LOGINDi luar, kota berdenyut dalam ritmenya sendiri. Dan di antara banyak langkah yang masih harus diambil, Felisha akhirnya tahu satu hal, ia tidak lagi berjalan untuk menyenangkan siapa pun.Ia berjalan untuk dirinya —dan untuk kehidupan kecil yang sedang tumbuh bersamanya.Sedetik kemudian saat kantuk mulai menyerang, bayangan Alan mendadak hadir dengan wajahnya yang sendu. Felisha —anehnya, tak terpengaruh sedikit pun.Namun, ketika sosok lelaki itu tiba-tiba menangis, ada rasa tak nyaman yang menggelayut hatinya. 'Bagaimana bisa ia serapuh itu?'Bayangan itu datang begitu saja, tanpa undangan. Wajah Alan yang sendu, matanya yang selama ini selalu tampak dingin dan penuh kendali, kini basah oleh sesuatu yang tidak pernah Felisha bayangkan sebelumnya. Tangis. Bukan isak yang keras. Bukan pula tangisan yang memohon. Hanya bahu yang turun perlahan, kepala yang tertunduk, dan sepasang mata yang kehilangan pijakan. Felisha membuka matanya. Langit-langit kamar kos kembali menyambutnya
Mobil melaju meninggalkan kawasan itu perlahan, seperti memberi waktu bagi Felisha untuk benar-benar melepaskan dan melupakan.Matahari mulai menuju barat ketika Felisha menatap keluar kaca jendela. Tampak bayangan membingkai wajahnya dengan cahaya yang mulai menurun. Kota berubah rupa menjelang sore —mulai bising oleh keadaan lalu lintas yang sibuk. Jujur, itu membuat ketenangan jiwa Felisha terganggu. Tapi, ia berusaha mengabaikan. Felisha menutup mata sejenak. Di benaknya, wajah Rafael kembali muncul. Senyum polos bocah itu, caranya menatap dan tersenyum membuat rasa rindu itu hadir. Ada rasa bersalah yang menggelayut, tapi kali ini bukan rasa bersalah yang melumpuhkan —melainkan rasa tanggung jawab sebagai seorang tante sebab sosok sang ibu yang seolah tak peduli.“Aku tidak berniat meninggalkanmu, tapi papa dan mamamu adalah orang yang berkuasa atasmu,” gumamnya lirih.“Hanya saja, aku juga tidak tega kamu menderita dengan tinggal dan besar di keluarga itu.”Felisha membuka pons
Langkah Felisha tidak melambat ketika ia melewati pagar besi itu. Begitu pintu tertutup kembali di belakangnya, suara dunia luar seolah kembali —deru kendaraan, suara burung yang hinggap di kabel listrik, dan angin sore yang menyapu rambutnya pelan.Ia berhenti sejenak di tepi trotoar. Bukan karena ragu. Bukan pula karena menyesal. Melainkan karena tubuhnya akhirnya menyadari satu hal penting, ia telah selesai berhadapan dengan masa lalu yang selama ini mencengkeramnya terlalu erat.Menjadi bagian dari keluarga Sumitra. Menjadi anak dari pasangan suami istri yang bahkan tidak pernah menganggapnya anak. Mereka hanya ingin merampas miliknya. Bahkan, ketika putri mereka ingin kembali ke pangkuan sang suami —padahal dulu ditinggalkan, ia juga yang harus berkorban. Diculik dan hampir dilecehkan oleh laki-laki yang telah membuatnya tega meninggalkan putra mereka satu-satunya."Rafael," sebut Felisha memanggil nama keponanakannya. "Bagaimana kabar anak itu sekarang? Ia tinggal di mana? Apak
Mobil taksi online berhenti tepat di depan pagar besi tinggi itu. Felisha menatapnya beberapa detik lebih lama dari yang ia rencanakan. Cat hitamnya masih mengilap, kamera kecil di sudut atas bergerak pelan mengikuti setiap kendaraan yang melintas. Tidak ada yang berubah. Dan justru karena itu, dadanya terasa semakin sesak.Ia membayar ongkos, lalu turun.Langkahnya mantap ketika menekan bel. Tidak ada gemetar di tangan. Tidak ada ragu yang tersisa. Yang ada hanya satu kesadaran utuh —jika ia menunda hari ini, luka ini akan terus hidup.Masalah yang bertubi-tubi datang belakangan ini, telah membuat Felisha menjadi sosok yang kuat. Pintu terbuka setelah beberapa saat. Seorang asisten rumah tangga menatapnya kaget.“Non Felisha?”Felisha mengangguk. “Saya ingin bertemu ibu.”Perempuan itu ragu sejenak, lalu mempersilakan masuk. Felisha melangkah melewati ruang tamu luas yang terasa asing sekaligus terlalu dikenalnya. Setiap sudut rumah ini menyimpan kenangan —sebagian hangat, sebagian
Alan menatap Alvaro tanpa berkedip. “Apa maksudmu?” suaranya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras —tanda yang sangat dikenal Alvaro.“Salah satu orang kita tidak sengaja melihat Nona Felisha masuk ke kediaman Sumitra sekitar beberapa waktu yang lalu,” jelas Alvaro hati-hati. “Belum ada laporan lanjutan apakah beliau masih di sana atau sudah pergi.”Alan memejamkan mata sesaat. Nama itu —Sumitra, bukan keluarga yang pantas lagi ia hormati. Ia adalah pusat dari banyak luka yang Felisha simpan rapi selama ini. Keluarga yang tak pernah benar-benar menerima Felisha, bahkan sejak perempuan itu tinggal di kediaman mereka. “Siapa yang menyuruhmu melapor?” tanya Alan akhirnya.“Tidak ada, Tuan. Ini refleks. Saya pikir—”“Lain kali,” potong Alan pelan, “laporkan hanya jika Felisha dalam bahaya.”Alvaro terdiam, lalu mengangguk. “Baik, Tuan. Hanya saja, bukankah putri mereka, Ny. Dina sedang kita amankan sebab insiden penculikan yang beliau dalangi. Apakah bukan sesuatu yang membahayakan jika
Atmadi Wijaya mengangkat pandangannya dari koran pagi, menatap Erik dengan sorot mata yang tenang namun tajam. “Kampus?” ulangnya pelan, bukan curiga, lebih pada memastikan.“Iya,” jawab Erik mantap. “Tidak lama.”Atmadi mengangguk singkat. “Kerjakan yang perlu kamu selesaikan. Tapi setelah itu, langsung ke kantor. Ada rapat internal jam sebelas.”“Iya, Yah.” Erik menarik kursi, duduk sebentar untuk menghormati kebiasaan sarapan bersama, meski hanya menyesap kopi. Ibunya menunjukkan senyum puas—bagi perempuan itu, melihat putranya mulai menata hidup adalah kebahagiaan kecil yang tak perlu dirayakan berlebihan.Tak lama kemudian, Erik pamit.Di luar, pagi terasa lebih hidup. Erik menyetir dengan pikiran yang terasa lega dan optimis —tidak melayang pada kemungkinan yang belum tentu, tidak pula memikirkan hal negatif yang tidak seharusnya ia pikirkan. Ia memilih fokus pada apa yang ada di depannya.Sementara itu, Felisha tiba di kampus dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasan







