Share

SIAPA WANITA BERBAJU MERAH?

Setelah kejadian semalam. Akhirnya kami semua memutuskan untuk menginap di kediaman Kak Sarah. Ridwan dan Hanif tidur di ruang tamu, dan kami para wanita tidur di kamar Kak Sarah. Kamar Kak Sarah lumayan besar, sehingga bisa menampung kami semua. Untungnya Kak Sarah tidak menggunakan ranjang pada kasurnya. Kasur springbed ia letakan di lantai atau lesehan. Kak Sarah bilang, ia takut jika menggunakan ranjang kasur. Takut di bawahnya ada penampakan. Dan subuh ini kami para wanita salat jama'ah di rumah. Sedangkan para lelaki berjama'ah di musala desa.

"Mel ... ambil wudhunya barengan, gue takut!"

"Ya Allah, Tan. Udah subuh kali, setan juga kaga ada subuh-subuh mah," ucapku kesal pada Intan.

"Bodo amat! Pokoknya bareng. Kalau nggak bareng gue nggak jadi salat!" cetusnya.

"Hilih, semprul! Mau jadi titisan setan lu nggak salat? Ya udah ayo bareng."

Kemudian aku dan Intan berbarengan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Salat pun dipimpin oleh ibunya Kak Sarah.

"Assalamu'alaikum Warahmatullah ...."

"Assalamu'alaikum Warahmatullah ...."

Setelah selesai salat dan berdoa, tak lupa kami berzikir dan mendoakan untuk arwah-arwah tetangga yang meninggal secara tak wajar. Kami pun membereskan mukena dan sajadah ke tempat semula.

"Laper aku. Nggak ada yang jual nasi uduk kah di sini," tanya Intan sambil memegangi perutnya.

"Nggak ada, Nduk. Kita bikin sarapan sendiri aja ya di dapur. Bikin mendoan sama nasi goreng aja dan teh manis hangat," ucap Ibu Kak Sarah.

Kami semua membagi tugas di dapur. Ada yang memotong tempe dan tahu untuk mendoan. Ada yang mengulek bumbu untuk nasi goreng. Dan aku kebagian untuk membuatkan teh hangat dan menggoreng kerupuk. Sedangkan Intan kebagian untuk mencuci piring bekas makan semalam hahaha.

"Owalaah, nasib ... nasib ... cantik-cantik gini kebagian nyuci piring," keluhnya sambil mengubek-ngubek sabun cuci piring.

"Nggak usah ngedumel. Wong di rumahmu aja sering jadi Inem kan? Sok cantiikkk," ledekku yang membuat Intan tambah kesal.

Para lelaki belum kembali dari musala desa. Mungkin sedang berdoa atau mengobrol di sana, membicarakan teror di desa ini. Oiya, aku sampai lupa kalau Paklik, Nenek dan Kakek akan pulang pagi ini. Lebih baik aku telepon Paklik dulu.

"Yun, tolong gantiin sebentar dong. Aku mau telepon Paklik-ku dulu," 

"Hokey, dah sana telepon!" Yuni kemudian mengambil alih tugasku sebentar. Aku lalu mengambil ponselku di kamar Kak Sarah.

Aku mencari kontak nomor Paklik di ponselku, kemudian menghubunginya.

Tut ....

Tut ....

Tut ....

[Halo, Assalamu'alaikum, Paklik. Paklik pulang jam berapa?] tanyaku pada Paklik di sebrang telepon.

[W*'alaikumsalam. Jam 6-an kami berangkat dari sini. Gimana keadaan kalian? Ini Kakek sama Nenek mau ngomong. Paklik loudspeaker saja ya!] Kemudian Paklik men-loundspeaker ponselnya agar Kakek dan nenekku pun mendengar.

[Mel, kamu lagi di mana sekarang?] Tanya Kakek dan Nenek.

[Di rumah Kak Sarah sama teman-temanku. Ada Ridwan dan Hanif juga, Kek, Nek. Untung semalam ada dua cowok itu. Coba kalau tidak? Kami semua cewek akan lebih kalang kabut. Benar-benar diteror lho kami,] ucapku menjelaskan.

[Semalam hujan deras begitu, kamu nekat keluar rumah?]

[Lah, iya, Kek. Bisa mati berdiri aku kalau diam terus di rumah. Ya sudah kalau Kakek sudah mau pulang kabari aku. Biar aku pulang juga. Kakek bawa kunci serepnya, Kan? Takutnya pas Kakek udah sampai aku belum di rumah.]

[Iya Kakek bawa. Ya sudah nanti Kakek kabarin lagi. Assalamu'alaikum,]

[W*'alaikumsalam.] Telepon pun terputus.

Aku kembali ke dapur untuk meneruskan pekerjaanku tadi.

"Sini biar gue goreng lagi," ucapku pada Yuni.

"Dah kelar. Udah sana siapin teh hangat aja!" suruhnya padaku. Aku langsung membuat teh manis di dalam termos. Rata-rata di kampung ini, teh manis akan dibuat dan ditaruh di dalam termos agar mudah menyajikannya jika ada tamu. Tak perlu repot-repot lagi membuatnya, tinggal tuang saja, beres deh.

Setelah selesai membuat teh, aku pun ke depan rumah melihat-lihat suasana pagi di desa ini. Aku menghirup udara pagi yang masih segar dan asri. Ah, andai saja Jakarta seperti di desa terbebas dari polusi. Tapi mana mungkin Jakarta bebas dari polusi, Jakarta kan kota Metropolitan banyak sekali lalu lalang kendaraan.

"Assalamu'alaikum ...," ucap Pak Teguh dan lainnya sehabis dari musala.

"W*'alaikumsalam," jawabku.

"Jangan melamun. Tulang iga-mu itu jarang-jarang, gampang dirasukin setan." Pak Teguh menepuk bahuku.

"Tapi tubuhku sudah dipagari oleh Kakek, jika setan masuk ke tubuhku maka mereka akan langsung terbakar dengan sendirinya," sahutku.

Pak Teguh hanya tersenyum simpul mendengar penuturanku. Lalu beliau masuk ke dalam rumah.

"Gue juga mau dong dipagarin badannya sama Kakek lu, Mel!" ujar Hanif sambil duduk di bangku kayu panjang atau bale-bale.

"Sini gue panggerin. Ambil bambunya atau kayu gitu, sekalian bawa paku sama palu," sahutku menjawab omongannya.

"Hilih, malah ngeledek!"

"Bidi imit!" cetusku.

"Yuk, makan. Udah mateng nih makanannya," ajak ibunya Kak Sarah.

Aku dan juga Hanif langsung masuk ke dalam ikut duduk lesehan dan menyendok nasi goreng di sangku.

Kami semua sibuk dengan makanan masing-masing. Tidak ada pembicaraan yang keluar dari mulut kami. Semuanya sibuk mengunyah, hanya suara sendok saja yang terdengar beradu dengan piring.

Setelah makan aku pun dan lainnya membereskan piring-piring kotor ini, lalu mencucinya dengan perabotan bekas memasak tadi.

"Kamu habis ini mau langsung pulang, Mel?" tanya Ibu Kak Sarah.

"Iya, Bu. Kakek sebentar lagi mau pulang ke rumah."

"Ya sudah hati-hati ya bawa motornya nanti. Jangan ngebut lagi takut jatuh kaya semalam. Sudah bilang belum sama Kakek Nenek-mu kalau kamu jatuh?" tanyanya sambil memakan kerupuk.

"Belum, Bu, nanti saja kalau sudah di rumah baru aku bicara sama mereka." Ibu Kak Sarah hanya tersenyum mendengar jawabanku.

Setelah selesai mencuci piring dan menata piring pada tempatnya, aku pun langsung mandi. Di desa ini rata-rata setiap rumah itu memiliki sumur masing-masing. Kalau di rumah Nenek sumurnya ada dua. Air di sumur ini sangat jernih dan menyegarkan. Walaupun ada sumur. Tapi warga desa tetap memiliki kran air. Jadi tergantung kita, mau menimba air langsung dari sumur atau menggunakan kran.

Saat sedang mengucuri kepalaku dengan air, seperti ada yang mengawasiku. Tengkuk leherku meremang. Bau kembang melati menguar. Padahal di sini tidak ada yang menanam pohon melati.

"Sakittt ...," lirih sekali suara itu. Suara wanita yang sepertinya benar-benar menahan sakit.

Setelah suara tanpa wujud itu mengatakan sakit. Kini terdengar suara tangisan pilu yang menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarkannya. Aku yang mendengarnya pun ikut terbawa suasana. Seakan begitu sakit atas apa yang terjadi pada sosok tanpa wujud ini. Cepat-cepat aku melanjutkan mandiku. Tak tahan jika terus mendengarkan  rintihan kesakitan itu.

"Kamu kenapa, Dek?" tanya Kak Sarah saat aku keluar dari kamar mandi. Ternyata Kak Sarah sedang menunggu giliran untuk mandi.

"Nggak papa, Kak. Cuma kedinginan aja. Ya udah aku masuk ke kamar Kakak dulu ya buat ganti baju yang Kakak pinjamin." Aku langsung pergi ke kamar Kak Sarah, sekilas aku melihat Kak Sarah menatapku dengan senyum menyeringai dan setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi. Di kamar Kak Sarah ternyata ada Irma, Yuni dan juga Intan yang sedang menonton drakor.

"Lu udahan mandinya, Mel?" tanya Intan.

"Udahlah, kalau belum ngapaim gue keluar?" sahutku sambil memakai baju.

"Terus kamar mandi kosong dong? Gue mau mandi ah." Intan langsung mengambil handuk di atas kepalaku.

"Ada Kak Sarah lagi mandi,"

"Hah? Kak Sarah mandi? Orang Kak Sarah ada di depan, lagi duduk di bale sama bapaknya," ucap Intan lagi.

Deg!

Kalau Kak Sarah ada di luar. Lalu siapa yang tadi masuk ke kamar mandi? Seketika aku langsung merinding mendengar penuturan Intan.

"Seriusan lu?" tanyaku tak percaya.

"Coba aja lu liat di depan sana!"

Aku langsung menuju ke luar untuk melihat apa yang dibilang Intan barusan. Ah, ternyata benar. Kak Sarah ada di luar sedang mengobrol dengan yang lainnya. Lalu siapa tadi yang masuk ke kamar mandi?

Puk!

Bahuku ditepuk oleh Intan.

"Bener kan ada di depan?" ujarnya sambil menengok ke arah Kak Sarah.

"I--iyaaa, ya udah sana mandi. Cepetan, abis itu kita pulang," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Intan langsung menuju kamar mandi. Ah, aku memijit pelipisku yang tiba-tiba saja sakit. Aneh sekali, bagaimana bisa Kak Sarah ada di luar sedangkan tadi aku melihatnya masuk ke dalam kamar mandi. Diam-diam aku membuntuti Intan ke kamar mandi. Aku ingin melihat, apakah di kamar mandi itu kosong tidak ada orang.

Saat Intan baru menginjakkan kakinya ke dalam kamar mandi. Intan diam mematung di sana. Aku langsung buru-buru menghampirinya.

Pasir? Kenapa banyak pasir di dalam kamar mandi? Intan menoleh ke arahku dan langsung merangsek ke belakang badanku. Aku coba mengambil pasir itu. 

"Darah! Ada tetesan darah, Tan," ucapku sambil memperlihatkan pasir yang kuambil.

Intan mengendus-ngendus pasir yang ada ditanganku.

"Bener ini darah. Hanyir banget, Mel, siapa yang naruh pasir dan tetesan darah di kamar mandi?" ucap Intan.

"Entah, gue juga nggak tahu. Apa kita panggil yang lain aja buat liat ini juga?" ujar Intan menyarankan.

"Ya udah, ayo, kita panggil yang lainnya." Aku langsung menuju ke depan untuk memanggil yang lain. Tapi saat aku dan Intan baru beberapa langkah menuju depan. Ada bayangan hitam yang melintas, serta bau singkong terbakar.

Aku langsung menoleh ke belakang dan mengikuti bayangan hitam itu. Bayangan itu masuk ke kamar mandi.

"Lho, Mel, kok pasirnya tiba-tiba ngilang gitu aja sih?" 

Aku dan Intan sangat bingung dengan apa yang terjadi. Seolah-olah ada yang mengerjai kami. Tapi siapa?

"Gue nggak jadi mandi. Serem, takut."

Intan langsung berlari ke depan dan tak jadi untuk mandi. Aku langsung menyusul Intan ke depan.

"Nggak jadi mandi, Tan?" tanya Irma dan Yuni.

"Nggak! Ada setannya," oceh Intan sambil bergidik ngeri.

Yuni dan Irma saling menatap satu sama lain. Lalu mereka menaikkan satu alisnya menatapku.

Aku langsung menjelaskan dengan apa yang terjadi barusan. Yuni dan Irma ikut bergidik, mendengarkan ceritaku.

"Gue juga nggak mau mandi ah. Ayo kita prepare untuk pulang!" ucap Intan sambil menyisir rambutnya.

Kami semua langsung prepare untuk pulang hari ini. Setelah cewek-cewek sudah bersiap dan rapih. Kami pun menuju ke depan, berkumpul bersama keluarga Kak Sarah.

"Udah pada rapih aja nih," ucap Ridwan.

"Iya, prepare sana. Udah jam 06.10, Kakek gue balik hari ini," jawabku.

"Oke, tungguin!"

Hanif dan Ridwan langsung buru-buru ke dalam untuk prepare. Apakah mereka akan mandi? Hiii, jika membayangkan tadi aku kembali merinding.

"Sudah pada mau pulang, Nduk?" tanya ibunya Kak Sarah.

"Iya, Bu, Kakek hari ini pulang. Jam 6 berangkat dari rumah Bule,"

Kami semua mengobrol ngalur ngidur sambil menunggu Hanif dan juga Ridwan. Setelah beberapa menunggu, mereka pun keluar dan sudah rapih.

"Yuk, pulang!" ajak Hanif sambil memakai sandalnya.

Aku dan lainnya langsung berpamitan untuk pulang pada Kak Sarah dan juga keluarganya. Lagi-lagi Pak Teguh memandang aneh ke arahku. Aku sedikit risih dipandang seperti itu pada Pak Teguh.

"Ya sudah, kami pamit pulang dulu ya semuanya," ucapku berpamitan. Setelah itu kami semua mencium punggung tangan ibu dan ayahnya Kak Sarah.

"Assalamu'alaikum ...," ucap kami semua.

"W*'alaikumsalam," sahut mereka.

Aku langsung menstater motorku setelah memakai helm. Tak lupa sebelum pergi kupanjatkan doa dulu pada Allah. Agar di jalan baik-baik saja. Setelah itu kami semua langsung melajukan motor masing-masing.

Hanif, Ridwan, Irma, Yuni. Mereka semua ikut ke rumah Nenek untuk meminta izin pada Kakek, Nenek dan Paklik Mulyono tentang perencanaan kami memata-matai Pak Cipto. Semoga saja di perbolehkan sama mereka. Untuk menuju ke rumah Nenek kami harus melewati banyaknya pohon bambu yang berjejer di jalan. Dua puluh menit perjalanan kami sampai di depan rumah. Ternyata Kakek dan lainnya belum sampai di rumah.

Kami menunggu di depan rumah saja. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Masih parno dengan kejadian semalam.

Dari depan rumah kami bisa langsung melihat ke arah rumah Pak Cipto.

Tunggu!

Seperti ada yang berjalan tertatih-tatih di belakang rumah Pak Cipto. Tapi siapa?

Apakah itu Mbak Anggun yang menggunakan baju warna merah.

"Ngeliat apa, Mel?" tanya Ridwan yang memperhatikan ku.

"Itu di belakang rumah Pak Cipto kaya ada cewek jalan pakai baju merah. Ah, lebih tepatnya daster merah polos. Tapi jalan pincang gitu. Apa itu Mbak Anggun?" ucapku sambil terus melihat ke arah belakang rumah Pak Cipto.

Bersambung ....

Selamat membaca🤗🤗❤️❤️

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kurni Rina
saya suka bngt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status