🏵️🏵️🏵️
“Bagaimana mungkin Tika nikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi ayah untuk Tika, Buk?” Aku sangat terkejut mendengar keputusan sepihak dari wanita yang telah melahirkanku.
“Ini demi pengobatan Bapak, juga masa depan kamu, Nak.” Ibu memberikan alasan yang sulit aku mengerti.
“Kenapa harus dengan laki-laki itu, Buk? Usia kami terpaut dua puluh tahun. Dia lebih cocok dijadikan sebagai om, bukan suami.” Aku tetap berusaha menyadarkan Ibu.
“Kamu harus berpikir untuk ke depannya. Hanya dia yang mampu dan bersedia meringankan penderitaan kita. Kamu harus lihat adik kamu yang masih butuh biaya untuk sekolah, sedangkan Bapak sudah setahun ini tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga kita.”
“Tapi, Buk ….” Aku menjeda karena tidak tahu harus berkata apa.
“Dia orang baik, Nak. Dia juga sangat mencintaimu.”
“Apa? Itu nggak mungkin, Buk.”Aku tidak percaya tentang kata cinta yang Ibu ucapkan.
“Haris sendiri yang mengatakannya. Dia menunggumu selama berbulan-bulan. Setelah kamu dinyatakan lulus SMA seminggu yang lalu, dia langsung mengutarakan niatnya ingin melamarmu.”
Aku sangat terkejut saat Ibu akan menjodohkanku dengan Om Haris—pemilik perusahaan ternama di kota ini. Bapak dan Ibu telah mengenalnya selama setahun terakhir ini. Di samping itu, laki-laki tersebut juga beberapa kali berkunjung ke rumahku.
Selama ini, tidak ada kejanggalan yang tampak sama sekali. Om Haris tidak pernah menunjukkan perasaan suka kepadaku karena dirinya terlihat sangat berwibawa. Dia bahkan tidak pernah melirik sedikit pun ke arahku bila bertamu ke rumah.
Akan tetapi, entah kenapa Om Haris tiba-tiba ingin melamarku. Apa sebenarnya maksud dan tujuannya? Bagaimana mungkin dia mencintai wanita yang lebih pantas menjadi putrinya?
Apa semua ini ada hubungannya dengan penyakit Bapak? Apa mungkin pria tersebut merasa kasihan melihat keluargaku yang serba kekurangan semenjak tulang punggung di rumah ini tidak memiliki penghasilan lagi?
Ini benar-benar sulit dipercaya. Aku tidak mampu untuk memikirkannya. Tidak mungkin aku menikah dengan laki-laki yang usianya terpaut jauh denganku. Apa kata orang nanti? Bagaimana penilaian mereka terhadapku?
Terus terang, aku mengakui ketampanan Om Haris yang masih terlihat jelas walaupun tidak muda lagi. Aku tidak mengerti sama sekali dengan jalan pikiran pria itu, kenapa dia masih tetap belum berkeluarga dengan usianya yang hampir menginjak kepala empat.
Sekarang, Om Haris justru ingin melamarku. Aku tidak mengerti apa alasannya walaupun Ibu menjelaskan kalau Om Haris mencintaiku. Namun, aku sama sekali tidak percaya. Omong kosong seperti itu tidak dapat diterima akal dan pikiran.
“Ibu mohon, Nak, tolong penuhi permintaan Ibu.” Ibu menggenggam jemariku. Terpancar kesedihan di wajah wanita tersebut.
Sudah setahun lamanya, Bapak lumpuh karena mengalami kecelakaan. Beliau tidak lagi mampu untuk memjalankan kewajiban sebagai tulang punggung di rumah ini. Ibu yang telah menggantikan posisi Bapak.
Ibu rela menjadi tukang cuci di beberapa rumah warga di sekitar tempat tinggalku demi memenuhi kebutuhan keluarga, juga biaya pendidikanku dan Tiwi—adikku yang masih duduk di bangku SMP.
Setelah pengumuman kelulusan seminggu yang lalu, beban Ibu akhirnya berkurang. Niatku ingin segera mencari pekerjaan agar dapat membantu Ibu dalam memenuhi kebutuhan keluarga kami. Namun, apa yang kudapatkan sekarang? Justru perjodohan yang Ibu sarankan kepadaku.
Di satu sisi, aku sangat kasihan melihat pengorbanan Ibu yang harus pergi ke rumah warga yang membutuhkan jasanya. Namun di sisi lain, aku belum siap untuk menyandang status sebagai istri di usia sekarang, apalagi laki-laki yang melamarku tidak pernah ada dalam pikiran.
Selama ini, aku belum pernah membuka hati untuk mencintai seseorang karena harus fokus dalam menyelesaikan sekolah agar dapat memperoleh pekerjaan secepatnya. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang mengutarakan perasaan cinta kepadaku.
🏵️🏵️🏵️
“Maafin Bapak, Nak, karena kamu harus berkorban demi keluarga ini, walaupun Bapak tahu kalau Haris adalah laki-laki yang sangat baik.” Bapak mengucapkan kata-kata permintaan maaf kepadaku di ruang tamu mungil keluargaku.
“Siapa laki-laki itu sebenarnya, Pak? Tika tahu kalau dia beberapa kali berkunjung ke rumah ini.” Aku masih penasaran dengan Om Haris.
“Dia yang telah membantu pengobatan Bapak selama ini. Dia juga ingin membantu memenuhi kebutuhan kita, tapi Bapak menolaknya.” Aku terkejut mendengar penuturan Bapak.
“Jadi, tujuannya melamar Tika karena dia sudah membantu Bapak?”
“Itu tidak benar, Nak. Dia serius mencintaimu dan ingin membahagiakanmu.”
“Bagaimana mungkin dia mencintai Tika, Pak? Selama ini, sikapnya biasa saja kalau berkunjung ke rumah ini.”
“Tapi itulah kenyataannya.”
Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Aku hanya bisa pasrah dengan keputusan kedua orang tuaku tersayang. Mungkin dengan menerima lamaran Om Haris, beban yang dipikul Bapak dan Ibu akan teratasi.
Terus terang, aku tidak pernah membayangkan harus menikah di usia muda. Masih banyak impian dan harapan yang ingin aku raih unuk membanggakan orang tua. Namun, semuanya telah pupus karena aku harus lebih mengutamakan kebahagiaan Bapak dan Ibu.
Jika memang menikah dengan Om Haris merupakan jalan terbaik, aku akan mencoba untuk ikhlas menerima keputusan Bapak dan Ibu. Aku berharap semoga kebahagiaan selalu menghampiri mereka.
Harapan dan impian seorang anak adalah ingin membahagiakan orang tua yang telah ikhlas memberikan kasih sayang tidak terhingga kepada buah hatinya. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya Bapak dan Ibu menerima balasan dari apa yang telah mereka lakukan selama ini.
Aku percaya bahwa pilihan orang tua adalah yang terbaik untuk anaknya. Cepat atau lambat, aku pasti bisa menerima kenyataan kalau semua ini akan menjadi sesuatu yang indah dalam mewujudkan kebahagian keluarga tercinta.
“Baiklah, Pak … Tika setuju menikah dengan Om Haris.” Aku pun mengeluarkan kata-kata itu lalu mencium takzim punggung tangan Bapak.
“Apa, Nak?” Tiba-tiba terdengar suara Ibu sambil berjalan dari arah dapur menuju ruang tamu.
“Ibu ….” Aku menghampiri Ibu lalu memeluknya.
“Terima kasih atas pengertian kamu. Ibu bangga memiliki anak sepertimu. Ibu yakin kalau Haris adalah calon pendamping hidup terbaik yang akan memberikanmu kebahagiaan.” Ibu melepaskan pelukan, kemudian mendaratkan ciuman di dahiku.
Sangat terlihat jelas kebahagiaan terpancar dari wajah kedua orang tuaku. Mereka mengembangkan senyuman setelah aku memberikan jawaban atas keputusan yang mereka tetapkan. Aku harus percaya bahwa ini merupakan babak baru dalam kehidupan keluarga ini.
Aku akan ikhlas kalau Om Haris sudah ditakdirkan untuk mendampingi hidupku. Mungkin ini adalah petunjuk dari Yang Kuasa agar aku dapat mengubah kesedihan dan kepedihan yang dialami Bapak dan Ibu.
Om Haris, aku bersedia menjadi istrimu walaupun aku tahu kalau dilihat dari usia, kamu lebih pantas menjadi seorang ayah, bukan sebagai suami. Semua ini kulakukan demi kebahagiaan keluarga tercinta. Namun, apakah aku akan bahagia?
=============
🏵️🏵️🏵️Aku tidak terbangun untuk melaksanakan salat Subuh, badan terasa capek hingga tidak menyadari kalau hari sudah pagi. Aku tidak mengerti kenapa tadi malam tidur sangat pulas dan tidak seperti biasanya.“Pagi, Sayang.” Aku terkejut melihat Mas Haris duduk di samping tempat tidur. Di tangannya ada segelas susu dan beberapa keping roti di piring kecil. “Maaf, Mas, saya kesiangan.” Aku langsung duduk sambil menutupi tubuh dengan selimut. Tiba-tiba aku merasa canggung di depannya.“Kamu tidurnya nyenyak banget, saya nggak tega mau bangunin mandi sebelum salat Subuh.” Aku merasakan pipi ini memanas karena mengingat apa yang terjadi tadi malam.“Seharusnya Mas tetap bangunin saya. Apa kata Papi dan Mami jika mengetahui saya baru bangun?” Aku benar-benar merasa bersalah.“Mereka pasti ngerti, Sayang. Santai aja.” Mas Haris tersenyum kepadaku.“Ngerti apa maksudnya, Mas?”“Ngerti dengan pengantin baru.”“Saya harus gimana, nih, Mas?”“Udah, nggak apa-apa. Ini aja Mami yang minta saya
🏵️🏵️🏵️Hati ini masih terus bertanya, kenapa adik iparku sendiri sepertinya sangat tidak suka dengan keberadaanku di rumah ini. Dari awal pertemuan, Bella telah menunjukkan sikap aneh dan tatapan penuh kebencian.Dulu, aku menganggap kalau itu hanya perasaanku saja. Aku tidak ingin berprasangka buruk terhadapnya. Namun, ternyata sikap kasar yang dia tunjukkan di depanku tidak hanya sekali, tetapi ini untuk ketiga kalinya.“Bella mengatakan yang sebenarnya, Pih.” Bella dengan santai memberikan jawaban.“Kenapa kamu ngomong seperti itu, Bel?” tanya Mas Haris kepada adiknya itu.“Apa salah kalau aku jujur, Kak?” Bella justru balik bertanya.“Jaga bicaramu! Tika itu kakak iparmu, istri Kakak. Kamu harus menghormatinya!” Mas Haris menaikkan suara.“Sekarang Kakak udah berani bentak aku hanya karena wanita itu?” Bella menunjuk ke arahku.“Diam kamu, Bella!” Mas Haris terlihat marah.Aku memegang lengan Mas Haris untuk menenangkannya. “Sudah, Mas, saya yang salah. Sebaiknya saya makan di
🏵️🏵️🏵️Hari ini, statusku resmi menjadi istri Om Haris. Inilah jalan hidup dan kenyataan yang harus kuhadapi, di mana gadis berusia delapan belas tahun telah memiliki pasangan halal.Resepsi pernikahan berlangsung dengan penuh kemegahan dan kemewahan. Seorang pengusaha sukses yang berasal dari keluarga terpandang, menikahi gadis biasa dan masih sangat muda dibandingkan dirinya.Akan tetapi, selisih usia kami tidak membuatku menyesal atau merasa tidak beruntung. Semua itu kulakukan demi meringankan beban Ibu yang harus rela menjadi tulang punggung semenjak Bapak tertimpa musibah.Om Haris telah berjanji akan membantu kebutuhan keluargaku. Dia juga akan membiayai pengobatan Bapak dan sekolah Tiwi. Aku sangat bangga dan bersyukur karena dengan adanya pernikahan ini, maka orang-orang tersayang tidak akan merasa kekurangan lagi seperti sebelumnya.Sudah terlalu lama Ibu menanggung dan memikul beban menjadi tulang punggung. Saat itu, aku hanya mampu memberikan dukungan kepada beliau agar
🏵️🏵️🏵️Tiga hari setelah kedatangan keluarga Om Haris ke rumahku, laki-laki itu kini kembali menemuiku lalu menghampiri Bapak yang sedang berada di ruang tamu dan duduk di kursi roda. Aku menyuguhkan minuman kepadanya layaknya sebagai tamu.Saat aku melangkah dan ingin kembali ke dapur, Om Haris justru mencegahku. “Duduk di sini aja, Dek, saya mau ngomong sesuatu.” Om Haris benar-benar berubah menurutku. Sekarang, dia sangat ramah dan tidak cuek seperti biasanya. Dia bersikap seolah-olah kami telah terbiasa dekat satu sama lain, padahal kenyataan sebelumnya, dia tidak pernah menyapaku.Akhirnya, aku duduk di samping Bapak. “Mau ngomong apa?” tanyaku kepada Om Haris.“Saya ingin mengajak kamu cari cincin pernikahan kita. Sebenarnya saya bisa langsung beli sendiri, tapi saya juga ingin agar kamu ikut memilihnya.” Ternyata tujuan laki-laki itu kembali berkunjung ke rumahku untuk menemaninya mencari cincin pernikahan kami.“Tapi ….”“Nggak apa-apa, Nak. Kamu boleh pergi bersama calon
🏵️🏵️🏵️Seminggu berlalu, akhirnya keluarga Om Haris berkunjung ke rumahku. Orang tuanya sangat baik kepadaku, tetapi sangat berbeda dengan Bella—adik bungsunya yang selalu menunjukkan tatapan tajam. Mungkin selisih usia kami sekitar empat tahun, dia lebih tua dariku.Aku tidak mengerti kenapa pandangannya seperti tidak menyukai diriku. Namun, aku tetap berharap semoga ini hanya perasaanku saja karena sangat tidak baik jika harus berprasangka buruk terhadap orang lain.Kini, kedua keluarga masih membicarakan rencana pernikahanku dan Om Haris. Laki-laki itu tiba-tiba melihat ke arahku. Kejadian ini tidak seperti biasanya. Dulu, dia tidak pernah menoleh sedikit pun untuk melirikku.Bagiku, Om Haris adalah laki-laki serius dan sangat jarang mengembangkan senyuman. Namun hari ini, dia menunjukkan jejeran gigi putihnya di hadapanku. Ketampanan yang dia miliki makin sempurna dengan wajahnya yang tampak berseri-seri.“Kapan pernikahan anak-anak kita dilangsungkan, Pak Budi?” tanya Pak Arfa
🏵️🏵️🏵️“Bagaimana mungkin Tika nikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi ayah untuk Tika, Buk?” Aku sangat terkejut mendengar keputusan sepihak dari wanita yang telah melahirkanku.“Ini demi pengobatan Bapak, juga masa depan kamu, Nak.” Ibu memberikan alasan yang sulit aku mengerti.“Kenapa harus dengan laki-laki itu, Buk? Usia kami terpaut dua puluh tahun. Dia lebih cocok dijadikan sebagai om, bukan suami.” Aku tetap berusaha menyadarkan Ibu.“Kamu harus berpikir untuk ke depannya. Hanya dia yang mampu dan bersedia meringankan penderitaan kita. Kamu harus lihat adik kamu yang masih butuh biaya untuk sekolah, sedangkan Bapak sudah setahun ini tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga kita.” “Tapi, Buk ….” Aku menjeda karena tidak tahu harus berkata apa.“Dia orang baik, Nak. Dia juga sangat mencintaimu.”“Apa? Itu nggak mungkin, Buk.”Aku tidak percaya tentang kata cinta yang Ibu ucapkan.“Haris sendiri yang mengatakannya. Dia menunggumu selama berbulan-bulan. Setelah kamu dinyat