Share

Bab 3

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-19 11:06:54

Ruangan aula TK itu riuh seperti pasar malam; balon warna-warni menggantung bergoyang ringan di langit-langit, pita-pita berkelok menari ditiup angin, sementara puluhan anak kecil berlarian tanpa henti, seperti pasukan semut yang kebanyakan minum energen. Suara tawa mereka pecah di antara jeritan kecil dan dentingan musik anak-anak yang mengalun riang. 

 Di depan pintu aula, Akira berdiri membeku, tubuhnya kaku seperti patung lilin yang tak bernyawa. Jantungnya berdegup kencang, seolah genderang perang bergaung di dadanya. Keringat dingin menggenang di telapak tangannya, membuatnya harus mengusapnya berulang kali. 

 “Gue benar-benar harus bisa bertahan di tempat kayak gini...” gumamnya lirih, suaranya nyaris pecah. 

Mata Akira mulai berkaca-kaca saat bayangan pagi tadi kembali menghantam pikirannya, membalik rasa takut yang sudah lama terkunci dalam dada.

***

Pagi itu di koridor kampus yang ramai, tiba-tiba tangan Pak Arka mencengkeram lengan Akira dengan erat. Wajahnya datar, tanpa emosi. “Kamu ikut acara sekolah Azka,” ucapnya singkat.

Jantung Akira berdegup kencang, napasnya mendadak tercekat. “Eh? Lho? Kenapa saya, Pak?!” suaranya bergetar.

Pak Arka menatapnya dingin, tatapannya menusuk sampai membuat bulu kuduk Akira berdiri. “Dia butuh ibunya.”

Akira menepis lengan itu dengan gugup. “Aku bukan ibunya, Pak!”

Tanpa sedikitpun keraguan, Pak Arka menimpali, “Dia manggil kamu mama, bukan orang lain. Jadi pura-pura saja.”

Mulut Akira ternganga, seperti ikan cupang yang kehabisan udara, tidak tahu harus berkata apa, sementara hati kecilnya tercekat menahan kebingungan yang tak terjelaskan.

***

Sampai akhirnya… dia benar-benar ada di sini, berdiri di tengah-tengah keramaian pentas seni TK. Sendirian. Terjebak dalam riuh tawa dan tepuk tangan yang membuat dadanya sesak. 

 “MA! Duduk sini, MA!” teriak Azka sambil menarik kuat tangannya. 

 Seketika, ratusan pasang mata orang tua berbalik menatapnya. Akira merasa seolah jiwanya melayang, menjauh dari tubuh yang kaku dan beku. Wajahnya seperti dicubit es batu, dingin dan tegang. Napasnya tersengal, kaki gemetar tak tertahankan. 

 Di sebelahnya, seorang ibu muda dengan make-up tebal, seolah siap menghadapi sidang, mulai menyelidik dari ujung kepala sampai ujung kaki Akira. 

 “Eh… itu siapa, ya?” bisiknya pada ibu lain. 

 “Kayaknya masih kuliah, deh.” 

 “Pakaian santainya nggak cocok sama acara sekolah-sekolahan begini.” 

 “Jangan-jangan… istri muda?” 

 Akira menahan ludahnya yang nyaris keluar, hatinya berdebar kencang. “Is-tri mu-da?!” pikirnya, pipinya memerah sehangat kepiting rebus. 

 Ia ingin bangkit, membela diri. Namun Arka sudah duduk di sampingnya, menatap dingin sambil berkata pelan, tapi menusuk, “Diam. Kamu cuma harus temani Azka.”

“Pak, ini beneran ide buruk…” bisik Akira, putus asa.

Arka menatapnya sekilas. “Tenang. Mereka cuma suka gosip.”

“PAK! Itu bukan solusi!”

Tapi dosen itu sudah kembali memasang wajah datar tak terganggu.

***

Acara resmi dimulai, dan dari speaker mulai mengalun musik TK itu, entah kenapa di telinga Akira, melodi itu malah seperti lagu duka yang menggantung di udara. Anak-anak berputar-putar dengan riang, suara tawa dan nyanyian bercampur jadi satu. Tapi di sana, satu anak kecil menangis tersedu-sedu karena sayap kostumnya tiba-tiba copot. 

Akira duduk kaku, matanya hanya bisa mengangguk pelan, seperti mencoba menghilang ke dalam kursi. Tiba-tiba, Azka melesat ke panggung dengan penuh semangat. 

“Ma! Liat Azka yaaa!” suaranya ceria sambil melambai ke arah Akira. 

Sorot mata para orang tua mengarah ke Akira, penuh harapan dan haru, seperti sedang menyaksikan sebuah kisah keluarga yang harmonis. Akira merasakan tubuhnya mengeras. 

“Ma? Lagi? Astaga…” batinnya penuh putus asa. 

 Ketika lagu “Bintang Kecil” mulai berkumandang, Azka berdiri tegap, wajahnya bersinar penuh percaya diri. “Bintang kecil… di langit yang biru…” 

Nafas Akira tertahan, seolah saat itu ada kehangatan yang menari-nari di ruang itu, manis dan menyenangkan. Tapi kehangatan itu hilang secepat kilat. 

Azka tiba-tiba berhenti bernyanyi dan berteriak lantang, “Mamaaa! Tepuk tangan dong MAAA!” 

 Semua mata langsung berbelok ke arah Akira. Tangan Akira yang sebelumnya di pangkuan kini menggenggam keras. 

Arka di sampingnya menutup matanya, memijat pelipis seperti ingin mengusir sakit kepala yang semakin menyesakkan. Jiwa Akira terasa ringan, hampir lenyap dalam diamnya ruang itu.

Akira langsung melonjak berdiri, tepuk tangannya menggema seperti orator di tengah keramaian demo. 

“T-tentu! Waaaah! Hebat Azkaa!!” serunya dengan penuh semangat. 

Namun, sorot matanya perlahan berubah jadi cemas ketika beberapa ibu muda di dekatnya mulai menahan tawa, menukik pandangannya ke arah ponsel yang mereka angkat untuk memotret. Bisikan kecil bergulir di sekitarnya, seperti jarum halus yang menusuk.

 “Romantis banget, ya.” 

 “Suaminya dingin, istrinya ceria… cocok banget!” 

 “Ciyeee, pasangan muda.”

Kalimat itu bagai pisau berkarat, menusuk hati Akira di tiga sudut berbeda. Dadanya sesak, ingin ia melawan dan berteriak, “Bu… saya itu… BUKAN… istri siapa pun…” 

Namun yang keluar dari mulutnya cuma suara serak dan sesenggukan, “ihhik…” yang tak mampu membendung rasa sakit di dalamnya. Matanya berkilat menahan air mata yang mengancam tumpah.

***

Azka baru saja turun dari panggung, napasnya masih tersengal-sengal. Tanpa basa-basi, dia berlari kecil dan melompat ke pelukan Akira. “Mama hebat! Mama yang tepuk tangannya paling kenceng!” serunya dengan mata berbinar.

Akira menatap bocah itu sambil menahan senyum, dadanya terasa meleleh hangat. “Dek… aku bukan mama kamu, sayang,” ucapnya pelan, berharap suara itu terdengar lembut.

Azka malah mengerutkan dahi, wajahnya serius, lalu berkata dengan suara kecil tapi penuh keyakinan, “Tapi Azka mau mama Akira…”

Akira menoleh ke Arka, yang baru saja masuk, matanya menatap tajam ke arah bocah itu. “Azka…”

Bocah kecil itu malah memeluk Akira lebih erat, seolah ingin meyakinkan dunia. “Pa, Azka nggak mau yang lain. Mau mama ini!”

Suasana di aula langsung dipenuhi decak gemas serentak, “Aaaawwwww…”

Sementara hati Akira bergemuruh dalam diam, berteriak dalam hati, "TOLONG HENTIKAN DRAMANYA…"

***

Setelah acara usai, seorang guru TK melangkah mendekat dengan senyum selebar pelangi di wajahnya. "Wah, Azka beruntung banget punya mama muda dan cantik kayak kamu," pujinya dengan nada ringan. Akira tiba-tiba tersedak, napasnya tercekat tanpa sengaja. 

Di sampingnya, Arka mengeluarkan batuk kecil, entah menahan tawa geli atau menyembunyikan rasa kesal. 

 "Eh… saya… ini… bukan..." Akira berusaha membela diri, tapi sebelum kalimatnya tuntas, guru itu sudah memotong, "Jangan sungkan! Kalau butuh kelas parenting, ibu siap bantu, lho!" 

 Akira merasa seolah baru saja diludahi oleh malaikat kehinaan yang tak terelakkan. Jantungnya berdebar cepat, suara hatinya berteriak dalam kebingungan. 

 "A-aku bukan..." Guru itu tak berhenti. "Besok ada pertemuan orang tua murid ya," tambahnya santai. Hati Akira seakan copot dan tercecer di lantai. 

 "PAK ARKA!" bisiknya panik, langsung menoleh ke dosen killer di samping. 

 Arka berdiri, menatap sang guru TK dengan anggukan singkat. "Baik, Bu. Mamanya akan hadir." 

 “Mamanya? Hadir??” gemetar suara hati Akira. “PAKKKK!!” bisik paniknya semakin menjadi. 

 Arka menatapnya datar, tatapan dingin yang menyentak. "Kamu mau IPK aman atau nggak?" 

 Lutut Akira bergetar, seolah beban dunia menimpanya. "Gue cuma mau hidup tenang… kenapa malah jadi begini..." 

 Di sela kekalutannya, tangan Azka menarik perlahan. "Mamaaa… abis ini makan es krim yaaa? Mama kan sayang Azkaaa?" 

 Suara kecil itu seketika meredam gelisah Akira, tapi bayang-bayang kata-kata tadi masih terus membayangi pikirannya.

Akira merasakan dua hal yang saling berseberangan di dadanya. Pertama, keinginan kuat untuk kabur jauh-jauh, menghindar dari situasi yang makin menyesakkan. Kedua, dorongan untuk mencubit pipi montok Azka yang tak henti membuatnya gemas. 

 “Mama sayang kan?” Azka menatap Akira dengan mata berbinar-binar, senyumnya seperti melelehkan beku. 

 Akira menghela napas panjang, menyerah tanpa daya pada takdir yang menghadangnya. “Iya, sayang…” jawabnya lirih, hampir tak terdengar. 

 Arka menatapnya. L-A-M-A. Tatapan yang seperti ingin membaca sampai ke dasar hati dan mengorek dosa-dosa lama. 

 “Apa liat-liat, Pak?” Akira bergumam pelan dalam hati, sedikit kesal tapi takut terbaca. 

 Arka akhirnya bersuara, pelan namun menusuk hati, “Kamu terlalu cepat terbawa suasana.” 

 Akira reflex membalas, “HEH?!” suaranya hampir pecah.

Dengan wajah datar tanpa ekspresi, Arka melanjutkan, “Mulai besok, jaga jarak. Jangan terlalu manis, nanti Azka malah makin nempel.” 

 Mata Akira membulat sebesar-besarnya. “PAK. SAYA. TIDAK. MANIS. SAYA. TERPAKSA.” ucapnya seperti membela diri. 

 Tapi Arka tak bergeming, “Besok jam lima sore. Jangan terlambat.” 

 Akira tercekat, “Apanya yang jam lima?” 

 “Pertemuan orang tua murid,” jawab Arka singkat. 

 Rasa terperangkap langsung menyerang. Akira merasa ingin menjatuhkan diri ke lantai aula TK itu. “GUE TERJEBAK. FIX. GUE DICIDUK TAKDIR,” batinnya panik.

Sementara Azka, tanpa sadar, memeluk kaki Akira erat-erat. “Mama Akira, Azka cinta mamaaa!” suaranya penuh kasih sayang, membuat Akira campur aduk antara ingin tersenyum dan ingin menghela napas lagi.

Para ibu langsung, “Aaaaaaawwwww..."

Akira hanya bisa tersenyum kaku.

Dan di dalam kepalanya. 

“Ya Tuhan… apakah hidupku akan terus begini…?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 5

    Pagi itu, Akira berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya. Matanya meneliti setiap detail wajahnya, seperti sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk sidang skripsi. Bulu matanya sudah rapi, terlihat natural. Dia mengoles bedak tipis-tipis, takut kalau-kalau ketahuan baru bangun tidur. Pandangannya lalu tertuju pada pilihan pakaian. “Jangan sampai ibu-ibu di TK kira aku dandan demi suaminya,” pikirnya cemas. Suami? Siapa? Arka? Sekilas bayangan Arka hadir dan membuat bulu romanya merinding. Akhirnya, dia memilih kaos polos dan celana jeans pilihan yang aman, simpel, dan jauh dari gosip. Begitu Akira melangkah keluar kos, sebuah mobil hitam yang sangat familiar melambat di depannya. Jendela turun, dan mata Arka menatapnya dengan ekspresi datar seperti biasa. “Naik,” katanya pendek. Jantung Akira hampir melonjak, suaranya setengah berteriak, “Pak! Bukannya saya disuruh datang sendiri?” Arka malah melepas kalimat yang bikin darahnya mendidih, “Ini ‘datang sendiri’. Ka

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 4

    Pagi itu, Akira hanya berniat singgah sebentar, seperti biasanya. Mengantar Azka ke kelas, bilang “hai” sebentar ke gurunya, lalu kabur sebelum para ibu-ibu TK dengan radar gosip setajam satelit NASA menyadari kedekatan mereka. Namun rencana itu hancur dalam hitungan detik. Begitu melewati gerbang, Azka tiba-tiba merangkul leher Akira erat seperti koala yang menemukan pohon favoritnya setelah sekian lama hilang. “Mama… Azka mau gendong terus,” suara kecil itu menggantung di udara. Akira terpaku. Matanya mencari-cari cara menjauh tapi tubuh Azka enggan lepas. “Azkaaa… ini mama Kira ya, bukan mama beneran. Kamu nggak boleh panggil aku mama di sini,” ujarnya pelan, berusaha menarik napas agar tidak panik. Tapi Azka justru mengencangkan pelukannya, wajahnya penuh tekad. “Nggak mau! Mau mama Kira!” Di seberang halaman, beberapa ibu-ibu yang sedang mengantar anak serempak memutar kepala. Mata mereka membesar, saling bertukar pandang penuh arti, seperti kawanan flamingo yang mena

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 3

    Ruangan aula TK itu riuh seperti pasar malam; balon warna-warni menggantung bergoyang ringan di langit-langit, pita-pita berkelok menari ditiup angin, sementara puluhan anak kecil berlarian tanpa henti, seperti pasukan semut yang kebanyakan minum energen. Suara tawa mereka pecah di antara jeritan kecil dan dentingan musik anak-anak yang mengalun riang. Di depan pintu aula, Akira berdiri membeku, tubuhnya kaku seperti patung lilin yang tak bernyawa. Jantungnya berdegup kencang, seolah genderang perang bergaung di dadanya. Keringat dingin menggenang di telapak tangannya, membuatnya harus mengusapnya berulang kali. “Gue benar-benar harus bisa bertahan di tempat kayak gini...” gumamnya lirih, suaranya nyaris pecah. Mata Akira mulai berkaca-kaca saat bayangan pagi tadi kembali menghantam pikirannya, membalik rasa takut yang sudah lama terkunci dalam dada.***Pagi itu di koridor kampus yang ramai, tiba-tiba tangan Pak Arka mencengkeram lengan Akira dengan erat. Wajahnya datar, tanpa e

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 2

    Angin sore di taman kampus tiba-tiba terasa berhenti, seolah ikut menahan napas menyaksikan situasi genting di depan dosen killer itu. Akira berdiri kaku, dadanya sesak, tatapannya tak berani menantang balik sorot tajam Arka. Dosen itu terkenal membuat mahasiswa stres sampai rambut mereka rontok satu per satu. Irit bicara, jarang senyum, dan lebih parah lagi sering memberi nilai rendah tanpa ampun. "Kamu mau menculik anak saya!" tuduh Arka tiba-tiba, matanya melotot seperti pedang siap menancap di dada Akira. Tangan Akira mulai basah oleh keringat dingin, jemarinya gemetar meremas ujung bajunya, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Mana berani saya menculik anak kecil. Dia yang nyamperin saya dan ngira kalau saya mamanya, Pak," suaranya bergetar, berusaha tetap tenang. Sekilas ia melirik anak kecil yang digendong Arka, bibirnya menekan keras agar tak meluapkan kekesalan dalam hati. "Kenapa gue mesti ketiban sial cuma gara-gara anak ini," gumamnya penuh kegeraman. "Modus," A

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 1

    Suara kicau burung bersahutan lembut di antara ranting-ranting pohon, sementara angin sore menyusup lewat celah daun, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Akira duduk terdiam di bangku taman kampus yang hampir kosong, tubuhnya merosot santai sambil menggenggam roti isi telur yang setengah digigit. Headset bluetooth murahan melingkar di lehernya, satu sisi earbud terlepas dan menggantung, sesekali mengeluarkan suara statis saat mencoba menyambung kembali. Matanya menatap kosong ke arah rerumputan yang berayun pelan, napasnya keluar pelan dan panjang, membebaskan penat yang menumpuk selama tiga hari terakhir. Wajahnya menunjukkan kelelahan, garis-garis gelisah mengintip di sudut mata, namun ada secercah ketenangan yang mulai menyusup menggantikan stres. "Akhirnya bisa napas juga gue," gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin. Tangan kanan Akira secara refleks mengusap pelipisnya yang masih terasa tegang, lalu ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi, s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status