MasukAngin sore di taman kampus tiba-tiba terasa berhenti, seolah ikut menahan napas menyaksikan situasi genting di depan dosen killer itu. Akira berdiri kaku, dadanya sesak, tatapannya tak berani menantang balik sorot tajam Arka. Dosen itu terkenal membuat mahasiswa stres sampai rambut mereka rontok satu per satu. Irit bicara, jarang senyum, dan lebih parah lagi sering memberi nilai rendah tanpa ampun.
"Kamu mau menculik anak saya!" tuduh Arka tiba-tiba, matanya melotot seperti pedang siap menancap di dada Akira. Tangan Akira mulai basah oleh keringat dingin, jemarinya gemetar meremas ujung bajunya, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Mana berani saya menculik anak kecil. Dia yang nyamperin saya dan ngira kalau saya mamanya, Pak," suaranya bergetar, berusaha tetap tenang. Sekilas ia melirik anak kecil yang digendong Arka, bibirnya menekan keras agar tak meluapkan kekesalan dalam hati. "Kenapa gue mesti ketiban sial cuma gara-gara anak ini," gumamnya penuh kegeraman. "Modus," Arka menyeringai sinis, matanya tak pernah lepas dari Akira, seakan menyulut bara yang sudah membara. Kedua mata Akira melebar, tak percaya mendengar ucapan dosen killer itu. Ia menatapnya dengan susah payah menyembunyikan keraguan. "Beneran, Pak. Saya nggak bohong. Bohong itu dosa, dan dosa itu masuk neraka," jawab Akira dengan muka serius, seolah menegaskan kebenarannya. Di sisi lain, Azka mendongakkan wajah polosnya, matanya menatap Akira penuh harap. "Azka mau sama mama, Pa," rengeknya lirih, seolah Akira benar-benar adalah sang ibu. Arka memandang anaknya dengan tajam, suaranya tiba-tiba berubah dingin. "Azka, dia bukan mama kamu," tegasnya. Wajah Azka langsung suram, seolah langit kelabu yang siap turun hujan kapan saja. "Tapi mama baunya enak..." bisiknya pelan. Akira terpaku, menatap tangannya, lalu mencium pergelangan tangannya sendiri. “Baunya enak? Dari mana ya...” pikirnya bingung, padahal hanya parfum murahan yang ia beli dari toko serba lima ribu. Arka menghela napas panjang, gelisah. Ia menoleh ke Dini yang berdiri kaku di sana, tubuhnya seperti orang-orangan sawah yang akan roboh tersapu angin kapan saja. "Jadi, anak saya tiba-tiba datang sama kamu dan manggil kamu mama begitu?" tanyanya, suaranya penuh tanda tanya sekaligus keheranan. Akira buru-buru mengangguk, suaranya terbata-bata. "I-iya, Pak. Sumpah demi IPK saya, sama sekali nggak ada niat jahat." Gugup membuat dadanya sesak, jantungnya berdebar tak karuan. Arka mendengus sinis, matanya menyipit tajam. "Emang IPK kamu tinggi?" tanya Arka, nada suaranya menusuk. Akira terdiam sejenak, bingung memilih jawaban. Kalau bilang tinggi, takut langsung dicek oleh dosen killer itu. Kalau bilang rendah, harga dirinya terpukul habis. Dengan suara datar, ia akhirnya menjawab, "Em, standar saja..." Arka mengangguk pelan lalu menurunkan Azka dari gendongannya. "Pangasuh Azka tiba-tiba kabur, saya masih ada kelas sebentar lagi," ujarnya singkat. Pandangannya lalu mengalir ke Akira, yang tengah berdiri dekat situ. Dengan dagu, Arka menunjuknya. "Kamu... bantu jagain Azka." Mendengar itu, mata Akira membulat sempurna, seakan hampir terlepas dari rongganya. Tubuhnya menegang, dan suara kecilnya tercekat, "Eh, saya...?" Keheningan sesaat mengambang, kecanggungan jelas terpancar dari wajahnya. Akira pun cuma bisa menatap mereka, jantungnya masih berdegup kencang tanpa bisa berhenti. Akira mengerutkan dahi, berusaha menahan rasa cemas yang makin mengganjal. "Tapi, Pak… saya sama sekali nggak punya pengalaman jagain anak kecil," suaranya bergetar, berusaha menjelaskan sebelum dosen killer itu benar-benar menyerahkan anaknya padanya. Arka memotong tanpa basa-basi, nada suaranya dingin dan tegas. "Belajar, apa susahnya." Jawaban itu tajam, sampai Akira hampir tersedak ludahnya sendiri karena ketegasan itu. Akira menghela napas panjang, mencoba bersuara lagi, "Tapi, Pak..." Tatapan Arka menusuk. "Kalau kamu menolak, ingat siapa yang bakal tanda tangan lembar penilaian akhir kamu," ancamnya santai, seolah itu hanya hal sepele. Namun bagi Akira, kata-kata itu seperti bom yang siap meledakkan masa depannya. Jantungnya berdebar tak karuan, wajahnya memucat. Dia tahu, tolakannya bukan pilihan. Tiba-tiba, suara polos Azka memecah ketegangan. "Mama, kita main ke sana yuk." Akira menatap bocah kecil itu, raut polos dan penuh harap. Dadanya sesak, dia menghela napas pelan. "Dek, aku bukan mama kamu. Aku ini cuma mahasiswi dari papa kamu," ucapnya perlahan, mencoba menyampaikan dengan lembut agar Azka mengerti. Azka tiba-tiba menatap Akira dengan mata berbinar. "Mama baik deh, Azka suka," ujarnya polos. Akira segera menggeleng, jemarinya menepuk-nepuk jidat sendiri, seolah menahan gejolak dalam hatinya. "Mama lagi?" gumamnya tak percaya, sebelum suara keras dalam benaknya menggema. "Astaga! Gue bukan mama lo! Gue Akira, dan sampai kapan pun gue nggak bakal jadi mama lo!" Arka, dengan langkah tegap, merapikan kemejanya lalu menyerahkan tas kecil milik Azka ke tangan Akira. "Cuma setengah jam. Jaga dia baik-baik, jangan sampai kenapa-kenapa. Jangan kasih makanan manis berlebihan," perintahnya tegas sambil berlalu tanpa menoleh. Akira terpaku, matanya menatap punggung Arka yang menjauh, sementara kedua tangannya mencengkeram tas kecil itu seolah mencari pegangan di tengah kekacauan pikirannya. "Gimana ceritanya gue harus ngasuh anak orang? Gue sama sekali belum pernah ngasuh anak, bahkan pacaran aja gue belum pernah!" pikirnya panik. Rasanya dunia berputar makin kencang, menghantamnya dengan kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. "Ya Tuhan, kenapa hidup gue jadi segedebag gedebug gini!" gumamnya getir, menelan rasa takut dan bingung yang membuncah. Ingin rasanya ia menangis sambil guling-guling di tengah taman. Tapi apalah daya, di sampingnya ada anak kecil yang tengah menatapnya penuh harap. Apalagi kedua matanya yang bulat berbinar serta pipinya yang tembam membuatnya gemas ingin menciumnya. “Mama,” panggil Azka sambil menggoyangkan tangan Akira dengan lembut. Mata Akira membelalak, berkedip pelan seolah ingin memastikan ini bukan mimpi. Tapi kenyataannya memang nyata anak dosennya benar-benar memanggilnya mama. Azka menarik tangan Akira dengan penuh semangat sambil menunjuk ke ayunan besar di bawah pohon rindang tak jauh dari mereka. “Main ayunan sama Azka, yuk, Ma. Mama mau kan?” Tubuh Akira membeku sesaat, dadanya berdebar. Ia menatap wajah mungil Azka yang penuh harap, lalu melirik ayunan yang bergoyang pelan, seolah memanggilnya. Sebuah jebakan manis dari si kecil yang mustahil untuk ditolak. Akira menghela napas panjang, dadanya naik turun menahan beban yang terasa semakin berat. "Oke... ini demi IPK," bisiknya lirih, seolah membujuk dirinya sendiri agar kuat menjalani tantangan yang akan datang. Matanya menatap tajam ke arah Azka yang sedang berdiri di depannya, wajah mungil bocah itu penuh kepercayaan dan harapan. Akira mengangguk pelan, berusaha menanamkan keberanian di dalam dirinya. “Jadi mama bohongan, siapa takut!” gumamnya dengan senyum tipis yang berusaha menyembunyikan kegelisahan. Perlahan, ia menggenggam tangan kecil Azka dan menggandengnya erat. Keduanya melangkah menuju ayunan di sudut taman, langkah mereka serasi meski hati Akira masih diliputi keraguan. Angin sore yang sejuk mengibarkan rambut mereka, namun tekad Akira tetap membara. Dalam hatinya, ia berjanji akan melakukan yang terbaik demi masa depan akademiknya, walau harus berperan sebagai “mama bohongan” sekalipun.Pagi itu, Akira berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya. Matanya meneliti setiap detail wajahnya, seperti sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk sidang skripsi. Bulu matanya sudah rapi, terlihat natural. Dia mengoles bedak tipis-tipis, takut kalau-kalau ketahuan baru bangun tidur. Pandangannya lalu tertuju pada pilihan pakaian. “Jangan sampai ibu-ibu di TK kira aku dandan demi suaminya,” pikirnya cemas. Suami? Siapa? Arka? Sekilas bayangan Arka hadir dan membuat bulu romanya merinding. Akhirnya, dia memilih kaos polos dan celana jeans pilihan yang aman, simpel, dan jauh dari gosip. Begitu Akira melangkah keluar kos, sebuah mobil hitam yang sangat familiar melambat di depannya. Jendela turun, dan mata Arka menatapnya dengan ekspresi datar seperti biasa. “Naik,” katanya pendek. Jantung Akira hampir melonjak, suaranya setengah berteriak, “Pak! Bukannya saya disuruh datang sendiri?” Arka malah melepas kalimat yang bikin darahnya mendidih, “Ini ‘datang sendiri’. Ka
Pagi itu, Akira hanya berniat singgah sebentar, seperti biasanya. Mengantar Azka ke kelas, bilang “hai” sebentar ke gurunya, lalu kabur sebelum para ibu-ibu TK dengan radar gosip setajam satelit NASA menyadari kedekatan mereka. Namun rencana itu hancur dalam hitungan detik. Begitu melewati gerbang, Azka tiba-tiba merangkul leher Akira erat seperti koala yang menemukan pohon favoritnya setelah sekian lama hilang. “Mama… Azka mau gendong terus,” suara kecil itu menggantung di udara. Akira terpaku. Matanya mencari-cari cara menjauh tapi tubuh Azka enggan lepas. “Azkaaa… ini mama Kira ya, bukan mama beneran. Kamu nggak boleh panggil aku mama di sini,” ujarnya pelan, berusaha menarik napas agar tidak panik. Tapi Azka justru mengencangkan pelukannya, wajahnya penuh tekad. “Nggak mau! Mau mama Kira!” Di seberang halaman, beberapa ibu-ibu yang sedang mengantar anak serempak memutar kepala. Mata mereka membesar, saling bertukar pandang penuh arti, seperti kawanan flamingo yang mena
Ruangan aula TK itu riuh seperti pasar malam; balon warna-warni menggantung bergoyang ringan di langit-langit, pita-pita berkelok menari ditiup angin, sementara puluhan anak kecil berlarian tanpa henti, seperti pasukan semut yang kebanyakan minum energen. Suara tawa mereka pecah di antara jeritan kecil dan dentingan musik anak-anak yang mengalun riang. Di depan pintu aula, Akira berdiri membeku, tubuhnya kaku seperti patung lilin yang tak bernyawa. Jantungnya berdegup kencang, seolah genderang perang bergaung di dadanya. Keringat dingin menggenang di telapak tangannya, membuatnya harus mengusapnya berulang kali. “Gue benar-benar harus bisa bertahan di tempat kayak gini...” gumamnya lirih, suaranya nyaris pecah. Mata Akira mulai berkaca-kaca saat bayangan pagi tadi kembali menghantam pikirannya, membalik rasa takut yang sudah lama terkunci dalam dada.***Pagi itu di koridor kampus yang ramai, tiba-tiba tangan Pak Arka mencengkeram lengan Akira dengan erat. Wajahnya datar, tanpa e
Angin sore di taman kampus tiba-tiba terasa berhenti, seolah ikut menahan napas menyaksikan situasi genting di depan dosen killer itu. Akira berdiri kaku, dadanya sesak, tatapannya tak berani menantang balik sorot tajam Arka. Dosen itu terkenal membuat mahasiswa stres sampai rambut mereka rontok satu per satu. Irit bicara, jarang senyum, dan lebih parah lagi sering memberi nilai rendah tanpa ampun. "Kamu mau menculik anak saya!" tuduh Arka tiba-tiba, matanya melotot seperti pedang siap menancap di dada Akira. Tangan Akira mulai basah oleh keringat dingin, jemarinya gemetar meremas ujung bajunya, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Mana berani saya menculik anak kecil. Dia yang nyamperin saya dan ngira kalau saya mamanya, Pak," suaranya bergetar, berusaha tetap tenang. Sekilas ia melirik anak kecil yang digendong Arka, bibirnya menekan keras agar tak meluapkan kekesalan dalam hati. "Kenapa gue mesti ketiban sial cuma gara-gara anak ini," gumamnya penuh kegeraman. "Modus," A
Suara kicau burung bersahutan lembut di antara ranting-ranting pohon, sementara angin sore menyusup lewat celah daun, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Akira duduk terdiam di bangku taman kampus yang hampir kosong, tubuhnya merosot santai sambil menggenggam roti isi telur yang setengah digigit. Headset bluetooth murahan melingkar di lehernya, satu sisi earbud terlepas dan menggantung, sesekali mengeluarkan suara statis saat mencoba menyambung kembali. Matanya menatap kosong ke arah rerumputan yang berayun pelan, napasnya keluar pelan dan panjang, membebaskan penat yang menumpuk selama tiga hari terakhir. Wajahnya menunjukkan kelelahan, garis-garis gelisah mengintip di sudut mata, namun ada secercah ketenangan yang mulai menyusup menggantikan stres. "Akhirnya bisa napas juga gue," gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin. Tangan kanan Akira secara refleks mengusap pelipisnya yang masih terasa tegang, lalu ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi, s







