"Aku tahu aku tampan, tapi apa kamu harus memandangiku sampai air liurmu menetes seperti itu?"
Mata Velove membola, dia dengan cepat mengusap sekitar bibirnya. Tapi kemudian dia tersadar jika Altares baru saja membohonginya. Altares tersenyum simpul, yang membuat Velove semakin kesal dengannya. "Kamu bohongin aku ya?" dumel Velove kesal. " Nggak, tapi kamu aja yang bego langsung percaya! " Mata Velove semakin melotot lebar, bisa bisanya dia di katakan bego oleh Altares. Padahal Velove adalah salah satu mahasiswa yang pintar di jurusannya. " Nggak usah melotot kayak gitu, nanti bola matamu lepas. Takut aku nggak punya gantinya nanti. " Seloroh Altares santai . Setelah mengatakan itu, Altares melepas tangan Velove yang sudah selesai dia obati. Velove melihat ada perban tipis disana mengingat Damian mencekal tangannya dengan keras. " Kenapa tiba tiba kamu udah di sana tadi? " " Bukannya kamu ada di ruangan dosen? " Altares tak menjawab, dia seolah lupa dengan apa yang terjadi di kampus. Yang dia ingat hanya waktu dia menarik tangan Velove untuk di bawa pergi dari sana. Tak lama Carlos memberitahu jika mobil Velove sudah di antar ke rumah orang tuanya. Dan Carlos mengatakan jika Velove pergi bersama Altares. Untungnya para orang tua percaya dengan itu. Velove merasa aneh, kenapa Altares malah menyembunyikan keberadaan mereka dari para orang tua. " Kenapa nggak jujur aja? " tanya Velove heran. Altares menghela napasnya panjang, karena sebenarnya dia di larang pindah oleh mamanya. Hanya saja Altares ingin hidup mandiri dengan keluarga kecilnya. "Besok aku bilang sama mama." jawab Altares singkat. Velove mengangguk dan tak ingin bertanya lagi karena seperti nya Altares enggan membahas perihal rumah baru mereka. "Jadi laki laki itu yang membuatmu di seret pulang kemari?" "Eh......" Velove sedikit terkejut karena Altares mengetahui tentang Damian. "Ehm, iya dan tidak." jawab Velove bingung. Altares menaikan kedua alisnya bingung, sekaligus penasaran. Kenapa ada dua opsi jawaban sedangkan dia hanya butuh satu jawaban. "Laki laki tadi memang alasan Daddy membawaku pulang kemari tapi sebenarnya tak hanya itu saja. Aku sudah tak ingin hidup di luar negeri dengan semua hiruk pikuk dan semua yang terjadi disana. Tapi belum sempat aku bilang pada Daddy, ternyata laki laki sialan tadi malah ketahuan selingkuh dengan teman kampusku. Ya, sekaligus teman dekat di apartemen." Altares sebenarnya sudah tahu tentang itu semua hanya saja dia ingin mendengarnya secara langsung dari bibir Velove. Ternyata Velove tak berniat menutupi atau berbohong kepadanya. "Aku sudah tahu." celetuk Altares santai. Lagi lagi Velove syok dengan jawaban Altares. Dia berpikir jika Altares bahkan sudah memata matainya sejak lama. "Tunggu, jangan bilang kamu ngawasin aku selama ini?" Altares menyeringai ke arah Velove yang seketika membuat bulu kuduk Velove berdiri. Velove beringsut mundur karena melihat wajah menakutkan Altares. Pikiran buruk mulai masuk ke dalam otaknya. Melihat Altares mendekat kepadanya membuat Velove semakin panik. "Jangan mendekat, menjauh dari ku!" pekik Velove keras. Tapi Altares dengan usilnya terus mendekat ke arah Velove sampai tubuh gadis itu terhimpit oleh tubuh Altares. "Menjauh, jangan jual ginjal ku. Kamu tahu kan kalau aku juga kurus, jadi dagingku pun juga nggak enak rasanya kalau di jual!" oceh Velove asal. Altares melongo tapi kemudian dia menahan tawanya yang sudah ingin meledak saat itu juga. Pftt ... "Hahaha ....." Ternyata Altares tak bisa menahan tawanya. Velove melongo melihat Altares yangalah menertawakan nya saat ini. "Kenapa malah tertawa? Ada yang lucu?" Ctak .... "Aw....." Velove meringis kesakitan karena Altares baru saja menyentil dahinya. " Untuk apa menjual ginjalmu, uang ku sudah banyak. Dan lagi siapa yang doyan dengan dagingmu yang tak ada rasanya itu." Velove mengumpat dalam hati bisa bisanya Altares malah menggodanya di saat seperti ini. Padahal sejak tadi dia sudah panik jika ingin di jual oleh Altares " Jadi dari mana kamu tahu tentang ku jika tak memata mataiku?" Altares berhenti tertawa, dia lalu menatap intens pada Velove. Velove yang di tatap seperti itu merasa tak nyaman. Bukan tak nyaman yang lain, lebih ke arah malu sebenarnya. "Aku sudah tertarik padamu sejak lama." " Hah?" Satu detik, dua detik, tiga detik.... Otak Velove tiba tiba merasa kosong karena jawaban tak terduga dari Altares. Dan Altares yang gemas dengan wajah melongo sang istri langsung menarik tangan Velove sehingga saat ini Velove sudah ada di pangkuan Altares. " Altares jangan begini, aku bisa duduk sendiri." cicit Velove grogi. Posisi mereka saat ini lebih intim, dari pada biasanya. Di tambah Altares memeluk posesif pinggang Velove sehingga tubuh mereka semakin berdempetan. " Kenapa hmm? Aku lebih nyaman dengan posisi seperti ini, lagi pula kita sudah sah sebagai suami istri kan?" Velove terdiam, apa yang di katakan oh Altares itu benar. Dan setelah itu Velove lebih memilih untuk mengalah, mengikuti kemauan Altares saat ini. Altares yang melihat kediaman Velove tersenyum samar. Melihat Velove yang penurut menjadikan dia seperti anak kecil yang menurut dengan apa yang di inginkan orang tuanya. " Kamu kalau diam begini terlihat lebih cantik." Blush ...... Wajah Velove memanas, telinganya mulai terasa panas karena tiba tiba Altares memujinya. " Kamu ini mau belajar gombal?" " Pak dosen sepertimu mana pantas menggombal mahasiswanya." sindir Velove. Altares langsung terkekeh mendengar itu, inilah yang membuat Altares mengejar Velove secara sembunyi sembunyi. Katakan Altares pengecut waktu itu. Tapi buktinya saat ini Velove sudah berada dalam pelukannya. Altares meraih dagu Velove, matanya sudah tertuju pada bibir ranum milik Velove yang merah seperti buah cery. "Dosen hanya pekerjaan sampingan ku, dan saat di rumah aku akan jadi suamimu sepenuhnya." to be continuedAltares masih melihat ponselnya bingung, pasalnya sudah lama sekali dia tak bertemu atau mendengar kabar tentang mantan nya itu lalu tiba tiba dia menghubungi lagi saat Altares sudah menikah. "Kenapa nggak di balas?" tanya Velove bingung. Altares mengendikkan kedua bahunya malas, dan tingkahnya seperti ini membuat Velove semakin bingung karena tak sama dengan saat di kampus tadi yang bahkan sudah menghukumnya berdiri di depan kelas. "Al, tolong nikahi aku. Kalau tidak aku akan bunuh diri saat ini juga!" Mata Velove langsung melotot saat melihat pesan singkat masuk lagi yang bahkan berisi ancaman. Altares memutar bola matanya jengah melihat nada ancaman dari Viona. Dia sudah sangat hapal dengan apa yang di lakukan Viona jika menginginkan sesuatu. Tak lama lagi pasti ada nomer masuk yang menghubunginya. Dan benar saja, seperti dugaan Altares, ponselnya kembali berdering beberapa kali. Velove tentu saja semakin bingung karena Altares terlihat biasa saja seolah hal itu sud
Altares masih memperhatikan tingkah sang istri yang terus memukul kepalanya pelan. "Nggak sekalian di pukul paka balok Vel, lagian kenapa juga kamu kayak gitu?" Bibir Velove mengerucut, dia memalingkan wajahnya kesal pada Altares. Altares hanya menggelengkan kepalanya dengan tingkah sang istri. "Makan dulu, ngambek juga butuh tenaga kan Vel?" goda Altares. Velove semakin berdecak kesal, tapi mencium bau makanan yang menggodanya sungguh membuat perutnya semakin minta untuk di isi "Perut sialan, lagian kenapa sih Vel, kamu doyan banget sama makan!" gerutu Velove dalam hati. Apalagi melihat makanan yang di pesan oleh Altares adalah makanan kesukaannya. Dia mengerutkan keningnya penasaran, bagaimana mungkin Altares langsung tahu semua makanan kesukaannya sedangkan mereka baru bertemu beberapa hari. Ralat, bahkan belum ada seminggu. Itu yang ada di otak Velove. Tapi Velove mengenyahkan semua pikirannya, yang penting saat ini dia makan dengan lahap. Cacing dalam perut
Tatapan Altares dan juga Velove saling beradu. Jantung Velove berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Tatapan mata Altares benar benar membuat dunia Velove jungkir balik. Ingin rasanya dia kabur dari sana tapi tak mungkin karena saat ini bahkan Altares memeluknya dengan erat. "Al, lepasin." Velove mulai meronta tapi Altares tetap tak bergeming dengan apa yang dia lakukan pada Velove saat ini. Kedekatan mereka yang intim seperti ini tak biasa Velove lakukan. Ralat, Velove belum terbiasa dengan hal itu. "Kenapa? Bukannya tadi di kelas kamu bilang suami, mau ngapain sama aku?" Glek..... Velove meneguk ludahnya kasar, dia ingin menenggelamkan dirinya sendiri saat ini mengingat bagaimana dia di kampus tadi. "Jadi kamu beneran jadi dosenku? Kenapa bisa?" "Hanya ingin, sampingan selain di kantor. Dan lagi, aku juga bisa mengawasi mu." Mata Velove melotot seketika, apa maksudnya mengawasi. " Al, jangan main main, mengawasi? Aku kenapa?" " Takut jika istriku di
"Aku tahu aku tampan, tapi apa kamu harus memandangiku sampai air liurmu menetes seperti itu?" Mata Velove membola, dia dengan cepat mengusap sekitar bibirnya. Tapi kemudian dia tersadar jika Altares baru saja membohonginya. Altares tersenyum simpul, yang membuat Velove semakin kesal dengannya. "Kamu bohongin aku ya?" dumel Velove kesal. " Nggak, tapi kamu aja yang bego langsung percaya! " Mata Velove semakin melotot lebar, bisa bisanya dia di katakan bego oleh Altares. Padahal Velove adalah salah satu mahasiswa yang pintar di jurusannya. " Nggak usah melotot kayak gitu, nanti bola matamu lepas. Takut aku nggak punya gantinya nanti. " Seloroh Altares santai . Setelah mengatakan itu, Altares melepas tangan Velove yang sudah selesai dia obati. Velove melihat ada perban tipis disana mengingat Damian mencekal tangannya dengan keras. " Kenapa tiba tiba kamu udah di sana tadi? " " Bukannya kamu ada di ruangan dosen? " Altares tak menjawab, dia seolah lupa dengan apa y
Velove yang sudah bisa kabur dari Altares pun pergi ke kantin dengan wajah kesalnya. Sepanjang perjalanan ke kantin gerutuan dan makian tak lepas dari nama Altares. "Bisa bisanya aku nggak tahu kalau dia dosen disini. Mana ngajarnya di kelasku lagi!" Velove menaruh tas nya dengan keras. Dia menelungkupkan wajahnya di meja karena lelah. Ingin sekali dia memejamkan matanya tapi datang dua orang laki laki yang tiba tiba duduk didepannya. "Mau apa kalian?" tanya Velove ketus. "Ayolah sayang, kenapa masih ketus sih sama aku. Kamu nggak kangen sama aku, padahal aku kangen banget sama kamu." Damian mengatakan itu di depan banyak orang. Terlebih saat ini mereka menjadi pusat perhatian karena beberapa yang mengenal Damian bukan anak kampus disitu. Apalagi Velove mahasiswa yang baru pindah kesana. Bisa terbilang baru karena dia pindah di pertengahan semester. "Damian stop, kita nggak ada hubungan lagi. Dan stop panggil aku sayang." bentak Velove kesal. Damian terkekeh m
Altares memilih meninggalkan kamar mereka dan kembali bersama keluarganya di bawah. Sedangkan Velove dengan cepat membersihkan sisa riasan di wajahnya. Velove bernapas lega karena saat kembali ke kamar Altares sudah pergi dari sana. Velove naik ke atas ranjangnya dan tak lama matanya mulai terpejam dengan cepat. Velove langsung tertidur pulas. Altares yang sudah selesai mengobrol pun kembali ke dalam kamar. Dia melihat Velove yang sudah pulas dalam tidurnya. "Dia kebo banget!" Altares berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah berganti pakaian dia ikut naik ke atas ranjang. Meraih tubuh Velove lalu memeluknya sambil tertidur. Velove yang merasa nyaman dalam pelukan itu semakin mengeratkan pelukannya pada Altares yang dia pikir adalah guling miliknya. # Pagi menjelang..... "Kyaaa .....mpph....." Altares yang terkejut pun langsung membungkam mulut Velove yang saat terbangun sudah berteriak kencang. Mata Velove melotot saat sadar siapa yang ada disamp