Share

Chapter 08

Dari puncak negeri perbukitan, menapak tanah gersang musim kemarau, angin kian menderu kencang menerbangkan butiran debu yang tidak bisa dihitung lagi jumlahnya, menghalangi sebuah pemandangan roda kayu yang bertali kian berhenti membawa bahan-bahan rempah beserta hasil panen lainnya. Roda itu ialah milik negeri perbukitan, sementara kedua lelaki yang membawanya ialah orang yang sama-sama penting, yakni seorang kepala desa beserta orang suruhannya dari negeri hujan. Fasalnya orang orang sering digulir untuk datang mencari peruntungannya sampai ke puncak perbukitan dikala menjelang malam, sementara pagi orang-orang sibuk menanam rempah atau juga menyawah, kala panen maka hasilnya dibagikan pula tanpa memandang orang itu tidak ikut bekerja, lantaran mereka tahu diusianya yang sudah tua, maka anak-anak muda yang berganti menjadi tulang punggung selanjutnya. Terkadang anak muda juga sering menjualnya ke negeri-negeri perkotaan agar bisa mereka tukarkan menjadi uang padahal jika dilihat dari kebanyakan orang yang menjajakan barang jualannya, mereka hanya mengenal sistem barter, lebih sering menukarkannya dengan barang yang lain pula, seperti padi yang ditukar dengan ikan, jasa tukang cukur rambut ditukar dengan jasa perbaikan atap rumah, itulah agaknya yang membuatnya berpikir aku telah masuk ke sebuah peradaban yang mana uang masih juga belum ditemukan, atau bisa jadi tersesat dalam mesin waktu. Namun hal itu hanya pemikiran bodoh saja, lantaran memang seperti inilah kenyataannya.

Kepala desa tampak tengah mengikatkan seutas tali roda itu pada batang pohon, lalu mulai mengisinya dengan barang-barang yang akan di bawa pulang sambil menelusuri tebing-tebing sisi tepian sungai, jalannya menurun persis seperti dalam kesejajaran air sungai di negeri perbukitan yang amatlah panjang, orang-orang tidak perlu lagi untuk memasaknya lantaran airnya yang sudah jernih, mengalir dari mata air asli, banyak ikan-ikan kecil hidup didalamnya, menjadi buruan anak kecil yang kerapkali mandi dikala sore hari.

Bilamana adzan mulai terdengar, suaranya bergelombang kadang ringan, kadang juga berat ia intonasi kan, seolah persis seperti air yang jatuh dari atas perbukitan, mengalir riuh saling bergantian menghajar permukaan bebatuan namun tetap saja berulang ia ucapkan, sering kali rahangnya tampak mengeras hingga membentangkan alunan indah namun juga lantang, teringat bahwa negeri ini hanya sekedar perbukitan yang tersamarkan oleh awan kelabu biru, tatkala suara ilalang ikut bergoyang terdengar ramai disusul oleh suara burung hantu yang kerap kali bersahut-sahutan dengan jangkrik-jangkrik dan katak, nampak mereka hinggap hingga hidup dengan rukun dia buliran padi pada pesawahan, seolah menghias suasana keindahan malam yang tiada mampu Kelvin bandingkan dengan negeri-negeri asing yang pernah ditemuinya dahulu.

Ada cahaya yang begitu terang benderang di setiap depan rumah-rumah pemukiman, begitu juga sudah ramai para gadis-gadis desa menyalakan lentera mereka sebagai penerang pengganti lampu yang masih saja belum ditemukan, maka selintas Kelvin terpikirkan dalam benaknya tatkala negeri ini memang sudah jauh amat ketinggalan jaman, entah kapan ada orang kota yang dengan sengaja datang hanya sekedar untuk memperkenalkan mengenai sebetapa canggihnya teknologi pada era jaman sekarang. Ah mungkin saja tahun depan!.

Tidak tahu apa yang harus dilakukan Kelvin setelah lesu dalam perjalanan pulang, lantaran sedari tadi ia hanya duduk-duduk saja diantara ubin-ubin mushola sambil menghilangkan hawa penat, lesu, dan pegal. Maka tampak pula dari dalam ruangan, dari balik pintu kaca yang transparan Adelia seperti hendak keluar sambil menyepitkan kitab sucinya, pakaiannya masih mengenakan mukena lalu berpapasan juga dengan Kelvin dan memanggilnya dengan sebutan nama. "Adelia!" katanya. Maka betapa terkejutnya gadis itu setelah dihadapkan kembali dengan Kelvin, seolah jari-jari tangannya patah setelah Kelvin memberikan seutas tali yang melingkar mengikat sebuah buah-buahan hasil dari peruntungannya kala siang.

"Kenapa kau berikan ini padaku?"

"Ah sudahlah, lebih baik kau bawa saja pulang!" katanya acuh. Namun setelah akan meninggalkan Adelia pergelangannya malah ditarik, tidak ada yang tahu mengenai definisi seorang gadis, hingga Kelvin hanya memilih untuk diam, begitu pula pasrah saat Adelia berkata duduk, maka Kelvin menurutinya sambil menghadap kearah meja yang terdapat tataan gelas kosong, tak lama keduanya saling bercengkrama, tertawa ria membahas mengenai hujan, kemarau, kadang juga salju. Begitu hangat suasana malam ini sambil menghadap kearah lilin yang menjadi penerang, maka tampak pula paras indah gadis itu meski sebagian agak tersamarkan, namun setiap senyuman Kelvin lekatkan dalam ingatan. Ku anggap kau sangat cantik, batinnya.

Adelia tampak begitu antusias menyiapkan sebuah kenduri perjamuan, akan tetapi bukan untuk memperingati sebuah hari perayaan, melainkan Adelia hidangkan atas rasa syukurnya saja terhadap tuhan, syukur lantaran sebuah penantian yang mana sang maha berkehendak kembali mempertemukan, syukur lantaran tiga potong roti bisa membuat orang merasa senang akan pemberiannya. "Silahkan tuan!" tutur Adelia ramah, akan tetapi sayang saat ini Kelvin tidak begitu lapar, namun setelah melihat wajahnya yang penuh dengan pengharapan membuat seorang Kelvin menurutinya kembali, ia makan buah delima disusul dengan segelas kopi hitam yang tiada rasa manis didalamnya, tidak lebih tidak kurang Kelvin melakukannya hanya semata-mata sebagai tanda penghargaannya atas seluruh kebaikan Adelia yang tampak begitu tulus. "Terimakasih!" tuturnya dalam keheningan, lalu dibalasnya langsung oleh senyuman, tanpa tiada kata yang terucap setelahnya.

Kelvin menghela nafas panjang, melirik pergelangan tangan, dilihatnya arloji sudah menampakan ukiran angka 20:02.34, yang artinya ia harus segera pulang, ditambah tidaklah baik berlama-lama dengan seorang gadis apalagi menginap ditempat tinggalnya yang hanya akan membawa sebuah omongan dari orang-orang yang tiada mengenai kebenarannya. Mungkin orang-orang bisa saja menerka-nerka bahwa Kelvin telah melakukan yang tidak-tidak, akan tetapi cara berpikiran setiap masing-masing orang memangnya siapa yang tahu!. Bisa saja malah gadis itu pula yang harus menanggung beban hinaan atas seluruh kesalahan yang sebenarnya tidak pernah ia kehendak sebelumnya. Tiada mampu Kelvin membayangkan hal itu, lantaran gadis itu juga yang mana sudah menjadikannya sebuah jalan penanda yang penuh akan warna, serta bisa merasakan juga dalam suatu terkaan bodohnya mengenai hanya Adelia saja lah yang akan menjadi pendamping satu-satunya kala datang suatu saat kelak.

"Ah aku lupa, aku harus pulang sekarang juga!" kata Kelvin tiba-tiba tanpa mengatakan sebuah alasan yang membuat Adelia percaya.

"E, eh ada apa?" tanya Adelia menampakan muka yang agak tercengang sesaat.

"A, aku lupa, hari ini ada jadwal ronda malam di pos balai desa, hehe..." tukas Kelvin berbohong. Maka langsung saja derap langkah kakinya berjalan kearah pintu ruangan sambil menampakan sebuah senyuman di setiap perkataan salam perpisahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status