Share

Perhatian

        Sudah satu minggu usia pernikahan kami, namun kami belum melakukan hubungan selayaknya suami istri yang sesungguhnya.

Sebenarnya jika mas Tama meminta , aku tak akan menolaknya, karena aku sadar itu adalah haknya.

Tapi memang kami masih merasa sama-sama canggung.

 "Hani, aku minta maaf ya, jika selama ini ada sikapku yang kurang berkenan di hatimu," ucap mas Tama,sembari menggengam ragu jemariku.

Aku terhenyak lalu membenarkan posisi dudukku.

Aku merasa gugup dengan perlakuan mas Tama, terlebih ini adalah kali pertama mas Tama berlaku demikian.

"Tidak mengapa, Mas. Aku paham, lagi pula pertemuan kita ini bukan kehendak mas,bukan?! Melaiknkan kehendak orang tua kita." Tatapku nanar.

"Apalagi, mantan Mas yang begitu modis, berbanding terbalik dengan penampilanku yang lusuh ini," lanjutku. Air mata pun kembali menganak sungai.

"Apakah, Mama dan Pricilia menghinamu, Han?"

Aku menggeleng sembari berkata "Tidak, Mas. Aku cukup mengerti dan sadari diri."

Tanpa memperdulikan jawaban dariku, mas Tama bangkit dari duduknya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya.

"Apa yang sudah kamu lakukan kepada istriku?" ucap mas Tama kepada seseorang disebrang sana, yang ku yakini adalah Pricilia.

"Jangan lagi kamu berani mengganggunya, atau kamu akan terima akibatnya. Kamu juga tak perlu datang lagi kerumah ini," lanjutnya.

Lalu mas Tama menutup panggilan dan meletakkan telepon pintar miliknya diatas nakas.

"Mas," panggilku.

"Iya, Han, aku turun dulu ya, mau ambil makan buat kamu," 

"Sebentar, Mas, aku mau bicara,"

"Ada apa, Han?" Mas Tama menatapku lekat.

Membuat desir jantungku terasa ngilu , semua terasa begitu entah, sulit untuk dijelaskan.

"Eh..." aku gugup, ucapanku terbata , mulutku ini seperti sulit mengolah dan mengeluarkan kata yang sudah ditransfer oleh otak.

"Mau ngomong apa, Han? Kok malah jadi gagap dadakan," godanya.

"Aku mau ngomong serius tau, Mas,"

"Ya udah, buruan ngomong aku dengerin," kata mas Tama.

"sebenarnya Mas tak perlu bersikap seperti itu kepada Pricilia, Mas. Aku tidak mau ada salah paham antara aku dan mama, Mas," ucapku tertunduk.

"Sudah,Han, Tidak usah mikir macam-macam. Pikirkan dulu kesehatanmu agar cepat pulih,aku tinggal dulu kebawah ambil makan buatmu." Mas Tama berjalan lalu menutup pintu kamar.

  Semenjak kejadian tadi, jujur saja aku jadi takut bertemu dengan mama mertuaku.

Ternyata benar, beliau tidak menyukaiku.

Sepertinya, karena beliau lebih menyukai Pricilia.

  Sekitar sepuluh menit, mas Tama kembali masuk kekamar dengan membawa nampan berisi sepiring nasi dan dua buah gelas, segelas air putih dan segelas susu hangat.

 "Makan dulu, Han." Mas Tama menyodorkan piring berisi nasi, sup dan ayam goreng.

"Iya, Mas. Mas Tama sudah makan?" tanyaku, lalu menyuap nasi kedalam mulutku.

"Aku sudah makan diluar tadi," jawabnya.

Aku merasa cukup lapar, karena selama perjalanan menuju kemari, aku hanya makan camilan saja.

Tak membutuhkan waktu lama, isi piring lun ludes tak bersisa.

"Buset, cepet amat makannya. Laper apa doyan?" oloknya

"Laper tau, dari tadi pagi kan belum makan nasi," cebikku, karena merasa kesal sekaligus malu.

Aku pun meneguk satu gelas air putih hingga tandas.

"Alhamdulillah," ucapku sembari menelungkupkan dua telapak tanganku dan mengusap ke wajah.

"Oh iya, Mas, sebenarnya tadi aku turun buat nyari kamu, Mas. Mas kemana sih?" 

"Tadi aku cari tukang urut, tapi tukang urutnya lagi keluar rumah, tadi aku tunggu sampe lama sekali tapi nggak pulang-pulang," jelasnya.

"Oh, gitu," jawabku.

"Kenapa nggak nelfon, Han, malah turun, akhirnya begini kan," ucapnya sembari melirik kearah kakiku yang kesleo.

"Tadinya Hani nggak mau turun sih Mas, aku lihat ada mama lagi ngobrol sama mantan kamu, dan mama manggil aku, jadi ya aku turun deh, Mas" Aku memberi penekanan saat menyebut kata mantan.

"Lain kali hati-hati ya, Han. Mending nggak usah turun dulu kalau sendirian, tunggu sampai sembuh!"

"Iya, Mas," timpalku.

Mas Tama beranjak menuju nakas lalu meraih ponselnya dan duduk di sofa yang berada di dalam ruangan ini.

Jemarinya menari-nari di layar ponselnya, entah sedang memainkan apa.

Aku memperhatikan raut serius mas Tama, menampakkan kewibawaan dalam dirinya.

Aku terkejut dan memjadi salah tingkah kala mas Tama berjalan mendekatiku.

" Sini kakinya, dari pada nunggu tukang urutnya lama." Tangan mas Tama hendak meraih kakiku.

"Eh ... Mau ngapain,Mas?" Spontan aku menjauhkan kakiku dari jangkauan mas Tama, namun ...

"Aw!" pekikku.

Aku lupa jika kakiku sedang cidera.

"Sudah, kamu nurut saja," ucap mas Tama.

"E....e-mang mas Tama bisa ngurut?" tanyaku ragu.

"Aku udah searching gimana cara ngurut kaki yang kesleo," jawabnya meyakinkan.

Aku hanya pasrah membiarkan mas Tama menjamah kakiku .

"Aduh, Mas pelan-pelan, sakit banget nih," lirihku.

"Kamu tahan ya, Han, memang sekarang sakit, tapi nanti juga enakan,"

Aku menggigit bibir bawahku menahan rasa sakit.

Aku tak kuat menahan rasa sakitnya, aku mengambil bantal disampingku lalu menggigitnya, dan aku pun menangis tanpa suara.

Saat sedang dalam prosesi urut mengurut, tiba-tiba terdengar suara gedoran dari arah pintu.

[Dor ... dor ... Dor]

"Tam, buka pintunya," ucap seseorang dibalik daun pintu.

Walaupun baru sehari tinggal dirumah ini, namun aku hafal betul siapa pemilik suara melengking itu.

Ya, tentunya mama Anita, mama mertuaku.

Mas Tama bergegas berjalan ke arah pintu, meraih handel pintu lalu memutarnya.

Saat pintu terbuka ku lihat mama Anita memasang ekspresi judesnya.

Tak lama setelah pintu dibuka, ia pun berkata " Bisa-bisanya ya kamu, Tam, udah bikin nangis anak orang, tapi kamu malah enak-enakan di kamar," 

"Mama ngomong apa sih, Ma. Tama nggak ngerti, Tama lagi ngurut kaki Hani, Ma," jawab mas Tama.

" Dulu kamu bilang sebenarnya nggak mau nerima perjodohan itu,Tam. Tapi kenapa sekarang kamu jadi nurut banget sama perempuan itu." Bibir mama menjep, yaitu bibir bawah nya ia majukan dan ia arahkan kepadaku.

Ku lihat mas Tama menengok ke arahku sebentar, lalu kembali menghadap kearah mamanya.

"Ma, kenapa mama bicara seperti itu di depan Hani," kata mas Tama.

Sepertinya ia merasa tak enak karena mamanya berkata langsung dihadapanku.

Rupanya aku terlalu baper dengan perhatian yang mas Tama berikan .

Mungkin itu hanya bentuk dari rasa iba saja.

"Sekarang Pricil ada dibawah, segera turun dan temui dia jika kamu masih menghargai Mama," ucapnya, lalu memunggungi mas Tama dan berlalu tanpa menunggu tanggapan mas Tama.

Mas Tama menghadap kearahku , lalu segera aku memalingkan wajahku menghadap jendela dengan tirai bermotif love.

"Hani ... " panggilnya.

"Turunlah, Mas. Temuilah wanita itu," ucapku tanpa beralih dari pandangan ku kearah jendela.

"Tidak, Han, aku urut lagi ya kakinya." Mas Tama beringsut perlahan mendekatiku.

" Sudah Mas!" pekikku.

Mas Tama membulatkan matanya, sepertinya ia terkejut dengan ucapanku yang cukup lantang.

"Tidak usah lagi berpura-pura menerima perjodohan ini, Mas. Kehadiranku disini tidak diharapkan, kembalikanlah aku kepada orang tuaku mas," ucapku.

"Hani! Apa yang kamu katakan?"

"Cukup, Mas, sekarang turunlah , temui Pricilia, jangan membuat mama berfikir aku melarangmu menemui wanita itu." Aku merosot dan membenamkan wajahku dibalik selimut, dan kembali terisak didalamnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status