Share

Menuju Rumah Sakit

Mas Tama menatapku lekat. 

Entah tatapan yang berarti apa, akupun tak mengerti. 

Ketika tatapan kami bersirobok, aku terpaku beberapa detik. 

Tatapan mata yang tajam itu seolah mengisyaratkan ketidaksukaannya atas apa yang baru saja kuucapkan.

Meskipun Mas Tama cenderung bersikap dingin, tapi ia tak pernah menatapku semarah itu.

Aku lantas memalingkan wajah ke arah depan. 

"Kamar sebelah?  Maksud kamu apa, Han? "

"Semalam kamu dan Pricilia kan yang di kamar sebelah? "

Mataku mulai berkaca-kaca. 

Entah rasa macam apa ini, apakah ini cemburu? 

Atau aku seperti ini hanya karena merasa tak dihargai sebagai istri? 

Mataku memanas, rasanya tak perlu aku menangis di depan Mas Tama. 

Namun, mataku justru tak mau diajak kompromi. 

Seenaknya sendiri cairan bening itu lolos begitu saja. 

"Itu tidak seperti yang kamu fikirkan, Han," sergahnya. 

"Lalu apa, Mas? Dua manusia dewasa, berlawanan jenis berada dalam ruangan tertutup, apalagi kalian dahulu adalah sepasang kekasih!"

Aku menangis sesenggukan, tak kupedulikan pemikiran Mas Tama yang mungkin saja berfikir aku adalah wanita yang terlalu posesif. 

"Buang fikiran burukmu, Hani! Aku hanya memberi peringatan kepada Pricilia," ucapnya. 

"Memberi peringatan katamu,Mas? Hehehe apakah harus berada di dalam kamar yang tertutup?" Aku tersenyum kecut sembari mengusap airmataku. 

Mas Tama melajukan mobilnya kembali dengan kecepatan yang lebih dari sebelum terjadi perdebatan tadi. 

Seperti ada yang mengganjal di dalam hatiku. 

Bukannya membujukku, ia malah diam saja. 

Kami pun seolah ingin menjadi pemenang dalam ajang lomba bertajuk "paling lama diam".

Sampailah kami di Rumah Sakit, lalu Mas Tama memanggil salah satu perawat.

Perawat itu kembali masuk ke dalam Rumah Sakit itu, lalu keluar dengan mendorong kursi roda. 

"Mas aku masih bisa jalan kok. Nggak perlu pakai kursi roda,"

"Sudah, kamu nurut aja, Han. Biar kamu tidak capek," 

Aku pun hanya bisa menuruti kemauan suamiku itu, karena menolak pun percuma. Ia pasti akan tetap memaksa. 

"Biar saya saja, Sus!" ucap Mas Tama sembari mengambil alih kursi rodaku yang hendak didorong oleh Suster. 

Kami masih harus mengambil nomor antre, lalu menunggu panggilan untuk mendapat pemeriksaan dari dokter spesialis.

Aku hanya duduk sembari menunggu Mas Tama yang sedang mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan. 

"Tinggal tunggu panggilan aja, ini kamu pegang nomor antre-nya." Mas Tama mengulurkan tangannya yang terdapat kertas kecil bertuliskan angka lima belas. 

Aku meraih kertas itu dan menyimpannya di saku. 

"Padahal datangnya sudah pagian kok masih dapet nomor antrean lima belas sih," aku berdecak kesal. 

Mas Tama hanya melirikku lalu menghela nafas panjang. 

"Mas, ini masih lama antreannya, mending kamu berangkat saja ke kantor. Aku bisa sendiri kok," ucapku, karena pasti Mas Tama akan terlambat jika harus menungguku hingga selesai. 

"Beneran kamu berani sendirian?  Nanti pulangnya naik taksi ya, Han!" 

"Iya, Mas,"

Namun saat Mas Tama berpamitan, tiba-tiba Pricilia muncul dan langsung menggandeng lengan Mas Tama. 

"Eh, kalian di sini juga, kakimu masih sakit ya, Han?" ucapnya. 

Aku memutar bola mata, malas. 

Mas Tama buru-buru melepaskan tangan Pricilia yang bergelayut manja. 

"Apa-apaan kamu, Cil," Mas Tama nampak risih dengan kelakuan Pricilia barusan.

"Dunia memang selebar daun kelor ya, Mas" ucapnya dengan menatap Mas Tama. 

Ingin rasanya kutimpuk sandal muka glowingnya itu.

"Sabar,Han," gumamku.

"Mas, gimana yang semalam, puas 'kan?!" 

Pertanyaan yang keluar dari mulut Pricilia berhasil membuatku naik darah. 

Bersusah payah aku berusaha berdiri, lalu mendekati Pricilia yang berada tepat di samping Mas Tama. 

"Apa maksud ucapanmu, Cil?"

Kuberanikan diri menatap tajam mata sipit yang sebenarnya cantik dan indah, namun tak seindah kelakuan pemiliknya. 

"Apa maksudmu berkata seperti itu, Cil? Pergi kamu dari sini!" hardik Mas Tama. 

"Kamu tidak usah dengarkan ocehan wanita ini, Han," lanjutnya lagi. 

"Pricilia, kamu itu cantik. Tapi jangan gunakan kecantikanmu untuk merusak kebahagiaan orang lain!" hardikku. 

Entah mendapat keberanian dari mana, biasa-bisanya aku berkata demikian kepada Pricilia. Mungkin karena emosi yang sudah merajai diri ini. 

Tangan Pricilia menggantung di udara, ia hendak menamparku namun di tangkis oleh Mas Tama.

"Jangan sekali-kali kamu berani menyentuh istriku!"

Mata Mas Tama memerah, kata itu ia ucapkan dengan penuh penekanan.

Pembelaan Mas Tama terhadapku cukup membuatku terkejut dan hatiku seperti menjadi taman bunga dadakan.

Apakah aku telah salah menilai suamiku?

Apakah semalam Mama Anita hanya memprovokasiku saja? 

Mas Tama menuntunku duduk kembali di kursi roda. 

Lalu berkata "Jika kamu tak mau pergi, baiklah, biar kami yang pergi." Mas Tama mendorong kursi rodaku menjauh dari Pricilia yang menatap murka kepada kami. 

"Sus, kami mau cari sarapan dulu, istri saya dapat nomor lima belas, nanti kalau sudah mendekati tolong cari kami di kantin ya, Sus," ucap Mas Tama kepada salah satu Suster yang bertugas. 

Sesampainya di kantin, Mas Tama memesan makanan dan minuman tanpa bertanya dahulu aku ingin makan apa. 

Setelah memesan, kulihat Mas Tama sedikit menjauh lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. 

Ia berbincang sebentar melalui ponselnya, lalu kembali memasukkannya ke dalam saku. 

"Mas, maafkan atas sikapku tadi di mobil ya. Aku sudah nuduh Mas yang tidak-tidak, " ucapku tak enak hati. 

"Tak apa, Han. Yang penting  sekarang kamu hilangkan fikiran burukmu itu," jawabnya. 

Kulihat jam digital di ponselku. 

Waktu menunjukkan pukul setengah delapan. 

"Mas sudah jam setengah delapan ini, buruan berangkat pasti sudah telat," ucapku mengingatkan.

"Barusan aku sudah telpon ke kantor,aku sudah izin untuk tidak berangkat lagi hari ini," ucapnya. 

Aku tersenyum simpul.

Jadi Mas Tama cuti lagi dan justru lebih memilih menjagaku karena ada Pricilia.

Masya Allah, kenapa hatiku dagdigdug tak menentu? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status