Dari puncak negeri perbukitan, menapak tanah gersang musim kemarau, angin kian menderu kencang menerbangkan butiran debu yang tidak bisa dihitung lagi jumlahnya, menghalangi sebuah pemandangan roda kayu yang bertali kian berhenti membawa bahan-bahan rempah beserta hasil panen lainnya. Roda itu ialah milik negeri perbukitan, sementara kedua lelaki yang membawanya ialah orang yang sama-sama penting, yakni seorang kepala desa beserta orang suruhannya dari negeri hujan. Fasalnya orang orang sering digulir untuk datang mencari peruntungannya sampai ke puncak perbukitan dikala menjelang malam, sementara pagi orang-orang sibuk menanam rempah atau juga menyawah, kala panen maka hasilnya dibagikan pula tanpa memandang orang itu tidak ikut bekerja, lantaran mereka tahu diusianya yang sudah tua, maka anak-anak muda yang berganti menjadi tulang punggung selanjutnya. Terkadang anak muda juga sering menjualnya ke negeri-negeri perkotaan agar bisa mereka tukarkan menjadi uang padahal jika dilihat dari kebanyakan orang yang menjajakan barang jualannya, mereka hanya mengenal sistem barter, lebih sering menukarkannya dengan barang yang lain pula, seperti padi yang ditukar dengan ikan, jasa tukang cukur rambut ditukar dengan jasa perbaikan atap rumah, itulah agaknya yang membuatnya berpikir aku telah masuk ke sebuah peradaban yang mana uang masih juga belum ditemukan, atau bisa jadi tersesat dalam mesin waktu. Namun hal itu hanya pemikiran bodoh saja, lantaran memang seperti inilah kenyataannya.
Kepala desa tampak tengah mengikatkan seutas tali roda itu pada batang pohon, lalu mulai mengisinya dengan barang-barang yang akan di bawa pulang sambil menelusuri tebing-tebing sisi tepian sungai, jalannya menurun persis seperti dalam kesejajaran air sungai di negeri perbukitan yang amatlah panjang, orang-orang tidak perlu lagi untuk memasaknya lantaran airnya yang sudah jernih, mengalir dari mata air asli, banyak ikan-ikan kecil hidup didalamnya, menjadi buruan anak kecil yang kerapkali mandi dikala sore hari.
Bilamana adzan mulai terdengar, suaranya bergelombang kadang ringan, kadang juga berat ia intonasi kan, seolah persis seperti air yang jatuh dari atas perbukitan, mengalir riuh saling bergantian menghajar permukaan bebatuan namun tetap saja berulang ia ucapkan, sering kali rahangnya tampak mengeras hingga membentangkan alunan indah namun juga lantang, teringat bahwa negeri ini hanya sekedar perbukitan yang tersamarkan oleh awan kelabu biru, tatkala suara ilalang ikut bergoyang terdengar ramai disusul oleh suara burung hantu yang kerap kali bersahut-sahutan dengan jangkrik-jangkrik dan katak, nampak mereka hinggap hingga hidup dengan rukun dia buliran padi pada pesawahan, seolah menghias suasana keindahan malam yang tiada mampu Kelvin bandingkan dengan negeri-negeri asing yang pernah ditemuinya dahulu.
Ada cahaya yang begitu terang benderang di setiap depan rumah-rumah pemukiman, begitu juga sudah ramai para gadis-gadis desa menyalakan lentera mereka sebagai penerang pengganti lampu yang masih saja belum ditemukan, maka selintas Kelvin terpikirkan dalam benaknya tatkala negeri ini memang sudah jauh amat ketinggalan jaman, entah kapan ada orang kota yang dengan sengaja datang hanya sekedar untuk memperkenalkan mengenai sebetapa canggihnya teknologi pada era jaman sekarang. Ah mungkin saja tahun depan!.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan Kelvin setelah lesu dalam perjalanan pulang, lantaran sedari tadi ia hanya duduk-duduk saja diantara ubin-ubin mushola sambil menghilangkan hawa penat, lesu, dan pegal. Maka tampak pula dari dalam ruangan, dari balik pintu kaca yang transparan Adelia seperti hendak keluar sambil menyepitkan kitab sucinya, pakaiannya masih mengenakan mukena lalu berpapasan juga dengan Kelvin dan memanggilnya dengan sebutan nama. "Adelia!" katanya. Maka betapa terkejutnya gadis itu setelah dihadapkan kembali dengan Kelvin, seolah jari-jari tangannya patah setelah Kelvin memberikan seutas tali yang melingkar mengikat sebuah buah-buahan hasil dari peruntungannya kala siang.
"Kenapa kau berikan ini padaku?"
"Ah sudahlah, lebih baik kau bawa saja pulang!" katanya acuh. Namun setelah akan meninggalkan Adelia pergelangannya malah ditarik, tidak ada yang tahu mengenai definisi seorang gadis, hingga Kelvin hanya memilih untuk diam, begitu pula pasrah saat Adelia berkata duduk, maka Kelvin menurutinya sambil menghadap kearah meja yang terdapat tataan gelas kosong, tak lama keduanya saling bercengkrama, tertawa ria membahas mengenai hujan, kemarau, kadang juga salju. Begitu hangat suasana malam ini sambil menghadap kearah lilin yang menjadi penerang, maka tampak pula paras indah gadis itu meski sebagian agak tersamarkan, namun setiap senyuman Kelvin lekatkan dalam ingatan. Ku anggap kau sangat cantik, batinnya.
Adelia tampak begitu antusias menyiapkan sebuah kenduri perjamuan, akan tetapi bukan untuk memperingati sebuah hari perayaan, melainkan Adelia hidangkan atas rasa syukurnya saja terhadap tuhan, syukur lantaran sebuah penantian yang mana sang maha berkehendak kembali mempertemukan, syukur lantaran tiga potong roti bisa membuat orang merasa senang akan pemberiannya. "Silahkan tuan!" tutur Adelia ramah, akan tetapi sayang saat ini Kelvin tidak begitu lapar, namun setelah melihat wajahnya yang penuh dengan pengharapan membuat seorang Kelvin menurutinya kembali, ia makan buah delima disusul dengan segelas kopi hitam yang tiada rasa manis didalamnya, tidak lebih tidak kurang Kelvin melakukannya hanya semata-mata sebagai tanda penghargaannya atas seluruh kebaikan Adelia yang tampak begitu tulus. "Terimakasih!" tuturnya dalam keheningan, lalu dibalasnya langsung oleh senyuman, tanpa tiada kata yang terucap setelahnya.
Kelvin menghela nafas panjang, melirik pergelangan tangan, dilihatnya arloji sudah menampakan ukiran angka 20:02.34, yang artinya ia harus segera pulang, ditambah tidaklah baik berlama-lama dengan seorang gadis apalagi menginap ditempat tinggalnya yang hanya akan membawa sebuah omongan dari orang-orang yang tiada mengenai kebenarannya. Mungkin orang-orang bisa saja menerka-nerka bahwa Kelvin telah melakukan yang tidak-tidak, akan tetapi cara berpikiran setiap masing-masing orang memangnya siapa yang tahu!. Bisa saja malah gadis itu pula yang harus menanggung beban hinaan atas seluruh kesalahan yang sebenarnya tidak pernah ia kehendak sebelumnya. Tiada mampu Kelvin membayangkan hal itu, lantaran gadis itu juga yang mana sudah menjadikannya sebuah jalan penanda yang penuh akan warna, serta bisa merasakan juga dalam suatu terkaan bodohnya mengenai hanya Adelia saja lah yang akan menjadi pendamping satu-satunya kala datang suatu saat kelak.
"Ah aku lupa, aku harus pulang sekarang juga!" kata Kelvin tiba-tiba tanpa mengatakan sebuah alasan yang membuat Adelia percaya.
"E, eh ada apa?" tanya Adelia menampakan muka yang agak tercengang sesaat.
"A, aku lupa, hari ini ada jadwal ronda malam di pos balai desa, hehe..." tukas Kelvin berbohong. Maka langsung saja derap langkah kakinya berjalan kearah pintu ruangan sambil menampakan sebuah senyuman di setiap perkataan salam perpisahan.
Ia jumpai kembali tubuhnya tengah berkerumun dengan orang-orang yang sedang masih saja tertidur menghadap sisa sisa api unggun bekas tadi malam, matanya terbangun di atas hamparan sabana yang diselingi akasia begitu pula dengan ribuan bunga-bunga rimba liar yang kian membelai halus telapak kaki kala menapakinya, nampak sangat cantik namun tidak terlalu dipedulikan orang. Mereka tumbuh menyebar tak bisa dihitung lagi jumlahnya, sesaat Kelvin menengadah keatas dilihatnya hari sudah begitu amat siang, terasa hangat merasuk kedalam tulang, ditambah dengan kilauan seberkas cahayanya yang begitu terang benderang. Rumput-rumput di atas tebing ikut bergoyang seakan melambai-lambai kearahnya kala terbawa hembusan angin yang kian kadang bertiup pelan kadang juga kencang. Lantas ia beranjak kearah sebuah sumur tua yang terdapat didekat sana, ada bekas ban karet tua melingkar di setiap cincinnya yang sudah hampir tertutup sepenuhnya oleh tumbuhan hijau merambat hingga melingkar pada sisi-an beb
Si Amin menegakkan tubuhnya tangkas, menembus angin kencang yang berlawanan kian berubah menjadi lesus, terdengar mengaum kadang juga mendesir lalu melewati kedua orang itu. Jarinya menunjuk kearah langit tenda yang hampir tersipuh oleh beberapa titik semburat merah jingga berarak-arak kala menjelang senja. Kepul kabut menyelimuti lereng perbukitan dari balik ilalang ujung puncak yang gemilang ditengah-tengah redupnya cahaya matahari. Tiada mampu seorang Kelvin mengelak setiap suruhan orang itu, baginya dirinya adalah seorang majikan yang berwibawa, setiap kali Kelvin mengemis kelaparan, maka hanya dia juga yang selalu membantunya.Ku ulangi sekali lagi, awan yang berserak di atas cakrawala itu perlahan terbakar oleh semburat merah jingga dan menghilang begitu saja. Ah lagipula siapa yang peduli jika pekerjaannya masih juga belum selesai. "Ayo!" kata si Amin hendak mengajaknya pulang. Maka Kelvin mengangguk pelan, kakinya mengekor dibelakang si Amin berjalan. Biarlah padi-padi
Untuk seluruh waktu, sedemikian rupa ia sudah menemuinya dengan segala keraguan dan pergi, tidak ada yang bisa ia lakukan disini. Hanya cahaya minyak lampu yang mengiringi setiap erangan kepergiannya, biarkan gadis itu sendirian, tatkala Kelvin berusaha menerka mengenai kemungkinan yang tidak pernah selamanya benar, bisa saja dia tengah merindukan keindahan tanah kelahirannya sendiri dirumah.Maka lingsir sang fajar, memahami kesendirian Kelvin dengan dekapan kehangatannya kala menengadah keatas puncak perbukitan sana. Seperti biasa ia terbangun di atas hamparan yang dipenuhi oleh sabana, mencuci mukanya dengan air timba dari bawah sumur, begitu pula dengan si Amin yang mengajaknya kembali beranjak ke sawah. Namun kali ini Kelvin tampak tidak berselera untuk bekerja. Ia hanya ingin menikmati kesendiriannya sambil menyapa setiap orang yang lalu lalang, cukup dengan melihat senyumannya, mendengar bisikan mereka, sudah membuat hatinya kembali senang. Ditambah bukankah orang-orang
Diwaktu berkala hanya kata ibu yang gadis itu pinta, lagipula tidak ada kekayaan paling indah selain ibu, bahkan Kelvin pun ingin memiliki kekayaan itu menggayuti hati kecilnya dan berusaha mengingat kapan hari asing itu menimpanya di masa lalu. Sudi atau terbuang kiranya orang-orang berkata ia anak yang tidak diinginkan serta rela ditelantarkan oleh kemanusiaan, lantas mengapa ia masih saja sampai terlahir, tuan?Barangkali dalam relung hati, Kelv tidak pernah iri dengan kekayaan itu, tidak terpikir juga ingin memilikinya. Lebih baik ia berpikir hari ini akan makan apa?, mengerjakan apa? Dari pada mengingat hal yang dibuatnya menjadi gelisah. Tentunya ia berhasil melupakan semua itu, didorong oleh rasa lapar lalu mulai memikirkan kelezatan dengan segala kecenderungan dari sebuah makanan hingga ia lupa akan apa dan mengapa yang bersangkutan dengan masalah hari ini.Meski tetap saja tak surut Kelv lupakan, mengenai kesuraman bayang-bayang hitam yang penuh kenestapaan itu
"Esok aku harus pergi bersama si Amin, yang pasti mungkin kami akan mencari peruntungan dengan cara berdagang disana.""Kenapa?" tanya Adelia membesarkan hati. Lantaran tak rela jika salah satu sahabatnya harus pergi dengan waktu yang cukup lama, bukan takut lantaran tidak ada lagi kawan, tapi ada juga, melainkan setidaknya jika ada lelaki itu ia tidak pernah merasa kesepian meskipun setiap hari, setiap malam tak lekas harus membicarakan hujan, mendung kadang juga kemarau, yang membuatnya bosan dan berpikir apa tidak ada pembahasan lain. "Tolong berikan aku alasan yang jelas!" ancamnya sembari tangan mengepal kesal."Untuk kau aku, dan kota kita!" balas Kelvin, berusaha memicingkan telinganya rapat-rapat. Lantaran diwaktu berkala seperti ini ia paling malas untuk berdebat meski harus mempermasalahkan hal hal yang kecil sekalipun. "Jika kau bertanya mengenai alasannya lagi, maka aku akan langsung menjawab untuk kau aku, dan kota kita!""Sudah cukup, lebih baik sekar
Banyak persoalan yang sejujurnya menjadikan perasaannya bertanya-tanya, dan seakan membawanya terbang ingin lebih mengenal lagi akan ke-ingin tahuannya mengenai seperti apa kata ibu itu di mata Adelia. Apakah dengan cara mengetahuinya ia bisa tahu siapa sebenarnya lelaki itu, dan kenapa wajahnya bisa begitu sama?***Sementara disisi lain orang-orang banyak yang membenah kan barang dagangannya, seraya tutup lantaran hendak ingin pulang sebelum terlambat datangnya hari gelap. Maka hening lah suasana malam ini, sayang hanya ada kau dan tonggak lampu yang merayakan perayaan ditengah-tengah keheningan paripurna.Malam ini, Sattarul imam duduk menemani kesendirian Kelvin sambil meletakkan dua buah susu kaleng di atas tataan kursi taman tempat dimana mereka sibuk menghitung uang iuran. Lalu beralih menatap lamat-lamat sebuah hotel bintang lima yang terhalang tonggak besar namun lebih condong menyerupai menara dan berkata."Aku mendengar hujan menangis di telinga ku
Dalam ketepatan waktu, Kelv kembali untuk kesekian kalinya lagi berkunjung pada rumah kesunyian. Orang-orang berhak merusak rumah itu kala siang lantaran tuan sang pemiliknya tengah pergi, dan yang pasti tuan itu tidak terlalu peduli. Peduli setan hari ini ia akan makan apa? tidur dimana. Lantaran satu hal yang menjadi tekad keyakinannya bahwa sang pengatur takdir tidak akan pernah meninggalkan hambanya meski dalam keadaan terhina.Begitulah harap pada sorot matanya, tak ingin diberi lantaran bocah lelaki itu sendiri yang memilih untuk menyangkal pemberian orang lain sambil menatap kosong pada Kelvin, sedangkan mulutnya terus berkata "aku bukanlah seorang pengemis tuan!"Dan kini tubuhnya telah diterpa oleh kehangatan sang Surya, selintas tampak gersang terik dan panas. Namun apalah kekayaan yang ia punya saat Kelv bertemu dengannya namun perkataannya tetap saja menyangkal. Lalu dengan malas Kelvin membalas ucapannya dengan pasrah. "Kalau begitu akan aku tinggalkan makan
Dengan perlahan dan lembut, bagai sebuah mimpi yang tiada mampu menafsirkannya, setelah Nazma menangkap sebuah nama seraya langsung ia renungkan saat kegelapan kaki langit melingkupi kedua bola matanya yang memancarkan kerlip cahaya kebenaran-kebenaran lama yang memesona meski tersamarkan.Sekilas Kelv menghela napas panjangnya setelah kata-kata haru itu telah usai dari dalam telinganya, berusaha menghentikan siksaan dalam dada seperti sebuah gigitan yang merindukan kasih sayang. Adakalanya ia juga merasa bahwa hidupmu dan hidupku tak jauh berbeda selayaknya mahkluk rapuh yang berdosa, terjebak dalam jeruji nestapa, dan yang paling kita harapkan adalah sebuah kebebasan dimana burung burung bisa senantiasa mengepakkan sayapnya terbang hingga ke angkasa, menikmati keindahan awan, dan langit tinggi tanpa batas yang membentangkan keagungan dari harapan-harapan belaian rahmat dari Tuhannya. Sekali lagi kita sama Nazma, aku juga makhluk yang berdosa. Suara derit engsel yang kau sere