LOGIN**
Tidur tapi bersiaga, bagaimana itu?
Nanti saja, kalau sudah sampai di kantor ia akan melakukannya. Itu adalah sebuat teknik beristirahat yang.., tunggu, tunggu dulu, ada yang menyela.
Entah ada angin apa tiba-tiba Miss Widya menoleh pada Gending.
“Itu, pipi kamu, kenapa?” Tanya sang CEO muda ini pada sang ajudan.
Gending tersentak. Luka memar kecil di pipinya ini adalah bekas hantaman lutut Kelvin tadi malam.
Tidak terlalu kentara memang, tapi cukup menarik perhatian jika ada orang yang mencermati wajahnya.
Gending mengelus-elus pipinya sendiri, tersenyum tipis, lalu menjawab.
“Kejedut pintu, Miss.”
“Kapan?” Tanya Miss Widya lagi.
“Tadi malam.”
“Pintu mana?”
“Pintu dapur.”
“Kok bisa?”
“Waktu saya lewat sambil bawa secangkir kopi, pintunya dalam keadaan terbuka, rupanya ada angin berembus, pintun
**Ciiiiiitt..!Terdengar jeritan roda mobil yang menggesek aspal. Beberapa meter kemudian mobil sedan hitam yang baru saja menabrak Gending itu pun berhenti di tepi jalan.Lampu depannya tetap menyala. Asap tipis berwarna putih keluar dari moncong knalpot yang segera diembunkan oleh udara malam.Di dalam mobil sedan hitam itu, Niko dan Kenzo serentak menoleh ke arah belakang. Pandangan mereka berdua menembus kaca belakang, melihat dan memperhatikan sosok Gending yang barusan tadi mereka tabrak.“Apa dia masih hidup?” Tanya Niko, si lelaki berambut gondrong, yang duduk di balik kemudi. Kenzo, lelaki rambut pendek yang ditanya pun semakin menajamkan pandangannya ke sosok yang sedang tergeletak di aspal itu.“Pasti sudah mati, sudah tidak bergerak begitu.” Sahut Kenzo.Berbeda dengan Niko yang sebelah tangannya tetap bertengger di lingkar kemudi. Ia merasa tidak sependapat dengan Kenzo si komptatrio
**Tuuutt..!Tiga kali,Hingga berkali-kali Widya menelepon Gending, namun panggilannya tetap tidak diangkat oleh sang ajudan itu.Widya menarik nafas yang dalam, lalu menunduk. Rasa bersalah di dalam dirinya semakin merajalela, membuat dirinya tidak nyaman dan mendadak jadi gelisah.“Gending pasti marah kepadaku,” katanya dalam hati.“Itu makanya dia tidak mau mengangkat teleponku.”Tiba-tiba, ada yang membersit di dalam ingatan Widya. Bersamaan dengan itu telinganya menegang dan bulu romanya meremang.“Saya pergi dari rumah Acropolis malam hari.”“Malam hari, kenapa begitu?”“Supaya saya tidak perlu berpamitan dengan Ibu Suri dan juga Venus.”Itu adalah potongan dialog antara Gending dengan dirinya tadi siang di kantor. Kata-kata Gending yang terakhir dalam dialog itu seakan mengiang-ngiang di dalam telinga Widya.Widya tersentak. Ia menat
**Prakk..!Widya terkejut!Tiba-tiba saja lukisan bergambar badut hello Kitty dan wanita berbusana pengantin di dinding kamarnya terjatuh.Tentunya, hal itu memutus kesedihan yang ia ratapi sejak beberapa jam yang lalu. Perlahan ia mengangkat wajahnya dari bantal yang telah basah akibat air matanya sendiri.Bayangan Kelvin, yang sejak tadi menghuni alam pikirannnya sekejap raib. Digantikan keanehan yang berusaha ia nalari dengan logika yang wajar.Putri Wibisono ini pun bangkit dari ranjangnya. Sebentar ia duduk di tepian ranjang, terisak beberapa kali, sambil mengusap air matanya menggunakan punggung tapak tangan, kanan dan kiri bergantian.Ia lalu berjalan pelan menuju ke satu bidang dinding di sisi kiri. Sampai di situ, ia membungkuk, mengambil lukisan badut hello Kitty yang terjatuh dan memeriksa bingkainya.Ini adalah lukisan karya anak down syndrome bernama Mikhail, yang ia dapat dari sebuah lomba di Taman Mini Indonesia
**“Kenapa kamu tidak mau berpamitan dengan Ibu Suri?”“Entahlah, Iroh.., aku merasa tidak tega saja.”“Aku tidak sanggup melihat matanya, melihat wajahnya, melihat sosoknya di kursi roda, lalu bilang pamit mau pergi.., rasanya, Iroh, seperti mau meninggalkan ibu sendiri.”“Sepertinya, kamu sudah cukup dekat dengan Ibu Suri itu ya?”“Bisa dikatakan, begitulah. Ibu Suri itu orangnya baik, Iroh. Jauh berbeda dengan Miss Widya anaknya.”“Kamu tahu kan, ada pepatah yang berbunyi; buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Nah, Miss Widya ini jatuhnya jauh, jauh banget dari pohonnya.”Terdengar suara helaan nafas yang panjang dari sisi Iroh.“Jangankan dengan Ibu Suri, bahkan dengan Venus saja aku tak sampai hati mau pamit.”“Orang bilang, mata adalah jendela hati. Maka begitulah kira-kira ketika aku melihat bola mata Venus.”&ldq
**Gending sampai di rumah Acropolis ketika waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Taksi yang mengantarkannya pulang segera pergi setelah ia turun dan membayar ongkosnya.Ia kemudian memasuki rumah lewat pintu pagar yang dibukakan oleh Mbak Ratih.“Lho, kamu pulang cepat?” Sapa Mbak Ratih heran.“Iya, Mbak.”“Kenapa?”“Disuruh Miss Widya.”“Oh, naik apa tadi?” “Naik taksi.”Sebelum Mbak Ratih bertanya lagi, Gending cepat-cepat mendahului.“Ibu Suri di mana?”“Lagi istirahat.”“Di kamarnya?”“Iya.”Gending merasa lega. Sebab ia tidak harus bertegur sapa dengan Ibu Suri seandainya bertemu.Tanpa pikir panjang Gending segera mengarahkan langkah kakinya menuju paviliun belakang.Guk..! Gukk..!Terdengar gongongan dari Venus dari satu pojok di
**“Terima kasih atas waktunya ya Mbak.” Ujar Gending sembari berdiri.“Never mind.” Sahut Mbak Vera, tersenyum tipis, tapi mimiknnya sedih.“Kalau kamu butuh bantuan ke Mbak, hubungi saja. Selagi Mbak bisa pasti akan Mbak bantu.”Setelah berpisah dengan Mbak Vera itu Gending kemudian menemui Hari Atmoko.Dia adalah komandan dari satu regu sekuriti yang dikontrak dan ditugaskan perusahaan bironya di perkantoran Arung Tower ini.Gending yang memang telah mengenal baik sang komandan pun menyampaikan maksudnya.“Begini, Bang. Saya berbicara bukan atas nama Ibu Widya selaku CEO Arung Bahari Corp, juga tidak mengatas-namakan Arung Tower ini.”“Tunggu, tunggu Mas Gending. Sepertinya, ini obrolan serius nih.” Sahut Hari Atmoko, menarik sebuah kursi dan menyodorkannnya pada Gending.“Duduk dulu Mas, duduk dulu.”Gending yang mendapat keramah-tam







