memotong sayurannya.Tring!Tring!Ponselku berdering. Hanif mengirimkan hasil boneka Jelangkung yang ia bikin."Bagaimana?" tanya H
Makhluk seram itu menggeram seperti marah. Angin terus saja berhembus semakin kencang. Lolongan anjing saling bersahutan. Benar-benar malam jum'at yang mencekam."Gimana ini, Mel?" tanya Intan dan Irma panik."Kita berdoa, semoga semuanya baik-baik aja!" jawabku.Kami semua berdoa, memohon perlindungan kepada Allah. Hanif, Ridwan dan Kak Sarah masih terus memegang boneka Jelangkung itu.Terdengar deru napas yang memburu dari belakangku. Tengkuk leherku meremang kala seperti orang yang meniupkan angin.Allah ... sekita badanku melemas ketika kutengok siapa di belakangku. Yuni ada di belakangku.Lebih tepatnya arwah Yuni ada di belakangku. Dengan kepala yang h4ncur serta bola mata yang menjutai ke bawah."Bebas ... bebaskan jiwa-jiwa yang terbelenggu!" ucapnya lirih.Yuni memandang tajam ke arah kami semua. Tatapannya nyalang seakan penuh dendam, kobaran api kebencian terlihat di rawut wajahnya."Yu--Yuni, siapa yang membunuhmu?" tanya Irma dengan nada gemetar, serta tangis yang tertah