"Aku tak menyangka kalau kau sudah menikah." Dia membuka percakapan, setelah memesan segelas ice Americano.Aku terdiam. Andai tak ada masalah dalam rumah tanggaku saat ini, aku pasti akan menjawabnya dengan penuh percaya diri. Namun apa yang harus kukatakan. 'Ya, tapi sebentar lagi akan bercerai.'Apa aku harus mengatakan hal memalukan seperti itu?"Ah, maaf." Dia seolah mengerti situasiku. "Aku tak bermaksud mencampuri urusan pribadimu," ucapnya. Sepertinya dia merasa sungkan."Tidak apa-apa. Aku hanya bingung harus menjawab apa. Semua orang punya jalan hidup masing-masing, bukan?" "Kau benar. Hanya saja... " Matanya menyipit. "Sangat disayangkan jika kau tidak melanjutkan pendidikanmu. Apa suamimu melarang?" Aku kembali terdiam. Sungguh, ini pertama kalinya aku berbicara berdua dengan teman pria. Apa lagi pemuda asing seperti Bima yang tidak begitu kukenal karakternya. Aku jadi bingung harus menjawab apa. Apa pertanyaan seperti itu memang boleh ditanyakan pada seseorang yang ti
Mataku langsung membesar mendengar ucapan bang Haikal. Bukan tuduhan itu yang membuatku terkejut dan merasa jengkel. Tapi karena ada sesosok Bima yang akhirnya mendengar apa yang seharusnya tidak boleh dia ketahui.Dengan ragu aku menoleh ke arah pemuda itu. Memandangnya yang kini terdiam, seolah ikut prihatin dengan apa yang terjadi pada kami. Matanya langsung menyipit memandangku. Seperti menjawab semua kecurigaannya saking seringnya melihatku dalam keadaan menangis."Kenapa kau di sini?" tanya bang Haikal dengan nada tegas. Baru kali ini kulihat wajahnya sampai memerah menahan marah."Aku ada janji dengan Dea," sahutku pelan."Dea? Aku tak melihat ada Dea di sini. Siapa pria ini?" Dia mengangkat dagu dengan sinis. "Pacarmu?" "Abang!" Aku memekik kesal. "Ho, dia pemuda yang ada di pesta itu, kan? Kalian sering bertemu, rupanya. Pantas saja kau mencari alasan untuk__.""Abang! Hish!" Aku kembali memekik. Begitu kesal karena dia tak memberi kesempatan padaku untuk menjawab pertanya
Apa dia benar-benar sudah mengambil keputusan dan meninggalkan pekerjaannya demi aku?Tidak, tidak. Aku pasti salah. Aku tidak boleh terlalu percaya diri. Aku masih terlalu bodoh untuk bisa mengartikan kata-katanya barusan. Apa maksud ucapannya bahwa kini dia seorang pengangguran.Apa dia sungguh-sungguh dipecat? Atau perusahaan itu bangkrut karena aku mengutuknya saat berdoa? Tak memperbolehkan perusahaan itu jadi tempat penampungan pasangan yang sedang berselingkuh?Ya, aku terpaksa berdoa seperti itu agar Kania tak bisa hidup tenang dengan suamiku. Dengan ragu aku memberanikan diri memegang tangannya. Menanyakan sekali lagi apa maksud ucapannya tadi."Abang benar-benar resign dari kantor?" Aku meyakinkan diri. Dia tertawa kecil, lalu mengangguk."Sungguh?" Dia semakin tertawa, lalu kembali mengangguk.Tak bisakah dia menjawab dengan mulutnya saja agar aku merasa lebih yakin? Kenapa suka sekali membuatku berpikir keras untuk mendapatkan jawaban."Iya, Dwi. Aku resmi mengundurkan di
Aku tersenyum sendiri melihat wajah suntuk suamiku. Sudah seminggu ini dia resmi menyandang status sebagai pengangguran. Beberapa lamaran dia kirimkan secara online. Namun hingga saat ini belum juga mendapat panggilan.Terus terang aku menikmati saat-saat seperti ini. Aku jadi punya banyak waktu bersamanya meski hanya sebatas memandang. Bang Haikal bukan tipe pria yang suka berkumpul dengan teman-teman di luaran sana. Jadi bisa dipastikan jika tak ada keperluan, dia bisa dua puluh empat jam berada di rumah bersamaku.Hubungan kami memang tak banyak berubah. Masih tetap seperti anak kost yang tinggal di satu atap, namun memiliki ruangan masing-masing. Namun itu bukan masalah. Asal dia bersikap baik padaku, itu sudah cukup.Aku tak mau lagi menuntutnya terlalu banyak. Aku harus mengerti. Mengubah rasa sayang sebagai kakak dan adik menjadi perasaan yang baru memang bukan hal yang mudah. Apa lagi sempat ada wanita lain yang hadir di antara kami. Jadi melihat usahanya saat ini pun aku suda
Aku menahan senyum. Alasan bang Haikal memang konyol demi menutupi permintaan gilaku waktu itu. Membiarkan dirinya terlihat bodoh di depan sahabat, sekaligus abang iparnya itu."Kalau sampai bulan depan kau belum juga mendapat pekerjaan, kau harus kembali menerima tawaranku. Bekerjalah di kantor ayah!" Bang Eka tampak jadi lebih tegas.Suamiku hanya mengusap tengkuk dengan pasrah. Namun aku yakin, dia tak akan pernah mau hidup bergantung pada keluargaku.*Aku kembali mengantar bang Eka hingga ke pintu mobil. Sikap manjaku masih kulakukan dengan merangkul pinggangnya sambil berjalan. Biasanya jika seperti ini dia tahu kalau aku ada maunya. Tapi sejak menikah, aku benar-benar melakukannya karena rasa sayangku.Ternyata hidup berjauhan dengan orang yang kita sayang menjadikanku selalu rindu. Dia yang biasanya setiap hari bertemu, kini terpisah karena kewajibanku mengikuti suami. Dan aku yakin, abangku juga merasakan hal itu. Kehilangan seorang adik yang biasanya selalu menganggu dan mer
Panggilan ini masih juga dari nomor yang sama. Aku kembali mempertimbangkan ingin menjawabnya atau tidak. Baru saja aku ingin menggeser layar berwarna hijau, panggilan itu seketika berhenti. Mungkin karena aku terlalu lama merespon, atau dia tersinggung karena merasa diabaikan.Tak lama Dea datang dan kembali menempati kursinya. Kami kembali berbincang, sampai kulihat gadis berlesung pipit itu tersenyum dan melambai ke suatu arah. Aku langsung berbalik untuk melihat siapa yang dia sapa.Mataku langsung menyipit melihat Bima sedang berjalan menuju ke arah kami. Aku menatapnya heran. Dia berjalan sambil tersenyum seperti separuh hati. Dia pasti tersinggung dengan sikap cuekku saat dia menelepon tadi."Tadi Bima menghubungiku. Dia melihat postingan kita dan kebetulan berada tidak jauh dari sini." Dea memberi penjelasan tanpa kuminta.Ah, ya. Dia punya opsi lain dengan menghubungi Dea rupanya. Bukankah nomor kami semua tertera di grup alumni SMP? Dia juga pasti anggota pasif sepertiku, hi
Sempat terjadi perdebatan antara aku dan bang Haikal sejak ayah menuruti keinginanku. Meski dengan berbagai pertimbangan dan rembukan keluarga. Mereka akhirnya menyerah. Mungkin bagi mereka bang Haikal memang pantas dan sudah begitu paham tentang diriku. Tak ada yang lebih mengenal dan bisa menenangkanku selain dirinya. Satu-satunya pria yang pernah dan selalu dekat denganku.Dia bilang aku keterlaluan. Membuatnya merasa malu, karena nyatanya ayah dan bang Eka mengaggap lain hubungan kami. Dia tak tahu harus berkata apa. Tak mungkin dia tega mengatakan bahwa aku hanya terobsesi padanya, dan ini hanya perasaan sepihak dariku.Dari sini saja aku sudah yakin, bang Haikal memang paling tahu caranya menghargai perasaanku di hadapan orang lain.Dengan segala cara dia membujukku agar berubah pikiran dan bilang kalau aku hanya bercanda. "Hubungan kita tidak seperti itu, Dwi. Kau bisa mendapatkan pria mana pun yang kau inginkan. Tapi bukan aku. Aku sama seperti Eka. Aku juga abangmu. Kau tak
Aku menunggu suamiku di teras rumah, sembari mendengarkan bacaan doa yang dikumandangkan dengan pengeras suara. Sangat jelas terdengar dari rumahku yang hanya dibatasi oleh jalan kecil saja.Tak lama dia muncul dengan menenteng sebuah bungkusan. Senyumku mengembang, menyambut pria gagah yang mengenakan sarung dan juga baju koko lengan pendek itu. Lalu mengulurkan tangan padanya.Dia langsung menyodorkan bungkusan plastik yang dibawanya, kemudian masuk mendahuluiku. Mataku melotot. Dia begitu tidak peka. Padahal aku sedang belajar menjadi istri yang baik dengan berusaha mencium tangannya. Namun dia salah sangka dan berpikir bahwa aku sudah tidak sabar dengan buah tangan yang dibawa olehnya.Aku mengekor dari belakang sambil merapatkan pintu, mendesis pelan."Ada apa?" Dia seperti menyadari tingkahku."Ah, tidak." Aku mengelak. "Kita langsung makan ya, Bang. Aku lapar." Aku langsung mengalihkan pembicaraan."Kau saja. Aku sudah kenyang!" sahutnya tanpa dosa."Kenapa bisa kenyang?" Aku t