Share

JODOH SEJAK DALAM KANDUNGAN
JODOH SEJAK DALAM KANDUNGAN
Penulis: Yuli Estika

Hari bahagia

 "Aduh, Mas pelan-pelan, sakit banget nih," lirihku

"Kamu tahan ya, Han, memang sekarang sakit, tapi nanti juga enakan," 

Aku menggigit bibir bawahku menahan rasa sakit.

***

    Hari sakral yang dinanti kedua pihak keluarga akhirnya terlaksana.

Acara yang cukup mewah menjadi pelengkap kebahagiaan pun digelar.

Keindahan dekorasi lengkap dengan kibaran janur kuning membuatku takjub. Bagaimana tidak?!

Acara luar biasa ini dipersembahkan untukku.

    Hari bahagia selalu terasa cepat berlalu.

Walaupun pernikahan ini atas dasar perjodohan, namun aku rasa mas Tama tidaklah buruk.

Dengan wajahnya yang tampan , dan sepertinya dia adalah orang yang baik.

Kami dipertemukan satu bulan yang lalu oleh kedua orang tua kami.

Dan, dua minggu kemudian kami bertuangan.

Dan saat itulah telah ditetapkannya hari ini,menjadi hari terpenting dalam sejarah hidupku.

Hanya satu minggu kami tinggal bersama orang tuaku, lalu mas Tama mengajakku pulang kerumah orang tuanya yang berada diluar kota.

Dulu bapak dan papa mas Tama bersahabat saat bekerja disalah satu pabrik. 

Dan setelah menikah pun hubungan mereka masih terjalin baik. 

Hingga saat mereka mengetahui saat dilakukannya USG bahwa anak-anak mereka sepasang lelaki dan perempuan, mereke berinisiatif menjodohkan jika sudah dewasa.

Begitu cerita yang kudengar saat pertama kali bertemu mas Tama.

 "Hani pamit ya, Bu. Doakan Hani betah disana!" isakan tangisku tak mampu kuredam saat prosesi sungkem,berpamitan kepada kedua orang tuaku.

Ibu mengelus kepalaku yang terbalut jilbab, tak mampu berkata dan menumpahkan kesedihannya melalui bahasa matanya-- air mata.

"Nak Tama, Bapak titip Hani ya. Jangan pernah kamu sakiti Hani. Tolong kamu jaga dan bimbing dia baik-baik, bahagiakanlah dia.

Jika suatu hari nanti kamu tak menginginkannya lagi, silahkan kembalikan Hani kepada bapak!" pesan bapak kepada mas Tama semakin membuat air yang berada dikelopak mataku tak mampu berhenti mengalir.

Wejangan bapak hanya dibalas anggukan oleh mas Tama.

Lalu bapak beralih menatapku, membelai pucuk jilbabku sembari berkata "Nduk,kamu baik-baik disana ya, yang nurut sama suamimu, jadilah istri yang baik ya. Nduk," selaksa kesedihan terpancar dari sorot mata bapak dan ibu.

Berat sekali melepasku yang memang selama ini tak pernah tinggal jauh dari keduanya.

 Lalu kami berpelukan, baik bapak maupun ibu seolah tak ingin melepas pelukan mereka kepadaku, begitupun aku. Pelukan hangat yang masih sama seperti dulu dan sampai kapan pun.

Aku beranjak dadi posisiku , lalu berjalan keluar.

Terlihat mas Tama sudah menungguku disamping mobil yang akan membawa kami kerumah mertuaku.

 Kutatap ibu dan bapak sebelum masuk kedalam mobil.

Sedari tadi aku tak mampu menghentikan lelehan lahar bening dari netraku.

Aku tak mampu menahan gejolak dalam hatiku, aku berlari menghambur kepelukan ibu, tanpa sadar aku menangis sejadi-jadinya .

"Sudah, Nduk. Jangan nangis terus, kalau kamu rindu , kamu bisa telpon bapak dan ibu," ucap bapak.

Ibu yang sedari tadi terisak hanya mampu menganggukan kepalanya dan menatapku lekat-lekat.

Dengan berat hati aku berjalan menjauhi orang tuaku, menuju mobil.

Setelah mobil melaju perlahan, aku melambaikan tanganku dan kulihat ibu semakin terisak dalam pelukan bapak.

Kupandangi dua orang yang paling kusayangi itu, hingga akara mereka tak nampak, hilang ditelan jarak.

Sepanjang perjalanan aku menghabiskan waktuku dengan membisu seribu bahasa.

Nampaknya, mas Tama pun enggan memulai obrolan. Mungkin ia tau jika aku sedang tak ingin diganggu.

 ***

   Tujuh jam perjalanan telah kami tempuh, hingga roda mobil membawa kami memasuki area pelataran rumah yang cukup mewah.

Sangat jauh berbeda jika disandingkan dengan rumah kedua orang tuaku.

 Aku turun dari mobil dan pandanganku menyapu ke segala penjuru.

"Ayo masuk, Han," ajak mas Tama. "Bawa tasmu sendiri." Ia menjatuhkan tas ransel milikku.

Memang aku tak membawa banyak barangku, hanya beberapa setel pakaian dan beberapa hijab terbaik yang aku punya.

"Iya, Mas."Aku menjinjing tas yang tidak terlalu berat ini dengan satu tangan.

"Assalamu'alikum, Ma! Tama pulang ni, Ma, Pa," ucap mas Tama lantang.

"Wa'alaikum salam, Eh rupanya pengantin baru sudah sampai," sambut papanya mas Tama ramah.

Ibu mertuaku tersenyum lebar ketika memandang mas Tama, lalu mengendurkan tarikan lengkungan pada bibirnya ketika memandangku.

Aku pun menjulurkan tanganku lalu mencium takzim punggung tangan kedua mertuaku.

 

"Kalian istirahat ya, pasti capek karena perjalanan lumayan jauh," ucap papa mertuaku.

"Iya, Pak , Bu, " ucapku

"Tidak usah sungkan-sungkan lagi Hani, sekarang kan kami sudah menjadi orang tuamu juga. Jadi panggil saja Papa dan Mama, ya!" Lalu kubalas dengan ulasan senyum dan anggukan.

"Ya sudah, kami masuk dulu ya, Ma, Pa," ucap mas Tama.

" Iy," jawab papa mertuaku.

Sembari berjalan menaiki anak tangga, karena kamar kami dilantai atas, aku merasa mama mas Tama tak menyukaiku , berbeda dengan papa yang begitu welcome ketika menyambut kedatanganku.

Karena berjalan sambil melamun, kakiku gagal meraih anak tangga selanjutnya, hingga aku kehilangan keseimbanganku dan akhirnya ... 

[buug]

Aku tergelincir hingga turun beberapa tangga, kakiku terasa sakit, sepertinya   kesleo.

"Aw!," pekikku spontan.

Mas Tama yang sudah beberapa meter di depanku pun membalikkan badannya lalu menghampiriku.

"Ya ampun, kamu kenapa kok bisa-bisanya jatuh sih, Han?" ucapnya sembari mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

Namun rupanya kakiku tak sekuat itu untuk kembali menopang bobotku.

"Aduh, sakit sekali, Mas." Aku justru bergelendot ditangan mas Tama karena hanya dapat berdiri dengan satu kakiku.

"merepotkan," cebiknya.

Aku pun menunduk karena rasa sesak mendera ketika mendengar kata yang keluar dari bibirnya.

Aku terkejut ketika ia melemarkan tas yang ia jinjing , lalu meraih tubuhku.

Dibopongnya tubuhku perlahan, menaiki satu persatu anak tangga hingga sampai dilantai dua rumah ini.

Aku menutup mataku rapat-rapat, menahan gejolak dalam hatiku. Jantungku berdegup kencang, karena dari awal bertemu sampai sebelum ini pun kami tak pernah berada dalam posisi tanpa jarak.

 "Ngapain merem?, buka tu pintunya," perlahan aku membuka mataku, lalu kuraih handle pintu dan mendorongnya perlahan.

Aku masih dalam bopongan mas Tama, menambah kencang detak jantungku ketika aku menatap wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku.

Lalu ia membaringkanku diatas   ranjang yang dipenuhi kelopak bunga mawar.

Kelopak bunga itu menyatu berbentuk hati pada tengah ranjang dengan bad cover berwarna cerah ini.

Wangi dan indah sekali.

Aku bangkit dan merubah posisiku menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang.

Mas Tama kembali keluar untuk mengambil tas yang tertinggal di tangga.

Karena rumah yang cukup besar ini, sepertinya kedua mertuaku tak mendengar pekikan ku karena terjatuh tadi.

Terlihat mas Tama kembali memasuki ruangan dengan masing-masing tas ditangan kanan dan kirinya.

Ia meletakkan tas itu diatas meja kaca yang berada didalam kamar ini, lalu menutup pintu.

"Kita kedokter ya, Han," ajak mas Tama.

"Nggak usah, Mas, kayaknya aku butuh tukang urut," jawabku.

"Ya sudah sekarang istirahat aja dulu, nanti aku tanya mama dimana ada tukang urut," timpal mas Tama.

Meskipun belum saling mencintai, kami tidak menolak perjodohan ini.

Walau sikapnya agak dingin, aku bersyukur karena mas Tama mau perhatian kepadaku.

Ku lihat lelaki itu membersihkan kelopak mawar diatas tempat peraduan, lalu menyapunya menuju pojok ruangan.

Aku merasa tak enak hati melihat ia melakukannya sendiri.

"Mas, biar aku saja yang nyapu." Aku berusaha berdiri, namun [buug]

Aku kembali terjatuh.

Mas Tama tergopoh menghampiriku , membopong kembali tubuhku sambil berkata "Aku kan sudah bilang, istirahatlah!" 

Saat akan meletakkan bobotku di atas ranjang , tiba-tiba tubuh mas Tama bergerak tak terkendali. Dan akhirnya ... [Gedebug] 

 Tubuh kami jatuh bersamaan di kasur,posisi dada mas Tama berada diatas kedua benda kenyalku.

Seketika pandangan kami bersirobok, detak jantung kami menyatu dengan tempo tak menentu,seolah sedang berlomba.

Terlihat keringat sebesar biji jagung mengucur dari dahi suamiku.

"Ya Allah, rasa macam apa ini," batinku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status