🏵️🏵️🏵️
Leo Archen Wirawan sangat heran melihat sikap Rania—gadis yang baru ia kenal. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat langka. Ia menganggap Rania terlalu berlebihan karena mereka sebelumnya tidak saling kenal.
Ia kembali mengingat kenapa dirinya harus berada di depan kampus Rania tadi. Semua itu terjadi karena ia harus mengantarkan berkas Bu May Sanoh Wirawan—ibunya, yang tertinggal di rumah.
Telah lima tahun lamanya, Bu May menjadi donatur di STIE Pembangunan—kampus Rania. Ia memiliki impian untuk mengembangkan kampus tersebut karena telah melahirkan banyak sarjana berprestasi. Salah satunya, adik Pak Zainal Wirawan—ayah Leo.
“Bisa diam, nggak, sih? Nggak usah cerewet, deh. Saya harus fokus nyetir.” Leo mengingatkan Rania.
“Saya hanya ingin agar tas dan buku-buku saya kembali. Itu aja.”
“Ini saya udah berusaha bantu. Jadi, jangan bawel.”
“Bilang aja kalau Abang nggak ikhlas bantuin saya.” Rania meruncingkan bibirnya.
“Kalau saya nggak ikhlas, saya bisa aja ninggalin kamu tadi saat nyamperin angkot yang lagi parkir.”
“Jadi cowok, kok, galak banget.”
Leo tidak terima dengan tuduhan Rania, ia pun menepikan mobilnya. “Apa kamu bilang? Galak? Siapa yang galak? Saya atau kamu?” Ia menggerakkan telunjuknya ke arah Rania.
“Nggak usah nunjuk-nunjuk, santai aja. Kalau nggak ikhlas, saya turun.” Rania pun berniat akan membuka pintu mobil, tetapi Leo justru melarangnya.
“Jangan turun.” Leo merasa bersalah karena telah bersikap kasar terhadap seorang wanita, padahal selama ini, ia tidak pernah berbuat seperti itu.
“Kenapa? Untuk apa saya tetap di sini? Saya akan usaha untuk mengejar angkot tadi, saya nggak mau dianggap galak atau apalah.”
“Saya janji akan bantu kamu. Oh, ya ... nama kamu siapa? Saya Leo.” Leo mengulurkan tangannya.
Rania tidak menghiraukan uluran tangan Leo, ia hanya menyebutkan namanya. “Saya Rania, biasa dipanggil Nia.”
“Nama yang indah.” Leo menunjukkan deretan gigi putihnya.
“Apa? Kenapa sekarang sok ramah? Tadi marah.” Rania merasa aneh melihat perubahan sikap Leo.
“Kamu bawel, sih.”
“Kalau nggak ikhlas bantu, jujur aja dari awal.”
“Awalnya nggak ikhlas, sih, but ....”
“Ya, udah ... saya turun.”
“Sekarang saya ikhlas. Kita kejar lagi angkot yang kamu naiki tadi.”
“Terima kasih.” Rania membalas dengan singkat.
Ia tidak mengerti kenapa sikap Leo tiba-tiba berubah, padahal sebelumnya pemuda itu menunjukkan kalau dirinya tidak ikhlas memberikan bantuan. Saat awal bertemu Leo, Rania tertarik melihat ketampanannya karena mirip dengan aktor favoritnya.
Oleh karena itu, Rania lebih memilih tetap bersama pemuda itu saat ini. Namun, ia tidak ingin menunjukkan apa yang ia rasakan sebenarnya. Ia bersikap seolah-olah ingin membuktikan kalau dirinya akan berusaha sendiri mencari cara untuk mengejar angkutan umum tadi.
“Kenapa Abang tiba-tiba sok ramah?” Rania kembali membuka suara.
“Saya nggak terbiasa kasar sama cewek.”
“Tapi tadi kasar.”
“Maaf, saya kesal dengan kebawelan kamu.”
“Kalau memang bawel, kenapa masih dibantu?”
“Demi rasa kemanusiaan.”
Rania melirik Leo sekilas, tetapi ia tidak tahu kalau pemuda tersebut menyadari hal itu. Leo ingin tersenyum karena menganggap Rania unik dan lucu. Ia kini menyadari kalau gadis itu tidak hanya menyebalkan, tetapi juga menggemaskan.
“Berhenti, Bang. Itu ada angkot yang parkir. Saya akan turun untuk melihat ke dalam.” Rania kembali bersuara hingga membuat lamunan Leo buyar seketika.
“Oke.” Leo pun menepikan mobilnya lalu Rania segera turun menuju angkutan yang terparkir di depan sebuah warung kopi. Namun, gadis itu kembali kecewa untuk kedua kali.
Ia kembali berjalan menuju mobil Leo lalu masuk. Wajahnya cemberut dan ingin menumpahkan kekesalannya karena belum berhasil menemukan angkutan umum yang telah membawa tas dan buku-bukunya. Leo memintanya untuk tetap yakin akan segera menemukan barang-barangnya.
🏵️🏵️🏵️
Leo tetap sabar mengikuti kemauan Rania untuk menemukan kembali angkutan umum yang dimaksud gadis tersebut. Setelah hampir dua jam melakukan pencarian, apa yang Rania harapkan akhirnya menjadi kenyataan. Ia pun kembali mendapatkan tas dan buku-bukunya.
“Maaf, Dek, sebenarnya Bapak berniat akan kembali ke kampus Adek, tapi Bapak ingin istirahat sejenak.” Sopir angkutan umum itu memberikan penjelasan kepada Rania.
“Iya, Pak, nggak apa-apa. Saya sangat berterima kasih karena Bapak telah menyimpan barang-barang saya.”
Rania pun membuka tas yang kini sudah ada di tangannya lalu mengambil dompet untuk memberikan tanda terima kasih kepada sopir tersebut. Ia mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu. Namun, laki-laki paruh baya yang sedang duduk di depannya itu menolaknya.
Sopir itu menyusun sepuluh jari lalu berkata, “Maaf, Dek, Bapak nggak bisa terima karena Bapak ikhlas menyimpan buku Adek.”
“Tapi saya ikhlas memberikan ini untuk Bapak.” Rania tetap ingin memberikan uang tersebut.
“Bapak juga ikhlas. Bapak tetap tidak akan terima.” Sopir itu menunjukkan wajah serius di depan Rania.
Rania pun tidak dapat memaksakan kehendaknya terhadap sopir itu. Ia kembali mengucapkan terima kasih lalu beranjak menuju mobil Leo. Ia sangat terharu karena sopir tadi, ikhlas memberikan bantuan tanpa pamrih.
“Barang-barang kamu ada semua?” tanya Leo setelah Rania kembali duduk.
“Iya, ada semua.”
“Syukur, deh. Jadi, apa rencana kamu selanjutnya?” tanya Leo kembali.
“Saya nggak mungkin ke kampus. Saya mau pulang aja.”
“Oke, saya antar.”
“Nggak ngerepotin?”
“Nggak, kok.”
Leo akhirnya menginjak pedal gas lalu meluncur setelah Rania menyebutkan alamat rumahnya. Gadis itu sangat bersyukur karena barang-barang berharga miliknya telah kembali.
“Aku turun di sini, Bang.” Mobil Leo telah sampai di depan rumah Rania. Kendaraan roda empat itu pun menepi. “Terima kasih atas bantuan Abang. Saya nggak tahu harus gimana kalau Abang nggak bantu.”
“Iya, sama-sama.”
“Selama dua jam, Abang menemani saya dan sekarang kita akan berpisah.” Rania segera menyandang tas lalu berniat membuka pintu mobil.
“Tunggu.” Leo menghentikan Rania.
Rania memandang wajah Leo. “Ada apa, Bang?”
“Apa kamu tidak merasakan sesuatu?” tanya pemuda tampan itu dengan lembut.
“Saya merasa bahagia karena kembali mendapatkan apa yang saya inginkan.”
“Hanya itu?”
“Iya.”
“Artinya, 120 menit kebersamaan kita tidak berarti apa-apa bagimu?”
“Saya senang bisa mengenal Abang.” Dari lubuk hati yang paling dalam, Rania sangat terpesona melihat ketampanan Leo karena mirip dengan aktor favoritnya. Namun, ia yakin kalau perasaan itu hanya sekadar kagum saja, tidak lebih.
“Oke, deh. Senang bertemu denganmu.” Leo menyunggingkan senyuman. Setelah itu, Rania pun turun.
Leo kembali menyusuri jalan sambil mengingat awal pertemuannya dengan Rania. Ia kini menyadari kalau dirinya merasakan sesuatu yang aneh saat bersama gadis yang baru ia kenal tersebut. Namun, ia tidak tahu bagaimana menyampaikan perasaan itu.
🏵️🏵️🏵️
Seminggu kemudian ....
“Deeek! Ada bule yang nyariin kamu, tuh!” Azzam—kakak Rania, mengetuk pintu kamar adiknya.
Hari ini Minggu, Rania memilih berbaring di kamar sambil membaca novel favoritnya “Pernikahan Settingan” karya Nova Irene Saputra. Ia sangat kagum dengan perjodohan yang terjadi antara Al dan Tania dalam novel tersebut. Kisah cinta yang berawal dari musuh bebuyutan akhirnya berubah menjadi cinta.
Saat Rania sedang fokus membayangkan dirinya sebagai Tania, Azzam tiba-tiba membuyarkan khayalannya itu. Ia pun segera beranjak dari tempat tidur lalu melangkah ke arah pintu. Ia langsung menunjukkan wajah kesal di depan kakaknya setelah pintu terbuka.
“Abang kenapa harus jerit-jerit?” tanya Rania.
“Ada bule yang nyariin kamu, tuh. Sekarang dia lagi ngobrol sama Papa dan Mama di ruang tamu.” Azzam mengangkat alisnya.
“Ada-ada aja.” Rania tidak percaya dengan ucapan kakaknya.
“Nih, anak nggak percaya dibilangin. Abang serius.” Azzam meyakinkan Rania.
“Iya, deh. Aku ke sana sekarang.”
“Pakai baju tidur?”
“Iya, dong. Ini, kan, Minggu. Waktunya santai.”
“Terserah kamu.”
Rania pun melangkah bersama Azzam menuju ruang tamu. Gadis itu sangat terkejut melihat sosok yang sedang duduk bersama orang tuanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia saksikan. Baginya, ini seperti mimpi.
=============
🏵️🏵️🏵️Leo tidak mampu berkata-kata setelah melihat istri yang sangat ia cintai, kini berdiri di hadapannya. Ia pun langsung mendekap wanita itu, tetapi penolakan yang ia dapatkan. Rania meronta-ronta hingga berhasil melepaskan pelukan Leo. Ia masih sangat kesal terhadap laki-laki itu.Orang tua Rania yang sejak tadi duduk di ruang keluarga, langsung memasuki kamar putri mereka tersebut. Mereka sangat heran melihat sang anak bungsu yang menjauh dari Leo, bahkan mendorong tubuh laki-laki itu.Bu Farida berusaha membujuk Rania lalu memeluknya. Wanita paruh baya itu mengajak Rania duduk di tempat tidur dan memintanya menceritakan apa yang terjadi. Sementara Leo langsung berlutut di depan istri yang sangat ia cintai tersebut.“Sayang, kamu kenapa?” Leo meraih tangan Rania lalu menggenggamnya.“Sampai kapan kamu bohongin aku terus?” Rania langsung melontarkan pertanyaan itu kepada Leo.“Bohong apa, Sayang? Aku nggak ngerti.” Leo tidak mengerti dengan ucapan Rania.“Hebat kamu, Bang. Kamu
🏵️🏵️🏵️Dua bulan berlalu, tetapi Leo masih belum mampu menceritakan apa yang membuatnya merasa bersalah terhadap Rania. Ia sangat tahu seperti apa sifat istrinya tersebut. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman lagi di antara mereka.Leo juga tidak ingin mengganggu kebahagiaan Rania saat ini, di mana wanita itu sangat senang menyaksikan pernikahan Azzam—kakak semata wayangnya. Rania mengaku terharu karena akhirnya melihat Azzam menikah dengan Ayu.Bukan hanya itu saja alasan yang membuat Leo belum mampu mengutarakan kejujuran kepada Rania. Ia juga tidak ingin melihat istrinya sedih. Apalagi saat ini, Leo sedang mengharapkan keajaiban agar Rania kembali hamil.“Bang, kita nginap di sini aja, ya, malam ini.” Rania berharap agar Leo memenuhi keinginannya untuk menginap di rumah orang tuanya setelah acara pernikahan Azzam dan Ayu selesai.“Iya, Sayang. Aku ngikut aja.” Leo mengembangkan senyuman di depan Rania.“Terima kasih, Bang.” Rania bahagia mendengar jawaban Leo. Ia pun mengajak su
🏵️🏵️🏵️Rania kembali menginjakkan kaki di rumah keluarga Leo. Ia tidak tahu apakah hatinya bahagia atau justru sebaliknya. Di satu sisi, ia merasa bahwa sewajarnya dirinya berada di rumah suaminya. Namun di sisi lain, ia tetap kesal mengingat Laura.Kini, Rania merebahkan tubuh di kamar. Ia ingin menanyakan tentang Laura. Namun sebelum niat itu terucap, Leo pun memintanya untuk mendengar penjelasan tentang Laura. Rania terkejut, tetapi juga bahagia setelah mengetahui keadaan Laura yang sebenarnya.Rania ingin memeluk Leo karena menganggap laki-laki itu tetap setia dengan cintanya terhadapnya. Namun, ia mencoba untuk menahan diri dan berpura-pura bersikap biasa saja walaupun hati kecilnya mengatakan kalau ia sangat bahagia saat ini.“Kok, respons kamu biasa aja, Sayang? Kamu nggak bahagia?” Leo tidak mengerti dengan sikap yang ditunjukkan istrinya.“Aku harus bilang apa?” Rania memberikan balasan dengan nada santai.“Aku sudah menepati janjiku untuk membuktikan kalau aku hanya milikm
🏵️🏵️🏵️Tiga bulan berlalu, penyelidikan Leo tentang niat Laura, akhirnya membuahkan hasil. Kini, kenyataan yang sebenarnya pun terungkap. Laura sengaja mengaku mengandung anak Leo karena dirinya ingin mendapatkan laki-laki yang ia cintai tersebut.Laura tidak dapat mengelak lagi saat keluarga Leo memeriksakan usia kandungannya ke rumah sakit hari ini. Dalam perkiraan ketika kepulangan Leo dari Thailand, seharusnya usia kehamilan Laura memasuki delapan bulan, tetapi kenyataannya sungguh di luar dugaan.Bu May selama ini sudah menaruh curiga melihat bentuk perut Laura yang tidak sewajarnya. Dugaan wanita paruh baya itu benar-benar membuat hati Leo bahagia. Usia kehamilan Laura baru memasuki lima bulan. Ia telah melakukan kebohongan besar demi mewujudkan keinginannya.Sejak Leo meninggalkan Thailand tujuh bulan yang lalu, Laura merasa hancur. Ia pun sering menghabiskan waktunya di tempat hiburan malam didampingi Siwat. Oleh karena keduanya sedang dalam keadaan mabuk, hubungan yang belu
🏵️🏵️🏵️Pak Bagas dan Bu Farida terkejut melihat Rania yang langsung berlari menuju kamarnya. Kedua orang tua itu tidak mengerti kenapa anak bungsu mereka tiba-tiba kembali pulang tanpa memberi kabar sebelumnya. Sementara Azzam menghampiri ayah dan ibunya yang sedang bersantai di depan TV. Ia tidak lupa membawa masuk koper milik Rania.Azzam pun memilih duduk menghadap Pak Bagas dan Bu Farida. Ia meminta agar kedua orang tuanya tersebut tidak terkejut dengan apa yang akan ia sampaikan. Azzam merasa berat untuk menyampaikan apa yang terjadi terhadap Rania kepada ayah dan ibunya, tetapi ia ingin tetap jujur dengan kenyataan yang sebenarnya.Azzam menghela napas lalu mulai menceritakan penderitaan yang Rania alami saat ini. Ia berusaha tenang mengungkapkan fakta tentang Leo. Pak Bagas dan Bu Farida kembali terkejut dan mereka mengaku tidak percaya dengan apa yang Azzam sampaikan.“Nggak mungkin Azzam bohong, Pah, Mah. Nia sedih banget sekarang. Dari rumah Leo sampai ke sini, dia nangis.
🏵️🏵️🏵️Rania menepati janji yang pernah ia ucapkan, mencabut gugatan cerai dari pengadilan. Terbukti saat ini, dirinya kembali tinggal di rumah Leo. Ia bahkan lebih bahagia daripada saat awal menikah. Kini, tiga bulan telah berlalu, Rania pun memasuki tingkat akhir dalam pendidikannya di STIE Pembangunan Tanjungpinang. Ia sangat bahagia karena Leo selalu memberikan dukungan dan semangat kepadanya. Di samping itu, hubungan mereka juga makin membaik dan mesra.Akan tetapi, Rania sering merasa bersalah karena menganggap dirinya tidak mampu memenuhi harapan Leo. Ia takut jika tidak dapat memberikan keturunan untuk keluarga suaminya. Ia sering sedih mengingat keadaannya yang sekarang.“Kenapa kamu masih mempertahankan aku, Bang? Gimana kalau aku nggak bisa kasih keturunan untuk keluargamu?" Rania mengingatkan kembali tentang kekurangan yang ia miliki saat ini.“Aku terima kamu apa adanya, Sayang. Kamu jangan ngomong seperti itu.”“Mungkin kamu bisa terima aku, tapi bagaimana dengan Papi
🏵️🏵️🏵️Dua minggu berlalu, Leo dinyatakan sembuh oleh Dokter Wildan. Ia kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Sementara Rania sangat bahagia karena Leo kini lebih segar dan bersemangat. Ia merasa telah berhasil membuat sang suami lebih cepat pulih dari sakitnya.Akan tetapi, walaupun Rania telah menunjukkan sikap lembut di depan Leo, wanita itu tetap belum bersedia kembali ke rumah keluarga suaminya itu. Ia mengaku belum siap untuk tinggal seatap dengan Leo. Ia meminta waktu untuk menata hatinya.Leo dan orang tuanya mengerti keadaan Rania. Mereka pun mengatakan akan tetap setia menunggu kesediaan Rania agar kembali tinggal bersama Leo. Pak Zainal dan Bu May tidak ingin memaksakan kehendak. Kedua orang tua tersebut memberikan kebebasan kepada sang menantu.“Kenapa kamu jemput aku, Bang? Aku bisa pulang sendiri. Naik angkot atau numpang Liza.” Rania tidak menyangka kalau Leo menjemputnya ke kampus saat mata kuliah telah berakhir.“Tadi aku yang ngantar kamu, wajar kalau aku j
🏵️🏵️🏵️Rania bingung harus berbuat apa sekarang. Ia tidak sanggup melihat Leo sakit, tetapi juga tidak ingin terlihat lemah di depan laki-laki tersebut. Hanya satu cara yang dapat Rania lakukan saat ini, mengalihkan pembicaraan.“Oh, ya ... kemarin Makcik Rika telepon, beliau meminta kita jalan-jalan ke Pontianak.”“Kamu sengaja mengalihkan pembicaraan, Sayang?” Rania merasa gagal mencari cara agar Leo tidak mendesak dirinya untuk menjawab pertanyaan yang sulit.“Kok, kamu nuduhnya gitu? Aku serius. Beliau juga cerita kalau Aura, SMA di sini. Dia tinggal di rumah Atok dan Nenek.” Rania tetap berusaha agar Leo mendengar ucapannya.“Aku lagi nggak ingin bahas orang lain sekarang. Aku maunya bicara tentang kita.”“Kamu anggap Aura sebagai orang lain? Dia adik sepupu kamu, Bang.”“Kita bisa bahas itu nanti. Aku ingin serius bicara denganmu, Sayang. Tolong jawab pertanyaanku.” Leo langsung mendekap wanita yang ia cintai tersebut.Kondisi Leo saat ini membuat Rania benar-benar tidak mampu
🏵️🏵️🏵️Dokter Wildan dan Pak Zainal segera memapah Leo ke kamar. Sementara Bu May dan Rania mengikuti mereka dari belakang. Dokter Wildan meminta agar Rania bersedia menemani Leo dalam keadaan seperti sekarang ini.Rania tidak mampu menolak permintaan dokter yang menangani Leo. Ia pun mengiakan kalau dirinya bersedia menjaga laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya tersebut. Ia juga tidak ingin melihat kesedihan di wajah kedua mertuanya.Kini, Leo telah tertidur setelah Dokter Wildan memberikannya obat. Sementara Rania masih penasaran dengan sakit yang diderita laki-laki itu. Ia masih mengingat sang suami yang tiba-tiba sesak hingga membuat dirinya panik.“Leo sakit apa, Dok?” tanya Rania. Ia berharap mendapat penjelasan dari Dokter Wildan.Mendengar pertanyaan Rania, Dokter Wildan melihat ke arah Pak Zainal dan Bu May secara bergantian. Kedua orang tua Leo pun memberikan isyarat kepada Dokter Wildan. Rasa penasaran Rania kian memuncak.“Baiklah, saya akan mengatakan hal yang