Share

Chapter 09

Ia jumpai kembali tubuhnya tengah berkerumun dengan orang-orang yang sedang masih saja tertidur menghadap sisa sisa api unggun bekas tadi malam, matanya terbangun di atas hamparan sabana yang diselingi akasia begitu pula dengan ribuan bunga-bunga rimba liar yang kian membelai halus telapak kaki kala menapakinya, nampak sangat cantik namun tidak terlalu dipedulikan orang. Mereka tumbuh menyebar tak bisa dihitung lagi jumlahnya, sesaat Kelvin menengadah keatas dilihatnya hari sudah begitu amat siang, terasa hangat merasuk kedalam tulang, ditambah dengan kilauan seberkas cahayanya yang begitu terang benderang. Rumput-rumput di atas tebing ikut bergoyang seakan melambai-lambai kearahnya kala terbawa hembusan angin yang kian kadang bertiup pelan kadang juga kencang. Lantas ia beranjak kearah sebuah sumur tua yang terdapat didekat sana, ada bekas ban karet tua melingkar di setiap cincinnya yang sudah hampir tertutup sepenuhnya oleh tumbuhan hijau merambat hingga melingkar pada sisi-an bebatuan cincin, seraya dengan cepat ia menarik sebuah tali yang terdapat ember berisi air dibawahnya, lantaran ingin dijadikan air itu sebagai pembersih muka.

Diliriknya pergelangan tangan, ternyata jam sudah lewat menunjukan 07:37:54, jelas pula Kelvin sudah terlambat untuk membersihkan setiap ubin-ubin mushola, ditambah dengan kaca yang kian kembali banyak debu-debu menempel di setiap permukaannya, terkadang anak-anak sering sekali melukiskan imajinasinya menggunakan jari-jari mungil mereka sampai dijadikannya sebagai sebuah permainan sederhana. Namun cukup membuat perasaan mereka bahagia, tertawa ria sambil berlarian kesana kemari, kadang hal itu pula membuat ibunya merasa resah hingga sampai dimarahi. Hahaha, Kelvin tertawa lepas melihat hal itu, akan tetapi sayang ibu dari anak itu cepat-cepat kembali melirik tajam kearahnya hingga membuat Kelvin terdiam seketika sambil menyapu pandang kearah lain seolah ia tidak tahu apa-apa. Maka dilanjutkannya lagi pekerjaan itu hingga selesai. Bilamana seluruhnya sudah bersih, terkadang sering ada orang yang memberikan sebuah makanan, berupa dua buah pisang, disusul dengan segelas air putih. Namun cukup untuk memulihkan kembali tenaganya yang terkuras.

"Terimakasih," katanya. Lalu dibalas langsung oleh sebuah anggukan pelan. "Aku pergi!" tuturnya.

Sesaat melihat orang itu pergi berlalu membuatnya teringat hari ini ia juga harus bekerja, ya bekerja untuk mencari ikan sebanyak-banyaknya agar bisa Kelvin tukar menjadi sekantung beras kepada seorang pedagang di p***r. Hanya itu yang bisa ia lakukan dalam kesehariannya yang semu, tatkala tidak jauh berbeda seperti peruntungannya kala masih tinggal di negeri hujan. Akan tetapi lihatlah, tidak ada sebuah penekanan yang membuat seorang Kelvin kembali merasa tidak nyaman. Itulah agaknya yang membuat ia amat cinta dengan negeri ini, lantaran baru kali ini juga perasaannya begitu hangat, tiada mampu Kelvin kembali berucap kasar ataupun melepaskan tinjunya sebagaimana seorang preman yang kesepian hidup dalam sebuah penekanan bos besar.

"Kelvin!" panggil seseorang dari belakang. Jika harus ia dengar dari intonasi asal suara orang itu agaknya tampak tengah tergesa-gesa hingga membuatnya harus berusaha untuk berteriak dari kejauhan. Hingga satu detik setelahnya maka nampak pula orang itu berlarian merobek kabut, matanya seakan nanar, begitu juga dengan nafasnya kian tersamarkan persis seperti lambaian tangannya yang muncul keluar dari dalam ruang kelabu. Ah ternyata si Amin rupanya... Kelvin bergumam tidak peduli.

Lantas Kelvin pun bertanya keheranan, mengenai maksud dari kedatangannya hingga sampai tergesa-gesa. Maka dijawabnya kembali oleh si Amin. "Tolong bantu aku untuk menyabitkan padi di sawah!, kau tahu sendiri aku tidak mampu melakukannya seorang diri" pintanya setengah memohon, tangannya menggenggam erat seolah tidak berdaya, "Kau tenang saja, nanti sore aku kasih bayarannya..." Lanjutnya lagi berusaha meyakinkan.

"Ah iyalah." Kelvin balas menjawab, sebenarnya ia paling malas beranjak ke sawah, terlebih dengan hawanya yang selalu saja panas dan cepat menguras tenaga, akan tetapi lantaran melihat wajah si Amin yang begitu memelas membuat ia terpaksa harus selalu menurutinya. Jujur saja kejadian seperti ini bukan hanya sekedar sekali ataupun dua kali, melainkan sudah Kelvin anggap sebagai ritual pribadinya setiap hari.

Sambil melangkah menurun keluar gerbang gapura negeri perbukitan menuju jalan pematang, terdapat sebuah sungai yang memantulkan cahaya hangat dari balik awan-awan yang tampak melingkar di atas luasnya cakrawala yang gemerlapan, pandangannya tertuju pada sekumpulan orang-orangan sawah yang dibuat menggunakan jerami jerami tua, mereka tampak seperti manusia jika dari kejauhan, hampir saja batin Kelvin keliru bahwa mereka adalah seseorang yang tengah berdiri mematung, seolah tengah menjaga padi-padinya dari para burung-burung. Namun tetap saja, burung-burung pencuri padi itu jauh lebih pintar dari pada manusia, lihat saja dari kejauhan, maka jelas pula burung-burung itu tengah mengibaskan sayapnya sambil memunguti buliran padi yang bergoyang, tiada orang yang melarang burung itu makan, ah memang dasar sebuah pembodohan.

Kemudian si Amin menghentikan langkahnya ditengah-tengah luasnya sawah yang tampak sejauh mata setiap orang memandang, ditambahkan saja dengan sebuah pohon beringin tua nan besar diatasnya, ia duduk sejenak dibawah lindungan sulur-sulur pohon yang seluruhnya hampir tertutup oleh dedaunan, perlahan dedaunan itu ikut bergoyang kadang juga berbisik dalam telinga dikala tersibak oleh angin barat yang kian berhembus pelan.

"Kenapa berhenti?" tanya Kelvin sambil meneduh dibawah pohon, ia meluruskan kakinya yang terasa amat pegal setelah sampai dari perjalanan.

"Ini, kau makanlah saja dahulu, biarkan aku yang bekerja seorang, nanti kau menyusul saja setelah makanan ini habis!" katanya dengan ramah, seraya turun ke tengah-tengah permukaan sawah sambil menyabit tengah-tengah buliran padi lalu mulai mengumpulkannya di atas hamparan pelastik.

"Eh sebentar tuan, bukannya dua orang gadis yang selalu datang memberikan bekal. Memangnya hari ini mereka tidak akan pernah datang?" sela Kelvin bertanya hingga menghentikan si Amin yang tengah asik menyabit.

"Ah, hari ini mereka sedang ada banyak pekerjaan dirumah katanya, tapi sudahlah biarkan saja kita anggap sebagai hari libur untuk mereka sekali-kali saja." Si Amin balas menjawab, maka dilanjutkannya juga pekerjaannya itu tanpa terlalu banyak perkataan yang keluar dari dalam mulut basahnya.

"Hahaha, ada-ada saja kau ini!" cemooh Kelvin sambil tertawa lepas. "Sini aku bantu tuan, biar kita cepat pulang." Lanjut Kelvin, turun dari tempat peristirahatan seraya mulai membantunya sebagaimana lazimnya para petani yang bekerja di sawah. Maka hening juga setelahnya, tidak ada sepatah kata dalam obrolan basa-basi yang kerapkali terdengar membosankan kala bekerja, ditambah dengan waktu yang terus saja berjalan dari siang ke sore. Oleh karena itu pekerjaannya harus segera diselesaikan secepatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status