Mas Tama menatapku lekat.
Entah tatapan yang berarti apa, akupun tak mengerti. Ketika tatapan kami bersirobok, aku terpaku beberapa detik. Tatapan mata yang tajam itu seolah mengisyaratkan ketidaksukaannya atas apa yang baru saja kuucapkan.Meskipun Mas Tama cenderung bersikap dingin, tapi ia tak pernah menatapku semarah itu.
Aku lantas memalingkan wajah ke arah depan."Kamar sebelah? Maksud kamu apa, Han? "
"Semalam kamu dan Pricilia kan yang di kamar sebelah? "
Mataku mulai berkaca-kaca.
Entah rasa macam apa ini, apakah ini cemburu? Atau aku seperti ini hanya karena merasa tak dihargai sebagai istri?Mataku memanas, rasanya tak perlu aku menangis di depan Mas Tama.
Namun, mataku justru tak mau diajak kompromi. Seenaknya sendiri cairan bening itu lolos begitu saja."Itu tidak seperti yang kamu fikirkan, Han," sergahnya.
"Lalu apa, Mas? Dua manusia dewasa, berlawanan jenis berada dalam ruangan tertutup, apalagi kalian dahulu adalah sepasang kekasih!"
Aku menangis sesenggukan, tak kupedulikan pemikiran Mas Tama yang mungkin saja berfikir aku adalah wanita yang terlalu posesif.
"Buang fikiran burukmu, Hani! Aku hanya memberi peringatan kepada Pricilia," ucapnya.
"Memberi peringatan katamu,Mas? Hehehe apakah harus berada di dalam kamar yang tertutup?" Aku tersenyum kecut sembari mengusap airmataku. Mas Tama melajukan mobilnya kembali dengan kecepatan yang lebih dari sebelum terjadi perdebatan tadi.Seperti ada yang mengganjal di dalam hatiku.
Bukannya membujukku, ia malah diam saja.Kami pun seolah ingin menjadi pemenang dalam ajang lomba bertajuk "paling lama diam".
Sampailah kami di Rumah Sakit, lalu Mas Tama memanggil salah satu perawat.Perawat itu kembali masuk ke dalam Rumah Sakit itu, lalu keluar dengan mendorong kursi roda. "Mas aku masih bisa jalan kok. Nggak perlu pakai kursi roda,""Sudah, kamu nurut aja, Han. Biar kamu tidak capek,"
Aku pun hanya bisa menuruti kemauan suamiku itu, karena menolak pun percuma. Ia pasti akan tetap memaksa."Biar saya saja, Sus!" ucap Mas Tama sembari mengambil alih kursi rodaku yang hendak didorong oleh Suster.
Kami masih harus mengambil nomor antre, lalu menunggu panggilan untuk mendapat pemeriksaan dari dokter spesialis.
Aku hanya duduk sembari menunggu Mas Tama yang sedang mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan. "Tinggal tunggu panggilan aja, ini kamu pegang nomor antre-nya." Mas Tama mengulurkan tangannya yang terdapat kertas kecil bertuliskan angka lima belas.Aku meraih kertas itu dan menyimpannya di saku.
"Padahal datangnya sudah pagian kok masih dapet nomor antrean lima belas sih," aku berdecak kesal.Mas Tama hanya melirikku lalu menghela nafas panjang.
"Mas, ini masih lama antreannya, mending kamu berangkat saja ke kantor. Aku bisa sendiri kok," ucapku, karena pasti Mas Tama akan terlambat jika harus menungguku hingga selesai."Beneran kamu berani sendirian? Nanti pulangnya naik taksi ya, Han!"
"Iya, Mas,"
Namun saat Mas Tama berpamitan, tiba-tiba Pricilia muncul dan langsung menggandeng lengan Mas Tama.
"Eh, kalian di sini juga, kakimu masih sakit ya, Han?" ucapnya.
Aku memutar bola mata, malas. Mas Tama buru-buru melepaskan tangan Pricilia yang bergelayut manja."Apa-apaan kamu, Cil," Mas Tama nampak risih dengan kelakuan Pricilia barusan.
"Dunia memang selebar daun kelor ya, Mas" ucapnya dengan menatap Mas Tama.
Ingin rasanya kutimpuk sandal muka glowingnya itu.
"Sabar,Han," gumamku.
"Mas, gimana yang semalam, puas 'kan?!"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Pricilia berhasil membuatku naik darah.
Bersusah payah aku berusaha berdiri, lalu mendekati Pricilia yang berada tepat di samping Mas Tama.
"Apa maksud ucapanmu, Cil?"
Kuberanikan diri menatap tajam mata sipit yang sebenarnya cantik dan indah, namun tak seindah kelakuan pemiliknya.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Cil? Pergi kamu dari sini!" hardik Mas Tama."Kamu tidak usah dengarkan ocehan wanita ini, Han," lanjutnya lagi.
"Pricilia, kamu itu cantik. Tapi jangan gunakan kecantikanmu untuk merusak kebahagiaan orang lain!" hardikku.
Entah mendapat keberanian dari mana, biasa-bisanya aku berkata demikian kepada Pricilia. Mungkin karena emosi yang sudah merajai diri ini.
Tangan Pricilia menggantung di udara, ia hendak menamparku namun di tangkis oleh Mas Tama.
"Jangan sekali-kali kamu berani menyentuh istriku!"
Mata Mas Tama memerah, kata itu ia ucapkan dengan penuh penekanan.Pembelaan Mas Tama terhadapku cukup membuatku terkejut dan hatiku seperti menjadi taman bunga dadakan.
Apakah aku telah salah menilai suamiku?
Apakah semalam Mama Anita hanya memprovokasiku saja?Mas Tama menuntunku duduk kembali di kursi roda.
Lalu berkata "Jika kamu tak mau pergi, baiklah, biar kami yang pergi." Mas Tama mendorong kursi rodaku menjauh dari Pricilia yang menatap murka kepada kami."Sus, kami mau cari sarapan dulu, istri saya dapat nomor lima belas, nanti kalau sudah mendekati tolong cari kami di kantin ya, Sus," ucap Mas Tama kepada salah satu Suster yang bertugas.
Sesampainya di kantin, Mas Tama memesan makanan dan minuman tanpa bertanya dahulu aku ingin makan apa.
Setelah memesan, kulihat Mas Tama sedikit menjauh lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.
Ia berbincang sebentar melalui ponselnya, lalu kembali memasukkannya ke dalam saku. "Mas, maafkan atas sikapku tadi di mobil ya. Aku sudah nuduh Mas yang tidak-tidak, " ucapku tak enak hati."Tak apa, Han. Yang penting sekarang kamu hilangkan fikiran burukmu itu," jawabnya.
Kulihat jam digital di ponselku.
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan."Mas sudah jam setengah delapan ini, buruan berangkat pasti sudah telat," ucapku mengingatkan.
"Barusan aku sudah telpon ke kantor,aku sudah izin untuk tidak berangkat lagi hari ini," ucapnya.
Aku tersenyum simpul.
Jadi Mas Tama cuti lagi dan justru lebih memilih menjagaku karena ada Pricilia.
Masya Allah, kenapa hatiku dagdigdug tak menentu?
"Kalian lanjutkan makannya, ya! Papa sudah selesai, mau lanjutkan kerjaan kantor yang tadi belum kelar, " ucap Papa."Iya, Pa," jawab Mas Tama.Setelah Papa meninggalkan meja makan, Mas Tama menatapku lagi dengan senyuman yang berhasil membuatku tersepona dengan ketampanannya. Eh ... Terpesona."Rupanya istriku ini pandai masak, ya!"Aku tersipu mendengar pujian dari suamiku itu."Ah, Mas Tama bisa saja. Di kampung, aku sudah biasa masak, Mas,""Berarti lain kali boleh dong kalau aku minta kamu masakin aku setiap hari, khusus untukku!" ucapnya, sambil mengerlingkan."Tentu boleh dong, Mas."&nb
Aku segera bangkit dengan tubuh polos yang hanya berbalut selimut.Aku tidak bisa berjalan seperti biasanya karena organ kewanitaanku terasa semakin sakit saat melangkah.Aku melangkah perlahan, kakiku seperti tidak menapak di lantai, aku berjalan seperti habis sunat.Sesekali aku menengok Mas Tama.Rupanya ia tengah asyik menertawaiku, dipikir sedang nonton lawak apa."Mas, kok malah ketawa, sakit, nih!""Jalanmu lucu, Han. Kayak habis sunat." Mas Tama melanjutkan tawanya.Meskipun terasa sakit, aku tetap berjalan sewot, menuju kamar mandi.Aku berdiri di bawah deraian air dari shower.Membuat tubuhku terasa rileks.Masih menari-nari dalam ingatanku, bagaimana Mas Tama membawak
"Hani, kamu tidak apa-apa, kan?!""Tidak, Mas." Aku bergegas meninggalkan Mas Tama.Ada rasa nyeri pada ulu hati saat mengingat Mas Tama berduaan dengan Pricilia.Dengan alasan apapun, mengapa Mas Tama sampai mau diajaknya ke taman belakang?Tujuan utamaku adalah kamar.Tempat paling nyaman di rumah ini bagiku.Derap kaki mengikutiku dari belakang, "Hani, dengarkan penjelasanku dulu!"Aku mencoba meredam amarah yang berkecamuk dibagian dalam tubuhku.Namun sulit, gemuruh kian meraja lela di dalam sana.Kupercepat langkahku, kaki yang terasa nyeri seolah tak terasa, kalah oleh nyerinya hatiku.Bahkan, aku istri sahnya belum berani semesra itu menggandeng tangannya, menyandarkan kepala ini di bahunya.Air mata
"Hani, maafkan aku jika selama ini bersikap dingin kepadamu, bukannya aku menolak perjodohan kita, aku hanya merasa pernikahan ini terlalu cepat," "Aku pun merasakan hal yang sama, Mas, tapi aku yakin bahwa jalan yang Allah beri ini adalah yang terbaik," " Aku baru sadar, setelah kamu hilang, ada separuh jiwa aku yang kamu bawa, aku merasa hampa, kosong, dan linglung saat aku pulang tapi kamu sudah tidak ada di rumah," "Maafin Hani, Mas, Hani kurang hati-hati sehingga membuat Mas Tama khawatir," "Lain kali jangan pergi jauh-jauh lagi ya, untung saja kamu bertemu dengan orang-orang baik," Aku mengangguk, masih tak menyangka kalau saat ini aku suda
" Kamu kemana saja, Hani. Aku khawatir banget sama kamu." Mas Dirga mengatupkan kedua tangannya di pipiku, sembari menatapku dengan mata yang berkaca."Maaf, Pak. Istri anda tersesat dan melapor ke Kantor kami. Kami dapat melacak alamat rumah ini dari nomor ponsel yang Ibu Hani berikan kepada kami," ucap Pak Polisi."Terima kasih banyak, Pak. Sudah mengantar istri saya sampai rumah dengan selamat." ucap Mas Tama."Sudah tugas kami untuk membantu, Pak. Kami permisi, selamat siang.""Siang, Pak. Sekali lagi terima kasih banyak,"Setelah mobil Polisi menjauh, aku kembali menatap Mas Tama.Ada yang merembes dari sudut mataku.Kupeluk erat tubuh suamiku, dan menumpahkan ketakutan serta kerinduanku.Ia membalas peluka
Seseorang yang entah aku pun tak mengetahui siapa itu menjadi bulan-bulanan dua preman hingga babak belur."Halo, Pak, Pak Polisi sudah dekat? Oke, langsung ke sini saja,Pak." Aku menempelkan tanganku ke telinga.Dua preman itu lari kocar-kacir setelah sebelumnya saling pandang beberapa saat.Aku hanya mendekat ke lelaki itu tanpa menolongnya berdiri."Terima kasih sudah menolongku,"Ia mengulurkan tangannya hendak bersalaman denganku, sembari mengucap namanya."Guntur ... "Aku segera mengatupkan kedua tanganku di hadapanku."Hani ... "Ia menarik kembali tangannya dengan ekspresi tak enak hati."Kenapa sendirian malam-malam begin