Share

Kehadiran sang mantan

"Eh, ma-maaf, Han," ucapnya gugup, seraya mencoba bangkit dari posisinya dengan wajah yang memerah.

Sepertinya, mas Tama grogi, jadi salah tingkah begitu, aku terkekeh lirih.

"Mas, masa gendong aku aja nggak kuat," ejekku.

"Tadi kan udah gendong dari tangga sampe kamar , udah capek , makanya nggak kuat." Ia berjalan memunggungiku dengan body languange yang menggemaskan.

Ia kembali meraih sapu dan mengerjakannya dengan gesit, sepertinya ingin segera menyembunyikan salah tingkahnya itu.

    Semenjak adegan bopong membopong yang mas Tama lakukan , muncul rasa aneh dari dalam diriku.

Seperti contohnya, jantung berdebar acap kali dekat dengannya, dan merasa risau jika tak nampak batang hidungnya.

Seperti malam ini,saat terbangun dari tidur ku tadi sore.

Aku tak mendapati sosok mas Tama dalam jangkauan penglihatanku.Kulihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul tujuh malam. 

Ku paksakan berdiri dan mencoba mencarinya dibawah.

Karena masih terasa sakit, aku mencoba berjalan menggunakan gagang sapu sebagai penopangnya.

Sesampainya di depan tangga, aku mengurungkan niatku untuk turun, takut jika jatuh dan justru merepotkan.

Nampak mama mertua yang sedang berbincang dengam seorang gadis cantik.

Aku dapat melihatnya karena posisi tangga bersatu dengan ruang tamu.

Karena tak mau mengganggu, aku segera membalikkan badan berniat kembali kedalam kamar.

"Han, Hani, sini turun. Mama mau kenalkan kamu sama seseorang,"  panggil mama mertuaku.

"Eh, iya, Ma." Aku pun menuruni anak tangga satu persatu dengan sangat hati-hati, tak ada niat sedikitpun mama mertuaku untuk membantuku.

Lalu aku duduk tepat disamping wanita cantik  dengan dress berwarna maroon, sangat elegant dan manis dengan geraian rambut curly-nya.

"kenalin, Han, ini Pricilia, mantan pacarnya Tama," ucap mertuaku.

[Deg]

Kenapa saluran pernafasanku terasa menyempit, sesak sekali.

Lalu aku mengulurkan tanganku, ia pun menjabat tanganku sembari melengkungkan sudut bibirnya.

"Hani," ucapku singkat,lalu aku mengulas senyum kecil.

"Cil, ini Hani, istrinya Tama, memang penampilannya kayak gini, kamu maklum aja ya! Soalnya dari kampung," tutur mertuaku, membuatku semakin minder.

Karena sejujurnya memang sedari tadi aku insecure berada ditengah dua wanita sosialita ini.

Gayanya yang sangat stylish berbanding terbalik dengan penampilanku yang hanya memakai rok plisket dipadukan dengan kaus panjang dan jilbab berwarna senada.

"Oh, jadi ini ya istrinya Ganesha Hutama." ucap Pricilia menggut-manggut sembari memindaiku dari ujung kaki hingga kepala.

Aku hanya tertunduk, menekuri lantai berbahan dasar granit dan sekuat tenaga menahan agar pertahanan netraku tak jebol.

" Ya sudah, Ma, Hani pamit ke kamar dulu ya, soalnya kaki Hani masih sakit tadi kesleo," ucapku tanpa menatap mertuaku ataupun Pricilia.

Aku berjalan sangat pelan menuju tangga, masih dapat kutangkap jelas percakapan mereka yang masih mencibir penampilanku.

Ku naiki anak tangga dengan sangat hati-hati, karena penglihatanku kabur akibat terhalangi cairan yang mulai rembes.

Saat berada di anak tangga kedua, tiba-tiba kakiku terpeleset karena tak mampu menjangkau  anak tangga ketiga.

Aku tersungkur sampai ke dasar tangga.

Ingin ku teriak sekuat tenaga karena kakiku yang kesleo membentur  anak tangga.

Namun, saking sakitnya justru mulutku tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun.  

Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya mengalir deras bak banjir bandang.

Aku meringis kesakitan, sedangkan kudengar mertuaku dan Pricilia tertawa terbahak-bahak menyaksikanku yang terkulai penuh derai airmata.

"Hani ... " seseorang berteriak di ambang pintu.

Seketika suasana hening, tak lagi terdengar riuh gelak tawa kedua wanita bak sosialita itu.

Terdengar derap sepasang kaki semakin mendekat ke posisi dimana aku terkulai.

Tak sedikitpun aku berniat untuk menoleh kearah seseorang yang berjalan menghampiriku,maupun kedua wanita yang sedang duduk cantik di sofa itu.

"kenapa kalian menertawakan Hani yang sedang kesakitan?" pekik Hadi Gunawan, dengan nada yang naik beberapa oktaf dari tutur katanya sewaktu pertama kali aku berjumpa dengan papa mertuaku itu.

"Sini,Han, Papa bantu berdiri ya,"tawarnya.

"Tidak usah,Pa, Hani bisa berdiri sendiri. Tadi Hani cuma kepleset aja kok, Pa," tolakku halus, karena sejujurnya aku merasa risih jika bersentuhan dengan orang yang terbilang baru ku kenal.

"Ya sudah, naiknya nanti saja nunggu Tama ya! Sekarang duduk dulu di meja makan sana"

Aku menanggapinya hanya dengan anggukan.

Lalu papa menghampiri mama Anita dan Pricilia.

Dengan volume suara yang dikecilkan ,namun masih dapat terjangkau gendang telingaku, papa mertuaku itu mengusir Pricilia secara halus.

Sungguh, justru aku yang merasa tak enak hati dengan apa yang baru saja terjadi.

Aku takut jika mama Anita semakin tak menyukaiku.

   Aku masih duduk termangu menunggu kepulangan mas Tama, hendak menghubungi pun , ponselku tertinggal di kamar.

 "Tama sudah dihubungi belum, Han?" tanya papa mengagetkanku, yang dalam posisi seperti anak SD yang berdoa sebelum memulai pelajaran.

 Aku segera mendongak lalu berkata "Belum, Pa, ponsel Hani tertinggal di kamar,"

"Kalau gitu, biar papa saja yang hubungi Tama." Papa mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu jari jempolnya menari diatas benda pipih itu.

[Ting... Trintin ting ting]

Suara nada dering ponsel berbunyi, sepertinya tak jauh dari ruang makan ini.

 "Tama, istri kamu dimeja makan, buruan kesini," ucap papa setelah panggilan terhubung, sepertinya ia tahu jika putranya sudah berada didalam rumah.

Tak sampai satu menit,mas Tama sudah memasuki ruangan dimana aku dan papa berada.

"Kok bisa turun, Han? Emang kakinya sudah nggak sakit?" ucapnya heran. "Atau kamu lapar, Han?" lanjutnya.

Aku hanya menggelengkan kepala menanggapi rentetan pertanyaan mas Tama.

"Hani tadi jatuh ditangga, Tam," beber papa.

"Kok bisa sih, Han?, Tadi kan aku sudah bilang, istirahat saja di kamar, kenapa malah turun, Hani!" ucapnya geram.

"Sudah,Tam! Istri lagi sakit kok malah dimarahin. Hani, papa minta maaf atas sikap mama tadi ke kamu ya," lanjut papa,yang seketika mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Tidak, Pa, Papa tidak perlu minta maaf," ucapku

"Memangnya mama kenapa,Pa?" tanya mas Tama.

Aku menatap papa dan memberi kode dengan menggelengkan kepalaku, agar papa tidak menceritakan hal yang sesungguhnya. Namun, usahaku gagal, papa membeberkan perihal mama dan Pricilia.

"Tadi Papa baru saja pulang,Tam, papa terkejut ketika melihat Hani terjatuh dari tangga, tapi Mama dan Pricilia justru menertawai Hani, tanpa membantunya," jelas papa.

Wajah mas Tama merah padam, rahangnya menegang.

Ia menarik nafas panjang, lalu menghembuskan kasar.

Ia ulang beberapa kali, hingga terlihat lebih rileks.

"Han, istirahat dimakar saja ya!" ucap mas Tama.

"Iya, Mas," jawabku singkat.

Lalu mas Tama membopong tubuhku lalu berlalu menuju lantai atas setelah sebelumnya meminta izin kepada papa.

Sesampainya di kamar,mas Tama membaringkan tubuhku di peraduan.

Desiran menjalar keseluruh tubuhku,namun berpusat pada jantung dan hatiku.

"Hani, maafkan sikap mama tadi ya," ucap mas Tama.

"Mas, maafkan aku, jika kehadiranku menjadi pengganggu dalam hubungan Mas dan Pricilia," ucapku tanpa menjawab perkataan mas Tama.

Entah karena hinaan mama, atau karena kehadiran Pricilia yang membuat sesak dalam organ dalamku.

Aku tertunduk lemas, bulir bening lolos satu persatu.

Apakah ini yang dinamakan cemburu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status