BAGIAN 9
Agak oleng tubuhku bangun dari duduk. Kuseka sisa air mata di sudut mata. Kutekatkan, bahwa aku tak boleh tampak lemah di hadapan lelaki perusak kebahagiaan tersebut.
“Mbak, sudahlah,” cegah Nisa sembari menahan lenganku pelan.
“Lepas, Nis! Aku masih harus menyelesaikan urusan dengan lelaki itu!” ujarku sembari menepis tangan Nisa.
Gadis itu akhirnya menyerah. Dibiarkannya aku berjalan mendatangi pintu untuk membukakan Angga yang ada di depan sana. Sementara Arfan masih diam membeku di dekat jendela.
Wajah Angga terlihat lesu. K
BAGIAN 10 “Aku mohon, Res. Kasih aku kesempatan satu kali lagi. Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Dewi.” Angga terus mengemis. Lelaki itu bahkan hendak menyambar kakiku, kalau saja tak segera kutarik menjauh darinya. Aku pun bangkit. Berdiri di depan lelaki yang kini berlutut memohon bagai seorang pengemis dengan segala bujuk rayu paksaannya. Ya, Angga ini tipikal pengemis yang hanya bersandiwara. Akan rela menjilat kaki target, demi mendapat apa yang dia inginkan. Setelah semua didapatkan, maka dia akan pergi sambil menikmati hasil haramnya tersebut. “Kamu ingat, saat aku hamil dan meminta pertanggungjawabanmu? Apa yang kamu lakukan saat itu, Angga? Kamu mengusirku bagai seekor anjing!” Aku menghar
BAGIAN 11 “Arfan, mana videonya? Kirimkan cepat ke WhatsApp-ku. Aku mau bikin klarifikasi!” jeritku sembari membuka pintu studio. Kulihat Arfan langsung menghentikan mesin obrasnya. Sementara itu, Nisa langsung mendongak dan berhenti memotong kain satin warna hijau emerald. Keduanya tampak kaget dengan kedatanganku. Arfan pun buru-buru merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel berwarna gradasi biru dan putih, lalu mengetik-ngetik layarnya dengan gerakan cepat. “Nis, kamu siapkan tempat buat aku live. Bagusnya aku duduk di sini saja, dekat manekin,” ujarku sembari berjalan ke arah manekin-manekin yang memakai aneka bahan kain yang sudah kami bentuk selayaknya gaun dengan aneka model.&n
BAGIAN 12 Setelah DM dan beralih ke chat via WhatsApp dengan Mas Fredy, rasanya kesedihanku agak hilang. Terlebih ketika beliau mengajak untuk jumpa besok. Rencananya, dia akan mengajakku membahas tentang masalah desain pakaian wanita dan rencana kolaborasi. Wow, benar-benar rejeki nomplok di tengah musibah yang melanda. Sekitar pukul sebelas siang, saat mood-ku sudah membaik, kuputuskan untuk keluar kamar dan membantu anak-anak. Memang Arfan dan Nisa sangat bisa diandalkan. Ditinggal beberapa jam, satu gaun bridesmaid sudah hampir jadi. Excellent! “Mbak Resa, gimana? Udah baikan suasana hatinya?” tanya Nisa kepadaku sembari masih memotong-motong kain untuk gaun.&nb
BAGIAN 13 Sejak diberi tahu oleh Nisa tentang rahasia besar dari Arfan, aku jadi lebih berhati-hati lagi dalam bersikap di hadapan mereka, terutama Arfan. Entah mengapa, seperti ada perasaan malu sekaligus kurang nyaman. Bahkan, sampai malam kami lembur untuk mengerjakan kebaya pernikahan pesanan customer bernama Angel, aku hanya sedikit saja berbicara dengan Arfan. Wajah lelaki itu pun lebih banyak tertekan ketimbang senyum lepas. Aku jadi menyesal mengapa harus mendesak Nisa untuk mengungkapkan hal ini, meskipun aku juga belum tahu apakah Arfan merasa jika aku tau akan apa yang disembunyikannya atau tidak. Pekerjaan kami hampir selesai pukul setengah dua belas malam. Itu pun, kebaya baru dipayet bagian leher dan dada saja. Sementara klien kami meminta kebaya berwarna putih dengan bahan brokat tersebut h
BAGIAN 14 “Biasa, Mak. Tadi itu Arfan,” kataku berusaha untuk terlihat santai di hadapan Mamak. Namun, dasar Mamak. Dia selalu berhasil mengendus apa pun yang tengah kusembunyikan. Matanya langsung memicing ke arahku dengan dua alis yang bertautan. “Mamak lihat, dia sering mengantarmu sampai rumah. Ada apa rupanya? Bukannya selain kamu, masih ada satu cewek lain lagi di tempat kali itu?” Mamak mendekatkan wajahnya yang tembam. Menyelidiki bagai seorang detektif yang hendak memecahkan sebuah kasus kriminal. Yah, kalau sudah begini, mau tak mau aku harus cerita, bukan? “Mak … kata si Nisa, dia itu suka kepadaku,” jawabku dengan wajah yang resah.&
BAGIAN 15 Hari yang kutunggu tiba. Sengaja aku berdandan lebih rapi dan cantik hari ini hanya untuk melakukan perjumpaan dengan Mas Fredy yang sudah kami jadwalkan sekitar pukul 09.00 pagi. Lelaki itu katanya akan menjemput di studio jahitku. Tentu aku sangat berdebar-debar menantikan kehadirannya. Terpksa kali ini Mamak tak kuberi tahu dulu. Takutnya beliau akan marah atau semakin parno. Aku yakin kalau Mas Fredy itu orang yang baik dan niatnya pasti tulus untuk menjalin silaturahmi. Jangan tanya perasaanku terhadapnya, ya. Sudah pasti jawabanku tertari, apalagi melihat pesannya semalam itu. “Res, jadi hari ini kamu akan ketemuan sama laki-laki yang tadi malam?” tanya Mamak saat aku hendak pamit kepadanya. Tuh, kan. Belum apa-apa, sudah diinterogasi.&n
BAGIAN 16 “Bisa aja kamu, Resa.” Mas Fredy terkekeh. Tawanya renyah, tak terdengar mengejek diriku. Malu-malu kulihat wajahnya. Bahkan kulit putih itu sampai berubah menjadi kemerahan. Sepanjang perjalanan, aku hanya dapat menahan rasa malu. Entah, sampai detik ini terasa hatiku berat saja. Takut bila lelaki itu berpikir negatif atau ilfeel kepadaku. Gimana dong, kalau dia nganggap aku ini cewek yang ‘gampangan’? Aduh, Resa, seharusnya kamu nggak se-open itu! Aku jadi tidak keru-keruan, deh. Mas Fredy membawaku ke café and resto Harvest yang berada di kawasan tongkrongan anak-anak ibu kota. Jujur, aku baru kali ini menyambangi tempat bertema rustic dengan donimasi kayu pada perabot dan interiornya t
BAGIAN 17 “Lho, udah pulang, Mbak?” Arfan yang tengah sibuk memasang payet pada bahan brokat tile kebaya putih yang sudah jadi itu tiba-tiba beranjak dari duduknya. Lelaki itu setengah kaget memperhatikan kehadiranku. “Iya.” Aku menjawab singkat. Melangkah masuk dengan gerakan gontai. Tidak bersemangat seperti beberapa jam lalu. “Mana Nisa?” tanyaku sembari mengempaskan bokong di atas kursi jahit. Kutopang dagu dengan tangan kanan yang sikunya kutempel di atas mesin jahit. Memperhatikan sosok Arfan di depan sana dengan kedua bola mata yang kini sudah sayu. “Katanya agak meriang. Jadi, kusuruh istirahat d