Menyadari Jeremy yang tak jauh dari mereka, Anna lantas berjalan menghampiri suaminya itu. "Ada apa?"
Jeremy melirik Gerald yang ada di samping Anna. Anna mengikuti arah pandang Jeremy dan ia mengerti apa yang ada di pikiran pria tersebut.
"Sayang, Gerald main dulu sama Bibi Rose ya? Ada yang mau dad bicarakan ke mommy. Nanti kalau sudah selesai berbicara dengan daddy, mommy bakal susul Gerald," ujar Anna lembut.
Gerald mengangguk, pasalnya ia juga takut dengan Jeremy. Bocah laki-laki itu berjalan mendekati Rose, kemudian Rose mengajak Gerald bermain ke taman belakang.
Setelah kepergian Gerald, Anna melirik Jeremy sinis, "Apa yang akan kau bicarakan? Cepatlah aku tidak punya banyak waktu."
Jeremy tersenyum meremehkan, "Memang kau sibuk apa?" ujar Jeremy menyunggingkan sebelah bibirnya.
"Bermain bersama anakku!" sahut Anna menekankan kata "anakku" di hadapan Jeremy.
Jeremy hanya memasang wajah menyebalkan, "Gerald?" tanyanya enteng tanpa dosa.
Anna mendengus, "Ya siapa lagi menurutmu haa?" ujar Anna sedikit ngegas.
"Tapi, Gerald bahkan bukan anak kandungku." ucapnya.
Anna yang mendengarnya hanya terkekeh pelan, lelucon apa ini? Sangat garing menurutnya.
"Aku serius," kata Jeremy menyakinkan. "Sudahlah, aku sedang tidak mood untuk mendengarkan leluconmu yang sama sekali tidak lucu bagiku," Anna hendak berdiri namun Jeremy menahannya. "Ya itu faktanya!" tegas Jeremy. Anna menyentak tangan Jeremy, "Aku tau kau tidak suka dengannya tapi apa yang kau katakan barusan memang tidak ada lucu-lucunya. Dan kalau pun kau tak menganggap Gerald sebagai anakmu, aku yang akan menganggap dia sebagai anakku!" ujar Anna tak kalah tegas. "Terserah aku tidak peduli Gerald anak kandungmu atau bukan, aku tidak peduli! Yang terpenting sekarang dia adalah anakku!" hardik Anna. Setelah mengatakan itu Anna pergi dari hadapan Jeremy. Anna tidak ingin terus berdebat dengan pria itu, ditambah ini masih pagi. Bisa-bisa energi Anna terkuras habis jika meladeni Jeremy yang tidak punya otak itu. Jeremy melihat kilatan kemarahan di balik mata Anna, meski wanita itu mencoba menahannya Jeremy bisa melihat dengan jelas. Entah sesayang apa Anna sampai-sampai terpancing emosi kepada Jeremy, padahal memang kenyataannya begitu. Tidak! Jeremy tidak peduli dengan kemarahan Anna, ia bangkit lalu bergegas pergi berangkat ke kantor. Waktunya terbuang sia-sia karena Anna. Sesampainya Jeremy di kantor, ia disambut oleh Frans. Di kantor Jeremy, Frans menjabat sebagai sekertaris sekaligus asisten pribadinya. Frans terkikik geli melihat raut wajah Jeremy yang tidak seperti biasa. "Kenapa?" tanya Jeremy sambil melirik Frans. "Seharusnya aku yang tanya begitu, kau kenapa?" Jeremy mengernyit, "Memangnya aku kenapa?" "Entahlah wajahmu terlihat berbeda pagi ini," ungkap Frans. "Aku hanya sedang kesal saja, berani-beraninya dia mengusirku di rumahku sendiri, bahkan dia berani membentak dan balik menghardikku," "Siapa? Istri barumu?" Frans mencoba untuk tidak tertawa meski sebenarnya ia sudah ingin tertawa kencang. "Ya siapa lagi kalau bukan wanita itu!" Jeremy merasa harga dirinya turun di depan Anna. Pasalnya tidak ada takut-takutnya wanita itu kepadanya. Frans menepuk bahu Jeremy pelan, "Kan sudah aku bilang. Dia berbeda, tidak seperti wanita pada umumnya. Pasti dia tidak pernah memujimu kan?" "Apanya yang mau dipuji? Aku juga tidak sudi dipuji olehnya!" balas Jeremy. "Ah! Masa? Aku tidak percaya Jer." Frans mencoba menggoda temannya yang dianggap bos kejam oleh para karyawannya. Jeremy menangkis tangan Frans yang membelai dagunya, "Sialan kau Frans!" "Awas kau akan jatuh cinta padanya!" "Tidak akan!" tegas Jeremy. "Sudahlah jam berapa aku harus meeting?" Jeremy mengalihkan arah pembicaraannya, kalau tidak Frans akan terus-terusan menggodanya. "Sebentar lagi pukul sembilan," sahut Frans. "Eh itu bukannya Anna?" tanya Frans menunjuk ke arah bawah jendela ruang Jeremy. Jeremy menaikkan sebelah alisnya dan berjalan memastikan apa yang Frans katakan, "Kau tertipu Jer!" Teriak Frans yang sudah berlari keluar. "Brengsek kau Frans!" umpat Jeremy. "Rupa-rupanya kau memang mulai tertarik pada istrimu ya Jer?" teriak Frans. "Sialan kau keparat!" Untung saja lantai 12 ini di desain hanya untuk ruangan Jeremy dan Frans saja, jadi meskipun Jeremy berteriak pun tidak ada yang mendengar. Sementar itu, Anna sendiri tengah membawakan Gerald sebuah cat lukis, ia ingin mengajarkan Gerald untuk melukis. Ya Anna ingin mengejar ketertinggalan Gerald di sekolah, karena saat masuk nanti Gerald sudah berada di kelompok B langsung. Mengingat umur Gerald sudah genap lima tahun. Anna ingin menebus perbuatan keji Jeremy dan Maureen, yang telah menelantarkan anak sepintar dan selucu Gerald. "Mom, kalau dinosaurus ini warna apa?" tanya Gerald sambil menunjukkan gambar dinosaurus di atas canvas yang baru Anna bawah. "Gerald suka warna yang apa?" Anna mencoba membuat Gerald berani mengekspresikan diri. "Yang ini boleh Mom?" Gerald menunjuk cat warna merah. Anna mengangguk, "Boleh." Ujarnya sambil membuka tutup cat tersebut kemudian Anna tuangkan di palet lukis supaya memudahkan Gerald mengambilnya. "Pakai ini Sayang." Ia menyerahkan kuas untuk Gerald mewarnai. Wajah Gerald berseri-seri tak henti-hentinya ia memekik riang, tampaknya Gerald bahagia berkutat dengan canvas, cat dan juga kuasnya. "Kalau awannya ini warna biru ya?" "Pintar sekali," Anna hanya membantu Gerald menuangkan cat ke pallet, selebihnya ia membiarkan Gerald sendiri menentukan warna apa yang dia inginkan. "Sayang tadi Mom sudah bicara pada daddy, dan daddy menyetujui kalau Gerald sekolah," Gerald yang tengah fokus dengan canvasnya seketika menoleh ke arah Anna, "Benarkah Mom?" Mata indahnya berbinar. Anna mengangguk, "Apakah Gerald senang?" "Senang sekali Mom," Ia meletakkan kuasnya lalu berhambur memeluk Anna. "Terima kasih Mom, Gerald sayang Mommy." "Mom juga sayang Gerald," ujar Anna sembari mengusap kepala bocah tersebut. "Nanti bilang terima kasih juga kepada daddy ya." Gerald menatap Anna, "Tapi Gerald takut Mom." Anna menangkup pipi yang kini terlihat lebih berisi dari sebelumnya, "Ada mommy. Tidak akan apa-apa." ujar Anna yang akhirnya membuat Gerald mengangguk. "Mom kapan Gerald mulai sekolah? aku sudah tidak sabar Mom," Celoteh Gerald sambil menyelesaikan lukisannya. "Minggu depan ya Sayang, mom harus bertemu dengan Aunty Gisela terlebih dahulu," Ya teman yang Anna maksud adalah Gisela. Bukan sekedar teman, Gisela lebih dari itu. "Siapa Aunty Gisela itu Mom?" tanya Gerald. "Aunty Gisela itu adalah sahabat mommy. Besok temani mommy bertemu dengan Aunty Gisela ya sayang," "Baik Mom." Terakhir Anna bertemu dengan Gisela saat pernikahannya waktu itu. Dan Anna belum menghubungi wanita tersebut hingga sekarang. Anna tau sekarang Gisela sedang sibuk dengan persiapan acara pesta lamarannya bersama Rafael, dan Anna sedih tidak bisa membantu sahabatnya mempersiapkan itu semua, karena sekarang Anna bukan lagi wanita single. Ada beberapa hal yang tidak bisa ia tinggal, Anna sudah menjadi seorang istri dan seorang ibu. Meski sampai sekarang ia belum mengerjakan tugas seorang istri sepenuhnya, tetapi setidaknya ia ada di rumah saat Jeremy pulang. Gerald telah selesai menyelesaikan lukisannya, kini ia sedang berada di pangkuan Anna sambil mengucek matanya, "Gerald ngantuk?" tanya Anna. "Iya Mom!" Anna menggendong anaknya tersebut membawanya ke ranjang dan menidurkan Gerald, "Tidurlah Sayang. Mommy akan temani." Gerald mengangguk seraya memejamkan matanya. Anna mengelus kepala Gerald sampai ia benar-benar tertidur, "Selamat tidur Sayang." Kemudian Anna mengecup kening Gerald. Entah melihat Gerald pertama kali membuat Anna seketika jatuh cinta, jatuh cinta pada bocah itu. Hatinya gembira melihat setiap kali bocah tersebut tersenyum. Karena Gerald sudah tidur, Anna mencoba menghubungi Gisela jam-jam makan siang begini Gisela pasti juga sedang istirahat. Anna menekan tombol panggilan di kontak Gisela. "Halo Ann, ada apa?" Terdengar suara Gisela dari sebrang sana. "Kau ada di mana sekarang?" "Aku masih ada di sekolah, kenapa Ann?" "Begini Gis, aku ingin mendaftarkan Gerald di tk." "Gerald? Siapa dia?" "Anak sambungku." Cukup lama hening melingkupi keduanya sebelum Giselle tiba-tiba memekik. "Anak sambung?""Cih aku saja jijik melihat wajahmu," batin Jeremy ,namun ia tak langsung menangkis wanita itu yang kini menggerayai wajahnya. Jeremy hanya ingin tau seberapa berani ia kepadanya, dan lihat saja apa yang akan Jeremy lakukan. "Oh ya, dengar-dengar kau sudah menikah? Bagaimana dengan istri barumu? Aku tebak kamu tidak bahagia kan bersamanya? Kamu tidak merasa puas dengannya 'kan?" Ia terus mengoceh, sedangkan Jeremy mencoba meredam emosinya sebelum menghempaskan wanita itu dari hadapannya. "Di sini panas, apakah ac-nya rusak? Boleh tidak jika aku membuka kemeja saja, aku sangat gerah Jer," Tanpa rasa malu di hadapan Jermey ia membuka kemejanya hingga menyisahkan bra berwarna merah menyala dengan bawahannya yang masih lengkap. "Nah begini lebih baik." Meski disuguhkan tubuh Maureen, Jeremy sama sekali tidak terangsang. Yang ada di kepalanya hanya bentuk tubuh Anna, bahkan ia terus membandingkan tubuh Maureen dengan body sexy Anna. Maureen semakin berani, sekarang wanita itu d
Jeremy meringis kecil mengingat apa yang Frans katakan tadi. Ia sendiri bingung antara, apakah dirinya benar menyukai Anna atau tidak, kebimbangan itu membuat kepalanya pusing sendiri. "Kau bodoh atau bagaimana sih Jer?" tanya Frans yang tidak percaya bila Jeremy masih bimbang dengan perasaannya. Jeremy menggeleng polos, seperti anak anjing yang baru melihat dunia. Brak! Reflek pria itu menggebrak kuat mejanya, "Sudah kupastikan, bahwa kau bodoh!" "Sialan! Aku datang ke mari memintamu pendapat, aku tidak tau dengan diriku sendiri," "Shit!" Frans memijat pelan keningnya. Heran dengan kebodohan Jeremy, pantas saja ia selalu dipermainkan oleh wanita. "Menurutmu kau bagaimana? Kau merasa aneh tidak dengan sikapmu?" "Entahlah," jawabnya yang mengundang Frans ingin memukul wajahnya. "Oh bagaimana kalau aku memukul kepalamu di dinding agar sedikit lebih mudah mencerna?" "Boleh, asalkan aku dulu yang melemparmu dari lantai dua belas!" "Ya sudah fikir saja sendiri, bagaiman
Tidak segampang itu ternyata menahan diri untuk tidak berbicara dengan Anna, ia akui dirinya mulai ketergantungan oleh sosok Anna. Seperti barang haram, Anna bisa membuat Jeremy candu semudah itu. Ia buru-buru keluar dan pergi ke kamar anaknya, dengan sangat pelan pria itu membuka kamarnya. Tiba-tiba Jeremy terdiam, ia melihat sang istri tidur memeluk Gerald. Sungguh pemandangan yang cukup membuat pria berdarah diringin itu menghangat, sedikit demi sedikit bongkahan es pada hatinya meleleh. Cinta yang Anna berikan sangat lah tulus, wanita itu yang membuat kehidupannya yang semula gelap menjadi terang. Apalagi Gerald, ia terurus dengan sangat baik. Bolehkah jika sekarang Jeremy benar-benar takut kehilangannya? Wanita yang tidak gila dengan harta, wanita yang sederhana dengan penampilannya, wanita yang sangat sopan dengan tutur bahasanya, wanita yang penuh cinta setiap harinya, relakah bila wanita sesempurna itu hilang dari kehidupannya? Jeremy berjalan mendekat lalu mencium k
Anna melihat bibir Jeremy yang mengerucut kesal, "Kau marah?" goda Anna seraya mencolek dagu suaminya. Jeremy melirik sebentar lalu balik membelakangi Anna. Mereka baru saja sampai, tadi tanpa sepengetahuan Anna suaminya itu menjemputnya di sebuah restoran saat bersama Gisela tadi. Setelah mengurus berkas Gerald, Anna dan Gisela memutuskan untuk mampir makan siang di restauran jepang milik teman kuliahnya dulu, di salah satu mall yang kebetulan mereka datangi. Menurut rumor yang beredar saat mereka masih duduk di bangku perkuliahan, pemilik restaurant tersebut yang bernama Tama ini menyukai Anna, tetapi Anna tidak tau itu benar atau tidak. Dan tadi saat Anna berada di restaurant Tama, tiba-tiba Jeremy menyusulnya. Suaminya itu merasa kesal sebab tatapan Tama yang selalu mengawasi Anna. Jeremy melihat secara langsung kala Tama mencuri-curi pandang kepada sang istri. Ia tau itu bukan tatapan biasa, entah Jeremy sedang cemburu atau tidak yang pasti ia tidak suka dengan tatapan
"Kenapa Jer?" sahut Anna, namun ia tak menoleh sedikit pun, fokusnya masih pada kembang api yang tengah bersautan di atas sana. "Oh Anna, aku sedang berbicara kepadamu sekarang. Persetan dengan kembang api itu, aku bisa membelikanmu tiga kali lipat nanti, tapi kali ini lihatlah aku," kata Jeremy merengek. Anna langsung menoleh, menangkup pipi pria dihadapannya. Jangan lupakan tinggi Jeremy yang lebih dari Anna, membuat wanita itu harus menjinjit terlebih dahulu. Membutuhkan effort yang cukup lumayan. "Kenapa sayang?" Kali ini bukan pipi Anna yang memerah, melainkan pipi Jeremy. Kata sayang dari mulut Anna itu adalah sebuah hal keramat yang menjadi candu untuk Jeremy. Mulutnya seakan membisu terbius tatapan Anna yang memabukkan. Tanpa basa-basi ia mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku coatnya. Anna yang awalnya tersenyum manis berubah bingung, ia mengendurkan tangannya yang berada di kedua pipi Jeremy. "Jer ...." cicitnya. Jeremy membuka kotak beludru tersebut lalu m
"Kenapa aku selalu suka melihatmu tersipu seperti ini Ann?" Ah sial! Anna tidak bisa mengontrol hatinya, padahal sejak tadi ia berusaha untuk biasa saja namun Jeremy terus-terus menggombalinya. "Jer sudahlah lebih baik kau makan saja, kau tidak bisa melihat wajahku memerah karena ulahmu hah?" Anna tidak peduli lebih baik ia berbicara jujur saja. "Astaga, kau bisa jujur juga ternyata Ann," ungkap Jeremy. "Sudahlah, makanan di depanku jauh lebih lezat keliatannya," "Baiklah, mari makan Ann," "Tapi ini tidak terlalu banyak Jer?" kata Anna melihat berbagai macam menu tersaji di depannya. Jeremy dengan santai mengambil sushi lalu melahapnya, dan Anna menyadari cara makan Jeremy yang begitu rapi meski menggunakan sumpit. Mungkin seorang pembisnis seperti Jeremy dituntut untuk makan dengan tata cara tertentu karena mereka pasti sering menghadiri rapat-rapat tertentu sehingga dituntut untuk terus elegan. Tidak seperti Anna yang terserah saja bagaimana, asal sopan. "Tidak, aku se
Bukannya takut, Anna malah memberikan sentuhan-sentuhan sayang di pipi Jeremy, merabahnya pelan hingga membuat Jeremy sedikit menegang. "Jangan marah," Sepertinya pria itu masih keukeuh mempertahankan diamnya. Mungkin saja dirinya tergoda kepada Anna, namun lagi-lagi egonya terlalu besar. "Jer ...." panggilnya lirih, ia tidak putus asa saat Jeremy mengabaikannya. "Yakin masih marah?" Jeremy menghembuskan nafasnya kasar, "Jika kau terus seperti ini aku akan kembali membawamu ke kamar!" Mana bisa ia marah kepada Anna jika seperti ini dan ya dia juga tidak ingin marah kepada wanitanya itu. Anna terkekeh, "Ternyata Direktur Utama yang terkenal garang memiliki sisi manja juga." ledeknya. Jeremy menenggelamkan kepalanya di pelukan Anna, ia kesal istrinya itu terus menggodanya, tidak taukah Anna bahwa tubuhnya sangat amat candu bagi Jeremy. Setiap menit Jeremy ingin terus menyentuhnya. Tanpa mereka sadari semua orang yang ada di mansion melihat tingkah Jeremy yang berbeda. Mu
Anna menurut, ia berjalan ke sisi kanan lalu merebahkan tubuhnya di samping Jeremy. Dengan gerak cepat Jeremy langsung memeluknya, menenggelamkan kepalanya di leher Anna. Tangan Anna terulur pada pipi Jeremy, diusapnya pelan hingga membuat pria yang ada didekapannya itu terbuai akan belaian Anna. "Tidurlah aku akan menemanimu di sini," ucap Anna. Tangannya tak berhenti mengusap pipi Jeremy, berharap suaminya tersebut secepatnya terlelap. *** Karena menemani Jeremy, alhasil Anna ikut tertidur juga. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan ia melihat Jeremy masih memeluknya. Anna mencoba menggerakkan badannya pelan guna melihat jam berapa sekarang. Jam menunjukkan pukul sepuluh, itu artinya hampir empat jam ia tidur. Anna segera mengecek suhu tubuh Jeremy, syukurlah suhu tubuhnya kembali normal. Perlahan ia melepaskan pelukan Jeremy, Anna merasa lapar. "Kau mau ke mana Ann?" Anna merutuki kepekaan Jeremy, padahal ia sudah berusaha sepelan mungkin agar tidak menganggu ti
Sudah menjadi rutinitas Anna bangun terlebih dulu dari suaminya lalu beranjak pergi untuk memasak, namun tidak dengan pagi ini. Anna bangun cukup siang karena kemarin Jeremy mengatakan ingin sarapan dengan roti bakar saja, ia tidak ingin Anna sibuk memasak mengingat Gerald juga sedang menginap di rumah Robert. Anna menyibakkan selimutnya dan hendak turun tetapi sebuah tangan menghalanginya untuk bangkit. Ia merasakan suhu tubuh Jeremy yang sedikit hangat, Anna mengurungkan niatnya lalu memeriksa kondisi Jeremy yang tampak sedang kurang enak badan ternyata. Ia menempelkan tangannya ke dahi Jeremy dan benar suhu tubuh pria tersebut terasa hangat. "Jer kau sakit?" Jeremy menggerang pelan dari tidurnya, "Hari ini kau tidak perlu ke kantor dulu biar aku hubungi Frans sekarang." kata Anna. "Tidak usah Ann aku baik-baik saja," lirih Jeremy yang masih menutup mata. Bagaimana suaminya itu bisa mengatakan baik-baik saja, padahal jelas tubuhnya terasa hangat. Memang si keras kepala i