Share

Misteri kamar sebelah

"Hani ...   "

Panggilan dan sentuhan lembut di bahuku, menyadarkanku.

"Eh...  Iya, Mas, ada apa?"

"Nanti aku sudah mulai kerja,  kalau kakimu masih sakit, biar aku beritahu mama agar antarkan makanan ke kamar," ucapnya dengan ekspresi wajah datar. 

"Tidak usah, Mas, kakiku sudah mendingan, nanti biar aku turun saja," ujarku. 

Ia hanya mengangguk menanggapi ucapanku. 

Melihat ekspresinya begitu,  ingin sekali kugoda dirinya. 

Suka perhatian tapi cuek,  dasar MMTP alias malu malu tapi mau. Aku terkekeh sembari berceloteh dalam hati. 

Tapi entah mengapa aku menyukai perlakuan suamiku,  apakah aku mulai menyukainya? 

"Kamu 'tu aneh ya, Han. Kadang bengong, kadang senyum-senyum sendiri, kesambet baru tau rasa." Mas Tama beranjak dari hadapanku. 

Kupandangi lelaki yang kini sudah resmi menjadi imamku tersebut, bukan hanya pekerja keras, ternyata ia juga cukup agamais. 

Apa-apaan aku ini, terus menyanjungnya. Kalau dia lelaki baik-baik, mana mungkin ia mau berduaan dengan mantan pacarnya itu di dalam ruangan yang tertutup. 

Lagi-lagi kejadian semalam bersemayam dalam benakku. 

Ku rapikan mukena dan sajadah yang tercium aroma baru, sepertinya memang sengaja dibelikan untukku. 

Kulihat Mas Tama menyiapkan pakaian kerjanya. Ia masuk ke dalam Kamar mandi. 

Seperti biasa, ia akan mengganti pakaian di dalam sana. Begitupun aku, yang akan mengusirnya keluar kamar ketika akan mengenakan pakaian. 

Mas Tama keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah rapi, berpadu dengan dasi dan jas yang membuatnya lebih terlihat maskulin. 

"Memang sudah biasa siap-siap sepagi ini ya, Mas?" tanyaku heran.

Karena jarum jam menunjukkan pukul setengah enam, dan di luar pun pencahayaan masih nampak temaram. 

"Biasanya jam tujuh aku berangkat kerja, tapi setelah ambil cuti cukup lama, rasanya tak enak jika berangkat kerja kesiangan." Mas Tama merapikan kerah bajunya. 

"Tolong kancingkan lengan bajuku, Han," lanjutnya.

Mas Tama mendekatkan tangannya kepadaku, kuraih lengan baju Mas Tama dan mulai mengancingkannya.

Setelah selesai, entah mendapat keberanian dari mana, aku menarik tangan Mas Tama. 

"Mas, duduk dulu, aku ingin bicara sebentar! " ucapku. 

"Ada apa, Han?" Mas Tama duduk di sampingku. 

"Aku boleh tanya sesuatu Mas?"

"Mau tanya apa?" Tatapan Mas Tama berubah tanya. 

"Semalam itu, Mas Tama jadi menemui Pricilia?"

Mas Tama terlihat menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. 

Sesaat setelah itu ia menatapku lekat. 

"Iya, semalam aku temui dia, emangnya kenapa, Han? "

Aku mendengkus geram, bisa bisanya bertanya emangnya kenapa, lalu dia anggap aku ini apa? 

"Oh iya aku lupa kalau aku ini bukan siapa-siapa, hanya wanita yang dipaksa hadir diantara kamu dan Pricilia," ucapku, lalu ku alihkan pandangan agar ia tak melihat air yang mulai menggenang di bagian bawah pelupuk mataku.

"Udah, cuma mau ngomong itu aja?"

Tanggapan Mas Tama membuat dadaku semakin sesak. 

Aku tak berniat menanggapinya lagi. 

"Han, dia itu hanya masa lalu aku, dan kamu nggak perlu khawatir, aku paham posisiku saat ini," 

"Ayo kita turun dan segera sarapan, udah jam enam lewat, takut macet di jalan," ucapnya enteng. 

Bukannya menjelaskan dan berusaha meyakinkanku, sikap mas Tama justru seolah mengalihkan pembicaraan agar aku tak bertanya lagi. 

Aku melenggang perlahan tanpa memperdulikan suamiku itu. Beruntung kakiku sudah tidak sesakit kemarin. 

 Sesampainya di ambang tangga, aku berfikir sejenak, lebih baik kutunggu mas Tama, dari pada nanti kikuk sendirian di depan mertua. 

Tak berselang lama, mas Tama terlihat menutup pintu kamar. 

"Ngapain di sini?  Ayo turun." Tangannya menggandengku.

"Aku bisa sendiri," jawabku ketus. 

Ia pun melepaskan tanganku dan berjalan lebih dulu di depanku.

"Kakinya sudah sembuh, Han? " Papa mertuaku memperhatikan kakiku. 

"Sudah mendingan, Pa," jawabku singkat. 

"Ini kan masih pagi, Tam, lebih baik kamu bawa Hani ke Rumah Sakit dulu, biar di kasih obat pereda nyerinya, lagian kantor kamu 'kan searah dengan Rumah Sakit, " kata Papa. 

"Gitu aja kok manja, nanti juga sembuh sendiri," tukas mama mertuaku.

Papa mertukaku memukul pelan tangan mama. 

Aku yang merasa tak enak hanya menunduk.

"Maafkan mamamu ini ya,  Han!" kata papa lagi.

"Betul kata mama, ini sudah mendingan kok, Pa. Jadi, tidak perlu ke Rumah Sakit,"

"Nanti aku akan antar kamu ke Rumah Sakit, Han. Betul kata papa, tidak baik juga kalau didiamkan, bisa-bisa malah berdampak jangka panjang," kata mas Tama. 

Aku hanya mengangguk. 

"Tapi, nanti pulangnya pakai taksi ya, pasti aku telat ke kantornya kalau harus antar kamu pulang dulu," lanjut mas Tama. 

"Iya, Mas" lirihku.

Kulihat papa mertuaku tersenyum simpul, sedangkan mama Anita mendengkus kesal. 

Entahlah, sebenarnya apa salahku sampai mama mertuaku tidak menyukaiku. 

Setelah selesai sarapan, aku membawa piring-piring kotor ke tempat pencucian. 

Tapi mas Tama mengingatkanku untuk segera bersiap.

"Sudah, letakkan saja di situ,cepat siap-siap," ucapnya. 

Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar. 

Lima belas menit kemudian, dengan tergesa-gesa akhirnya aku sudah rapi berbalut longdres yang selaras dengan jilbab yang senada.

  Dalam perjalanan aku lebih memilih banyak diam, tiba-tiba keinginan untuk memiliki hunian sendiri muncul begitu saja.

"Mas, aku pengen tinggal pisah sama orangtuamu, biar lebih mandiri gitu," ucapku. 

"Kita 'kan belum lama menikah, Han," ucapnya. 

"Emangnya kenapa kalau baru menikah, Mas? Apakah tidak bisa move on dari kamar sebelah," tak dapat lagi kutahan gejolak dan unek-unek dalam hatiku. 

"Kamar sebelah ... Maksud kamu apa sih, Han? "

Lagi-lagi ia berlagak beg*.

Aku membuang pandangan ke luar jendela tanpa menjawab pertanyaan mas Tama. 

Aku berkesiap ketika mobil direm secara mendadak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status