“Tunggu, Joel!” Aerline mendorong dada bidang Joel yang sudah membuatnya hampir kehilangan napas. Bisa-bisanya pria itu mencium Aerline dengan brutal.
“Apa yang kamu lakukan?!” tanya Aerline.
Wanita itu memekik kaget saat Joel mengangkat tubuh wanita itu dan mendudukannya di kepala sofa, dengan Joel yang masih berdiri dihadapannya.
“Aku bilang, aku merindukanmu, Arlyn. Apa kamu tidak mengerti?” tanya Joel tersenyum simpul.
“Ah, masakanku!” Aerline melepaskan diri dari Joel dan berlari ke arah pantry. Wanita itu segera mengambil spatula dan mengaduk masakannya di dalam wajan. Syukurlah tidak sampai gosong, dan masakan itu masih bisa di selamatkan.
Aerline mematikan kompor dan hendak mengambil piring, tetapi Joel sudah berdiri di sampingnya dengan sebuah piring di tangan.
“Kamu butuh piring, kan?” tanya Joel menunjukkan piring pada Aerline.
“Oh, ya. Terima kasih,” jawab Aerline menerimanya dan mulai memindahkan masakan ke dalam piring tersebut.
“Aku tidak tau kalau kamu bisa masak,” ucap Joel.
“Aku sudah lama dan mulai terbiasa hidup seorang diri. Jadi, memasak sudah jadi rutinitas sehari-hariku,” jawab Aerline.
“Ya, aku penasaran dengan rasanya. Kuharap seenak yang terlihat,” ucap Joel.
Aerline tidak menjawab. Dia memilih menata masakannya di atas mini bar, dan juga mengambil dua mangkuk nasi untuk mereka berdua. Joel sudah duduk di minibar, kemudian Aerline pun bergabung di samping Joel karena memang mini bar itu hanya bisa digunakan untuk dua orang.
“Bagaimana kamu tau alamat apartemenku?” tanya Aerline.
“Bukankah menemukan alamat seperti ini, bukan hal sulit untukku?” jawab Joel. “Jadi, tidak perlu menanyakan hal yang sudah pasti.”
“Um, ya, kamu benar.”
Mereka pun menikmati makanan dalam diam sam tenang.
“Ngomong-ngomong lima tahun yang lalu, kamu masih membenciku, bahkan menatapku saja tidak mau. Kenapa sekarang kamu bersikap seperti ini padaku?” tanya Aerline merasa penasaran.
“Jadi, sebaiknya aku bersikap seperti itu padamu?” tanya Joel.
“Um, tidak sih. Sepertinya aku lebih suka yang banyak ngomong dibanding yang dingin dan pendiam,” ujar Aerline tanpa sadar membuat Joel mengulum senyumnya.
“Oh, jadi kamu suka aku?” godanya.
“A-apa sih maksudmu. Bukan begitu, aku hanya tidak suka dengan orang yang menjawab singkat, seperti berbicara dengan tembok,” jawab Aerline mengalihkan pandangannya dan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Joel tidak berniat untuk membahas yang sudah berlalu. Kemudian, dia pun menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
“Um ... rasanya tidak buruk. Aku tidak tahu kamu handal memasak,” ujar Joel kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Aerline melihat Joel yang lahap memakan makanannya. Dia pun hanya bisa tersenyum dan bersyukur karena Joel menyukai makanannya.
Setelah selesai makan, Aerline membawa semua cucian kotor ke tempat cucian piring dan mencucinya. Saat sedang mencuci piring, Joel kembali mendekat dan tiba-tiba saja memeluk Aerline dari belakang.
Degh!
“Jo-joel?” gumam Aerline.
“Hmm ... lanjutkan saja aktivitasmu,” bisiknya mencium dan menggigit pelan daun telinga Aerline, meninggalkan getaran asing pada tubuhnya.
“Joel, hentikan. Itu geli,” pinta Aerline tetapi Joel tidak mendengarnya dan malah semakin mengecupi leher jenjang Aerline di sana. Bahkan tanpa permisi, tangannya menyusup masuk ke balik kaos oblong yang dikenakan Aerline.
“Hm ... “ Aerline memejamkan matanya saat merasakan sensasi geli yang cukup membuat jantungnya berdebar dan darahnya berdesir.
“Aku sangat menyukai aroma tubuhmu,” bisik Joel dengan nada yang semakin membuat Aerline hanyut dalam buaian kenikmatan. Sentuhan dan belaian tangannya yang lembut dan mampu membuat seluruh tubuhnya merinding.
“A-aku masih cuci piring,” gumam Aerline.
“Tinggalkan saja.” Joel menarik tubuh Aerline untuk menghadap ke arahnya. Tatapan mereka terpaut satu sama lain dengan deru napas yang berat. Aerline dapat melihat sorot mata Joel yang berkabut dan terlihat bergairah.
“Aku menginginkanmu, Aerline.” Tanpa menunggu lama, Joel memangku tubuh Aerline dan mendudukkannya di atas minibar. Kini wajah mereka sejajar, dan Joel langsung memangut bibir ranum itu tanpa jeda.
Aerline sendiri hanyut dalam buaian pria itu, dia tidak bisa lagi berpikir logis, dan ingin larut dalam racun yang pasti akan menyesakkannya, hingga membunuhnya secara perlahan. Dia tidak mau banyak berpikir, karena dirinya memang menginginkan Joel. Jauh dari lubuk hati terdalamnya, Aerline benar-benar menginginkan pria itu.
Entah sejak kapan, mereka sudah menanggalkan seluruh pakaian mereka. Aerline hanya bisa mendesah dan melenguh panjang memanggil nama Joel saat pria itu menyentuh, membelai dan memberikan kecupan di setiap inci tubuhnya yang mulus.
Tanpa menunggu lama, mereka pun melakukan pergulatan panas penuh kenikmatan. Keringat sudah bercucuran di tubuh mereka berdua. Deru napas yang memburu, keringat yang bercucuran dan sentuhan kulit yang terasa panas, berhasil membakar gairah mereka berdua. Hanya suara lenguhan panjang yang terdengar di ruangan kosong itu, hingga akhirnya mereka berdua mencapai puncak kepuasan.
***
“Ini kopi untukmu,” ujar Aerline memberikan gelas berisi kopi yang masih mengepulkan asap pada Joel yang duduk santai di atas sofa. Siang tadi, mereka berdua menghabiskan waktu dengan saling memadu kasih dan memuaskan hasrat selama dua kali dan tidur panjang. Kini keduanya sudah bangun saat langit sudah berganti warna jadi gelap.
“Oh ya, terima kasih,” ujar Joel menerima gelas berisi minuman itu dari Aerline. Wanita itu pun duduk di atas sofa, tepat di samping Joel sambil memegang gelas berisi kopi panas miliknya.
“Rasanya tetap sama,” ucap Joel setelah meneguknya sedikit.
“Ya, karena tangan yang membuatnya juga sama,” jawab Aerline tersenyum di sana sambil meneguk pelan kopinya.
Mereka berdua sedang duduk santai sambil menonton acara televisi yang sedang menayangkan film action favorit mereka berdua.
“Akhirnya, hari weekendku dihabiskan bersama dengan pria yang selalu kunantikan kedatangannya setiap saat,” batin Aerline dengan kedua pipinya bersemu merah. Dia merasa kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan ada rasa hangat yang mengalir di dalam hatinya yang sudah terlalu lama mendingin.
“Jadi, bagaimana kabar Kakakmu?” tanya Joel membuka suara.
“Bang Kaivan? keadaannya baik, begitu juga dengan Kak Khayra," jawab Aerline.
"Mereka sudah punya anak?" tanya Joel karena dia dan Kaivan sudah tidak bertemu selama lima tahun lamanya, dan dia juga sempat kehilangan kontak dengan mereka, setelah menjalani pengobatan yang cukup lama karena kejadian di masa lalu.
“Ya, anak kembar,” jawab Aerline.
“Wah, anak kembar? Hm ... pasti keduanya mirip Khayra, tidak mungkin mirip Kaivan, apalagi sikapnya,” gurau Joel.
“Kata siapa. Kak Khayra hanya kebagian hamil dan melahirkan saja. Keduanya mirip banget sama Abang,” jawab Aerline. “Bahkan yang perempuan, benar-benar jahil dan gak bisa diem mirip Bang Kaivan.” Aerline tersenyum mengingat kedua ponakannya yang sangat menggemaskan itu.
“Ya, sepertinya dia sudah mendapatkan kebahagiaannya,” ucap Joel yang ditanggapi dengan anggukan kepala oleh Aerline, wanita itu setuju dengan penilaian Joel.
“Dan kamu sendiri, sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Joel. “Kamu jelas tahu kalau aku ada di negara ini juga, kan? lalu, kenapa tidak mendatangiku lebih awal?” tanyanya.
“Aku tahu. Aku hanya tidak memiliki alasan untuk menemuimu,” jawab Aerline tersenyum kecil sambil menundukkan tatapannya, menatap air kopi di dalam gelas yang dipegangnya.
“Andai saja aku tahu lebih awal. Mungkin aku akan menemuimu,” ucap Joel. “Menemui orang di masa lalu, apa harus selalu memiliki alasan?”
Pertanyaan Joel tidak bisa dijawab oleh Aerline. Dia mendadak kelu dan tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Karena selama di sini, dia menahan diri untuk tidak mencari tahu informasi maupun keberadaan pria itu. Aerline tidak terlalu percaya diri dan takut, Joel akan kembali bersikap dingin dan mengabaikannya.
***
“Jadi, Joelio sudah siuman?” tanya Garren saat menerima laporan langsung dari anak buahnya. “Benar, Tuan. Dan sepertinya, mereka tahu kalau kejadian kemarin itu ulah Anda,” tambahnya. “Kurang ajar! Rencana kita jadi kacau, kenapa bukan wanita itu saja yang tertembak dan mati!” keluh Garren merasa sangat kesal sekali di sana. “Dan sepertinya, Kainan Dirgantara, sedang menyiapkan sesuatu yang besar untuk melawan kita membantu Joelio,” jelasnya. Garren menatap pria di depannya dengan intens. “Apa saja yang orang suruhan kita lihat dari gerak gerik mereka?” tanya Garren. “Tidak ada laporan gerak-geriknya bagaimana. Hanya saja, dia meyakini kalau mereka sedang merencanakan sesuatu untuk melawan kita,” jelas pria itu.Garren menghela napas panjang, amarahnya semakin membara. "Mereka mulai berani menantangku, ya?" gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Terutama bocah sialan bernama Joelio itu. Seharusnya dia mati saja kemarin."Pria di depann
“Jadi, apa menurutmu, cerita putri dan pangeran itu sangat cocok untuk di dongengkan padaku?” gurau Joel membuat Aerline tersenyum. “Ya, biasanya sang pangeran akan terbangun. Dan ternyata benar bangun, kan?” ucap Aerline di sana. “Putri terbangun karena dicium pangeran. Dan The beast bangun hingga berubah jadi manusia normal karena ciuman beauty,” ujar Joel. “Aku bahkan tidak menerima ciuman apa pun. Ck... malang sekali, padahal aku berharap sekali ada adegan ciuman saat kamu menyelesaikan dongengnya.” “Maaf, Tuan. Karena ekspektasimu berbeda jauh dengan realita,” ucap Aerline di sana.Joel pura-pura memasang wajah kecewa. "Jadi, aku cuma bisa bangun tanpa ciuman penyelamat? Begitu kejamnya dunia ini..."Aerline tertawa kecil, hatinya terasa hangat melihat Joel kembali dengan candaan khasnya. "Ya, dunia memang kejam, Tuan. Lagipula, siapa yang bilang kamu butuh ciuman untuk bangun?"Joel mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal. "Hei, bukanka
“Dad!” Gisela memasuki ruangan milik Garren dengan sorot mata penuh kekesalan. “Oh, Gisel. Ada apa?” tanya Garren di sana. Menoleh ke arah Gisela dengan santai. “Kenapa Kyle dilarang masuk ke rumah ini?” tanya Gisela dengan tatapan penuh rasa kesal. “Kyle? Siapa dia?” tanya Garren. “Dad!” Gisela sedikit merajuk di sana karena kesal. Garren tertawa kecil di sana. “Oh, pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Kenapa kamu harus bergaul dengan pria seperti itu, Gisel?” tanya Garren. “Dia pria yang baik, Dad. Dia temanku, biarkan dia masuk,” ucap Gisela. “No! tidak bisa, Gisela. Berhenti bergaul dengan pria tidak ada kejelasan itu. Kamu dan Joel memutuskan pernikahan, dan itu masih jadi perbincangan hangat di media, Darling. Kamu tidak boleh terkena skandal apa pun, Daddy ingin semua kesalahan ditimpakan pada Joelio, alasan kenapa pernikahan kalian dibatalkan,” ucap Garren. “Apa Dad mau menghancurkan r
“Oh, kamu sudah kembali, Lyman?” tanya Kaivan saat Lyman datang ke rumah sakit di mana Kaivan berada. “Ya, gimana Joel?” tanya Lyman. “Masih belum ada perubahan. Aerline masih menemaninya di ruang ICU,” jawab Kaivan. “Ada yang ingin aku katakan tentang penembakan itu. Kita bicara di ruangan Richard,” ucap Lyman. “Baiklah.” Kaivan memberi perintah pada bodyguard yang dibawanya untuk memastikan Aerline baik-baik saja. Dia masih khawatir, akan ada yang berusaha menyakiti adiknya.Kaivan menatap Lyman dengan tatapan serius, lalu mengangguk. "Ayo kita ke sana sekarang," katanya tanpa basa-basi. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Richard yang terletak di lantai berbeda dari ICU.Setibanya di ruangan tersebut, Richard yang mengenakan jas Dokter menunggu mereka dengan wajah penuh tanda tanya. "Apa terjadi sesuatu dengan Joel?" tanyanya segera."Bukan soal itu," ujar Lyman sambil menutup pintu rapat. "Ini soal penembakan yang hampir merenggut
Angin berhembus dengan cukup kencang. Aerline menatap langit yang cukup mendung dan pepohonan di depannya. Wajahnya yang pucat dan sembab, dan matanya yang menunjukkan kelelahan yang tidak berujung. Ternyata menanti adalah hal yang paling menyebalkan. Setiap hari, hatinya tidak pernah merasa tenang, dan terus merasa cemas. Apa dia akan kembali padanya atau memang takdir menakdirkan mereka untuk berpisah. Entah, Aerline harus bagaimana lagi menguatkan keyakinannya di tengah keraguan yang menyerang hatinya. Apalagi melihat kondisi Joel yang masih tidak menunjukkan perkembangan.Aerline menghela napas panjang, mencoba meredakan beban yang menghimpit dadanya. Angin yang berhembus kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon, seolah menggambarkan kegelisahan hatinya yang terus bergemuruh. Langit yang kelabu semakin mempertegas kekosongan yang ia rasakan.Dia memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya udara yang menusuk kulitnya. Matanya yang sembab menatap tanpa fokus,
Aerline mengenakan pakaian steril yang diberikan oleh perawat, tangannya sedikit gemetar saat menyesuaikan masker di wajahnya. Dengan langkah pelan namun penuh tekad, dia memasuki ruang ICU yang dipenuhi suara mesin medis yang monoton namun menenangkan.Di sana, Joel terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Wajahnya pucat, namun masih menunjukkan ketampanan yang selalu membuat Aerline jatuh cinta. Hatinya terasa perih melihat pria yang begitu ia cintai berada dalam kondisi seperti ini.Aerline mendekat, menarik kursi dan duduk di samping Joel. Tangannya yang gemetar menyentuh jemari Joel yang terasa dingin di bawah kulitnya. "Joel..." bisiknya lirih. Air matanya jatuh, namun dia segera menghapusnya dengan punggung tangan."Aku di sini... kumohon bertahanlah," ucapnya pelan. "Kalau kamu dengar aku, bangunlah. Aku janji nggak akan lari lagi. Kita akan coba semuanya dari awal... asal kamu tetap di sini."Aerline menggenggam tangan Joel e