MasukPagi itu, Akira hanya berniat singgah sebentar, seperti biasanya. Mengantar Azka ke kelas, bilang “hai” sebentar ke gurunya, lalu kabur sebelum para ibu-ibu TK dengan radar gosip setajam satelit NASA menyadari kedekatan mereka. Namun rencana itu hancur dalam hitungan detik.
Begitu melewati gerbang, Azka tiba-tiba merangkul leher Akira erat seperti koala yang menemukan pohon favoritnya setelah sekian lama hilang. “Mama… Azka mau gendong terus,” suara kecil itu menggantung di udara. Akira terpaku. Matanya mencari-cari cara menjauh tapi tubuh Azka enggan lepas. “Azkaaa… ini mama Kira ya, bukan mama beneran. Kamu nggak boleh panggil aku mama di sini,” ujarnya pelan, berusaha menarik napas agar tidak panik. Tapi Azka justru mengencangkan pelukannya, wajahnya penuh tekad. “Nggak mau! Mau mama Kira!” Di seberang halaman, beberapa ibu-ibu yang sedang mengantar anak serempak memutar kepala. Mata mereka membesar, saling bertukar pandang penuh arti, seperti kawanan flamingo yang menangkap momen unik lewat kamera. Bisikan tak terlihat sudah mulai berderai di udara. Akira menelan ludah, jantungnya berdegup lebih kencang. “Ini awal yang buruk... sangat buruk.” Arka berdiri di samping Akira, menghela napas panjang yang hampir tak tertahankan. Matanya menatap tajam tanpa sedikit pun rona emosi, seperti dosen yang baru saja menemukan mahasiswanya salah mengumpulkan tugas—untuk ketujuh belas kalinya. “Sudah. Lepaskan saja,” ucapnya pelan, nada suaranya dingin dan nyaris tak peduli. “Biar dia turun sendiri.” “Tapi dia nempel banget, Pak! Anak ini lengket kayak lem tikus!” suara Azka memekik sambil menggantungkan seluruh berat tubuhnya pada Akira. Akira terhuyung ke belakang, berusaha keras menjaga keseimbangan agar tidak menabrak pot bunga di depan gerbang TK. Napasnya memburu, keringat dingin mulai membasahi keningnya. Di sekitar mereka, ibu-ibu yang sedang berkumpul tiba-tiba serentak menahan napas. “Ya ampun, Bu... eh, Mbak?” seorang ibu tergagap, matanya membesar. “Lucu banget anaknya, mirip banget sama ibunya,” celetuk yang lain sambil tersenyum penuh bisik. “Pacarnya Pak Arka, ya, Mbak?” bisik seorang ibu dengan suara serendah mungkin, tapi jelas terdengar sampai ke sudut taman seolah dunia mengatur agar bisikan itu terdengar sampai Bekasi. Akira menggigit bibir, merasa ingin menjerit sekeras-kerasnya. Kenapa sih, seakan seluruh alam semesta bersepakat membuatnya dianggap istri Arka? Di sampingnya, Arka tetap dengan sikap tenang, tangan santai masuk saku celana, wajahnya datar tanpa dosa seolah kejadian ini cuma tontonan gratis yang tak perlu ia ambil pusing. Arka menatap Azka dengan suara tegas, “Azka, turun.” Namun, bocah itu malah ngambek, pelukannya ke leher Arka makin erat. “Enggak!” gumam Azka, menolak melepaskan diri. Arka menarik napas panjang, mencoba menenangkan suasana. “Kalau nggak turun, nanti Papa...” ancamnya pelan. Seketika wajah Azka berubah, matanya membulat ketakutan. “Papa marah?” tanyanya ragu. Arka mengangkat alis, “Papa sedih.” Bibir Azka mulai gemetar. Air mata tumpah, menetes hangat di pipinya. Astaga, plot twist tanpa diduga. “Tapi... Azka mau sama mama Kiraaa...” suara lirihnya pecah dalam isak. Tanpa sadar, air mata Azka membasahi bahu Akira yang berdiri tak jauh. Beberapa ibu-ibu di sekitar sigap mengeluarkan tisu, cepat sekali. “Duh, kasihan banget... anaknya deket banget sama mamanya ya,” salah satu ibu bergumam, wajahnya penuh simpati. “Ih, beneran mirip, lho! Dari hidungnya...” timpal yang lain sambil senyum manis. “Udah sah aja deh, Pak Arka sama Mbaknya... manis banget keluarganya,” komentar seorang ibu lagi, suaranya menggambarkan anggapan hangat, walau tanpa diminta. Arka cuma bisa menutup wajah dengan telapak tangan, setengah meringis. “Bu.. eh, Mbak Akira bukan...” dia terhenti. Salah satu ibu dengan santai memotong, “Ih, Pak, nggak apa-apa kok! Kita semua ngerti, kok. Anak TK di sini banyak yang orang tuanya nikah muda. Tenang aja, kita open-minded.” Arka terasa sesak, hampir tersedak udara. Sementara Akira cuma diam membeku, menelan semua komentar itu tanpa bisa berkata apa-apa. Azka masih menempel erat di tubuh Akira, seperti tas ransel edisi terbatas yang susah dilepas. Butuh waktu lima menit dan bantuan dua guru untuk membebaskan Azka dari pelukan itu. Begitu tubuhnya kembali menginjak lantai, bocah itu langsung meledak dalam tangisan, meraih Akira dengan tangan gemetar. “Azka mauuu! Mau mama Kiraaa!” teriaknya putus asa, wajahnya merah padam. Guru kelas A mendekat pelan, suaranya lembut penuh pengertian, “Tenang, Bu… eh, Mbak Akira… nanti kalau sudah mulai pelajaran, dia pasti lupa.” Arka menghembuskan napas berat, suaranya serak menahan emosi, “Dia bukan...” “Tenang, Pak Arka, kami paham kok,” sang guru membalas dengan senyum yang seolah menyembunyikan cerita lebih dalam. Arka hanya bisa terdiam, matanya kosong. Akira di sisi lain, merasa campur aduk ingin tertawa sekaligus menangis terjebak dalam pusaran perasaan yang sulit dijelaskan. Saat Azka akhirnya melangkah masuk kelas, Akira menarik napas panjang, merasakan kebebasan pertama setelah perjuangan melelahkan selama lima belas menit mempertahankan tulangnya dari amukan pelukan putranya. Namun ketenangan itu sekejap saja, baru tiga detik Akira berbalik, sudah ada sekumpulan ibu-ibu mengepungnya, berdesakan seperti fans yang mengerubuti idolanya tanpa pengawal. “Mbak… mbak beneran istrinya Pak Arka?” suara cecilan ibu-ibu itu terdengar tanpa henti. “Tuh, kok dia manggilnya ‘mamaaa’ gitu, lucu banget sih!” “Kalian nikah di mana, ya? Kok aku nggak pernah denger ceritanya?” “Dulu kan kayaknya Pak Arka jomblo, ya? Jangan-jangan nikah diam-diam, nih?” “Wah, romantis banget, sih...” Akira menahan senyum kaku, menatap anak-anak kecil itu dengan mata yang setengah terpejam. Bibirnya tercekat, mencoba merangkai kata yang tepat. “Eng… saya… bukan… istri… beliau…” ucapnya pelan, suaranya bergetar sedikit. Seorang bocah membalas dengan tatapan polos. “Tapi masa sih? Anak kecil nggak mungkin bohong, kan?” Hati Akira sesak. Ada keinginan besar meluncur keluar, ingin berkata, ANAK KECIL MALAH PALING SERING NGOMONG NGGAK PAKAI FILTER, BU!, tapi suaranya tercekik dalam. Dia menunduk, menelan ludah, berharap cepat-cepat ini berlalu. Akira hanya ingin hidup normal. Dia ingin bebas lewat gerbang TK tanpa harus dikejar ibu-ibu yang cerewet bertanya tentang garis keturunan Azka. Tangan Arka menyentuh bahunya dengan lembut, diiringi suara berat, “Ayo pulang.” Pundak Akira terasa turun, lemas menyerah. Dia mengikutinya tanpa berkata apa-apa, melangkah menuju mobil dengan langkah yang berat. Di dalam mobil, hening. Arka menyetir seperti biasa wajahnya tenang tapi dingin, ekspresinya datar hingga membuat suasana terasa kaku. Terlalu tampan untuk diabaikan, pikir Akira, tapi justru itu yang membuatnya semakin ruwet. Akira menyilangkan tangan di dada, matanya menatap lurus tapi wajahnya memperlihatkan kegelisahan. “Pak, gara-gara Azka, ibu-ibu itu malah mikir saya istri Bapak…” suaranya terdengar setengah marah, setengah takut. “Biarkan saja,” Arka menjawab pelan, tanpa menatap Akira. “BIARKAN?” Akira mengernyit, merasa tak percaya. Arka melirik sebentar, matanya menatap dengan dingin tapi tenang. “Kalau kamu panik, mereka malah makin curiga.” “Astaga… Pak Arka, saya ini cuma mahasiswi, bukan cameo drama keluarga sinetron!” keluh Akira sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. Arka diam, tapi sudut bibirnya naik sedikit hanya sekilas, hampir tidak terlihat. Akira menatapnya dengan heran. Dia… tersenyum? “Nggak mungkin,” batinnya. “Apa itu benar-benar senyum?” “Tapi besok,” Arka menyela tiba-tiba, “kamu yang antar Azka ke sekolah.” “Hah? Nggak! Ibu-ibu itu udah siap bikin grup gosip baru khusus buat saya!” Akira mengernyit bingung. “Kamu cuma perlu datang. Biar Azka nggak tantrum,” kata Arka dengan nada datar tapi pasti. “Lah, kenapa saya harus sendirian? Kan Bapak ayahnya...” Arka tak lanjut bicara, hanya menatap tajam tanpa berkata apa-apa. Akira menggigit bibir, sadar percakapan ini belum selesai tapi tak punya jawaban lain. Arka memotong, “Karena kalau aku ikut, ibu-ibu akan makin ribut. Kamu datang sendiri saja. Mereka pasti menganggap kamu ibunya dan berhenti bertanya.” Akira hampir pingsan. “PAK ARKA…” “Ya?” “Yang bikin masalah itu ya BlAPAK! Kok saya yang disuruh jadi peredam gosip?!” Arka hanya menjawab dengan kalimat menenangkan yang sama sekali tidak menenangkan: “Besok pagi jam tujuh, saya jemput.” Saat mobil berhenti di depan kos Akira, dia membuka seatbelt tanpa tenaga. “Besok ya,” ulang Arka. “Pak Arka… saya bukan babysitter…” “Kamu yang mulai,” jawab Arka santai. “Kamu yang memeluk Azka duluan.” “Itu dia yang nempel! Azka kayak lem setan! Saya korban!” Arka tampak berpikir. “Lem setan?” “Figuratif, Pak!” Arka mengangguk seolah itu pelajaran baru yang sangat menarik. Akira turun dengan langkah gontai. Sebelum menutup pintu mobil, Arka sempat berkata: “Kira.” Akira tertegun. Arka jarang sekali menyebut nama depannya. “Apa…?” “Terima kasih.” Kalimat itu sangat sederhana. Tapi disampaikan dengan suara datar Arka, kalimat itu justru terasa… tulus. Akira menutup pintu pelan, bingung dengan rasa aneh di dadanya. Deg-degan? Kesal? Capek? Semua? Yang jelas, besok akan menjadi hari yang kacau lagi. Dan Akira belum siap sama sekali.Pagi itu, Akira berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya. Matanya meneliti setiap detail wajahnya, seperti sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk sidang skripsi. Bulu matanya sudah rapi, terlihat natural. Dia mengoles bedak tipis-tipis, takut kalau-kalau ketahuan baru bangun tidur. Pandangannya lalu tertuju pada pilihan pakaian. “Jangan sampai ibu-ibu di TK kira aku dandan demi suaminya,” pikirnya cemas. Suami? Siapa? Arka? Sekilas bayangan Arka hadir dan membuat bulu romanya merinding. Akhirnya, dia memilih kaos polos dan celana jeans pilihan yang aman, simpel, dan jauh dari gosip. Begitu Akira melangkah keluar kos, sebuah mobil hitam yang sangat familiar melambat di depannya. Jendela turun, dan mata Arka menatapnya dengan ekspresi datar seperti biasa. “Naik,” katanya pendek. Jantung Akira hampir melonjak, suaranya setengah berteriak, “Pak! Bukannya saya disuruh datang sendiri?” Arka malah melepas kalimat yang bikin darahnya mendidih, “Ini ‘datang sendiri’. Ka
Pagi itu, Akira hanya berniat singgah sebentar, seperti biasanya. Mengantar Azka ke kelas, bilang “hai” sebentar ke gurunya, lalu kabur sebelum para ibu-ibu TK dengan radar gosip setajam satelit NASA menyadari kedekatan mereka. Namun rencana itu hancur dalam hitungan detik. Begitu melewati gerbang, Azka tiba-tiba merangkul leher Akira erat seperti koala yang menemukan pohon favoritnya setelah sekian lama hilang. “Mama… Azka mau gendong terus,” suara kecil itu menggantung di udara. Akira terpaku. Matanya mencari-cari cara menjauh tapi tubuh Azka enggan lepas. “Azkaaa… ini mama Kira ya, bukan mama beneran. Kamu nggak boleh panggil aku mama di sini,” ujarnya pelan, berusaha menarik napas agar tidak panik. Tapi Azka justru mengencangkan pelukannya, wajahnya penuh tekad. “Nggak mau! Mau mama Kira!” Di seberang halaman, beberapa ibu-ibu yang sedang mengantar anak serempak memutar kepala. Mata mereka membesar, saling bertukar pandang penuh arti, seperti kawanan flamingo yang mena
Ruangan aula TK itu riuh seperti pasar malam; balon warna-warni menggantung bergoyang ringan di langit-langit, pita-pita berkelok menari ditiup angin, sementara puluhan anak kecil berlarian tanpa henti, seperti pasukan semut yang kebanyakan minum energen. Suara tawa mereka pecah di antara jeritan kecil dan dentingan musik anak-anak yang mengalun riang. Di depan pintu aula, Akira berdiri membeku, tubuhnya kaku seperti patung lilin yang tak bernyawa. Jantungnya berdegup kencang, seolah genderang perang bergaung di dadanya. Keringat dingin menggenang di telapak tangannya, membuatnya harus mengusapnya berulang kali. “Gue benar-benar harus bisa bertahan di tempat kayak gini...” gumamnya lirih, suaranya nyaris pecah. Mata Akira mulai berkaca-kaca saat bayangan pagi tadi kembali menghantam pikirannya, membalik rasa takut yang sudah lama terkunci dalam dada.***Pagi itu di koridor kampus yang ramai, tiba-tiba tangan Pak Arka mencengkeram lengan Akira dengan erat. Wajahnya datar, tanpa e
Angin sore di taman kampus tiba-tiba terasa berhenti, seolah ikut menahan napas menyaksikan situasi genting di depan dosen killer itu. Akira berdiri kaku, dadanya sesak, tatapannya tak berani menantang balik sorot tajam Arka. Dosen itu terkenal membuat mahasiswa stres sampai rambut mereka rontok satu per satu. Irit bicara, jarang senyum, dan lebih parah lagi sering memberi nilai rendah tanpa ampun. "Kamu mau menculik anak saya!" tuduh Arka tiba-tiba, matanya melotot seperti pedang siap menancap di dada Akira. Tangan Akira mulai basah oleh keringat dingin, jemarinya gemetar meremas ujung bajunya, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Mana berani saya menculik anak kecil. Dia yang nyamperin saya dan ngira kalau saya mamanya, Pak," suaranya bergetar, berusaha tetap tenang. Sekilas ia melirik anak kecil yang digendong Arka, bibirnya menekan keras agar tak meluapkan kekesalan dalam hati. "Kenapa gue mesti ketiban sial cuma gara-gara anak ini," gumamnya penuh kegeraman. "Modus," A
Suara kicau burung bersahutan lembut di antara ranting-ranting pohon, sementara angin sore menyusup lewat celah daun, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Akira duduk terdiam di bangku taman kampus yang hampir kosong, tubuhnya merosot santai sambil menggenggam roti isi telur yang setengah digigit. Headset bluetooth murahan melingkar di lehernya, satu sisi earbud terlepas dan menggantung, sesekali mengeluarkan suara statis saat mencoba menyambung kembali. Matanya menatap kosong ke arah rerumputan yang berayun pelan, napasnya keluar pelan dan panjang, membebaskan penat yang menumpuk selama tiga hari terakhir. Wajahnya menunjukkan kelelahan, garis-garis gelisah mengintip di sudut mata, namun ada secercah ketenangan yang mulai menyusup menggantikan stres. "Akhirnya bisa napas juga gue," gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin. Tangan kanan Akira secara refleks mengusap pelipisnya yang masih terasa tegang, lalu ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi, s







